LOGIN“Simbah kenapa? Sakitnya kumat?” Kakeknya duduk setengah rebah, napas naik–turun pendek. Kulitnya legam, keriputnya dalam. Mata tua yang biasanya hangat kini berkabut.
“Tenang, Trio. Hanya batuk.”
“Ini bukan batuk biasa,” Satrio buru-buru menjerang air, memotong kunyit, menumbuk jahe.
“Simbah minum hangat dulu, ya.”
Kakek Satrio duduk, menatapnya, meringis, lalu tersenyum tipis. Tangan kurusnya meraih bantal, mengambil sesuatu dari bawahnya.
“Ini,” katanya. Sebuah liontin tua berpindah ke tangan Satrio. Bingkai logam kusam, batu hijau bening di tengah yang punya kilau samar. Kilaunya menyimpan suatu rahasia panjang tentang rahasia keluarganya. “warisan keluarga. Pegang baik-baik. Jangan jatuh ke tangan orang serakah!”
Satrio menyentuhnya. “Ini apa, Simbah? K-kok hangat?”
“Nanti kamu tahu sendiri,” napas kakek memendek. “Ingatlah, tujuan utamamu bukan dunia! Jangan tunduk kalau dihina, jangan sombong kalau dipuji, tolong yang butuh, dan abaikan yang bersorak saat kamu jatuh!”
“Jangan ngomong jauh-jauh. Kita ke puskesmas, ya? Aku pinjam motor Pak RT.”
Kakek menggeleng lembut. “Nda usah, Trio. Aku sudah cukup tua.” Ia tersenyum. “Maaf… maaf Simbah ndak bisa lihat kamu berhasil.”
“Simbah…” suara Satrio serak. “Jangan sekarang!”
Kakek menatapnya lama, penuh sayang yang tenang. “Kamu anak baik. Dari dulu. Tetaplah begitu. Ingat pesan Simbah tadi, ya… Simbah sudah waktunya. Hanya ini yang Simbah bisa wariskan ke kamu.”
Satu tarikan napas.
Dua.
Tiga.
Lalu…
hening.
Senyum yang tadi masih tersisa, tapi tidak ada lagi kehidupan di belakangnya.
“Simbah?”
Satrio menyentuh pergelangan tangan, mengecek nafas, menggoyang-goyang tubuh, tapi tidak ada respon. “Simbah!”
Ia mengguncang bahu rapuh itu. “Simbah, bangun! Jangan tinggalin aku sendirian. Simbah… tolong…”
Tetangga yang sedari tadi menguping dari balik pintu, tiba-tiba datang. Niat mereka tidak menolong, tidak pula prihatin. Mereka malah memberi sumpah-serapah dan mengatai Simbah meski mereka melihat sendiri proses sakaratul mautnya.
“Ya, sudah takdir.”
“Dulu kan sudah dibilang, kakekmu keras kepala.”
“Kalau dulu mau nurut sama pejabat desa, mungkin hidupnya lebih enak.”
“Keluar!” Suara Satrio datar, pecah di ujung. “Aku mau memandikan kakek.”
Satrio memandikan tubuh yang dulu kuat merawatnya. Ia memakaikan kain kafan, tangannya gemetar, air matanya jatuh tanpa suara.
Pemakaman berlangsung menjelang senja.
Langit oranye pudar, angin agak dingin.
Yang datang hanya Pak Modin, dua tetangga yang sering meminjam cangkul, dan seorang bocah yang ikut karena penasaran.
Ratih tidak ada.
Surya? Apalagi.
Doa singkat, tanah ditimbun. Nisan sederhana ditancapkan. Tertulis nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat.
Satrio berdiri paling akhir. Tanah masih basah di tangannya; ia tak sadar memegangnya seperti memegang sesuatu yang harus dikembalikan, padahal tak ada lagi yang bisa dikembalikan.
“Simbah, maaf,” katanya pelan. “Aku telat. Aku… nggak sempat bikin bangga.”
