Compartir

Bab 8

Autor: CUME
last update Última actualización: 2025-10-29 11:01:36

Satrio tiba di gubuknya yang reyot, napasnya masih terasa berat. Tekanan dari tenggat waktu tiga hari terasa mencekik lehernya. Bagaimana mungkin ia bisa membuat orang lumpuh berjalan dalam waktu sesingkat itu?

Kemenangan kecil di balai desa tadi terasa hampa, seperti jebakan yang lebih besar baru saja dipasang.

Ia duduk di amben bambu, tangannya merogoh saku dan mengeluarkan secarik kertas kumal pemberian wanita misterius tadi.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membukanya. Isinya bukan tulisan biasa, apalagi ketika lipatan tali dari anyaman bambu dirobek, muncul pendar hijau lagi, memutar sekilas, lalu kembali masuk ke dalam kertas.

Di sana terukir sebaris Aksara Jawa kuno yang rumit dan sebuah denah kasar yang menunjuk ke sebuah lokasi di pinggir hutan: sebuah gubuk tua yang sudah lama ditinggalkan. Warga desa menyebutnya Gubuk Arwah, tempat yang angker dan tak pernah berani didatangi siapa pun setelah matahari terbenam.

Saat Satrio mengamati aksara itu, liontin di dadanya tiba-tiba bergetar hebat. Aksara di kertas itu adalah kunci, pelengkap dari potongan informasi yang selama ini tersimpan di dalam liontinnya.

“Gubuk Arwah dan Bunga Darah Gunung,” gumamnya.

Selama ini para warga selalu menghindari tempat itu karena ada mitos, tempat itu dijaga oleh jin dan hewan buas mengingat letaknya berada di tengah hutan arah Gunung Lawu.

Satrio pun sama, dia dimandati sang kakek agar tidak pernah menyentuh Gubuk Arwah, tapi sekarang kondisinya berbeda. Ketika bingung itulah, liontin bergetar hebat dan muncul aksara baru yang menuntunnya ke arah di mana Gubuk Arwah berada.

Didorong oleh keputusasaan dan rasa penasaran, Satrio menyambar arit tuanya untuk berjaga-jaga dan bergegas menuju lokasi yang ditunjukkan liontin.

Tak terasa, sudah dua jam Satrio berjalan hingga matahari hampir terbenam.

Hutan di pinggir desa terasa lebih gelap dari biasanya. Suara jangkrik dan burung malam seolah berbisik memperingatkannya untuk kembali. Tapi getaran di liontinnya semakin kuat, menariknya maju seperti kompas gaib.

Akhirnya, ia tiba di depan sebuah gubuk kayu yang hampir roboh, ditelan oleh akar-akar pohon dan sulur liar. Papan-papannya lapuk, atapnya bolong di sana-sini. Dengan hati-hati, ia mendorong pintu yang berderit protes.

Di dalam, udara terasa pengap dan penuh debu. Sarang laba-laba menggantung di setiap sudut. Di tengah ruangan, ada sebuah peti kayu tua yang terkunci rapat. Satrio mencoba membukanya, menarik tutupnya dengan sekuat tenaga, tapi sia-sia. Peti itu seolah menyatu dengan lantai.

Tiba-tiba, liontinnya bersinar terang, menyorot sebuah ukiran aksara kecil di sudut peti. Itu adalah aksara yang sama dengan yang ada di kertas.

Satrio menyentuhkan liontinnya ke ukiran itu.

Klak!

Kunci peti itu terbuka dengan sendirinya.

Dengan napas tertahan, Satrio membuka tutup peti. Di dalamnya, bukan harta karun atau benda pusaka yang ia temukan, melainkan sebuah buku tebal bersampul kulit yang sudah usang.

Itu adalah buku catatan Simbah.

Halamannya penuh dengan tulisan tangan Aksara Jawa, gambar-gambar tanaman obat, sketsa titik-titik saraf manusia, dan resep-resep ramuan kuno. Saat Satrio menyentuh halaman pertama, kepalanya tiba-tiba terasa seperti dihantam palu godam. Rasa sakit yang luar biasa menjalari kepalanya.

