Share

Bab 9

Penulis: Hazel
"Sialan, ternyata kamu!" Begitu melihat Tirta, Raden langsung memaki. Pada saat yang sama, dia menyadari bahwa Tirta dan Melati berhubungan intim barusan.

"Kak Melati, kamu baik-baik saja?" tanya Tirta sambil memapah Melati dan tidak meladeni Raden.

"Aku nggak apa-apa. Kenapa kamu keluar? Cepat sembunyi di belakangku!" Melati ingin melindungi Tirta supaya dia tidak terluka. Tindakannya ini membuat hati Tirta terasa hangat.

"Melati, kamu jadi gila karena memikirkan pria, ya? Tirta jelas-jelas cacat, bahkan nggak bisa dibilang seorang pria. Kamu malah berselingkuh dengannya? Konyol sekali!" Raden tertawa mengejek sambil melepaskan celananya. "Aku akan menunjukkan kepadamu seperti apa pria sesungguhnya."

"Sudahlah, punyamu paling cuma 3 inci, punya Tirta lebih besar 5 kali lipat. Cepat pakai celanamu kembali, buat malu saja!" ujar Melati yang meludah dengan ekspresi merendahkan.

"Omong kosong! Dia mana mungkin bisa bercinta dengan wanita!" seru Raden dengan wajah merah karena kesal. Dia tidak percaya kemaluan Tirta sebesar itu. Tidak ada pria yang bisa menerima hinaan seperti ini, pasti Melati sengaja membuatnya marah.

"Itu bukan urusanmu. Raden, sebaiknya kamu cepat pergi. Selama ada aku di sini, kamu nggak akan bisa menyentuh Kak Melati!" tegur Tirta.

"Berengsek! Asal kamu tahu, aku memang ingin memberimu pelajaran! Malam ini aku bukan hanya ingin meniduri Melati, tapi juga Ayu! Aku akan melakukannya di hadapanmu!" teriak Raden sembari mengarahkan pecahan botol bir kepada Tirta.

"Raden, matilah kamu!" Mata Tirta sontak memerah karena ucapan Raden itu. Dia pun mengangkat bangku dan hendak melemparkannya kepada Raden.

Raden adalah preman terkenal, berkelahi adalah makanannya sehari-hari. Baginya, bocah amatiran seperti Tirta mudah saja untuk dihabisi.

"Kamu ingin melawanku? Memangnya sanggup? Setelah memberimu pelajaran, aku akan meniduri Melati!" pekik Raden. Dia mencari sudut yang pas, lalu menikamkan pecahan botol itu ke dada Tirta.

"Ah! Tirta!" Melati berteriak ketakutan. Tanpa diduga, muncul sisik warna-warni di tubuh Tirta. Botol itu pun hancur berkeping-keping. Sementara itu, Tirta tidak terluka sedikit pun, hanya bajunya yang koyak sedikit.

Saat berikutnya, Tirta sontak menghantamkan bangku tersebut ke kepala Raden. Raden terhuyung-huyung hingga akhirnya terjatuh dan kepalanya berdarah.

"Sial, kamu nggak terluka? Gimana mungkin?" Raden sulit memercayai kenyataan ini. Dia jelas-jelas berhasil menikam dada Tirta.

"Pergi sana! Biar kuperingatkan, jangan coba-coba mengincar bibiku atau Kak Melati lagi. Kalau nggak, aku akan membunuhmu!" ujar Tirta dengan tegas.

Usai mengatakan itu, Tirta masih merasa tidak puas sehingga menginjak-injak kepala Raden sampai pria itu jatuh pingsan. Melati yang tersadar dari keterkejutannya pun buru-buru menghentikannya.

"Tirta, berhenti. Kamu terluka, 'kan? Biar kuperiksa," ucap Melati yang meneteskan air mata saking paniknya. Dia segera mengangkat baju Tirta untuk memeriksa.

"Aku terluka?" tanya Tirta dengan heran. Dia tidak merasakan sakit apa pun.

"Aku jelas-jelas melihatnya tadi. Eh, kenapa nggak ada apa-apa?" balas Melati. Dia melihat Raden menikamkan pecahan botol bir ke dada Tirta, tetapi malah tidak ada luka apa pun sekarang.

