INICIAR SESIÓNKabar Satrio menyembuhkan anak Maman dalam sekejap menyebar lebih cepat dari api. Tapi fitnah Pak Kades Mulyono yang menyebutnya ilmu hitam menyebar sama cepatnya. Warga Karangjati terbelah.
Ada yang mulai kagum. Ada yang makin takut.
Satrio sendiri sedang pusing. Dia terduduk di depan gubuknya, memandangi sisa-sisa gerobak jamunya yang hancur lebur. Harapannya ikut remuk.
"Gimana aku mau membuktikan ilmunya, Simbah? Satu-satunya mata pencaharianku sudah hancur." Satrio bimbang, tapi liontin di dadanya hanya diam. Tidak muncul aksara Jawa apapun, sampai ketik gedoran keras di pintu papan reyotnya, membangunkannya dari lamunan.
"WOI! TABIB JADI-JADIAN!"
Satrio kenal suara itu. Joko. Salah satu Garda Desa, anjing penjilatnya Mulyono.
Satrio membuka pintu.
Joko dan Bimo berdiri di sana. Wajah mereka angkuh dengan tangan menyilang di dada..
"Apa lagi?" tanya Satrio dingin.
"Heh, masih tanya apa lagi?." Joko tertawa sinis. "Pak Kades nungguin di Balai Desa. Sekarang juga, berangkat ke sana, sebelum gubukmu yang kita hancurkan kayak gerobak jamumu!"
"Maaf, aku belum bisa."
"Halah, alasan!" Bimo mendorong bahu Satrio. "Kami tahu itu ulah siapa. Makanya, jangan sok jadi pahlawan. Pak Kades mau kasih kamu 'kesempatan terakhir'. Buruan sebelum dia marah!"
"Kesempatan?"
"Jangan banyak ngomong, deh, Trio. Keluargamu udah terkenal jadi dukun sesat. Masih untun Pak Kades masih kasih kamu kesempatan untuk bertobat dan mengakuinya di hadapan warga. Sekarang, ayo jalan!"
Satrio mengepalkan tangannya. Dia tidak punya pilihan. Dia mengikuti dua Garda Desa itu.
Balai Desa sudah penuh sesak warga yang berkerumun karena ada suatu hal aneh yang terjadi. Mereka kemudian saling berbisik satu sama lain.
"Ada apa ini?"
"Katanya Satrio mau dihakimi..."
"Bukan! Katanya mau diadu!"
Di atas amben bambu bagian tengah pendopo, terbaring sosok yang sangat kurus kering. Wajahnya cekung dan matanya terpejam.
"Itu... itu kan Pak Suro?"
"Iya! Pak Suro yang di ujung gang itu! Yang sudah gak bisa bangun lima tahun!"
"Stroke berat katanya..."
Satrio tiba. Semua mata langsung tertuju padanya. Maman yang juga ada di kerumunan, wajahnya cemas, memberi isyarat 'hati-hati' karena dia tahu, Satrio hari ini akan benar-benar dipermalukan.
Pak Kades Mulyono berdiri di mimbar kecil. Wajahnya sumringah. Dia tersenyum lebar, seolah sudah memenangkan pertarungan dengan Satrio dan kakeknya.
"Pagi, warga sekalian!!" Mulyono membuka suaranya, lantang dan penuh wibawa palsu. "Kita semua tahu, desa kita tercinta ini sedang dilanda gosip miring tentang dukun sesat.”
Mulyono melirik sinis ke arah Satrio. "Kemarin dia bilang mau buktikan ilmunya! Mau bikin kita semua tunduk dan ngaku kalau dia nggak sesat kayak kakeknya."
"Saya," kata Mulyono, membusungkan dada. "Sebagai Kades kalian yang adil dan bijaksana... tidak mau ada fitnah! Saya mau kita semua lihat buktinya!"
Dia menunjuk sosok kurus di amben.
"Ini Pak Suro! Tetangga kita semua! Sudah lima tahun dia terbaring. Lumpuh total karena stroke berat! Gak bisa bicara, gak bisa gerak!"
"SATRIO!" Mulyono menunjuk Satrio dengan telunjuknya. "Kamu dengar aku?! Kamu bilang ilmu dari kakekmu itu nyata, kan? Sekarang, buktikan ilmumu itu! Buktikan di hadapan semua warga bahwa kau bisa membuat Pak Suro bisa berjalan lagi!?”