Jring!

Semua tulisan Jawa yang ada di buku, tiba-tiba melayang di udara dan merangsek masuk ke kepala Satrio, diiringi liontin yang bergetar semakin kuat saat jemari Satrio terus membukanya dan tidak terkontrol lagi.

“Akupuntur Semesta, Bunga Darah Gunung, Jahe Merah Rambat, Pil Ajaib Kota, Farmakologi Modern,” Satrio mengucap semua istilah aneh itu, satu per satu. Ribuan informasi seolah dipaksa masuk ke dalam otaknya.

Nama-nama tanaman yang tak pernah ia dengar, fungsi akar-akaran yang tak pernah ia tahu, dan teknik pijat rahasia melintas di benaknya seperti kilat.

“Simbah, Simbah, tolong aku! Simbah, jangan tinggalkan aku sendiri di sini!” suara-suara itu merangsak masuk, bersamaan dengan semua tulisan yang ada di catatan itu.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, rasa sakit itu mereda.

Satrio terduduk lemas di lantai yang berdebu, berkeringat dingin, tapi pikirannya terasa jernih luar biasa. Ia kini mengerti. Warisan ini bukan hanya anugerah, tapi juga beban suci yang berbahaya. Sebuah tanggung jawab untuk menolong, di mana pun ia berada.

Dengan pengetahuan barunya, ia membuka kembali buku itu. Matanya dengan cepat mencari apa yang ia butuhkan. Dan di halaman terakhir, ia menemukannya: sebuah resep khusus bertajuk “Ramuan Pelemas Urat Saraf Kaku: Resep untuk menyembuhkan kelumpuhan.”

“Ini dia!” bisiknya penuh harapan.

Namun, saat membaca aksara yang masih melayang itu perlahan, dia tersentak. “Semua bahannya bisa kutemukan di hutan atau pasar, kecuali satu. Bahan terakhir, tinta merah, bahan utama penyembuh lumpuh. Setangkai Bunga Darah Gunung.”

Satrio menelan ludah saat membacanya. Kemudian, aksara itu kembali berpencar, membentuk rangkaian baru. “Bunga langka yang hanya mekar di malam-malam tertentu di tebing paling curam di Gunung Lawu.”

“Gunung Lawu?” gumamnya putus asa. “Itu perjalanan setengah hari dari sini. Dan waktuku hanya tersisa dua hari.”

Dengan tekad baru yang bercampur dengan kepanikan, Satrio menutup buku itu dan bergegas keluar dari gubuk. Ia harus berangkat sekarang juga.

Namun, saat ia baru melangkah keluar, matanya menangkap sebuah gerakan di kejauhan, di dekat jalan setapak menuju desanya.

Dua sosok yang sangat ia kenal. Surya dan Ratih. Mereka sedang mengawasinya dari balik pohon. Ratih tampak gelisah, sementara Surya menyeringai, seolah tahu setiap langkah yang Satrio ambil.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 14

    Mulyono tertegun. Mulutnya ternganga. "Apa... apa maksud Ibu? Dia... menyembuhkan aku?""Iya! Setelah tabib bayaranmu angkat tangan! Dia yang mengobatimu! Dia yang menarikmu dari kematian!"Wajah Pak Kades memucat, lalu memerah. Bukan karena terima kasih. Tapi karena malu. Malu yang luar biasa.Harga dirinya sebagai penguasa desa hancur lebur. Dia diselamatkan oleh orang yang paling dia benci. Orang yang baru saja dia hancurkan harapannya."Tidak mungkin..." desisnya. "Ini pasti akal-akalannya. Dia meracuniku, lalu pura-pura menyembuhkanku! Dia itu tabib sesat seperti kakeknya!""MULYONO!" bentak ibunya.Satrio hanya menatap Pak Kades dengan tenang. Ketenangan yang menusuk.

