Share

Bab 2

Author: CUME
last update Last Updated: 2025-10-29 10:57:56

“Simbah kenapa? Sakitnya kumat?” Kakeknya duduk setengah rebah, napas naik–turun pendek. Kulitnya legam, keriputnya dalam. Mata tua yang biasanya hangat kini berkabut.

“Tenang, Trio. Hanya batuk.”

“Ini bukan batuk biasa,” Satrio buru-buru menjerang air, memotong kunyit, menumbuk jahe.

“Simbah minum hangat dulu, ya.”

Kakek Satrio duduk, menatapnya, meringis, lalu tersenyum tipis. Tangan kurusnya meraih bantal, mengambil sesuatu dari bawahnya.

“Ini,” katanya. Sebuah liontin tua berpindah ke tangan Satrio. Bingkai logam kusam, batu hijau bening di tengah yang punya kilau samar. Kilaunya menyimpan suatu rahasia panjang tentang rahasia keluarganya. “warisan keluarga. Pegang baik-baik. Jangan jatuh ke tangan orang serakah!”

Satrio menyentuhnya. “Ini apa, Simbah? K-kok hangat?”

“Nanti kamu tahu sendiri,” napas kakek memendek. “Ingatlah, tujuan utamamu bukan dunia! Jangan tunduk kalau dihina, jangan sombong kalau dipuji, tolong yang butuh, dan abaikan yang bersorak saat kamu jatuh!”

“Jangan ngomong jauh-jauh. Kita ke puskesmas, ya? Aku pinjam motor Pak RT.”

Kakek menggeleng lembut. “Nda usah, Trio. Aku sudah cukup tua.” Ia tersenyum. “Maaf… maaf Simbah ndak bisa lihat kamu berhasil.”

“Simbah…” suara Satrio serak. “Jangan sekarang!”

Kakek menatapnya lama, penuh sayang yang tenang. “Kamu anak baik. Dari dulu. Tetaplah begitu. Ingat pesan Simbah tadi, ya… Simbah sudah waktunya. Hanya ini yang Simbah bisa wariskan ke kamu.”

Satu tarikan napas.

Dua.

Tiga.

Lalu…

hening.

Senyum yang tadi masih tersisa, tapi tidak ada lagi kehidupan di belakangnya.

“Simbah?”

Satrio menyentuh pergelangan tangan, mengecek nafas, menggoyang-goyang tubuh, tapi tidak ada respon. “Simbah!”

Ia mengguncang bahu rapuh itu. “Simbah, bangun! Jangan tinggalin aku sendirian. Simbah… tolong…”

Tetangga yang sedari tadi menguping dari balik pintu, tiba-tiba datang. Niat mereka tidak menolong, tidak pula prihatin. Mereka malah memberi sumpah-serapah dan mengatai Simbah meski mereka melihat sendiri proses sakaratul mautnya.

“Ya, sudah takdir.”

“Dulu kan sudah dibilang, kakekmu keras kepala.”

“Kalau dulu mau nurut sama pejabat desa, mungkin hidupnya lebih enak.”

“Keluar!” Suara Satrio datar, pecah di ujung. “Aku mau memandikan kakek.”

Satrio memandikan tubuh yang dulu kuat merawatnya. Ia memakaikan kain kafan, tangannya gemetar, air matanya jatuh tanpa suara.

Pemakaman berlangsung menjelang senja.

Langit oranye pudar, angin agak dingin.

Yang datang hanya Pak Modin, dua tetangga yang sering meminjam cangkul, dan seorang bocah yang ikut karena penasaran.

Ratih tidak ada.

Surya? Apalagi.

Doa singkat, tanah ditimbun. Nisan sederhana ditancapkan. Tertulis nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat.

Satrio berdiri paling akhir. Tanah masih basah di tangannya; ia tak sadar memegangnya seperti memegang sesuatu yang harus dikembalikan, padahal tak ada lagi yang bisa dikembalikan.

“Simbah, maaf,” katanya pelan. “Aku telat. Aku… nggak sempat bikin bangga.”

Satrio kembali ke rumah sebelum Magrib berkumandang, lama sekali dia meratap. Pak RT memintanya pulang dan memberi wejangan agar dia mendoakan Simbah.

