LOGINWajah Devan langsung berubah masam begitu melihat nama yang muncul di layar ponselnya.
Seakan-akan seluruh energi hidupnya tersedot habis hanya dengan satu panggilan. Dengan gerakan paling malas sedunia, ia menggeser tombol hijau. “Halo, Mi…” Nada suaranya datar. Sangat datar. “Kamu di mana?” Suara wanita itu terdengar tajam—tajam seperti pisau dapur baru diasah. Nada bicara yang tidak hanya bertanya… tapi juga menuntut, mengadili, dan memvonis sekaligus. Devan memejamkan mata sejenak. “Di rumah,” jawabnya akhirnya. Tut. Telepon langsung terputus. Devan menatap layar ponselnya tidak percaya. “Ah, kenapa tadi aku harus jujur…” gumamnya sambil mencengkeram rambut sendiri. Ia bisa menebak apa yang akan terjadi nanti: keributan, ceramah, dan mungkin—kalau apes—surat undangan pertemuan keluarga dadakan. “Mi selalu begini…” Devan mengusap wajahnya. “Belum apa-apa sudah marah dulu.” Devan memijat pelipisnya lama, seolah berharap rasa pusingnya bisa ikut menguap bersama napasnya. Hari ini… sungguh hari yang berhasil menguji kesabaran yang sedari tadi sudah setipis tisu murah. Istri yang egois. Dokter yang terlalu ceroboh. Dan sekarang—muncul lagi ras terkuat di muka bumi… Siapa lagi kalau bukan maminya, Luna. Devan meletakkan ponsel ke meja, menatap keatas, seakan minta bantuan pada malaikat mana pun yang kebetulan lewat. “Aku salah apa hari ini, coba…” keluhnya lirih. Setelah telepon tadi terputus, firasatnya berubah jadi sangat-sangat tidak enak. Firasat yang hanya dimiliki anak lelaki yang seumur hidupnya sudah kenyang menghadapi amarah mami sendiri. “Aku yakin Mami lagi di jalan menuju sini. Aku yakin.” Devan menutup wajah dengan bantal. “Kalau mami sudah tanya ‘kamu di mana?’, itu artinya Mami lagi siap-siap ke sini.” “Kenapa dokter itu harus muncul pas hidupku lagi rumit?” Devan berseru lirih sambil memegangi pinggulnya yang masih nyut-nyutan. “Dan kenapa si Otong harus ikut-ikutan beraksi seperti ini?! Rasanya hidupku seperti sedang diuji cobakan yang sangat berat!” Devan merasa jenuh karena sejak tadi hanya berbaring. Ia berdiri sambil menahan rasa perih dan berdenyut di bagian panggul. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu. “Tolong… siapapun… jangan biarkan Mi masuk ke rumah ini sekarang.” Devan merapatkan kedua telapak tangan, seperti berdoa meminta pengampunan. Namun siapa yang berani melarang wanita tersebut? --- Pintu kamar didorong keras, hingga Devan yang sedang tertidur, langsung terkejut. Wajah sang ibu, muncul di ambang pintu. Mata tajam Luna, langsung menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Devan… yang sedang terbaring sendirian sambil menahan sakit. Wajah Luna berubah, dari marah menjadi…tetap marah, tapi ada sedikit iba ketika memandang wajah putranya Ia mendekat cepat, langkahnya mantap, suaranya ketus. “Bagaimana kondisi kamu?” “Baik, Mi…” Jawaban Devan pendek, hambar, dan jelas banget bohong. Luna mengangkat alis. “Bukannya kamu cedera karena olahraga?” “Gak parah, Mi.” Jawaban yang semakin mencurigakan. Padahal jelas-jelas wajah Devan pucat. Luna menghela napas panjang—napas khas ibu yang sudah lelah menghadapi anak laki-laki keras kepala. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandangi putranya lebih seksama. Setipis apa pun usaha Devan menutupi rasa sakit, Luna bisa membaca semuanya seperti membaca buku menu. “Lalu… mana perempuan yang sudah kamu nikahi enam bulan lalu?” Devan menelan ludah. “Vivian sedang melakukan shooting di Bali, Mi.” Luna mengerjap—pelan, tapi berbahaya. Ia menatap Devan seperti singa betina yang siap menikam mangsanya. Devan Diam. Suhu ruangan naik beberapa derajat. Tiba-tiba saja ruangan terasa panas. Meskipun tahu akan memicu badai, ia tetap jujur. Karena untu apa bohong pada Luna? Berbohong pada maminya sama saja berusaha membungkus matahari dengan plastik, meleleh sebelum berhasil. “Lalu…” Nada suara Luna turun, pelan tapi penuh