Share

Chapter 3

Edo bersih keras terus mencoba membuka tirai itu. Namun dengan makin kuat Daffin menahannya, sementara itu Aleena hanya tersenyum melihat adegan itu.

“Ya sudah kalau begitu aku keluar dulu,” Edo berpura-pura meninggalkan ruangan, padahal ia hanya mondar-mandir di situ

Tangan Daffin melepaskan tirai yang sedari tadi ia tahan, kemudian dengan usil Edo membuka tirai itu dan betapa terkejutnya ia melihat Daffin yang sedang berduaan dengan Aleena. Ditambah lagi kancing kemeja Daffin yang masih terbuka, membuat Edo menjadi salah sangka. Edo pun berpikiran kotor terhadap Daffin dan Aleena

Edo pun menutup tirai itu dengan ekspresi wajah yang bertanya-tanya juga merasa bersalah, namun ia diam tanpa bertanya.

“Ups … maafkan aku, aku mengganggumu,” Edo menaruh jadwal kerjanya di meja Daffin kemudian pergi meninggalkan mereka.

“Temen kamu sudah pergi tuh,” kata Aleena sambil menahan tawa.

Daffin tidak berkata apa-apa, wajahnya memerah tersipu malu.

“Wajah kamu merah tuh, kamu malu ya?” ledek Aleena.

Daffin tetap saja diam tak menjawab pertanyaan Aleena. Sementara itu Aleena melangkahkan kakinya keluar dari ruang ganti.

“Ya sudah kalau begitu aku mau pergi,” pamit Aleena.

“Ya silahkan,” kata Daffin. “Oh ya, di kantor ini kamu tidak boleh sembarangan masuk,” Daffin menambahkan kalimatnya, tangannya mulai mengaitkan satu persatu kancing baju yang belum sempat ia kancing sedari tadi.

“Aku gak sembarangan masuk, tadi situasimu darurat,” Aleena menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah Daffin.

“Darurat maksudnya?” Daffin bertanya tak mengerti.

“Sudahlah lupakan, lagi pula aku membantumu barusan,” Aleena meninggalkan ruangan Daffin

Di lobby rumah sakit Dimas sudah menunggu Aleena dengan cemas.

“Presdir Aleena kemana saja? Saya sulit mencari anda?” tanya Dimas cemas.

“Dimas, pernah gak kamu bertemu dengan malaikat?” tanya Aleena dengan begitu ceria, membuat Dimas kebingungan dengan sikap Aleena.

“Hah? Malaikat?” Dimas tidak tau apa maksud dari Aleena.

“Iya, malaikat yang turun dari langit untuk membawa kebahagiaan untukmu,” kata Aleena.

Dimas terheran dan ia tidak menjawab pertanyaan Aleena. Dimas hanya menganggukkan kepalanya menyetujui apa saja yang di bicarakan presdirnya tersebut.

*

Hari ini Aleena pulang ke rumah orangtuanya untuk mengunjungi papa dan mamanya.

“Ku dengar bulan lalu kamu mengganti juru bicara perusahaan?” tanya Hendra dengan nada sedikit marah.

“Aku tidak mengganti juru bicara perusahaan. Mereka mengundurkan diri sendiri maka dari itu aku harus mencari penggantinya,” jawab Aleena dengan santai.

“Kamu jangan bohong!” Bentak Hendra

“Untuk apa aku berbohong, papa memang selalu mendengar wanita itu daripada aku,” Aleena mulai terbawa emosi.

“Kalau begitu siapkan diri kamu untuk segera menikah!” gertak Hendra.

“Aku tidak mau menikah!” tolak Aleena dengan tegas.

“Kenapa kamu tidak mau menikah? Kamu sudah cukup umur,”

“Apa untungnya aku menikah?” bantah Aleena dengan nada yang santai namun sedikit membentak.

Di balik pintu, mama tiri dan adik tiri Aleena sedang menguping pembicaraan Aleena dan papanya.

“Ma, jangan menguping,” cegah Aldo.

“Sstt ... diam kamu anak kecil, mama ingin tau apa yang mereka bicarakan,” bisik Rahma

“Jangan ikut urusan mereka ma!” Aldo bersih keras membujuk mamanya pergi dari situ tapi mamanya tidak mau dan tetap tinggal.

Sementara Hendra masih tetap memaksa Aleena untuk menikah.

“Kamu ingat, dalam setahun menikahlah dan punya anak. Jika kamu tidak bisa menyelesaikannya kamu tak akan menang voting seluruh dewan direksi!” ancam Hendra pada Aleena.

