Share

Chapter 2

“Baiklah, kalau saya mengganggu istirahat anda. Saya pamit dulu,” Aleena membalikkan badannya untuk pergi.

“Aku tahu, kamu ke sini karena demi voting! Tapi aku tidak bisa memberitahumu sekarang, aku memilih apa!” kata Alya.

Aleena kembali berjalan mendekati Alya dan sedikit mengerutkan dahinya, tanpa sedikit bertanya apa maksud dari ucapan Alya.

“Presdir Aleena, kosmetik yang akan anda luncurkan adalah produk untuk kalangan muda. Setahuku, dalam hidupmu tak ada yang lain selain pekerjaan,” cetus Alya.

“Bagaimana bisa kau membuatku percaya pada orang yang tak punya minat? Bisakah mengelola produk seperti itu?” lanjut Alya dengan tegas.

Hati Aleena sebenarnya sudah marah mendengar perkataan Alya yang sedikit menyakitkan. Namun ia menahannya, agar bisa mendapatkan hati dan voting baik dari Alya.

“Maaf direktur, bolehkah saya bertanya pada anda?” kata Aleena. “Apa arti hidup bagi anda?” tanya Aleena.

“Apakah harus melahirkan anak? Membersihkan kotoran dan kencingnya? Apa seperti itu?” celetuk Aleena dengan menyilangkan kedua tangannya di perut sambil sesekali melirik bayi Alya.

Alya mendekati bayinya, kemudian mencium bayinya dan sesekali menatap Aleena.

“Presdir Aleena, apa kau cuma bisa melihat ini?’ tanya Alya dengan ketus.

“Aku percaya, sebentar lagi kau tak akan memiliki kesempatan ini lagi,” lanjut Alya.

Aleena mengehela nafas panjang dan melihat ke arah Alya.

“Baiklah, akan kulihat itu!” Aleena melirik bayi Alya.

“Iblis yang membuat kita kesulitan, membuat anda melewatkan kesempatan untuk menghasilkan uang,” perkataan Aleena tertuju pada bayi tak bersalah itu.

Aleena mencoba menyentuh bayi Alya, bayi Alya meraih jari Aleena, dan juga menggemnya. Aleena sedikit terkejut dengan respon bayi itu.

“Karena kamu sudah ke sini, maka tinggalkan sedikit lama. Aku akan keluar untuk makan di kantin sebentar. Tolong jaga dia ya!?” kata  Alya sambil meninggalkan Aleena dan bayinya.

Aleena bingung bagaimana cara menjaga bayi. Ia sedikit kebingungan, ingin meminta tolong namun tidak ada siapapun di sana.

Dan tiba-tiba bayi Alya menangis, Aleena terkejut dan bingung harus bagaimana.

“Direktur Alya ... direktur Alya ... bayimu menangis! Bagaimana ini!?” Aleena berteriak, ia kebingungan.

Aleena mencoba mencari susu formula si bayi, namun ia tidak menemukannya. Aleena berlari memutari bayi Alya dan terus kebingungan, sedangkan bayi itu belum juga berhenti menangis.

Tiba tiba ada seorang dokter tampan masuk ke kamar Alya.

“Biar aku saja yang menangani bayi ini,” kata dokter dengan tenang.

“Kau bisa memeluknya seperti ini. Pegang kepalanya dengan satu tangan. Lindungi pantat dan pahanya,” dokter itu memberitahu Aleena cara yang tepat menggendong bayi.

Dokter itu menggendong bayi Alya dengan lembut, membuat si bayi terdiam dari tangisannya.

“Bayi baru lahir tulangnya tuh lembut. Jadi berhati hatilah ketika menggendong,” kata dokter dengan tersenyum manis.

Aleena hanya terdiam memperhatikan dokter itu. Sepertinya ia mulai menyukai dokter tampan itu. Matanya tak berkedip sedikit pun ketika melihat sang dokter, jantungnya pun terasa berdetak kencang.

“Meski bayi baru lahir, nikmati saja suara dan pelukannya, kau bisa menenangkannya,” ucap dokter dengan menimang-nimang si bayi.

“Biarkan dia mendengarkan suara detak jantungmu, lalu dia akan merasa aman,” lanjut dokter itu.

Sementara itu, Aleena hanya terdiam. Ia terpaku dengan ketampanan dokter itu.

“Sudah ganteng, pinter jaga bayi. Suami idaman banget,” kata hati Aleena.

“Apa kau mau menggendongnya? Bayi sangat suka sentuhan!” sang dokter menawari Aleena.

