Edo bersih keras terus mencoba membuka tirai itu. Namun dengan makin kuat Daffin menahannya, sementara itu Aleena hanya tersenyum melihat adegan itu.
“Ya sudah kalau begitu aku keluar dulu,” Edo berpura-pura meninggalkan ruangan, padahal ia hanya mondar-mandir di situ
Tangan Daffin melepaskan tirai yang sedari tadi ia tahan, kemudian dengan usil Edo membuka tirai itu dan betapa terkejutnya ia melihat Daffin yang sedang berduaan dengan Aleena. Ditambah lagi kancing kemeja Daffin yang masih terbuka, membuat Edo menjadi salah sangka. Edo pun berpikiran kotor terhadap Daffin dan Aleena
Edo pun menutup tirai itu dengan ekspresi wajah yang bertanya-tanya juga merasa bersalah, namun ia diam tanpa bertanya.
“Ups … maafkan aku, aku mengganggumu,” Edo menaruh jadwal kerjanya di meja Daffin kemudian pergi meninggalkan mereka.
“Temen kamu sudah pergi tuh,” kata Aleena sambil menahan tawa.
Daffin tidak berkata apa-apa, wajahnya memerah tersipu malu.
“Wajah kamu merah tuh, kamu malu ya?” ledek Aleena.
Daffin tetap saja diam tak menjawab pertanyaan Aleena. Sementara itu Aleena melangkahkan kakinya keluar dari ruang ganti.
“Ya sudah kalau begitu aku mau pergi,” pamit Aleena.
“Ya silahkan,” kata Daffin. “Oh ya, di kantor ini kamu tidak boleh sembarangan masuk,” Daffin menambahkan kalimatnya, tangannya mulai mengaitkan satu persatu kancing baju yang belum sempat ia kancing sedari tadi.
“Aku gak sembarangan masuk, tadi situasimu darurat,” Aleena menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah Daffin.
“Darurat maksudnya?” Daffin bertanya tak mengerti.
“Sudahlah lupakan, lagi pula aku membantumu barusan,” Aleena meninggalkan ruangan Daffin
Di lobby rumah sakit Dimas sudah menunggu Aleena dengan cemas.
“Presdir Aleena kemana saja? Saya sulit mencari anda?” tanya Dimas cemas.
“Dimas, pernah gak kamu bertemu dengan malaikat?” tanya Aleena dengan begitu ceria, membuat Dimas kebingungan dengan sikap Aleena.
“Hah? Malaikat?” Dimas tidak tau apa maksud dari Aleena.
“Iya, malaikat yang turun dari langit untuk membawa kebahagiaan untukmu,” kata Aleena.
Dimas terheran dan ia tidak menjawab pertanyaan Aleena. Dimas hanya menganggukkan kepalanya menyetujui apa saja yang di bicarakan presdirnya tersebut.
*
Hari ini Aleena pulang ke rumah orangtuanya untuk mengunjungi papa dan mamanya.
“Ku dengar bulan lalu kamu mengganti juru bicara perusahaan?” tanya Hendra dengan nada sedikit marah.
“Aku tidak mengganti juru bicara perusahaan. Mereka mengundurkan diri sendiri maka dari itu aku harus mencari penggantinya,” jawab Aleena dengan santai.
“Kamu jangan bohong!” Bentak Hendra
“Untuk apa aku berbohong, papa memang selalu mendengar wanita itu daripada aku,” Aleena mulai terbawa emosi.
“Kalau begitu siapkan diri kamu untuk segera menikah!” gertak Hendra.
“Aku tidak mau menikah!” tolak Aleena dengan tegas.
“Kenapa kamu tidak mau menikah? Kamu sudah cukup umur,”
“Apa untungnya aku menikah?” bantah Aleena dengan nada yang santai namun sedikit membentak.
Di balik pintu, mama tiri dan adik tiri Aleena sedang menguping pembicaraan Aleena dan papanya.
“Ma, jangan menguping,” cegah Aldo.
“Sstt ... diam kamu anak kecil, mama ingin tau apa yang mereka bicarakan,” bisik Rahma
“Jangan ikut urusan mereka ma!” Aldo bersih keras membujuk mamanya pergi dari situ tapi mamanya tidak mau dan tetap tinggal.
Sementara Hendra masih tetap memaksa Aleena untuk menikah.