Warga terkesiap karena ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal menurut mereka. Tantangan ini hampir mendekati mustahil hingga membuat Satrio membeku. Ini tantangan mustahil.
Menyembuhkan demam tinggi anak Maman itu satu hal. Itu infeksi, panas dalam, dan bisa disembuhkan melalui pengobatan herbal. Tapi ini? Stroke menahun? Saraf yang sudah mati lima tahun?
Inilah jebakannya.
Mulyono sengaja memilih Pak Suro. Pasien paling parah, paling mustahil disembuhkan di seluruh desa. Dia tahu Satrio tidak akan punya waktu. Penyakit begini butuh ramuan rumit. Ramuan langka yang harus dicari berhari-hari di hutan.
"Gimana, Trio?" cibir Mulyono. "Kok diam? Gak sanggup? Bibirmu kemarin sombong sekali. Katanya mau buktikan?"
Satrio menelan ludah. Tekanan ini berat sekali. Semua orang menatapnya seolah menagih janjinya kemarin setelah menyembuhkan anaknya Maman..
Dia memegang liontin di balik kausnya.
Simbah?
Liontin itu hanya bergetar samar. Getaran itu seolah berkata Satrio bisa melakukannya meski tahapannya sedikit rumit. Liontinnya tidak memberinya pengetahuan instan untuk meracik obat saraf serumit ini, tapi Satrio tetap yakin. "Saya... saya akan coba.”
"Hahahaha, bagus sekali, itu baru sumpah jantan seorang lelaki!!" Mulyono tertawa terbahak-bahak. "Tapi... warga saya ini sibuk! Gak bisa nungguin kamu komat-kamit seharian!"
Mulyono menunjuk jam dinding besar yang karatan di dinding balai desa. "Saya kasih kamu waktu. Tiga jam dari sekarang. Tepat jam sepuluh pagi. Kalau Pak Suro gak bisa menggerakkan tubuhnya…." Mulyono menyeringai.
"Kamu terbukti dukun sesat dan pembohong! Dan sesuai kesepakatan... aku dan para warga setuju mengusirmu. Ini adalah harapan terakhirmu. Sampai gagal, maka angkat kaki dari desa ini!"
Tiga jam.
Satrio panik. Dia tahu, penyakit separah ini butuh ramuan khusus. Begitu liontin bergetar, aksara Jawa perlahan muncul dengan enam huruf ramping dan beberapa tambahan seperti pepet dan cecak. “Bunga Darah Gunung. Bunga langka yang hanya bisa kamu dapat di tengah hutan!”
"Saya... saya butuh air hangat. Jahe. Dan madu, kalau ada," kata Satrio.
Warga yang kasihan buru-buru berlarian. Dalam lima menit, bahan sederhana itu sudah tersedia. Satrio menarik napas. Dia tidak bisa menyembuhkan hanya dengan ini, apalagi aksara Jawa itu terus memutari tubuhnya seolah memberi isyarat bahwa bunga itu satu-satunya yang bisa digunakan.
Satu jam pertama.
Satrio menumbuk jahe. Dia mencampurnya dengan air hangat dan sedikit madu sumbangan warga. Dia membuka paksa mulut Pak Suro yang kaku. Meminumkan ramuan penghangat itu sedikit demi sedikit.
"Halah. Cuma jamu jahe?" cibir Pak Suwito dari kerumunan. "Anakku juga bisa bikin!"
“Simbah, tolong aku,” desis Satrio, dia tidak tahu harus mencari Bunga Darah Gunung di mana. Semakin dia pasrah, getaran liontin di balik bajunya semakin kuat. Kini, aksara pertama menghilang, digantikan aksara lain yang muncul.
Pendar cahaya hijau perlahan membentuk aksara-aksara baru, seputar Ilmu Saraf Kuno yang diwariskan secara turun-temurun.
Satrio mulai memijat. Dia menyalurkan seluruh energi liontinnya. Dia menekan titik-titik saraf yang dia pelajari dari pendar hijau aksara tersebut.
Satrio mulai dari leher, kemudian punggung, dan terakhir ke telapak tangan dan kaki. Dia mencoba 'membangunkan' saraf-saraf yang sudah lama mati itu.
