LOGINMonster itu melangkah keluar dari sudut. Bergerak dengan cara yang tidak natural, seperti boneka yang digerakkan dengan tali. Mendekati meja rapat dengan sangat pelan."Tidak!" teriak Ricardo tiba-tiba. Suaranya sangat keras, memecah keheningan ruangan. Ia berdiri dengan tiba-tiba, kursinya terjungkal ke belakang dengan bunyi keras."Jangan mendekat! Pergi!”“Pergiii!"Semua orang di ruangan itu tersentak. Mereka menatap Ricardo dengan ekspresi terkejut dan bingung.Dr. Leonard menatap Ricardo dengan alis terangkat. "Ricardo, apa yang terjadi? Siapa yang kau suruh pergi?"Ricardo menunjuk ke sudut ruangan dengan jari gemetar. "Di sana! Kalian tidak melihatnya?! Monster itu! Di sana! Menatapku!"Semua orang mengikuti arah jarinya. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya dinding putih kosong dan tumpukan folder.Dr. Marcus Wellington yang juga hadir di rapat itu berdiri dengan cepat. Ia menghampiri Ricardo, mencoba memegang bahunya dengan lembut. "Ricardo, tidak ada apa-apa di sana. Kau p
Monster perempuan itu duduk di tepi ranjang tepat di samping Ricardo. Tubuhnya yang tadinya menggoda kini terlihat mengerikan dengan kulit bersisik dan proporsi yang tidak wajar. Wajahnya yang mengerikan hanya beberapa inci dari wajah Ricardo.Ricardo mencoba berteriak. Mulutnya terbuka lebar. Tapi tidak ada suara yang keluar. Tenggorokannya tercekat total. Seperti ada tangan tak terlihat yang mencekik lehernya dari dalam.Ia mencoba mundur. Mencoba kabur. Tapi tubuhnya tidak bergerak. Kaku total. Seperti diparalisis oleh ketakutan yang melampaui segala pemahaman manusia normal.Monster itu mendekatkan wajahnya. Napasnya yang berbau busuk menyapu wajah Ricardo. Mata kuning dengan pupil vertikal itu menatap langsung ke mata Ricardo dengan intensitas yang membakar.Jantung Ricardo berdegup sangat cepat. Terlalu cepat. Seperti akan meledak kapan saja. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Urine keluar tanpa bisa dikontrol, membasahi sprei putih di bawahnya.Ini bukan mimpi. Ini terlalu ny
Apartemen mewah Ricardo Santos terletak di lantai dua puluh gedung eksklusif di distrik bisnis Kota Wada. Dari luar, bangunan itu tampak megah dengan fasad kaca yang memantulkan cahaya kota. Tapi di dalam apartemen Ricardo, suasananya sangat berbeda.Ruang tamu yang luas dengan furnitur desainer mahal terasa dingin dan hampa. Tidak ada foto keluarga di dinding. Tidak ada tanaman hias di sudut ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang hangat. Hanya permukaan putih steril, sofa kulit hitam yang tidak pernah benar-benar nyaman, dan televisi layar besar yang jarang dinyalakan.Ini bukan rumah. Ini hanya tempat tinggal.Ricardo membuka pintu dengan kunci yang hampir terjatuh dari tangannya yang masih sedikit gemetar. Gadis itu masuk duluan dengan langkah percaya diri, matanya dengan cepat menilai isi apartemen, menghitung berapa banyak yang bisa ia minta nanti."Wah, apartemen Tuan bagus sekali," katanya dengan nada yang dibuat-buat antusias. "Pasti mahal ya?"Ricardo menutup pintu, me
Tapi bagian lain dari dirinya, bagian yang lebih primitif, bagian yang masih terhubung dengan insting bertahan hidup jutaan tahun evolusi, berteriak dengan keras: bahaya. Predator. Lari."Kalian tidak melihat tatapan itu," gumam Ricardo dalam hati sambil menatap cairan cokelat keemasan di gelasnya. Pantulan wajahnya terlihat samar di permukaan wiski. "Kalian tidak merasakan dinginnya. Seperti ditatap oleh sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar manusia. Seperti ditatap oleh predator puncak yang baru saja menemukan mangsanya."Ia meneguk wiski lagi, membiarkan alkohol membakar tenggorokannya, berharap itu bisa membakar juga bayangan tatapan itu dari ingatannya.Tapi tidak bisa.Tatapan itu terlalu jelas. Terlalu tajam. Terlalu... personal.Pelayan kafe berjalan melewati meja mereka sambil membawa kain kotor. Ia melirik mereka dengan tatapan mencurigakan. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?" tanyanya dengan nada yang terdengar tidak tulus. "Wajah kalian terlihat... tegang. Sepe
Sedan hitam mewah melaju dengan kecepatan tinggi menembus jalanan Kota Wada yang sudah sepi. Lampu-lampu jalan berkedip melewati kaca mobil seperti bintang jatuh yang bergerak terlalu cepat. Di dalam kabin yang gelap, hanya cahaya dashboard yang menerangi tiga wajah pucat yang duduk dengan postur kaku.Dr. Alexander Hartman duduk di kursi pengemudi dengan kedua tangan mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih total.Matanya terpaku pada jalan di depan, tapi pandangannya kosong, seperti seseorang yang sedang melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada aspal dan lampu jalan. Napasnya pendek dan cepat, seperti orang yang baru saja lari marathon.Di sampingnya, Dr. Marcus Wellington duduk dengan tubuh kaku seperti patung. Tangannya terlipat di pangkuan, tapi jari-jarinya bergetar. Ia menatap keluar jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa.Keringat dingin membasahi pelipisnya meski AC mobil menyala penuh dengan suhu lima belas derajat.Di kursi belakang, Dr.
Di dalam mobil sedan hitam yang terparkir dua puluh meter dari gang, ketiga dokter itu terdiam total. Terdiam dengan cara yang sangat tidak nyaman. Mulut terbuka tapi tidak ada suara keluar. Mata terbelalak tapi tidak berkedip. Tubuh kaku seperti patung.Ricardo masih memegang ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Layar masih menyala. Titik merah masih berkedip. Video masih merekam.Tapi apa yang direkam sangat jauh dari apa yang ia harapkan.Bukan Peter yang terkapar. Bukan Peter yang dipukuli. Bukan Peter yang menangis memohon ampun.Tapi preman-preman yang mereka sewa dengan harga dua ratus juta. Preman-preman yang seharusnya menghancurkan Peter. Preman-preman yang sekarang tergeletak seperti boneka rusak."Apa... apa yang baru saja terjadi?" bisik Alexander dengan suara yang hampir tidak terdengar. Tangannya masih mencengkeram setir, tapi sekarang karena ia butuh sesuatu untuk dipegang agar tidak jatuh. "Itu... itu tidak mungkin. Tidak ada manusia yang bisa bergerak secepat







