LOGIN"PAK'EEEEEEEEEE!" Sebuah teriakan tiba-tiba meledak. “Gusti, ini nyata. Satrio, jangan pergi dulu!”
“Gusti, Gusti Pengeran, ini benar-benar nyata!” Seorang ibu tua, istri Pak Suro, yang dari tadi duduk diam menangis di samping amben... kini berdiri kaku. Jari telunjuknya yang keriput menunjuk ke amben. Gemetar hebat.
Semua tawa berhenti dan semua cemoohan diam, termasuk Mulyono. Seluruh mata di Balai Desa... tertuju pada kaki Pak Suro.
Jempol kakinya.
Jempol kaki Pak Suro yang sudah kaku seperti kayu mati selama lima tahun… akhirnya bergerak!
Ratusan pasang mata serempak menoleh ke arah amben bambu.
Di atas amben, di ujung kaki Pak Suro yang kurus kering dan tak bergerak selama lima tahun, sebuah keajaiban kecil terjadi. Jempol kakinya, yang tadinya kaku seperti kayu mati, bergerak sedikit. Naik, lalu turun. Pelan, tapi pasti.
“Tidak mungkin…” desis seseorang dari tengah kerumunan.
“Aku tidak salah lihat, kan?” sahut yang lain.
Satrio, yang sudah siap menelan pil pahit kekalahan, berhenti melangkah. Ia berbalik, matanya terpaku pada gerakan kecil itu. Jantungnya yang tadi terasa remuk, kini berdebar kencang penuh harapan.
Bu Mijah, istri Pak Suro,, merangsek maju. Ia jatuh berlutut di samping amben, tangannya yang keriput gemetar saat menyentuh kaki suaminya. “Pak’e… Kamu dengar aku, Pak’e?” isaknya. “Gerakkan lagi. Ayo, coba gerakkan lagi…”
Seolah menjawab permohonannya, jempol itu bergerak lagi. Kali ini diikuti oleh jari telunjuknya. Meski gerakannya masih lemah, tapi itu adalah gerakan dari seorang yang lumpuh lima tahun.
Ini adalah keajaiban!
Wajah Pak Kades Mulyono memerah padam menahan amarah dan malu. Rencananya untuk mempermalukan Satrio di depan seluruh desa hancur berantakan oleh gerakan sebuah jari kaki.
“ITU SIHIR!” teriaknya dengan suara menggelegar, berusaha merebut kembali kendali. “Itu bukan penyembuhan! Itu cuma kejang-kejang karena ilmunya! Dia menggunakan jin untuk menggerakkan mayat hidup atau sengaja mengatur saraf kaki Pak Suro agar bergerak sendiri!” Mulyono masih tidak terima karena dia tahu, mustahil menyembuhkan orang lumpuh hanya dengan pijatan dan obat herbal biasa.
Beberapa warga yang masih setia padanya ikut mengangguk setuju, tapi sebagian besar lainnya mulai bimbang. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri. Itu bukan kejang atau sihir, mereka yakin bahwa itu adalah gerakan yang disengaja karena Pak Suro memang benar-benar sembuh.
Satrio melangkah kembali ke tengah balai desa. Kali ini, kepalanya terangkat tegak. Ia tidak memandang Pak Kades sama sekali. Sebaliknya, ia berjongkok di samping istri Pak Suro yang masih menangis.
“Bu Mijah,” katanya lembut, suaranya terdengar jelas di tengah keheningan yang canggung. “Ini baru permulaan. Saraf-saraf suami Ibu sudah lama tidak aktif, jadi butuh waktu untuk membangunkannya lagi. Tapi yang paling penting, harapan itu ada.”
Sikap Satrio yang mengabaikannya membuat Mulyono semakin murka. “Omong kosong! Kalau memang ilmumu hebat, kenapa tidak sembuh total? Kenapa hanya jarinya yang bergerak?” bentaknya, mencoba mencari celah.