Satu jam setengah berlalu. Keringat Satrio sudah mulai mengucur deras.
Ngggh...
Tiba-tiba Pak Suro mengerang. Pelan. Tapi itu suara.
"Dia bersuara!"
"Mengerang! Aku dengar!"
Warga terkesiap. Maman mengepalkan tangan sambil berteriak sangat keras. “Terus, Satrio, kamu pasti bisa!”
Namun, teriakan itu merubah ekspresi Pak Mulyono yang sangat membenci Satrio. Dia kemudian menyolek salah satu garda desa agar meminta Maman tutup mulut dengan ancaman bahwa Maman akan diusir apabila mendukung Satrio.
Kini, dua jam berlalu. Satrio menggandakan usahanya. Dia memijat lebih keras dan tetap fokus pada apa yang dia yakini.
Wajah Pak Suro yang tadi pucat seperti mayat, kini mulai berwarna.
"Lihat! Wajahnya! Wajahnya gak pucat lagi!" Maman tidak takut ancaman itu, dia tahu rasa terima kasih. Dari semua warga, mungkin hanya Maman dan istrinya yang yakin bahwa Satrio adalah Satria Piningit yang diutus untuk menebar kebaikan di seluruh desa.
Mulyono yang duduk di kursinya mulai gelisah. Senyumnya sedikit luntur dan dua Garda Desa yang tadi ingin mengancam Maman, juga ikut menelan ludah.
Satria memijat telapak kaki Pak Suro sekuat tenaga. "Pak Suro... dengar saya, Pak... Buka mata Bapak… Bapak punya anak-cucu yang harus diperjuangkan. Pak Suro gak bisa terus-terusan kayak gini!"
Dua jam lima puluh sembilan menit, waktunya tinggal satu menit lagi. Mulyono dan dua Garda Desa hampir bersorak karena sudah memenangkan pertarungan, tapi warga desa lain terus menyemangati Satrio karena dalam waktu tiga jam, Pak Suro menunjukkan keajaiban yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Namun, satu menit adalah waktu yang singkat hingga akhirnya Mulyono memukul lonceng kentongan kecil di mejanya. “Hentikan! Waktumu sudah habis, Satrio!”
Satrio terpaksa berhenti. Napasnya tersengal dan tenaganya habis. Aksara-aksara dari liontin itu seketika runtuh. Dia kemudian menatap Pak Suro dengan pandangan nanar, seolah minta maaf karena dia telah gagal.
"HAHAHAHAHAHA!" Tawa Mulyono meledak. Menggema di seluruh pendopo. Dia berdiri di kursinya. "Lihat semuanya! Tiga jam sudah berlalu, dan apa hasilnya? Nol besar! Dia adalah pembohong dan dia benar-benar dukun sesat pembawa kesialan di desa kita!”
Warga yang tadi berharap, kini kecewa berat. Beberapa ada yang mendukung Mulyono, terutama Pak Suwito dan Bu Wati yang sedari awal memang tidaka suka dengan Satrio.
Satrio menundukkan kepalanya dalam-dalam.Dia sudah mengerahkan segalanya. Dia tahu dia hanya meredakan rasa sakitnya. Dia melancarkan peredaran darahnya. Tapi dia gagal total menyembuhkan kelumpuhannya.
"Nah, Satrio!" Mulyono tersenyum sinis penuh kemenangan. "Sesuai janji. Kemasi barangmu dan angkat kaki dari desa ini, sekarang juga!"
Satrio tidak menjawab. Dia kalah telak dalam permainan licik Pak Mulyono. Namun, baru berjalan beberapa langkah meninggalkan warga yang menyorakinya, keajaiban terjadi.
Jempol kaki Pak Suro yang sudah kaku seperti kayu mati selama lima tahun… akhirnya bergerak!
Mulyono tertegun. Mulutnya ternganga. "Apa... apa maksud Ibu? Dia... menyembuhkan aku?""Iya! Setelah tabib bayaranmu angkat tangan! Dia yang mengobatimu! Dia yang menarikmu dari kematian!"Wajah Pak Kades memucat, lalu memerah. Bukan karena terima kasih. Tapi karena malu. Malu yang luar biasa.Harga dirinya sebagai penguasa desa hancur lebur. Dia diselamatkan oleh orang yang paling dia benci. Orang yang baru saja dia hancurkan harapannya."Tidak mungkin..." desisnya. "Ini pasti akal-akalannya. Dia meracuniku, lalu pura-pura menyembuhkanku! Dia itu tabib sesat seperti kakeknya!""MULYONO!" bentak ibunya.Satrio hanya menatap Pak Kades dengan tenang. Ketenangan yang menusuk.