ancaman. “Kamu cedera, tidak bisa bergerak, dan istri kamu malah nggak ada di rumah?” Devan menutup mata. Ini dia… awal bencana. “Mi…” Devan mencoba tersenyum canggung. “Vivian sibuk kerja…” “Kerja?!” Luna membalas dengan suara naik satu oktaf. “Sibuk kerja ketika suaminya cedera?! Devan, kamu ini manusia, bukan furnitur!” Devan ingin membalas, tapi Luna tidak memberi kesempatan. “Kamu itu suaminya. Bukan properti pajangan yang cuma dilihat jika butuh!” Devan sambil menyimak perkataan Luna. Entah darimana pula sang mami dapat istilah furniture. "Kami dengan mami?" Devan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasa nyut-nyutan di pinggulnya makin menjadi. “Mi, jangan marah… Ini bukan salah—” “Salah siapa kalau bukan dia?” Luna menyambar cepat. “Mami tanya, selama enam bulan ini, apa Vivian pernah mengurus kamu? Pernah masak untuk kamu? Pernah peduli kamu suka makan apa? Pernah ada di rumah lebih dari dua hari?!” Diam. Devan cuma bisa menghela napas. Luna berdiri, memegang pinggangnya, matanya menatap langit-langit seperti berusaha menahan diri. “Sudahlah. Aku sudah muak lihat kamu menderita.” Devan memicingkan mata. “Mi… jangan bilang Mami mau—” “Aku mau bicara sama Vivian.” Nada Luna tegas. “Dan dia harus pulang hari ini.” Devan langsung duduk, menyesal karena pinggulnya nyeri, tapi ia tetap memaksa. “Mi, jangan… Vivian bisa marah kalau Mami—” “Bagus,” potong Luna. “Suruh dia marah sekalian. Biar mami lihat seberapa besar keberaniannya melawan mertuanya.” Devan menepuk wajahnya sendiri. “Aku benar-benar butuh hari tenang… Kenapa semua orang datang menyerangku bersamaan begini…” Luna memandang putranya yang merana. “Sudah. Kamu diam saja.” Ia menepuk tangan Devan. “Mami yang urus semuanya.” Bulu kuduk Davin merinding. Devan hanya bisa menelan ludah. Kalau Luna sudah bilang begitu… ---Ponsel Devan bergetar di atas meja kerja.Nama Vivian menyala di layar.Devan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Ekspresinya datar, nyaris dingin. Sudah satu bulan hubungan mereka semakin terasa dingin. Vivian terlalu sibuk dengan pekerjaan bahkan tidak memiliki waktu hanya sekedar bertanya kabar Devan.Begitu juga saat Devan menghubungi Vivian. Yang sering terjadi, rasa kecewa karena yang menerima teleponnya justru manajer istrinya. “Halo,” sapa Vivian. Suara Vivian terdengar cerah. Terlalu cerah.“Sayang,” katanya dengan nada berbunga-bunga, seolah tidak ada jarak yang memisahkan mereka.“Aku mau kasih kabar bagus.”Devan tidak menjawab. Ia hanya bersandar di kursinya, satu tangan memijat pelipis.“Aku dapa kontrak t film layar lebar,” lanjut Vivian cepat, jelas penuh kebanggaan.“Dan aku jadi pemeran utamanya. Full lead, Dev.”Hening."Sayang, kamu dengar aku kan? Kamu pasti sangat bahagia mendengar kabar dari ku."Devan mengerjap perlahan.“Oh,
Sudah satu bulan Vivian berada di Bali.Pulau itu seharusnya memberi ketenangan—laut biru, matahari hangat, dan suasana eksklusif yang selalu berhasil menenangkan banyak orang. Namun bagi Vivian, Bali hanyalah latar. Bukan tempat untuk beristirahat, melainkan panggung sementara sebelum ia kembali ke pusat sorotan yang sesungguhnya.Ia berdiri di balkon vila mewah yang disewa khusus untuknya, mengenakan jubah tipis berwarna putih. Angin sore menyibakkan rambut panjangnya, namun wajahnya sama sekali tidak tampak damai. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, rahangnya mengeras.“Dua bulan?” suaranya meninggi, tajam, nyaris melengking.“Kamu gila, ya?”Manajernya di seberang sana terdiam sejenak, seolah sudah menduga reaksi itu."Aku sudah kejar tayang, bahkan tidur saja hanya 4-5 jam perhari. Ini semua agar syuting cepat selesai dan aku kembali ke jakarta. Tapi kenapa kau justru mengambil kontrak yang baru lagi?" “Vivian, dengarkan dulu,” suara wanita itu terdengar tenang, terlalu ten