Satrio akhirnya berdiri dan menatap Mulyono dengan tenang. “Pak Kades, menyembuhkan penyakit menahun itu seperti membangun rumah. Tidak bisa langsung jadi dalam semalam. Perlu pondasi, perlu batu bata, perlu waktu. Yang saya lakukan tadi baru meletakkan pondasinya.”
Penjelasan yang masuk akal itu membuat warga mengangguk-angguk kecil.
Pak Kades semakin tersudut. Ia tahu ia tidak bisa menyangkal bukti di depan mata. Maka, ia memakai cara lain. Ia memasang wajah bijaksana palsu, seolah peduli pada nasib warganya.
“Baik! Kalau begitu, aku memberimu kesempatan terakhir!” katanya lantang, nadanya dibuat seolah-olah ia yang berbaik hati. “Tiga hari! Aku beri waktu tiga hari untuk menyembuhkan Pak Suro sepenuhnya! Buat dia bisa berjalan lagi! Jika berhasil, aku akan izinkan kamu jadi tabib di desa ini. Tapi jika gagal…” Ia menyeringai. “Angkat kaki dari Karangjati, selamanya!”
Ini adalah ultimatum yang mustahil.
Menyembuhkan kelumpuhan total dalam tiga hari adalah hal yang tidak masuk akal. Semua orang tahu itu. Ini bukan lagi ujian, melainkan pengusiran yang dilegalkan.
Warga menahan napas, menunggu jawaban Satrio. Mereka yakin kali ini Satrio akan menolak.
Namun, Satrio hanya menatap lurus ke mata Pak Kades dan menjawab dengan satu kata yang tegas.
“Saya terima.”
Saat warga mulai bubar dengan pikiran masing-masing, meninggalkan Satrio yang kini memikul beban yang lebih berat, Pak Kades memanggil kedua Garda Desa ke sisinya.
“Awasi bocah itu,” desisnya. “Cari cara untuk membuatnya gagal. Kalau perlu, hubungi Surya di kota. Bilang padanya, mainan lamanya mulai membuat masalah lagi.”
Satrio berjalan pulang dengan langkah gontai. Kemenangan kecil tadi terasa hampa karena tantangan yang lebih besar menanti. Saat ia melewati gerbang balai desa, seorang wanita paruh baya yang tak ia kenali tiba-tiba menghentikannya. Wanita itu mengenakan baju serba putih sederhana dengan kerudung putih bersih, wajahnya teduh dan asing. Satrio yakin belum pernah melihatnya di desa.
Tanpa berkata apa-apa, wanita itu menyodorkan secarik kertas kumal yang terlipat kecil ke tangan Satrio.
“Ini mungkin bisa membantumu, Le,” bisiknya dengan suara lembut, lalu berbalik dan menghilang di antara kerumunan sebelum Satrio sempat bertanya.
Wajah Mulyono pucat pasi."Kalau saya salah, saya siap digantung di alun-alun," lanjut Satrio. "Tapi kalau saya benar..."Satrio menatap tajam mata Mulyono."...Bapak yang harus jelaskan ke semua orang ini. Racun apa yang sudah Bapak tuang ke air minum kami?"Wajah Pak Kades Mulyono pucat pasi. Minum air yang sudah dia tumbali sendiri? Ide gila."Kamu..." Mulyono gemetar. Dia kehabisan kata-kata.Maman maju selangkah, dadanya dibusungkan. "Gimana, Pak Kades? Ditantang minum aja kok keringetan? Katanya airnya bersih?""Iya! Coba minum!" seru warga yang lain.Surya Handoko melihat situasi sudah tidak terkendali. Dia menarik lengan Mulyono."Sudah, Pak! Gak usah diladeni orang gila!" desis Surya. "Kita urus wabahnya dulu. Urusan dia gampang."Mulyono tersadar. Dia memakai topeng wibawanya lagi."Cukup!" teriak Mulyono. "Saya harus mengurus wabah ini! Saya harus panggil bantuan dari kota! Urusan penghasut ini, kita tunda!"Mulyono dan Surya bergegas pergi meninggalkan balai desa, pura-pur
Hening.Semua warga syok.Mulyono pucat pasi karena tidak menyangka, Satrio bisa seberani ini mengungkap fakta yang buktinya saja masih samar. Surya memandang Mulyono sekilas, kemudian menyipitkan mata. "Sialan. Kok dia bisa tahu?""Itu bukan air bersih layak minum!" lanjut Satrio. "Itu racun! Itu zat kotor! Itu yang bikin anak-anak desa ini sekarat dan ibu-ibu merasa mual!"Mulyono tidak bisa diam lagi. Jika dia diam, warga akan curiga. Dia harus menyerang balik."Bajingan tengik!" Mulyono maju, telunjuknya menuding wajah Satrio. "Kurang ajar sekali, berani ya, kamu bicara seperti itu! Namanya fitnah, dan ingat, fitnah lebih kejam dari kesesaatan kakekmu!""Saya bicara kebenaran!
