Compartir

Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa
Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa
Autor: CUME

Bab 1

Autor: CUME
last update Última actualización: 2025-10-29 10:57:36

Satrio berdiri di depan rumah bercat pastel dengan pagar besi yang baru dipernis. Itu adalah Rumah Ratih, dambaan hatinya selama dua tahun ini. Pintu teras terbuka dan Ratih muncul. Jilbabnya warna krim, riasannya tipis. Cantik. Pandangannya langsung mengarah ke Satrio.

“Pagi, Trio.”

“Pagi, Ratih.” Satrio mengatur napas. “Aku bawakan kunyit asam. Aku dapat cerita kalau perutmu sering kembung kalau telat sarapan…”

“Tri, aku—”

Sreeeeng!

Suara

knalpot keras masuk seperti pisau, motor GL-15 berhenti tepat di depan pagar.

Surya turun, melepas helm, rambutnya licin, wangi parfumnya bahkan melompati pagar.

Ia memelintir gas sekali lagi.

Brraakk!

Anak-anak di ujung jalan bersiul, ibu-ibu menoleh, bahkan bapak-bapak di pos ronda benar-benar terkejut ketika Surya datang.

“Wah, motor baru! Pacarnya Ratih sekarang keren banget.” Bu Wati mendekati bapak-bapak di pos ronda. “Beda sama Satrio. Jauh. Kembang desa macam Ratih emang paling cocok sama Surya aja. Bapaknya juragan. Andai anakku kayak Ratih, huh, paling udah aku jodohin sama Surya itu.”

Surya menaruh helm di setang, melirik Satrio dari ujung sandal sampai puncak kepala.

Senyumnya tipis, sok santai, tapi mengiris hati Satrio. “Pagi, tetangganya Ratih. Gerobakmu gimana, aman?”

Satrio menahan diri. “Mas Sur, aku sama Ratih mau bicara sebentar. Kemarin—”

“Bicara apa? Masa depan?” Surya tertawa pendek. “Masa depan itu bukan kata-kata manis, Trio. Masa depan itu DP rumah, cicilan motor lunas, dan kerja yang jelas.”

Ratih menarik napas, berusaha menyela. “Surya, jangan—”

“Gini aja,” Surya merangkul bahu Ratih di depan orang-orang. “Biar jelas. Ratih sekarang sama aku. Orang tuaku sama orang tua Ratih udah diskusi. Kami akan secepatnya lamaran.”

Suara bisik-bisik langsung meledak.

Satrio menatap jari manis Ratih. Cincin kecil itu masih terpasang. “Rat… cincinku masih kamu pakai. Cincin yang aku kasih minggu lalu.”

Ratih diam, menatap jalan, lalu menatap cincin di jarinya. Tangannya gemetar sedikit.

Surya mengangkat alis.

“Cincin tiga puluh ribu di toko online? Alah, emasnya ini gadungan.” Senyumnya merendahkan. “Laki-laki kalau cuma modal janji dan doa, itu bukan komitmen. Itu mimpi siang bolong. Mending kamu bangun, cuci muka, ngaca! Gadis desa secantik Ratih kok sama pemuda kayak kamu. Udah gitu, ngaku ‘tabib’ pula. Tabib tanpa lisensi, tanpa gelar, suka nakutin orang!”

Satu–dua orang tertawa, termasuk Pak Suwito dan Bu Wati. Yang lain pura-pura kasihan, padahal mereka menunggu apa respon Ratih.

Satrio menelan ludah, suaranya lirih, tapi tegas. “Aku memang miskin. Tapi aku serius.

Aku kerja apa aja loh, aku mau. Aku sayang Ratih, aku bakal usaha buat Ratih bahagia!”

Surya melangkah setengah meter mendekat, menatap dari atas.

“Sayang? Kalimat paling murah di dunia. Buktinya apa? Kamu dorong gerobak jamu keliling, dihina orang kampung, pacar kamu yang disuruh ikut menanggung malu? Itu cinta? Atau kamu egois?”