Satrio kembali ke rumah sebelum Magrib berkumandang, lama sekali dia meratap. Pak RT memintanya pulang dan memberi wejangan agar dia mendoakan Simbah.
Setelah Magrib, Satrio duduk menyandar dinding, liontin di tangan. Batu hijaunya tampak biasa saja, tapi hangat mengalir dari situ, seolah-olah batu zamrud hijau itu ingin berbicara dengannya.
“Semua orang benar, Simbah,” gumamnya. “Aku nggak bisa apa-apa. Cincin ditendang, kakek pergi, jamu ditertawakan. Aku… kosong.”
Lampu bohlam berkedip.
Seekor ngengat menabrak kap lampu, jatuh, lalu terbang lagi. Satrio memejam, lelahnya menenggelamkan. Dari tidur setengah sadar itu, getar halus membangunkan.
Liontin bergetar pelan, lalu semakin jelas, seperti degup jantung kedua yang menular ke dada Satrio.
Di udara, tepat di atas batu, garis-garis halus membentuk tulisan. Bukan Latin, bukan Arab, tapi Aksara Jawa.
Ha–na–ca–ra–ka.
Muncul–hilang–muncul lagi, seperti tangan yang menulis dari seberang kaca.
“Apa ini…” Satrio terlonjak setengah duduk, tangannya refleks menggenggam liontin lebih erat.
Di kamar reyot itu, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telinga Satrio. Datangnya bukan dari luar, bukan pula tetangga yang nyinyir. Ini juga bukan hantu. Satrio terus mencari sumber suara, sampai dia menyadari kalau Liontin Zamrud Hijau pemberian kakeknya terus bergetar dan bercahaya.
“Le…”
Satrio terjengkang. Suara itu berasal dari Liontin. Dia beberapa kali mengucek matanya, mencubit tangan dan kakinya, bahkan menabrakkan kepalanya di pintu, hanya untuk memastikan kalau itu bukan mimpi.
“Simbah?”
“Jangan takut.” Suara itu tenang. “Hidupmu akan tambah berat. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti.”
“Aku sendirian.” Satrio menelan. “Ratih, sudah pergi. Semua orang menertawakanku. Simbah juga…” Ia tidak melanjutkan.
“Siapa bilang kamu sendirian?” Cahaya di batu berdenyut lebih cepat. Aksara Jawa yang tadi menghilang, kemudian muncul lagi. Aksara itu bergerak perlahan, membentuk sketsa punggung manusia. “Ilmu itu selalu ada dan hanya diwariskan keturunan ketujuh keluarga Piningit.”
Satrio mengusap mata. “Kek, aku tidak paham.”
“Maafkan
Kakek menyimpan cerita ini.”
“Dulu, buyutmu adalah tabib paling disegani di seluruh kadipaten. Orang datang jauh-jauh, dari desa sebelah, bahkan dari kota, hanya untuk minta disembuhkan. Dia tahu ramuan hutan, tahu titik syaraf, tahu doa-doa tua dari kitab kuno. Orang sembuh, anak-anak hidup bahagia tidak ada yang sakit, ibu-ibu selamat melahirkan, semua percaya padanya. Tapi ada satu hal yang membuat dia dibenci, yaitu dia tidak mau tunduk pada lurah dan pejabat desa.”
Satrio mendengarkan dengan mata berair. “Kenapa Simbah nggak pernah cerita dari dulu?”
“Apa gunanya cerita kalau aku sendiri dicap dukun sesat? Orang-orang lebih percaya gosip ketimbang kenyataan. Mereka lupa siapa yang mereka datangi saat sakit dulu. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau semua hinaan itu bukan akhir. Liontin ini bukti bahwa keluarga kita bukan keluarga sembarangan. Kamu bisa jatuh seribu kali, tapi jangan jatuh karena malu jadi pewaris Keluarga Prabawa!”
“Sebenarnya, leluhur kita adalah tabib jenius sekaligus orang kepercayaan raja-raja Jawa dulu. Tepatnya, Canggah Buyutmu atau Canggahku, mewariskan kekuatan ini. Mereka meramal, kau akan menjadi Dokter Jenius Pengendali Dunia!”