“Kamu ingat, dalam setahun menikahlah dan punya anak. Jika kamu tidak bisa menyelesaikannya kamu tak akan menang voting seluruh dewan direksi!” ancam Hendra pada Aleena.
“Lagi pula sebenarnya kamu bisa batalkan produk barumu dan kamu tidak perlu capek-capek menang voting,” lanjut Hendra.
“Aku harus menang voting itu pokoknya,” Aleena dengan keras hati masih kukuh dengan pendiriannya.
Aleena mulai kesal menanggapi perkataan papanya dan akhirnya ia pergi meninggalkan Hendra. Di pintu keluar, Rahma menghentikan langkah Aleena.
“Aleena, makanlah dulu sebelum pulang,” ajak Rahma pura-pura ramah.
“Siapa yang mau makan masakanmu, itu tidak enak!” jawab Aleena dengan angkuh dan meninggalkan Rahma.
Hubungan antara Rahma dan Aleena memang tidak baik. Dulu Aleena sangat menentang pernikahan Hendra dengan Rahma. Dalam hati Aleena, mama kandungnya lah yang akan tetap di hatinya. Sedangkan mama tiri tidak akan bisa menggantikan posisi itu.
Aleena pergi dan berlalu, namun Aldo membuntuti Aleena.
“Kak ... kakak ...” teriak Aldo sambil terus membuntuti Aleena.
Aleena terus berjalan keluar rumah tanpa mendengar sapaan adiknya.
“Kak ... kakak … berhentilah! Aku ingin bicara sesuatu,” kata Aldo berhasil menghentikan langkah Aleena.
Aleena tidak berbicara sepatah katapun, ia hanya berhenti dengan sebal dan menoleh ke arah adiknya.
“Ada apa?” tanya Aleena dengan nada kesal.
“Kak, tolong pinjamkan aku uang 10 juta untuk membayar hutang. Lagipula aku kan adikmu,” Aldo memohon kepada Aleena.
“Bisakah kau sedikit berbelas kasih kepadaku?” mata Aldo berkaca kaca, ia kembali memohon kepada Aleena.
“Kak, aku sungguh tak menggunakan uangnya untuk hal buruk. Beri aku waktu sebulan, aku pasti akan mengembalikan uangmu setelah hutangku lunas,” Aldo memberi penjelasan.
“Oke, kuberi waktu kamu seminggu. Kalau tidak, tak akan ada kartu kredit dalam hidupmu!” ancam Aleena.
Tanpa mendengarkan jawaban dari Aldo, Aleena langsung masuk mobilnya dan meninggalkan rumah papanya.
Dalam perjalanan pulang, di sepanjang jalan Aleena menyetir sambil melamun. Entah apa yang Aleena pikirkan, mungkin desakan dari papanya atau tentang produk barunya. Yang pasti membuat Aleena tampak begitu berantakan.
Sesampainya di rumah, Aleena menyalakan lampu rumahnya. Ia melepas sepatu, melepas perhiasan dan mulai ke dapur untuk menghangatkan susu di microwave.
Di dalam hidup Aleena tidak ada yang lain selain pekerjaan. Pekerjaan merupakan hal paling membahagiakan dalam hidupnya. Dan menciptakan produk kosmetik dengan inovasi terbaru merupakan impian Aleena.
Tekanan pernikahan, mempunyai anak, ini dan itu seakan menjadi beban pikiran Aleena.
Kring ... kring ... kring ...
Ponsel Aleena berdering, dengan sangat malas ia mengangkat teleponnya.
“Hallo,” ucap Aleena dengan malas.
“Presdir Aleena, ketua baru saja mengumumkan ke dewan direksi untuk menangguhkan produk kosmetik terbaru,” kata Dimas dari balik telepon.
“Baiklah, aku tau,” Aleena langsung menutup teleponnya.
Ia membaringkan tubuhnya di sofa, pikirannya tertuju pada kenangan beberapa tahun silam.
“Sebenarnya dalam kehidupanku, yang aku inginkan hanya sederhana. Sebelum usia 30 tahun, aku sudah mempunyai rumah, seorang anak, dan memiliki produk kosmetik sendiri,” Alesya bercerita kepada Aleena.
Kata yang di ucapkan Alesya itu selalu terngiang di telinga Aleena, hingga akhirnya membuat pikirannya terbuka.
“Pak Tua, aku janji padamu! Aku akan menikah dan punya anak dalam setahun. Tapi sebaiknya kau juga menepati janjimu,” Aleena mengirimkan voicenote kepada papanya.