Ratih memejamkan mata sesaat, lalu membuka perlahan. Ia memutar cincin kecil itu. Orang-orang menahan napas.

“Maaf, Trio.” Cincin itu dilepas Ratih dengan wajah yang sedikit terpaksa. Mungkin, dia juga menahan gengsi karena orang tuanya lebih memilih Surya dari pada Satrio. Bunyi ‘ting’ dari cincin itu saat jatuh ke lantai, lalu menggelinding menyentuh lumpur di sela batu.

“WOOO!” “Putus di tempat!” Surya semakin memperkeruh suasana. “Nahkan, Ratih sendiri aja nolak kamu. Kalau mau nikah ya kerja, cari uang cukup, ternak sapi atau bikin kebun. Lah ini, malah jual jamu. Emang Ratih pantesnya sama aku. Bener ga, Pak Wito, Bu Wati?”

“Bener banget itu, Den Surya. Dia ga cocok sama dia!” Bu Wati menanggapi, diikuti Pak Suwito yang ikut cari muka.

Satrio membungkuk, memungut cincin yang kini berlumpur. Ia mengusapnya ke kaus lusuh. Matanya panas, tapi ia menahan agar tidak tumpah.

“Kalau itu pilihanmu, semoga kamu bahagia, Rat! Jangan salahin aku kalau aku bangkit terus nunjukin aku bisa kasih yang lebih baik dari Surya!”

Ratih menunduk.

Ada kalimat lain di matanya, tapi sudah terlambat. Hatinya mungkin masih terpaut ke Satrio, tapi keputusan orang tuanya tidak bisa ditolak. Apalagi, dia butuh uang untuk pengobatan kakeknya yang sudah sakit-sakitan.

Surya menepuk pipi Satrio sekali, ringan tapi menyengat.

“Belajar ya, Trio. Jadi laki-laki itu bukan soal kuat menahan hinaan, tapi kuat memberi kepastian.” Knalpot meraung, Surya menarik gas. Ratih terpaksa naik. Motor melaju, meninggalkan bau bensin dan tawa yang dibiarkan menggantung.

“Kasihan, ditinggal di depan rumahnya sendiri.”

“Sudah miskin, baper pula.”

“Jamu nggak laku, cinta juga nggak laku.”

Satrio berdiri cukup lama sampai suara knalpot benar-benar hilang. Ia masukkan cincin itu ke saku, menghela napas, lalu mendorong lagi gerobaknya. Sampai rumah, langkahnya berat. Rumah reyot di ujung dukuh itu tak pernah terasa sesunyi hari ini.

Dinding papan bolong, atap bocor, lantai semen dingin. Begitu pintu dibuka, suara batuk keras menyambar dari kamar.

“Keuh! Keuh!” Batuknya berat.

“Simbaah!”

Satrio berlari. Dia tidak memperdulikan suasana hatinya. Orang yang masih bermakna dalam hidupnya hanya tinggal satu, Simbah. Dia tidak mau kehilangan orang yang paling dia sayang.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 14

    Mulyono tertegun. Mulutnya ternganga. "Apa... apa maksud Ibu? Dia... menyembuhkan aku?""Iya! Setelah tabib bayaranmu angkat tangan! Dia yang mengobatimu! Dia yang menarikmu dari kematian!"Wajah Pak Kades memucat, lalu memerah. Bukan karena terima kasih. Tapi karena malu. Malu yang luar biasa.Harga dirinya sebagai penguasa desa hancur lebur. Dia diselamatkan oleh orang yang paling dia benci. Orang yang baru saja dia hancurkan harapannya."Tidak mungkin..." desisnya. "Ini pasti akal-akalannya. Dia meracuniku, lalu pura-pura menyembuhkanku! Dia itu tabib sesat seperti kakeknya!""MULYONO!" bentak ibunya.Satrio hanya menatap Pak Kades dengan tenang. Ketenangan yang menusuk.