Setelah Magrib, Satrio duduk menyandar dinding, liontin di tangan. Batu hijaunya tampak biasa saja, tapi hangat mengalir dari situ, seolah-olah batu zamrud hijau itu ingin berbicara dengannya.

“Semua orang benar, Simbah,” gumamnya. “Aku nggak bisa apa-apa. Cincin ditendang, kakek pergi, jamu ditertawakan. Aku… kosong.”

Lampu bohlam berkedip.

Seekor ngengat menabrak kap lampu, jatuh, lalu terbang lagi. Satrio memejam, lelahnya menenggelamkan. Dari tidur setengah sadar itu, getar halus membangunkan.

Liontin bergetar pelan, lalu semakin jelas, seperti degup jantung kedua yang menular ke dada Satrio.

Di udara, tepat di atas batu, garis-garis halus membentuk tulisan. Bukan Latin, bukan Arab, tapi Aksara Jawa.

Ha–na–ca–ra–ka.

Muncul–hilang–muncul lagi, seperti tangan yang menulis dari seberang kaca.

“Apa ini…” Satrio terlonjak setengah duduk, tangannya refleks menggenggam liontin lebih erat.

Di kamar reyot itu, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telinga Satrio. Datangnya bukan dari luar, bukan pula tetangga yang nyinyir. Ini juga bukan hantu. Satrio terus mencari sumber suara, sampai dia menyadari kalau Liontin Zamrud Hijau pemberian kakeknya terus bergetar dan bercahaya.

“Le…”

Satrio terjengkang. Suara itu berasal dari Liontin. Dia beberapa kali mengucek matanya, mencubit tangan dan kakinya, bahkan menabrakkan kepalanya di pintu, hanya untuk memastikan kalau itu bukan mimpi. 

“Simbah?”

“Jangan takut.” Suara itu tenang. “Hidupmu akan tambah berat. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti.”

“Aku sendirian.” Satrio menelan. “Ratih, sudah pergi. Semua orang menertawakanku. Simbah juga…” Ia tidak melanjutkan.

“Siapa bilang kamu sendirian?” Cahaya di batu berdenyut lebih cepat. Aksara Jawa yang tadi menghilang, kemudian muncul lagi. Aksara itu bergerak perlahan, membentuk sketsa punggung manusia. “Ilmu itu selalu ada dan hanya diwariskan keturunan ketujuh keluarga Piningit.”

Satrio mengusap mata. “Kek, aku tidak paham.”

“Maafkan

Kakek menyimpan cerita ini.”

“Dulu, buyutmu adalah tabib paling disegani di seluruh kadipaten. Orang datang jauh-jauh, dari desa sebelah, bahkan dari kota, hanya untuk minta disembuhkan. Dia tahu ramuan hutan, tahu titik syaraf, tahu doa-doa tua dari kitab kuno. Orang sembuh, anak-anak hidup bahagia tidak ada yang sakit, ibu-ibu selamat melahirkan, semua percaya padanya. Tapi ada satu hal yang membuat dia dibenci, yaitu dia tidak mau tunduk pada lurah dan pejabat desa.”

Satrio mendengarkan dengan mata berair. “Kenapa Simbah nggak pernah cerita dari dulu?”

“Apa gunanya cerita kalau aku sendiri dicap dukun sesat? Orang-orang lebih percaya gosip ketimbang kenyataan. Mereka lupa siapa yang mereka datangi saat sakit dulu. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau semua hinaan itu bukan akhir. Liontin ini bukti bahwa keluarga kita bukan keluarga sembarangan. Kamu bisa jatuh seribu kali, tapi jangan jatuh karena malu jadi pewaris Keluarga Prabawa!”

“Sebenarnya, leluhur kita adalah tabib jenius sekaligus orang kepercayaan raja-raja Jawa dulu. Tepatnya, Canggah Buyutmu atau Canggahku, mewariskan kekuatan ini. Mereka meramal, kau akan menjadi Dokter Jenius Pengendali Dunia!”

Dengan tatapan terbelalak, Satrio coba meyakinkan dirinya kalau dia adalah ‘orang yang terpilih’ yang dimaksud kakeknya. “Aku udah gagal, Simbah. Apalagi yang Simbah harapin dari aku? Miskin, iya. Lemah, iya. Ditolak dan ditertawakan, iya. Apalagi?!”

