LOGINSatrio tiba di gubuknya yang reyot, napasnya masih terasa berat. Tekanan dari tenggat waktu tiga hari terasa mencekik lehernya. Bagaimana mungkin ia bisa membuat orang lumpuh berjalan dalam waktu sesingkat itu?
Kemenangan kecil di balai desa tadi terasa hampa, seperti jebakan yang lebih besar baru saja dipasang.
Ia duduk di amben bambu, tangannya merogoh saku dan mengeluarkan secarik kertas kumal pemberian wanita misterius tadi.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membukanya. Isinya bukan tulisan biasa, apalagi ketika lipatan tali dari anyaman bambu dirobek, muncul pendar hijau lagi, memutar sekilas, lalu kembali masuk ke dalam kertas.
Di sana terukir sebaris Aksara Jawa kuno yang rumit dan sebuah denah kasar yang menunjuk ke sebuah lokasi di pinggir hutan: sebuah gubuk tua yang sudah lama ditinggalkan. Warga desa menyebutnya Gubuk Arwah, tempat yang angker dan tak pernah berani didatangi siapa pun setelah matahari terbenam.
Saat Satrio mengamati aksara itu, liontin di dadanya tiba-tiba bergetar hebat. Aksara di kertas itu adalah kunci, pelengkap dari potongan informasi yang selama ini tersimpan di dalam liontinnya.
“Gubuk Arwah dan Bunga Darah Gunung,” gumamnya.
Selama ini para warga selalu menghindari tempat itu karena ada mitos, tempat itu dijaga oleh jin dan hewan buas mengingat letaknya berada di tengah hutan arah Gunung Lawu.
Satrio pun sama, dia dimandati sang kakek agar tidak pernah menyentuh Gubuk Arwah, tapi sekarang kondisinya berbeda. Ketika bingung itulah, liontin bergetar hebat dan muncul aksara baru yang menuntunnya ke arah di mana Gubuk Arwah berada.
Didorong oleh keputusasaan dan rasa penasaran, Satrio menyambar arit tuanya untuk berjaga-jaga dan bergegas menuju lokasi yang ditunjukkan liontin.
Tak terasa, sudah dua jam Satrio berjalan hingga matahari hampir terbenam.
Hutan di pinggir desa terasa lebih gelap dari biasanya. Suara jangkrik dan burung malam seolah berbisik memperingatkannya untuk kembali. Tapi getaran di liontinnya semakin kuat, menariknya maju seperti kompas gaib.
Akhirnya, ia tiba di depan sebuah gubuk kayu yang hampir roboh, ditelan oleh akar-akar pohon dan sulur liar. Papan-papannya lapuk, atapnya bolong di sana-sini. Dengan hati-hati, ia mendorong pintu yang berderit protes.
Di dalam, udara terasa pengap dan penuh debu. Sarang laba-laba menggantung di setiap sudut. Di tengah ruangan, ada sebuah peti kayu tua yang terkunci rapat. Satrio mencoba membukanya, menarik tutupnya dengan sekuat tenaga, tapi sia-sia. Peti itu seolah menyatu dengan lantai.
Tiba-tiba, liontinnya bersinar terang, menyorot sebuah ukiran aksara kecil di sudut peti. Itu adalah aksara yang sama dengan yang ada di kertas.
Satrio menyentuhkan liontinnya ke ukiran itu.
Klak!
Kunci peti itu terbuka dengan sendirinya.
Dengan napas tertahan, Satrio membuka tutup peti. Di dalamnya, bukan harta karun atau benda pusaka yang ia temukan, melainkan sebuah buku tebal bersampul kulit yang sudah usang.
Itu adalah buku catatan Simbah.
Halamannya penuh dengan tulisan tangan Aksara Jawa, gambar-gambar tanaman obat, sketsa titik-titik saraf manusia, dan resep-resep ramuan kuno. Saat Satrio menyentuh halaman pertama, kepalanya tiba-tiba terasa seperti dihantam palu godam. Rasa sakit yang luar biasa menjalari kepalanya.
Jring!
Semua tulisan Jawa yang ada di buku, tiba-tiba melayang di udara dan merangsek masuk ke kepala Satrio, diiringi liontin yang bergetar semakin kuat saat jemari Satrio terus membukanya dan tidak terkontrol lagi.