"Kak, kamu salah lihat. Aku sempat menghindarinya tadi," jelas Tirta. Dia tahu bahwa ini adalah efek dari mengonsumsi ular putih itu, jadi segera membuat alasan untuk menenangkan Melati.

"Ya, mungkin aku salah lihat." Melati setuju dengan perkataan Tirta. Jika tidak, mana mungkin Tirta tidak terluka?

"Omong-omong, apa yang harus kita lakukan pada bajingan ini?" tanya Melati sambil menatap Raden yang terkapar tak berdaya. Kemudian, dia meneruskan dengan ekspresi masam, "Dia pasti akan menyebarkan kejadian ini. Aku nggak masalah, tapi kamu masih jomblo. Siapa yang berani menikah denganmu kalau seperti ini?"

"Kak, kamu ...." Tirta merasa terharu karena Melati malah mengkhawatirkan dirinya. Padahal, Melati akan menanggung konsekuensi yang lebih parah jika masalah ini tersebar.

"Nggak apa-apa, Kak. Aku punya cara untuk membuatnya melupakan kejadian malam ini," ujar Tirta.

Tirta berpikir sesaat, lalu teringat pada "Teknik Akupunktur Menghapus Ingatan" yang tercatat dalam buku kuno yang dibacanya tadi. Kebetulan sekali, dia bisa menggunakannya kepada Raden. Teknik ini bisa membuat orang kehilangan ingatan jangka pendek.

"Serius? Syukurlah! Itu artinya, aku bisa mencarimu lagi nanti untuk berhubungan intim!" seru Melati yang kegirangan.

Tirta sungguh tidak berdaya menghadapi wanita ini. Yang ada di pikiran Melati hanya berhubungan intim dengannya. Namun, prioritas utama untuk sekarang adalah membereskan Raden.

Tanpa berbasa-basi, Tirta mengeluarkan jarum perak dari sakunya, lalu menancapkan satu per satu jarum itu ke titik akupunktur yang tertulis dalam buku kuno itu.

Selama proses akupunktur, Tirta benar-benar fokus, bahkan tangannya tidak gemetaran sedikit pun. Baik itu titik akupunktur, tenaga, maupun kedalamannya, semua sesuai dengan yang diajarkan buku kuno itu.

Ini pertama kalinya Tirta mencoba teknik akupunktur ini. Dia kurang yakin dengan kemampuannya, tetapi tidak punya pilihan selain mencoba. Kalau ayah Tirta masih hidup, dia pasti sangat terkejut karena ayahnya tidak sanggup melakukan teknik akupunktur ini.

Lima belas menit telah berlalu. Sesuai instruksi dalam buku kuno, Tirta pelan-pelan mencabut semua jarum peraknya.

"Tirta, kamu yakin bisa berhasil? Dia akan melupakan kejadian malam ini?" tanya Melati. Sejak tadi, dia tidak berani berbicara karena takut mengganggu fokus Tirta.

"Kita akan tahu nanti. Kalau berhasil, Raden pasti akan lupa, asalkan nggak diberi rangsangan besar. Kak, kamu nggak usah ikut. Tunggu saja di rumah. Aku akan segera kembali," ujar Tirta. Kemudian, dia mencoba untuk mengangkat Raden dan ternyata sangat mudah. Dia pun bergegas pergi.

"Hati-hati!" pesan Melati dengan cemas sambil menatap punggung Tirta. Sesudahnya, dia mulai membersihkan bercak darah di rumah supaya tidak ketahuan oleh mertuanya.

Tidak berselang lama, Tirta membawa Raden ke hutan kecil dan menurunkannya di sana. Setelah bersembunyi di balik batu besar, dia melemparkan kerikil kepada Raden untuk membangunkannya.

"Aduh, sakit sekali!" Raden yang kesakitan pun bangkit, lalu memandang ke sekeliling. Tiba-tiba, dia berteriak ketakutan seperti melihat hantu.