Satrio menatap wanita tua di depannya. Ini pasti jebakan. Tidak mungkin ibu dari musuh bebuyutannya datang sambil menangis, memohon di depan gubuknya yang reyot."Bu... Pak Mulyono?" tanya Satrio, memastikan dia tidak salah dengar."Iya, Nak! Anakku! Pak Kadesmu!" Ibu tua itu terisak, suaranya putus asa. "Dia sekarat di rumah. Badannya kaku, napasnya satu-satu. Tabib desa sudah angkat tangan!"Satrio terdiam. Pak Kades Mulyono. Orang yang menghancurkan gerobaknya. Orang yang menyebar fitnah tentang ilmu kakeknya. Orang yang baru saja bersekongkol dengan Surya untuk menghancurkan harapannya di pasar.Menolongnya? Gila."Kenapa... kenapa Ibu minta tolong saya?" lirih Satrio. "Ibu tahu sendiri, anak Ibu sangat membenci saya."
Surya berjalan mendahului Satrio, mendekati seorang penjual rempah tua yang sedang menata dagangannya.“Pak Tua,” kata Surya dengan nada angkuh, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya. “Berapa harga semua jahe merah dan akar alang-alangmu ini?”Penjual tua itu terkejut. “Semuanya, Den? Ya… mungkin sekitar tiga ratus ribu.”“Bagus.” Surya melempar lima lembar uang ratusan ribu ke atas meja. “Ini lima ratus ribu. Aku borong semuanya. Dan dengar baik-baik,” ia mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah menjadi ancaman, “setelah ini, kalau pemuda dekil di belakangku ini datang untuk membeli apa pun, jangan kau layani. Kalau kau berani menjual seujung kuku pun padanya, aku pastikan besok pagi lapakmu ini sudah rata denga
Satrio mengepalkan tangannya. Amarahnya langsung naik. "Mau apa kau ke sini, Sur?! Ini sudah malam!""Santai dong, jangan berlagak hanya karena namamu sudah terkenal di seluruh desa!" Tawa Surya pelan. "Aku cuma mau cek aja persiapanmu. Katanya, besok mau nyembuhin orang lumpuh? Hahaha!”Mata Surya tiba-tiba menangkap bunga aneh di atas meja. Bunga merah pekat yang tampak hidup. "Asem, bunga apa itu? Keren, wangi, jarang-jarang di desa ada yang punya bunga sebagus ini. Kau nyuri dari pekarangan warga, ya?"Tangan Surya terjulur hendak mengambilnya."JANGAN SENTUH!" Satrio menerjang, menepis tangan Surya."Ohh, berani nantang, ya?" Surya kaget, tapi lalu menyeringai licik. "Ini pasti ramuan rahasiamu, kan? Alat-alat klen
Raungan marah itu menggema di antara tebing-tebing batu, membuat Satrio yang sedang bergantung di seutas tali seketika membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak.Perlahan, sosok pemilik mata itu melangkah keluar dari kegelapan.Seekor harimau.Itu bukan harimau biasa, melainkan harimau Jawa tua yang seharusnya sudah punah. Tubuhnya besar, lorengnya sedikit pudar karena usia, dan salah satu kaki depannya tampak pincang, meninggalkan jejak darah tipis di bebatuan.Napas Satrio tercekat di tenggorokan. Tangannya yang mencengkeram tali basah oleh keringat dingin.Di bawahnya ada jurang, di depannya ada predator puncak.Tamat.Inilah akhirnya.Namun, saat rasa panik hendak mengambil alih, liontin di dadanya bergetar hebat.Cahaya hijau samar berpendar dari balik kausnya, hanya terlihat olehnya. Di dalam benaknya, dia merasakan Simbah seperti memerintahnya dan melihat ke aksara Jawa yang melayang di udara.“Tulungen, dadi wong apik iku menyang kabeh makhluk, ora mung menungso.”Benar saj
Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”Setela