“Akupuntur Semesta, Bunga Darah Gunung, Jahe Merah Rambat, Pil Ajaib Kota, Farmakologi Modern,” Satrio mengucap semua istilah aneh itu, satu per satu. Ribuan informasi seolah dipaksa masuk ke dalam otaknya.
Nama-nama tanaman yang tak pernah ia dengar, fungsi akar-akaran yang tak pernah ia tahu, dan teknik pijat rahasia melintas di benaknya seperti kilat.
“Simbah, Simbah, tolong aku! Simbah, jangan tinggalkan aku sendiri di sini!” suara-suara itu merangsak masuk, bersamaan dengan semua tulisan yang ada di catatan itu.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, rasa sakit itu mereda.
Satrio terduduk lemas di lantai yang berdebu, berkeringat dingin, tapi pikirannya terasa jernih luar biasa. Ia kini mengerti. Warisan ini bukan hanya anugerah, tapi juga beban suci yang berbahaya. Sebuah tanggung jawab untuk menolong, di mana pun ia berada.
Dengan pengetahuan barunya, ia membuka kembali buku itu. Matanya dengan cepat mencari apa yang ia butuhkan. Dan di halaman terakhir, ia menemukannya: sebuah resep khusus bertajuk “Ramuan Pelemas Urat Saraf Kaku: Resep untuk menyembuhkan kelumpuhan.”
“Ini dia!” bisiknya penuh harapan.
Namun, saat membaca aksara yang masih melayang itu perlahan, dia tersentak. “Semua bahannya bisa kutemukan di hutan atau pasar, kecuali satu. Bahan terakhir, tinta merah, bahan utama penyembuh lumpuh. Setangkai Bunga Darah Gunung.”
Satrio menelan ludah saat membacanya. Kemudian, aksara itu kembali berpencar, membentuk rangkaian baru. “Bunga langka yang hanya mekar di malam-malam tertentu di tebing paling curam di Gunung Lawu.”
“Gunung Lawu?” gumamnya putus asa. “Itu perjalanan setengah hari dari sini. Dan waktuku hanya tersisa dua hari.”
Dengan tekad baru yang bercampur dengan kepanikan, Satrio menutup buku itu dan bergegas keluar dari gubuk. Ia harus berangkat sekarang juga.
Namun, saat ia baru melangkah keluar, matanya menangkap sebuah gerakan di kejauhan, di dekat jalan setapak menuju desanya.
Dua sosok yang sangat ia kenal. Surya dan Ratih. Mereka sedang mengawasinya dari balik pohon. Ratih tampak gelisah, sementara Surya menyeringai, seolah tahu setiap langkah yang Satrio ambil.
Wajah Mulyono pucat pasi."Kalau saya salah, saya siap digantung di alun-alun," lanjut Satrio. "Tapi kalau saya benar..."Satrio menatap tajam mata Mulyono."...Bapak yang harus jelaskan ke semua orang ini. Racun apa yang sudah Bapak tuang ke air minum kami?"Wajah Pak Kades Mulyono pucat pasi. Minum air yang sudah dia tumbali sendiri? Ide gila."Kamu..." Mulyono gemetar. Dia kehabisan kata-kata.Maman maju selangkah, dadanya dibusungkan. "Gimana, Pak Kades? Ditantang minum aja kok keringetan? Katanya airnya bersih?""Iya! Coba minum!" seru warga yang lain.Surya Handoko melihat situasi sudah tidak terkendali. Dia menarik lengan Mulyono."Sudah, Pak! Gak usah diladeni orang gila!" desis Surya. "Kita urus wabahnya dulu. Urusan dia gampang."Mulyono tersadar. Dia memakai topeng wibawanya lagi."Cukup!" teriak Mulyono. "Saya harus mengurus wabah ini! Saya harus panggil bantuan dari kota! Urusan penghasut ini, kita tunda!"Mulyono dan Surya bergegas pergi meninggalkan balai desa, pura-pur
Hening.Semua warga syok.Mulyono pucat pasi karena tidak menyangka, Satrio bisa seberani ini mengungkap fakta yang buktinya saja masih samar. Surya memandang Mulyono sekilas, kemudian menyipitkan mata. "Sialan. Kok dia bisa tahu?""Itu bukan air bersih layak minum!" lanjut Satrio. "Itu racun! Itu zat kotor! Itu yang bikin anak-anak desa ini sekarat dan ibu-ibu merasa mual!"Mulyono tidak bisa diam lagi. Jika dia diam, warga akan curiga. Dia harus menyerang balik."Bajingan tengik!" Mulyono maju, telunjuknya menuding wajah Satrio. "Kurang ajar sekali, berani ya, kamu bicara seperti itu! Namanya fitnah, dan ingat, fitnah lebih kejam dari kesesaatan kakekmu!""Saya bicara kebenaran!