“Kamu boleh gagal seribu kali.” Suara itu jadi lebih dekat. “Yang tidak boleh adalah kamu berhenti jadi orang baik. Dunia memang menolakmu, tapi kamu tidak boleh menyerah karena alasan itu! Jadilah orang baik dan liontin ini akan menuntunmu jadi Dokter Jenius!”

Cahaya itu memudar. Sebelum benar-benar hilang, cahaya itu menyebar jadi kunang-kunang banyak, kemudian menyatu. Sekilas, Satrio seperti melihat siluet lelaki tua yang dikenalnya, Simbah, kemudian membentuk enam sosok lain yang salah satunya adalah ayahnya sendiri.

“Pegang liontin itu,” tujuh keturunan Satrio berucap bersamaan. “Jangan kau gadaikan. Jangan kau pamerkan. Pakai hanya untuk menolong. Sisanya… biar orang bilang apa.”

Setelah mereka hilang, kini sisa Simbah dan bapak Satrio yang meninggal waktu Satrio masih berusia 2 tahun.

“Mulai besok pagi, akan ada tangis di ujung gang. Pergilah. Dengarkan. Lakukan yang kamu bisa!” ucap Simbah sebelum benar-benar menghilang. “Ingat, jadilah orang baik seperti bapakmu, kakekmu, dan seluruh leluhurmu. Orang baik. Orang baik. Orang baik!”

Satrio diam lama. Dadanya bergemuruh. Tekad dari Simbah tidak mau dia sia-siakan. “Baik, Simbah.”

Satrio memandang lama batu hijau yang kini tampak biasa. Tapi hangatnya tertinggal, berdenyut halus bersama napasnya. Ia menyandarkan kepala ke dinding, kemudian tidur dalam posisi duduk.

Subuh belum lama usai, suara tangisan pecah dari ujung jalan desa. Satrio, yang masih setengah linglung, spontan bangun. Liontin di dadanya bergetar, seakan menarik langkahnya. Ia keluar, menelusuri jalan tanah.

Di dekat rumah bambu, seorang ibu duduk di teras, menangis keras. Di pangkuannya, anak kecil umur enam tahun terbaring pucat, napasnya tersengal.

Satrio mendekat. “Bu, ada apa?”

Ibu itu menoleh, matanya sembab. “Anakku… panas tinggi sejak semalam. Badannya kaku. Aku sudah ke dukun pijat, nggak sembuh. Aku takut dia mati, Mas…”

Satrio jongkok. Nalurinya menjerit untuk menolong. Liontin kembali bergetar, cahaya samar muncul, aksara Jawa melayang sebentar: rebus daun sambiloto, jahe, tekan titik di punggung bawah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 20

    Wajah Mulyono pucat pasi."Kalau saya salah, saya siap digantung di alun-alun," lanjut Satrio. "Tapi kalau saya benar..."Satrio menatap tajam mata Mulyono."...Bapak yang harus jelaskan ke semua orang ini. Racun apa yang sudah Bapak tuang ke air minum kami?"Wajah Pak Kades Mulyono pucat pasi. Minum air yang sudah dia tumbali sendiri? Ide gila."Kamu..." Mulyono gemetar. Dia kehabisan kata-kata.Maman maju selangkah, dadanya dibusungkan. "Gimana, Pak Kades? Ditantang minum aja kok keringetan? Katanya airnya bersih?""Iya! Coba minum!" seru warga yang lain.Surya Handoko melihat situasi sudah tidak terkendali. Dia menarik lengan Mulyono."Sudah, Pak! Gak usah diladeni orang gila!" desis Surya. "Kita urus wabahnya dulu. Urusan dia gampang."Mulyono tersadar. Dia memakai topeng wibawanya lagi."Cukup!" teriak Mulyono. "Saya harus mengurus wabah ini! Saya harus panggil bantuan dari kota! Urusan penghasut ini, kita tunda!"Mulyono dan Surya bergegas pergi meninggalkan balai desa, pura-pur