Sore harinya, Alicia kembali ke kamar Devan dengan membawa map pemeriksaan berwarna cokelat. Langkahnya ringan, meski pikirannya tidak sepenuhnya demikian. Sinar matahari sore menyelinap melalui jendela tinggi mansion, menorehkan bayangan keemasan di lantai marmer yang dingin.Ia merasa senang.Besok seharusnya menjadi hari terakhirnya di mansion ini.Artinya, ia bisa kembali ke rumah.Namun perasaan senang itu hanya bertahan beberapa detik, sebelum dadanya kembali terasa sesak. Ada nyeri yang sangat nyata menjalar, bukan sakit fisik, melainkan luka yang sudah menaut yang selalu menolak sembuh.Rumah.Tempat yang seharusnya menjadi tempat yang paling ia rindukan, justru menyimpan terlalu banyak kenangan pahit. Luka yang tidak berdarah, tapi perihnya menetap. Suara, wajah-wajah serta kejadian beberapa waktu yang lalu, semuanya menumpuk di sana. Alicia tahu, pulang berarti berhadapan lagi dengan semua itu.Jujur saja, ia merasa lelah. Meskipun di mansion ini terasa menenangkan, tapi tet
Alicia menutup buku catatan medis dengan hati-hati. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sinar matahari menembus jendela besar kamar Devan, membuat ruangan itu terasa hangat—jauh lebih hidup dibandingkan hari-hari sebelumnya.“Kondisi Anda stabil,” ucap Alicia lembut sambil merapikan alat tensi.“Tekanan darah normal. Otot kaki juga sudah tidak tegang seperti kemarin.”Devan menggerakkan kakinya perlahan. Tidak ada lagi rasa kram yang menusuk. Ia mengangguk kecil.“Berarti kamu sudah tidak perlu lagi di sini?” tanyanya santai, meski ada sesuatu yang samar di balik nadanya.Alicia tersenyum—lega, tulus.“Kalau tidak ada keluhan baru, iya. Satu atau dua hari lagi saya kembali ke tugas semula.”Senyum itu bertahan di wajahnya. Bukan senyum penjilat yang biasa ia kenakan demi bertahan hidup, melainkan senyum yang lahir dari rasa puas karena berhasil. Tiga hari ini ia bekerja tanpa cela. Tanpa perawat pendamping, tanpa dokter lain ikut campur. Semua ia lakukan sendiri—memantau obat, m
Dua tahun yang lalu.Saat itu, Alicia benar-benar kehilangan kendali.Wajahnya memucat, matanya merah, tubuhnya gemetar oleh emosi yang sudah terlalu lama ditahan. Charlotte masih ingat jelas, bagaimana tangan Alicia terangkat, lalu—Plak!Tamparan pertama mendarat di pipinya.Belum sempat ia bereaksi—Plak!Tamparan kedua.Keras.Nyaring.Tanpa ragu.Charlotte jatuh terduduk, pipinya panas, telinganya berdenging. Namun yang lebih ia ingat bukan rasa sakit itu.Melainkan apa yang terjadi setelahnya.Jerry melihat dengan matanya sendiri ketika Alicia menampar Charlotte.Wajah pria itu berubah total.Bukan marah biasa—melainkan kemarahan dingin yang mengerikan.Tanpa bertanya.Tanpa mendengar penjelasan.Ia hanya memberi satu perintah.“Bawa dia.”Alicia tidak diberi kesempatan membela diri.Ia diculik.Diseret ke sebuah ruangan gelap yang tidak dikenalnya.Charlotte tidak melihat langsung semuanya.Namun ia mendengar ceritanya.Dan ia tahu—Jerry tidak bercanda.“Tampar dia,” perintah
Jerry berdiri di depan rumah mewah itu cukup lama sebelum akhirnya menekan bel.Rumah yang dulu terasa akrab, kini tampak asing.Dindingnya masih sama. Halamannya tetap rapi. Lampu-lampu menyala seperti biasa.Namun ada sesuatu yang dingin, menusuk, seolah rumah ini tidak pernah benar-benar hangat.Atau mungkin…baru kali ini Jerry menyadarinya.Pintu terbuka.Sofia berdiri di sana. Begitu melihat Jerry, wajahnya langsung berubah. Senyum hangat, senyum yang terlalu cepat, terlalu dipaksakan. Senyum yang selalu ia berikan untuk Jerry.“Jerry?” katanya lembut. “Kamu datang?”“Aku mau bicara,” jawab Jerry singkat.Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk.Dan seketika itu juga—Tangisan menyambutnya.Charlotte.Gadis itu duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, bahu gemetar. Matanya sembab, pipinya memerah, wajahnya pucat seperti korban paling malang di dunia. Tonny duduk di sampingnya, satu tangan mengusap punggung Charlotte dengan penuh proteksi, seolah gadis itu rapuh dan ha