Usai mengirimkan voicenote kepada Hendra, Aleena memperagakan teknik menggendong bayi yang di ajari oleh dokter Daffin.
“Menggendong bayi tidaklah sulit. Aku akan punya anak,” kata Aleena pada diri sendiri.“Bayi laki-laki sepertinya lucu,” sambungnya sambil membayangkan.Keesokan harinya Aleena pergi ke aula untuk latihan wushu. Saat latihan, ia selalu menang. Pada latihannya yang terakhir, tiba tiba Dimas datang menghampiri Aleena.“Presdir, ini daftar kencan buta yang telah ku siapkan,” Dimas menyodorkan tabletnya kepada Aleena.Dimas bertanya apakah orang orang ini masuk kriteria Aleena. Dengan ketus Aleena menjawab bahwa semua orang yang ada di daftar kencan buta itu jelek dan tidak masuk dalam kriterianya.Dimas jadi serba salah di buatnya, ia bingung harus mencarikan calon suami seperti apa untuk bosnya itu.“Lalu seperti apa yang masuk kriteria presdir?” tanya Dimas sambil memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah.“Apa seperti saya kriteria presdir?” lanjutnya.Aleena tidak
“Jika tidak ada lagi, kamu boleh pergi,” kata Daffin mempersilahkan.“Dokter Daffin, apa kau mau menikah denganku?” tanya Aleena tiba-tiba, membuat Daffin sedikit membelalakkan matanya.“Apa?” Daffin sedikit terkejut.“Oh, maksudku apakah kamu sudah punya pacar?” Aleena mengalihkan pertanyaannya dengan pertanyaan lain.“Ini adalah privasiku. Aku tak bisa menjawabnya.”“Artinya tidak punya kan?” Aleena terus mendesak pertanyaan kepada Daffin.“Aneh sekali. Kamu tampan, baik hati, punya kepribadian yang lembut, dan juga ahli bedah. Harusnya kamu sangat popular,” Aleena terus bicara membuat Daffin merasa risih mendengarnya.“Jika kamu sudah baikan silahkan keluar, aku harus bekerja. Terimakasih,” Daffin mempersilahkan Aleena pergi.“Baiklah, aku akan pergi. Terimakasih dokter Daffin sudah mengobatiku,” Aleena bersiap-siap me
“Kamu sebaiknya membawanya ke rumah sakit secepat mungkin!” perintah Daffin.“Lakukan beberapa pemeriksaan rinci dalam bedah toraks dan penyakit dalam, jadi kamu bisa tau apa yang terjadi,” lanjut Daffin.“Aduh, sakit … sakit …” ayah Rosa mengeluh kesakitan.“Dokter Daffin apa seorang ahli bedah toraks atau penyakit dalam?” Rosa menggayuh lengan Daffin.“Aku dari department bedah umum.”“Lalu kapan biasanya kamu di rumah sakit?” Rosa mencoba menggoda Daffin.Daffin membelalakkan matanya merasa risih dengan pertanyaan Rosa dan sikapnya yang sedikit menggelikan itu. Aleena tidak mau kalah dengan Rosa, ia mencoba mengalihkan perhatian Daffin.“Dokter Daffin, kupikir kamu tidak dapat membantu apapun di sini. Jadi kamu boleh pergi!” Aleena mengusir Daffin secara halus.“Pak, ingatlah untuk pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan,&r
“Eh maaf, sepertinya kami tidak pantas menerima ini,” Edo mengembalikan bingkisan kepada Rosa.“Ini memang bukan untukmu!”“Kalau begitu aku duluan, aku sebentar lagi ada praktek,” kata Daffin.Rosa terus berusaha menghalangi Daffin untuk tidak pergi.“Dokter Daffin, bisakah kita berteman?” tanya Rosa dengan genit.Daffin merasa risih, ia kemudian mencoba pergi dari Rosa. Namun Rosa merengek seperti anak kecil. Dan akhirnya Rosa beracting bahwa tangannya yang patah terluka.Edo dan Daffin sudah ingin kembali menolong Rosa, tapi datanglah Aleena mencegah itu semua.“Aleena, kenapa kamu di sini?” tanya Rosa.Aleena tidak menjawab pertanyaan Rosa, ia malah fokus menghampiri Daffin.“Kebetulan sekali! Perkenalkan aku Aleena dan ini Daffin kekasihku,” Aleena menggandeng lengan Daffin, namun Daffin mencoba menghindarinya.“Hah?” Ed