Aleena menggelengkan kepalanya, ia takut terjadi sesuatu jika bayi itu ia gendong. Aleena pun salah tingkah ketika dokter tampan itu memperhatikannya.

Bayi Alya sangat menggemaskan, bahkan ketika di gendong oleh dokter tampan ia tersenyum bahagia.

Sedikit lama dokter itu menggendong si bayi, akhirnya ia menurunkan si bayi ke tempat tidurnya. Saat akan berpamitan, dokter itu tidak sengaja menabrak Aleena membuat Aleena hampir terjatuh. Namun sang dokter dengan sigap menarik tangan Aleena.

Adegan itu membuat perhatian Alya dan sempat terambil kamera ponsel milik Alya.

“Maaf, saya tadi hanya lewat dan mendengar bayi anda menangis. Jadi saya mencoba menenangkannya dengan menimang-nimang,” dokter itu memberi penjelasan kepada Alya.

“Terimakasih, dokter,” ucap sopan Alya.

“Sudah tugas saya, kalau begitu saya pamit dulu ya!?” ujar Daffin.

Aleena dan Alya mengangguk, tanda setuju jika  Daffin meninggalkan mereka.

Tanpa basa basi, Aleena pergi meninggalkan Alya. Alya mengejarnya, namun tidak mendapatkan Aleena.

Entah bagaimana, tiba-tiba Aleena melangkahkan kakinya hingga berada di ruang dokter. Tak di sengaja Aleena melihat Daffin yang sedang mengganti pakaiannya. Badannya besar penuh dengan otot, terlihat semakin tampan dan semakin membuat hati Aleena terpesona.

Aleena terdiam melihat Daffin, tetapi Daffin masih belum sadar jika ada keberadaan sosok Aleena. Tiba-tiba ponsel Aleena berdering, membuat Daffin melihat ke arah Aleena.

“Hallo! Maaf, aku sedang sibuk. Nanti saja kamu hubungi aku lagi,” kata Aleena menjawab telepon.

Karena tak mau dirinya malu di hadapan Daffin, Aleena pun berakting.

“Eh, tapi aku dimana ya ini? Apa aku di ruanganmu?” Aleena mendekati Daffin dan seolah bertanya padanya.

Daffin hanya terheran, membuatnya melongo melihat keberadaan Aleena di sana.

“Eh aku sudah selesai telepon, kamu lanjutkan lagi,” Aleena duduk di kursi singgasana Daffin.

Daffin masih terheran melihat sikap aneh Aleena, ia belum menjawab 1 patah kata pun sedari tadi.

Akhirnya Daffin bertindak, ia mendekat ke Aleena dengan kemeja yang masih belum ia kancingkan.

“Kamu masih mau lihat?” tanya Daffin sedikit kesal.

“Oh, maaf! Aku lupa membawa kartu namaku,” kata Aleena sembari membuka dompetnya.

“Dari sebelumnya, aku tulus ingin berkenalan denganmu,” lanjut Aleena tanpa tau malu.

Daffin mendorong kursi Aleena hingga menatap meja, membungkukkan tubuhnya hingga jarak antara Aleena begitu dekat.

“Nona, kamu tau kan ini kantorku?” ucap  Daffin tegas.

Aleena hanya tersenyum tak menjawab perkataan Daffin.

“Dokter, pernah gak kamu berpikir. Ini mungkin takdir yang membiarkanku masuk kantormu?” Aleena mendekatkan wajahnya dengan Daffin.

“Gimana kalau kita bertukar nomor handphone?” kata Aleena.

Belum sempat menjawab, di luar ruangannya ada suara yang membuat Daffin menyeret Aleena ke dalam ruang ganti. Sedikit mendekap Aleena dan menyuruh Aleena untuk menutup mulutnya. Daffin tidak mau ada yang tahu kalau ia bersama dengan Aleena.

“Daffin, jadwal minggu depan sudah keluar. Apa kau ingin melihatnya?” tanya Edo dari luar ruang ganti.

“Taruh saja di meja! nanti aku lihat,” ujar Daffin.

“Kamu ngapain ganti baju sampai menutup tirainya? Biasanya juga dibuka,” Edo kembali bertanya dan mencoba membuka tirainya, namun tak bisa.

“Ya ganti bajulah, jangan dibuka. Aku malu,” Daffin mencari alasan.

“Tapi aku butuh tanda tanganmu sekarang!” Paksa Edo.

“Sudah nanti saja aku tanda tangani, aku masih mengganti celana,” Daffin menahan tirainya agar tidak di buka oleh Edo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status