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 19

    Hening.Semua warga syok.Mulyono pucat pasi karena tidak menyangka, Satrio bisa seberani ini mengungkap fakta yang buktinya saja masih samar. Surya memandang Mulyono sekilas, kemudian menyipitkan mata. "Sialan. Kok dia bisa tahu?""Itu bukan air bersih layak minum!" lanjut Satrio. "Itu racun! Itu zat kotor! Itu yang bikin anak-anak desa ini sekarat dan ibu-ibu merasa mual!"Mulyono tidak bisa diam lagi. Jika dia diam, warga akan curiga. Dia harus menyerang balik."Bajingan tengik!" Mulyono maju, telunjuknya menuding wajah Satrio. "Kurang ajar sekali, berani ya, kamu bicara seperti itu! Namanya fitnah, dan ingat, fitnah lebih kejam dari kesesaatan kakekmu!""Saya bicara kebenaran!

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 18

    Satrio memeriksa nadi si bocah. Nadi itu kembali melemah. Satrio yang sudah sangat lelah, hanya bisa mendesis pelan. "Racunnya... masih ada.”"Maksudmu?""Air kelapa ini cuma memperlambat. Cuma paliatif. Racunnya sudah masuk terlalu dalam ke darah mereka." Satrio mendapat petunjuk dari liontin, apa yang dia baca dari aksara Jawa, dia jelaskan kepada warga."Jadi... mereka bakal kumat lagi?" tanya Bu Wati, yang dijawab anggukan berat Satrio.Warga yang tadi sudah lega, kembali menangis. "Gimana ini, Trio? Air kelapanya juga sudah habis!"Ketika suasana sudah kalut total, seseorang berbaju serba putih dan stetoskop melingkar di leher, datang."Permisi! Permisi! Dokter puskesma

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 17

    Bu Wati, yang paling sering menghinanya, melihat Satrio. Dia berlari, bersimpuh di kaki Satrio. "Trio! Tolong, Trio! Aku tahu kamu bisa! Selamatkan cucuku! Aku mohon!"Warga yang kemarin mencibirnya, kini menatapnya penuh harap.Pak Sastro, tabib resmi desa, berdiri di tengah kebingungan. Dia sibuk mengoleskan minyak angin ke dahi anak-anak. Tidak ada gunanya."Ini... ini kesambet! Pasti kesambet penunggu pohon beringin!" kata Pak Sastro, asal bicara. "Sabar, Bu... ini saya pijat refleksi. Biar racunnya...""Mijat dari tadi gak ada hasilnya!" bentak seorang bapak. "Anakku makin biru itu!""Pak Sastro bohong!" teriak Satrio Suaranya menggelegar, memotong semua tangisan. Semua orang menoleh padanya. “Ini bukan sakit biasa. Jang

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 16

    Satrio berlari. Dia tidak lagi merasakan lelah setelah ritual empat jam tadi. Dia melesat menembus kebun singkong, melompati parit, matanya terpaku pada jejak energi hitam di depannya.Satrio mencium jejak kaki Surya Handoko. “Baunya memuakkan, sial! Belerang bercampur dengan sesuatu yang anyir. Sepertinya ini darah!”Jejak itu membawanya ke batas desa. Pinggir hutan. Tepat di balik rumpun bambu raksasa, seperti yang ditunjukkan Ibu Kades Mulyono.Di sana, Sumur Warisan itu berada.Satrio melompat ke atas pohon nangka, bersembunyi di balik dedaunan lebat. Dari atas, dia bisa melihat semuanya.Jantungnya serasa berhenti berdetak.Di bawah, di sekitar bibir sumur tua, em

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 15

    Satrio menahan napas. Dia cepat bersembunyi di balik pilar besar."Ya, kamu benar. Untung kamu datang. Ini soal Mandala Group itu. Kamu yakin mereka mau investasi besar di desa ini?""Pasti. Bos besar sudah setuju. Tapi syaratnya... lahan di pinggir hutan itu harus 'bersih'."'Bersih?' batin Satrio."Sudah aku urus. Tapi sumur tua sialan itu masih di sana. Katanya angker," kata Mulyono."Halah, angker itu urusan gampang. Yang penting, malam Purnama nanti, kita ketemu tim Mandala di sana. Kita ritual sedikit. 'Bersihkan' tempat itu biar keuntungan kita dari investasi air bersih Mandala Group bisa berjalan lancar.""Ritual apa?"Surya te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status