"Buset! Bukannya aku dari klinik Tirta? Kenapa langit tiba-tiba sudah gelap dan aku berada di hutan? Apa yang terjadi? Apa ini ulah hantu?"
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (11)
goodnovel comment avatar
Abdul Nasir
teruskan ceritanya.
goodnovel comment avatar
Achmad Thamrin
memang penulis Mejadi kan pembaca semakin tertarik dengan alurnya..mantabb
goodnovel comment avatar
Iron Mustapa
preman penakut.. ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dokter Ajaib Primadona Desa   Bab 1922

    Anggota sekte lain juga bertanya, "Kenapa kamu melarang kami mencari barang berharga sekte yang hilang?"Gatra hanya mendesah dan tidak ingin menjelaskan, "Hais ...."Dari keempat anggota sekte yang datang, pria tua yang merupakan pesilat tingkat semi abadi bertanya kepada belasan murid dengan ketus, "Kalian yang bilang saja, sebenarnya apa yang terjadi tadi? Siapa yang melukai paman seperguruan kalian?"Pria tua itu bernama Respati. Dia adalah wakil ketua Sekte Abhra. Tentu saja para murid tidak berani menentang Respati. Ditambah lagi, mereka juga ingin balas dendam.Dalam waktu kurang dari 2 menit, para murid menceritakan semua masalah yang terjadi tadi. Setelah mendengar cerita para murid, ekspresi ketiga pria tua dan wanita cantik itu berubah drastis. Mereka berkomentar."Apa?""Semua ini perbuatan bajingan mesum dari dunia fana yang bernama Tirta itu?""Tirta juga yang bekerja sama dengan murid wanita bernama Amaris untuk mencuri barang berharga?""Kalian yakin kalian nggak berboh

  • Dokter Ajaib Primadona Desa   Bab 1921

    Tirta tertawa mendengar perkataan Gatra. Dia bertanya, "Kamu mau mengampuniku? Tapi, aku nggak mau mengampunimu. Tadi kamu maki Bi Elisa 'wanita jalang', 'kan?"Gatra menyahut, "Bukan aku ... aku nggak bilang begitu ...."Gatra yang merasa bersalah menunduk. Dia makin takut setelah merasakan energi internal di dalam tubuhnya hanya tersisa sedikit. Gatra sama sekali tidak berani bertatapan dengan Tirta.Tirta yang perhitungan berkata, "Aku kasihan lihat kamu sudah tua, jadi kamu cukup minta maaf pada Bi Elisa. Kalau dia maafkan kamu, aku nggak akan buat perhitungan denganmu lagi. Kalau nggak, aku nggak akan mengampunimu."Selesai bicara, Tirta melepaskan Gatra. Sementara itu, Gatra tidak berani melawan. Dia menahan kekesalannya dan berjalan terhuyung ke depan Elisa.Gatra berucap, "Maaf ... Nona ... aku yang bicara terlalu kasar. Kuharap kamu nggak salahkan aku."Elisa menimpali, "Sudahlah, Tirta. Ayo kita pergi. Amaris, setelah masalah ini terjadi, kamu juga nggak perlu lanjut jadi mur

  • Dokter Ajaib Primadona Desa   Bab 1920

    Setelah tahu kondisi mereka, belasan murid ketakutan setengah mati. Mereka langsung menuruti kemauan Tirta sebelumnya dan berbicara sambil bersujud kepada Amaris."Jangan bunuh aku! Aku mau hidup!""Amaris, maaf! Aku salah, seharusnya tadi aku nggak menegurmu! Tolong maafkan aku!"Amaris menimpali dengan gugup, "Kalian ... berdiri dulu. Ini bukan salah kalian, Azlan yang berbohong sehingga kalian percaya. Tapi, Tuan Tirta yang putuskan untuk ampuni kalian atau nggak. Aku nggak berhak buat keputusan, kalian nggak usah memohon padaku lagi."Mendengar ucapan Amaris, belasan murid berbalik dan berlutut di depan Tirta sembari memohon. Tirta pusing mendengar suara mereka. Dia menegur, "Diam! Ribut sekali!"Kemudian, Tirta mengorek telinga seraya berujar kepada Gatra, "Tua bangka, giliran kamu!""Tirta, kamu ... jangan terlalu sombong!" tegur Gatra. Sekarang dia tidak menutupi rasa takutnya lagi.Meskipun Gatra adalah pesilat energi internal tahap puncak dan tetua yang mengurus hukuman, dia j