Dengan tatapan terbelalak, Satrio coba meyakinkan dirinya kalau dia adalah ‘orang yang terpilih’ yang dimaksud kakeknya. “Aku udah gagal, Simbah. Apalagi yang Simbah harapin dari aku? Miskin, iya. Lemah, iya. Ditolak dan ditertawakan, iya. Apalagi?!”
“Kamu boleh gagal seribu kali.” Suara itu jadi lebih dekat. “Yang tidak boleh adalah kamu berhenti jadi orang baik. Dunia memang menolakmu, tapi kamu tidak boleh menyerah karena alasan itu! Jadilah orang baik dan liontin ini akan menuntunmu jadi Dokter Jenius!”
Cahaya itu memudar. Sebelum benar-benar hilang, cahaya itu menyebar jadi kunang-kunang banyak, kemudian menyatu. Sekilas, Satrio seperti melihat siluet lelaki tua yang dikenalnya, Simbah, kemudian membentuk enam sosok lain yang salah satunya adalah ayahnya sendiri.
“Pegang liontin itu,” tujuh keturunan Satrio berucap bersamaan. “Jangan kau gadaikan. Jangan kau pamerkan. Pakai hanya untuk menolong. Sisanya… biar orang bilang apa.”
Setelah mereka hilang, kini sisa Simbah dan bapak Satrio yang meninggal waktu Satrio masih berusia 2 tahun.
“Mulai besok pagi, akan ada tangis di ujung gang. Pergilah. Dengarkan. Lakukan yang kamu bisa!” ucap Simbah sebelum benar-benar menghilang. “Ingat, jadilah orang baik seperti bapakmu, kakekmu, dan seluruh leluhurmu. Orang baik. Orang baik. Orang baik!”
Satrio diam lama. Dadanya bergemuruh. Tekad dari Simbah tidak mau dia sia-siakan. “Baik, Simbah.”
Satrio memandang lama batu hijau yang kini tampak biasa. Tapi hangatnya tertinggal, berdenyut halus bersama napasnya. Ia menyandarkan kepala ke dinding, kemudian tidur dalam posisi duduk.
…
Subuh belum lama usai, suara tangisan pecah dari ujung jalan desa. Satrio, yang masih setengah linglung, spontan bangun. Liontin di dadanya bergetar, seakan menarik langkahnya. Ia keluar, menelusuri jalan tanah.
Di dekat rumah bambu, seorang ibu duduk di teras, menangis keras. Di pangkuannya, anak kecil umur enam tahun terbaring pucat, napasnya tersengal.
Satrio mendekat. “Bu, ada apa?”
Ibu itu menoleh, matanya sembab. “Anakku… panas tinggi sejak semalam. Badannya kaku. Aku sudah ke dukun pijat, nggak sembuh. Aku takut dia mati, Mas…”
Satrio jongkok. Nalurinya menjerit untuk menolong. Liontin kembali bergetar, cahaya samar muncul, aksara Jawa melayang sebentar: rebus daun sambiloto, jahe, tekan titik di punggung bawah.
Mulyono tertegun. Mulutnya ternganga. "Apa... apa maksud Ibu? Dia... menyembuhkan aku?""Iya! Setelah tabib bayaranmu angkat tangan! Dia yang mengobatimu! Dia yang menarikmu dari kematian!"Wajah Pak Kades memucat, lalu memerah. Bukan karena terima kasih. Tapi karena malu. Malu yang luar biasa.Harga dirinya sebagai penguasa desa hancur lebur. Dia diselamatkan oleh orang yang paling dia benci. Orang yang baru saja dia hancurkan harapannya."Tidak mungkin..." desisnya. "Ini pasti akal-akalannya. Dia meracuniku, lalu pura-pura menyembuhkanku! Dia itu tabib sesat seperti kakeknya!""MULYONO!" bentak ibunya.Satrio hanya menatap Pak Kades dengan tenang. Ketenangan yang menusuk.