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 13

    Satrio menatap wanita tua di depannya. Ini pasti jebakan. Tidak mungkin ibu dari musuh bebuyutannya datang sambil menangis, memohon di depan gubuknya yang reyot."Bu... Pak Mulyono?" tanya Satrio, memastikan dia tidak salah dengar."Iya, Nak! Anakku! Pak Kadesmu!" Ibu tua itu terisak, suaranya putus asa. "Dia sekarat di rumah. Badannya kaku, napasnya satu-satu. Tabib desa sudah angkat tangan!"Satrio terdiam. Pak Kades Mulyono. Orang yang menghancurkan gerobaknya. Orang yang menyebar fitnah tentang ilmu kakeknya. Orang yang baru saja bersekongkol dengan Surya untuk menghancurkan harapannya di pasar.Menolongnya? Gila."Kenapa... kenapa Ibu minta tolong saya?" lirih Satrio. "Ibu tahu sendiri, anak Ibu sangat membenci saya."

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 12

    Surya berjalan mendahului Satrio, mendekati seorang penjual rempah tua yang sedang menata dagangannya.“Pak Tua,” kata Surya dengan nada angkuh, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya. “Berapa harga semua jahe merah dan akar alang-alangmu ini?”Penjual tua itu terkejut. “Semuanya, Den? Ya… mungkin sekitar tiga ratus ribu.”“Bagus.” Surya melempar lima lembar uang ratusan ribu ke atas meja. “Ini lima ratus ribu. Aku borong semuanya. Dan dengar baik-baik,” ia mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah menjadi ancaman, “setelah ini, kalau pemuda dekil di belakangku ini datang untuk membeli apa pun, jangan kau layani. Kalau kau berani menjual seujung kuku pun padanya, aku pastikan besok pagi lapakmu ini sudah rata denga

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 11

    Satrio mengepalkan tangannya. Amarahnya langsung naik. "Mau apa kau ke sini, Sur?! Ini sudah malam!""Santai dong, jangan berlagak hanya karena namamu sudah terkenal di seluruh desa!" Tawa Surya pelan. "Aku cuma mau cek aja persiapanmu. Katanya, besok mau nyembuhin orang lumpuh? Hahaha!”Mata Surya tiba-tiba menangkap bunga aneh di atas meja. Bunga merah pekat yang tampak hidup. "Asem, bunga apa itu? Keren, wangi, jarang-jarang di desa ada yang punya bunga sebagus ini. Kau nyuri dari pekarangan warga, ya?"Tangan Surya terjulur hendak mengambilnya."JANGAN SENTUH!" Satrio menerjang, menepis tangan Surya."Ohh, berani nantang, ya?" Surya kaget, tapi lalu menyeringai licik. "Ini pasti ramuan rahasiamu, kan? Alat-alat klen

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 10

    Raungan marah itu menggema di antara tebing-tebing batu, membuat Satrio yang sedang bergantung di seutas tali seketika membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak.Perlahan, sosok pemilik mata itu melangkah keluar dari kegelapan.Seekor harimau.Itu bukan harimau biasa, melainkan harimau Jawa tua yang seharusnya sudah punah. Tubuhnya besar, lorengnya sedikit pudar karena usia, dan salah satu kaki depannya tampak pincang, meninggalkan jejak darah tipis di bebatuan.Napas Satrio tercekat di tenggorokan. Tangannya yang mencengkeram tali basah oleh keringat dingin.Di bawahnya ada jurang, di depannya ada predator puncak.Tamat.Inilah akhirnya.Namun, saat rasa panik hendak mengambil alih, liontin di dadanya bergetar hebat.Cahaya hijau samar berpendar dari balik kausnya, hanya terlihat olehnya. Di dalam benaknya, dia merasakan Simbah seperti memerintahnya dan melihat ke aksara Jawa yang melayang di udara.“Tulungen, dadi wong apik iku menyang kabeh makhluk, ora mung menungso.”Benar saj

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 9

    Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”Setela

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status