  • Dokter Ajaib Primadona Desa   Bab 1919

    Amaris sama sekali tidak memegang senjata. Dia yang takut langsung bersembunyi di belakang Tirta dan memelas, "Ah ... Tuan Tir ... eh, salah ... Mr.P, tolong aku!"Bahkan wajah Tirta juga memerah setelah mendengar kata-kata Amaris. Dia menanggapi, "Amaris, kamu panggil aku Tirta saja. Mereka sudah tahu Mr.P-ku perkasa, nggak usah bilang lagi."Namun, tangan Tirta tidak berhenti bergerak. Ting! Ting! Ting! Terdengar suara dentingan beruntun. Tirta menjadikan tangannya sebagai pedang, dia langsung mematahkan pedang belasan murid itu dalam sekejap!Fisik pemurni energi tingkat pembentukan fondasi tahap kelima puncak sangat kuat. Biarpun sama sekali tidak mengerahkan kekuatan spiritual, tenaganya sudah cukup mematahkan besi rongsokan ini dengan mudah.Belasan murid Sekte Abhra memegang pedang patah dengan ekspresi ketakutan. Mereka memandang Gatra dan berbicara dengan suara bergetar."Ini ....""Paman, apa yang harus kita lakukan tanpa senjata?"Salah satu murid pria pernah mengikuti turna

  • Dokter Ajaib Primadona Desa   Bab 1918

    Amaris menggigit bibirnya dan menjelaskan dengan ragu, "Tuan Tirta, mereka itu anggota sekteku. Pasti Azlan memutarbalikkan fakta. Usahakan jangan bertindak, biar aku yang jelaskan pada mereka. Nanti kamu cuma perlu bersikeras menyangkal kamu itu bukan Tirta, bilang saja kamu itu Mr.P. Mungkin Paman akan membiarkan kita pergi."Gatra mendekat sambil memegang pedang. Dia mendengus dan memarahi, "Untuk apa kamu jelaskan lagi? Dasar pengkhianat, ternyata kamu bersekongkol dengan orang luar untuk mencuri barang berharga di sekte kita! Kamu pantas mati!"Gatra menegaskan, "Hari ini, jangan harap kalian bisa meninggalkan area Sekte Abhra! Serahkan barang berharga itu dan aku akan membiarkan kalian mati tanpa merasakan penderitaan!"Ngung! Pedang di tangan Gatra bergetar karena dia mengerahkan tenaganya.Amaris makin panik setelah mendengar ucapan Gatra. Dia berusaha menjelaskan, "Paman, bukan aku yang berbuat begitu! Kak Azlan memfitnahku ... aku sama sekali nggak tahu tentang barang berharg

  • Dokter Ajaib Primadona Desa   Bab 1917

    Orang-orang ini buru-buru turun dari gunung karena kucing putih mencuri barang berharga di sekte. Kebetulan mereka melewati tempat ini.Mendengar perkataan Gatra, belasan murid pun meninggalkan 2 orang untuk menjaga Azlan yang terluka parah. Yang lain hanya bisa memendam amarah mereka.Mereka hendak mengikuti Gatra untuk mencari kucing putih itu. Namun, mencari seekor kucing putih di daerah pegunungan yang dipenuhi hutan lebat tidak mudah.Saat mereka sedang gundah, Azlan yang tiba-tiba teringat sesuatu berteriak, "Paman, tadi aku lihat ada wanita yang sangat cantik selain bajingan mesum itu. Waktu berjalan kemari, sepertinya dia menggendong seekor kucing putih dan kaki kiri kucing itu terluka."Ekspresi Gatra berubah drastis. Dia segera bertanya, "Benar, memang binatang sialan itu. Mereka pergi ke arah mana?""Paman, mereka melewati jalan untuk turun dari gunung," sahut Azlan sembari menunjuk ke suatu arah.Ditambah lagi, Azlan membenci Tirta dan Amaris. Dia juga memfitnah, "Selain it

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status