“Duduklah,” perintah Rosa kepada ayahnya.“Tapi ini department bedah umum,” Daffin menjelaskan.“Kamu sangat hebat. Tentu saja, ayahku lebih mempercayaimu.”“Bukankah seperti itu, ayah?” tanya Rosa basa-basi kepada ayahnya.“Iya,” jawab ayah Rosa.“Baiklah, aku akan membantu bapak membuat janji untuk chek up. Dan kita akan tau department mana yang harus di tuju setelah hasil tes keluar.”“Oke, terimakasih dokter Daffin.”“Sama-sama.”“Dokter Daffin, aku membawakanmu secangkir kopi,” Rosa memberikan sebuah tote bag kepada Daffin.“Tidak perlu, terimakasih,” tolak Daffin.Rosa merengek seperti anak kecil. “Ini hanya secangkir kopi, ini mewakili hatiku. Apakah kamu tidak mau meneimanya?” tangisan Rosa semakin menjadi-jadi.“Baiklah, kamu bisa meletakkannya di sini. Terimakas
“Aku sudah mencari kesempatan untuk berbicara denganmu,” ujar Arya.“Oh, untuk apa?”“Presdir Aleena, kamu menjalankan Perusahaanmu dengan sangat baik. Tapi wanita sepertimu, mungkin tidak mengerti tentang semua metode bisnis tersebut.”Aleena tidak menjawab perkataan Arya. Namun sesaat kemudian, pandangannya seakan halu. Ia melihat Daffin berada di café yang sama dengannya. Ia mencoba memalingkan pandangannya, Aleena juga memastikan apakah dia hanya halu atau benar melihat Daffin.Ternyata benar, Daffin berada di café yang sama dengan Aleena pada saat itu. Daffin menemui seorang lelaki tua.“Profesor,” sapa Daffin, lelaki tua itu hanya mengangguk.“Kita bertemu di rumah sakit setiap hari, tapi kamu memintaku untuk datang ke sini setelah bekerja. Apa ada yang ingin kamu katakana padaku?” Daffin menatap dengan serius.“Seharusnya kamu yang ingin mengatakan
Aleena dan Daffin sampai di sebuah tempat.“Terimakasih,” ucap Aleena melepas sabuk pengaman.“Jangan makan makanan dingin!” kata Daffin.“Aku tau.”Malam itu Aleena bersama dengan rekan kerjanya melaksanakan meeting sekaligus makan malam. Sesekali Aleena terlihat memegang perutnya, sepertinya ia sedang menahan sakit.Usai meeting, Aleena dan rekan kerjanya turun dari ruangan menuju lobby.“Terimakasih atas jamuannya, nona Aleena?!” kata salah satu rekan kerjanya.“Sama-sama, terimakasih juga sudah hadir di meeting ini. Semoga kerja sama kita tetap berlanjut,” ucap Aleena.“Baiklah kalau begitu saya dan yang lainnya duluan ya,” pamit rekan kerjanya.“Siap, hati-hati.”Di lobby hotel, tiba-tiba Aleena merasakan sakit perut yang luar biasa. Aleena menjongkokkan tubuhnya dan mencoba menahan sakit perutnya.“Aleena, ini,&r
Daffin menghela nafas panjang, kemudian memulai berbicara.“Ibu, bibi, Lisa, ini adalah … “ Daffin menujuk Aleena, namun kata-katanya berhenti.“Tolong biarkan Daffin menandatangani … “ ucap Aleena terpotong.“Tanda tangan?”“Tanda tangan?”“Tanda Tangan?”“Yang dia maksud adalah … “ kata Daffin.“Maksudnya menadatangani kontrak hidup untuk menemani satu sama lain.”“Apa kamu akan menikah?” tanya Santi.“Benar ibu,” jawab singkat Aleena.“Maaf, kami harus membahas ini dulu,” Santi beranjak dari duduknya, mengajak bibi Daffin dan Lisa untuk berdiskusi.Semua orang yang ada di rumah itu sebenarnya syok. Daffin tidak pernah mengenalkan Aleena kepada keluraganya, namun tiba-tiba hari ini mengajak Aleena ke rumah dan ingin menikahinya.“Menikahlah, aku menyetuj