Satrio menatap wanita tua di depannya. Ini pasti jebakan. Tidak mungkin ibu dari musuh bebuyutannya datang sambil menangis, memohon di depan gubuknya yang reyot."Bu... Pak Mulyono?" tanya Satrio, memastikan dia tidak salah dengar."Iya, Nak! Anakku! Pak Kadesmu!" Ibu tua itu terisak, suaranya putus asa. "Dia sekarat di rumah. Badannya kaku, napasnya satu-satu. Tabib desa sudah angkat tangan!"Satrio terdiam. Pak Kades Mulyono. Orang yang menghancurkan gerobaknya. Orang yang menyebar fitnah tentang ilmu kakeknya. Orang yang baru saja bersekongkol dengan Surya untuk menghancurkan harapannya di pasar.Menolongnya? Gila."Kenapa... kenapa Ibu minta tolong saya?" lirih Satrio. "Ibu tahu sendiri, anak Ibu sangat membenci saya."
Surya berjalan mendahului Satrio, mendekati seorang penjual rempah tua yang sedang menata dagangannya.“Pak Tua,” kata Surya dengan nada angkuh, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya. “Berapa harga semua jahe merah dan akar alang-alangmu ini?”Penjual tua itu terkejut. “Semuanya, Den? Ya… mungkin sekitar tiga ratus ribu.”“Bagus.” Surya melempar lima lembar uang ratusan ribu ke atas meja. “Ini lima ratus ribu. Aku borong semuanya. Dan dengar baik-baik,” ia mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah menjadi ancaman, “setelah ini, kalau pemuda dekil di belakangku ini datang untuk membeli apa pun, jangan kau layani. Kalau kau berani menjual seujung kuku pun padanya, aku pastikan besok pagi lapakmu ini sudah rata denga
Satrio mengepalkan tangannya. Amarahnya langsung naik. "Mau apa kau ke sini, Sur?! Ini sudah malam!""Santai dong, jangan berlagak hanya karena namamu sudah terkenal di seluruh desa!" Tawa Surya pelan. "Aku cuma mau cek aja persiapanmu. Katanya, besok mau nyembuhin orang lumpuh? Hahaha!”Mata Surya tiba-tiba menangkap bunga aneh di atas meja. Bunga merah pekat yang tampak hidup. "Asem, bunga apa itu? Keren, wangi, jarang-jarang di desa ada yang punya bunga sebagus ini. Kau nyuri dari pekarangan warga, ya?"Tangan Surya terjulur hendak mengambilnya."JANGAN SENTUH!" Satrio menerjang, menepis tangan Surya."Ohh, berani nantang, ya?" Surya kaget, tapi lalu menyeringai licik. "Ini pasti ramuan rahasiamu, kan? Alat-alat klen
Raungan marah itu menggema di antara tebing-tebing batu, membuat Satrio yang sedang bergantung di seutas tali seketika membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak.Perlahan, sosok pemilik mata itu melangkah keluar dari kegelapan.Seekor harimau.Itu bukan harimau biasa, melainkan harimau Jawa tua yang seharusnya sudah punah. Tubuhnya besar, lorengnya sedikit pudar karena usia, dan salah satu kaki depannya tampak pincang, meninggalkan jejak darah tipis di bebatuan.Napas Satrio tercekat di tenggorokan. Tangannya yang mencengkeram tali basah oleh keringat dingin.Di bawahnya ada jurang, di depannya ada predator puncak.Tamat.Inilah akhirnya.Namun, saat rasa panik hendak mengambil alih, liontin di dadanya bergetar hebat.Cahaya hijau samar berpendar dari balik kausnya, hanya terlihat olehnya. Di dalam benaknya, dia merasakan Simbah seperti memerintahnya dan melihat ke aksara Jawa yang melayang di udara.“Tulungen, dadi wong apik iku menyang kabeh makhluk, ora mung menungso.”Benar saj
Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”Setela