“Lagi pula sebenarnya kamu bisa batalkan produk barumu dan kamu tidak perlu capek-capek menang voting,” lanjut Hendra.

“Aku harus menang voting itu pokoknya,” Aleena dengan keras hati masih kukuh dengan pendiriannya.

Aleena mulai kesal menanggapi perkataan papanya dan akhirnya ia pergi meninggalkan Hendra. Di pintu keluar, Rahma menghentikan langkah Aleena.

“Aleena, makanlah dulu sebelum pulang,” ajak Rahma pura-pura ramah.

“Siapa yang mau makan masakanmu, itu tidak enak!” jawab Aleena dengan angkuh dan meninggalkan Rahma.

Hubungan antara Rahma dan Aleena memang tidak baik. Dulu Aleena sangat menentang pernikahan Hendra dengan Rahma. Dalam hati Aleena, mama kandungnya lah yang akan tetap di hatinya. Sedangkan mama tiri tidak akan bisa menggantikan posisi itu.

Aleena pergi dan berlalu, namun Aldo membuntuti Aleena.

“Kak ... kakak ...” teriak Aldo sambil terus membuntuti Aleena.

Aleena terus berjalan keluar rumah tanpa mendengar sapaan adiknya.

“Kak ... kakak … berhentilah! Aku ingin bicara sesuatu,” kata Aldo berhasil menghentikan langkah Aleena.

Aleena tidak berbicara sepatah katapun, ia hanya berhenti dengan sebal dan menoleh ke arah adiknya.

“Ada apa?” tanya Aleena dengan nada kesal.

“Kak, tolong pinjamkan aku uang 10 juta untuk membayar hutang. Lagipula aku kan adikmu,” Aldo memohon kepada Aleena.

“Bisakah kau sedikit berbelas kasih kepadaku?” mata Aldo berkaca kaca, ia kembali memohon kepada Aleena.

“Kak, aku sungguh tak menggunakan uangnya untuk hal buruk. Beri aku waktu sebulan, aku pasti akan mengembalikan uangmu setelah hutangku lunas,” Aldo memberi penjelasan.

“Oke, kuberi waktu kamu seminggu. Kalau tidak, tak akan ada kartu kredit dalam hidupmu!” ancam Aleena.

Tanpa mendengarkan jawaban dari Aldo, Aleena langsung masuk mobilnya dan meninggalkan rumah papanya.

Dalam perjalanan pulang, di sepanjang jalan Aleena menyetir sambil melamun. Entah apa yang Aleena pikirkan, mungkin desakan dari papanya atau tentang produk barunya. Yang pasti membuat Aleena tampak begitu berantakan.

Sesampainya di rumah, Aleena menyalakan lampu rumahnya. Ia melepas sepatu, melepas perhiasan dan mulai ke dapur untuk menghangatkan susu di microwave.

Di dalam hidup Aleena tidak ada yang lain selain pekerjaan. Pekerjaan merupakan hal paling membahagiakan dalam hidupnya. Dan menciptakan produk kosmetik dengan inovasi terbaru merupakan impian Aleena.

Tekanan pernikahan, mempunyai anak, ini dan itu seakan menjadi beban pikiran Aleena.

Kring ... kring ... kring ...

Ponsel Aleena berdering, dengan sangat malas ia mengangkat teleponnya.

“Hallo,” ucap Aleena dengan malas.

“Presdir Aleena, ketua baru saja mengumumkan ke dewan direksi untuk menangguhkan produk kosmetik terbaru,” kata Dimas dari balik telepon.

“Baiklah, aku tau,” Aleena langsung menutup teleponnya.

Ia membaringkan tubuhnya di sofa, pikirannya tertuju pada kenangan beberapa tahun silam.

“Sebenarnya dalam kehidupanku, yang aku inginkan hanya sederhana. Sebelum usia 30 tahun, aku sudah mempunyai rumah, seorang anak, dan memiliki produk kosmetik sendiri,” Alesya bercerita kepada Aleena.

Kata yang di ucapkan Alesya itu selalu terngiang di telinga Aleena, hingga akhirnya membuat pikirannya terbuka. 

“Pak Tua, aku janji padamu! Aku akan menikah dan punya anak dalam setahun. Tapi sebaiknya kau juga menepati janjimu,” Aleena mengirimkan voicenote kepada papanya.

Usai mengirimkan voicenote kepada Hendra, Aleena memperagakan teknik menggendong bayi yang di ajari oleh dokter Daffin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status