Satrio memeriksa nadi si bocah. Nadi itu kembali melemah. Satrio yang sudah sangat lelah, hanya bisa mendesis pelan. "Racunnya... masih ada.”"Maksudmu?""Air kelapa ini cuma memperlambat. Cuma paliatif. Racunnya sudah masuk terlalu dalam ke darah mereka." Satrio mendapat petunjuk dari liontin, apa yang dia baca dari aksara Jawa, dia jelaskan kepada warga."Jadi... mereka bakal kumat lagi?" tanya Bu Wati, yang dijawab anggukan berat Satrio.Warga yang tadi sudah lega, kembali menangis. "Gimana ini, Trio? Air kelapanya juga sudah habis!"Ketika suasana sudah kalut total, seseorang berbaju serba putih dan stetoskop melingkar di leher, datang."Permisi! Permisi! Dokter puskesma
Bu Wati, yang paling sering menghinanya, melihat Satrio. Dia berlari, bersimpuh di kaki Satrio. "Trio! Tolong, Trio! Aku tahu kamu bisa! Selamatkan cucuku! Aku mohon!"Warga yang kemarin mencibirnya, kini menatapnya penuh harap.Pak Sastro, tabib resmi desa, berdiri di tengah kebingungan. Dia sibuk mengoleskan minyak angin ke dahi anak-anak. Tidak ada gunanya."Ini... ini kesambet! Pasti kesambet penunggu pohon beringin!" kata Pak Sastro, asal bicara. "Sabar, Bu... ini saya pijat refleksi. Biar racunnya...""Mijat dari tadi gak ada hasilnya!" bentak seorang bapak. "Anakku makin biru itu!""Pak Sastro bohong!" teriak Satrio Suaranya menggelegar, memotong semua tangisan. Semua orang menoleh padanya. “Ini bukan sakit biasa. Jang
Satrio berlari. Dia tidak lagi merasakan lelah setelah ritual empat jam tadi. Dia melesat menembus kebun singkong, melompati parit, matanya terpaku pada jejak energi hitam di depannya.Satrio mencium jejak kaki Surya Handoko. “Baunya memuakkan, sial! Belerang bercampur dengan sesuatu yang anyir. Sepertinya ini darah!”Jejak itu membawanya ke batas desa. Pinggir hutan. Tepat di balik rumpun bambu raksasa, seperti yang ditunjukkan Ibu Kades Mulyono.Di sana, Sumur Warisan itu berada.Satrio melompat ke atas pohon nangka, bersembunyi di balik dedaunan lebat. Dari atas, dia bisa melihat semuanya.Jantungnya serasa berhenti berdetak.Di bawah, di sekitar bibir sumur tua, em
Satrio menahan napas. Dia cepat bersembunyi di balik pilar besar."Ya, kamu benar. Untung kamu datang. Ini soal Mandala Group itu. Kamu yakin mereka mau investasi besar di desa ini?""Pasti. Bos besar sudah setuju. Tapi syaratnya... lahan di pinggir hutan itu harus 'bersih'."'Bersih?' batin Satrio."Sudah aku urus. Tapi sumur tua sialan itu masih di sana. Katanya angker," kata Mulyono."Halah, angker itu urusan gampang. Yang penting, malam Purnama nanti, kita ketemu tim Mandala di sana. Kita ritual sedikit. 'Bersihkan' tempat itu biar keuntungan kita dari investasi air bersih Mandala Group bisa berjalan lancar.""Ritual apa?"Surya te