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 13

    Satrio menatap wanita tua di depannya. Ini pasti jebakan. Tidak mungkin ibu dari musuh bebuyutannya datang sambil menangis, memohon di depan gubuknya yang reyot."Bu... Pak Mulyono?" tanya Satrio, memastikan dia tidak salah dengar."Iya, Nak! Anakku! Pak Kadesmu!" Ibu tua itu terisak, suaranya putus asa. "Dia sekarat di rumah. Badannya kaku, napasnya satu-satu. Tabib desa sudah angkat tangan!"Satrio terdiam. Pak Kades Mulyono. Orang yang menghancurkan gerobaknya. Orang yang menyebar fitnah tentang ilmu kakeknya. Orang yang baru saja bersekongkol dengan Surya untuk menghancurkan harapannya di pasar.Menolongnya? Gila."Kenapa... kenapa Ibu minta tolong saya?" lirih Satrio. "Ibu tahu sendiri, anak Ibu sangat membenci saya."

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 12

    Surya berjalan mendahului Satrio, mendekati seorang penjual rempah tua yang sedang menata dagangannya.“Pak Tua,” kata Surya dengan nada angkuh, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya. “Berapa harga semua jahe merah dan akar alang-alangmu ini?”Penjual tua itu terkejut. “Semuanya, Den? Ya… mungkin sekitar tiga ratus ribu.”“Bagus.” Surya melempar lima lembar uang ratusan ribu ke atas meja. “Ini lima ratus ribu. Aku borong semuanya. Dan dengar baik-baik,” ia mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah menjadi ancaman, “setelah ini, kalau pemuda dekil di belakangku ini datang untuk membeli apa pun, jangan kau layani. Kalau kau berani menjual seujung kuku pun padanya, aku pastikan besok pagi lapakmu ini sudah rata denga

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 11

    Satrio mengepalkan tangannya. Amarahnya langsung naik. "Mau apa kau ke sini, Sur?! Ini sudah malam!""Santai dong, jangan berlagak hanya karena namamu sudah terkenal di seluruh desa!" Tawa Surya pelan. "Aku cuma mau cek aja persiapanmu. Katanya, besok mau nyembuhin orang lumpuh? Hahaha!”Mata Surya tiba-tiba menangkap bunga aneh di atas meja. Bunga merah pekat yang tampak hidup. "Asem, bunga apa itu? Keren, wangi, jarang-jarang di desa ada yang punya bunga sebagus ini. Kau nyuri dari pekarangan warga, ya?"Tangan Surya terjulur hendak mengambilnya."JANGAN SENTUH!" Satrio menerjang, menepis tangan Surya."Ohh, berani nantang, ya?" Surya kaget, tapi lalu menyeringai licik. "Ini pasti ramuan rahasiamu, kan? Alat-alat klen

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 10

    Raungan marah itu menggema di antara tebing-tebing batu, membuat Satrio yang sedang bergantung di seutas tali seketika membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak.Perlahan, sosok pemilik mata itu melangkah keluar dari kegelapan.Seekor harimau.Itu bukan harimau biasa, melainkan harimau Jawa tua yang seharusnya sudah punah. Tubuhnya besar, lorengnya sedikit pudar karena usia, dan salah satu kaki depannya tampak pincang, meninggalkan jejak darah tipis di bebatuan.Napas Satrio tercekat di tenggorokan. Tangannya yang mencengkeram tali basah oleh keringat dingin.Di bawahnya ada jurang, di depannya ada predator puncak.Tamat.Inilah akhirnya.Namun, saat rasa panik hendak mengambil alih, liontin di dadanya bergetar hebat.Cahaya hijau samar berpendar dari balik kausnya, hanya terlihat olehnya. Di dalam benaknya, dia merasakan Simbah seperti memerintahnya dan melihat ke aksara Jawa yang melayang di udara.“Tulungen, dadi wong apik iku menyang kabeh makhluk, ora mung menungso.”Benar saj

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 9

    Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”Setela

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status