Satrio memeriksa nadi si bocah. Nadi itu kembali melemah. Satrio yang sudah sangat lelah, hanya bisa mendesis pelan. "Racunnya... masih ada.”"Maksudmu?""Air kelapa ini cuma memperlambat. Cuma paliatif. Racunnya sudah masuk terlalu dalam ke darah mereka." Satrio mendapat petunjuk dari liontin, apa yang dia baca dari aksara Jawa, dia jelaskan kepada warga."Jadi... mereka bakal kumat lagi?" tanya Bu Wati, yang dijawab anggukan berat Satrio.Warga yang tadi sudah lega, kembali menangis. "Gimana ini, Trio? Air kelapanya juga sudah habis!"Ketika suasana sudah kalut total, seseorang berbaju serba putih dan stetoskop melingkar di leher, datang."Permisi! Permisi! Dokter puskesma
Bu Wati, yang paling sering menghinanya, melihat Satrio. Dia berlari, bersimpuh di kaki Satrio. "Trio! Tolong, Trio! Aku tahu kamu bisa! Selamatkan cucuku! Aku mohon!"Warga yang kemarin mencibirnya, kini menatapnya penuh harap.Pak Sastro, tabib resmi desa, berdiri di tengah kebingungan. Dia sibuk mengoleskan minyak angin ke dahi anak-anak. Tidak ada gunanya."Ini... ini kesambet! Pasti kesambet penunggu pohon beringin!" kata Pak Sastro, asal bicara. "Sabar, Bu... ini saya pijat refleksi. Biar racunnya...""Mijat dari tadi gak ada hasilnya!" bentak seorang bapak. "Anakku makin biru itu!""Pak Sastro bohong!" teriak Satrio Suaranya menggelegar, memotong semua tangisan. Semua orang menoleh padanya. “Ini bukan sakit biasa. Jang
Satrio berlari. Dia tidak lagi merasakan lelah setelah ritual empat jam tadi. Dia melesat menembus kebun singkong, melompati parit, matanya terpaku pada jejak energi hitam di depannya.Satrio mencium jejak kaki Surya Handoko. “Baunya memuakkan, sial! Belerang bercampur dengan sesuatu yang anyir. Sepertinya ini darah!”Jejak itu membawanya ke batas desa. Pinggir hutan. Tepat di balik rumpun bambu raksasa, seperti yang ditunjukkan Ibu Kades Mulyono.Di sana, Sumur Warisan itu berada.Satrio melompat ke atas pohon nangka, bersembunyi di balik dedaunan lebat. Dari atas, dia bisa melihat semuanya.Jantungnya serasa berhenti berdetak.Di bawah, di sekitar bibir sumur tua, em
Satrio menahan napas. Dia cepat bersembunyi di balik pilar besar."Ya, kamu benar. Untung kamu datang. Ini soal Mandala Group itu. Kamu yakin mereka mau investasi besar di desa ini?""Pasti. Bos besar sudah setuju. Tapi syaratnya... lahan di pinggir hutan itu harus 'bersih'."'Bersih?' batin Satrio."Sudah aku urus. Tapi sumur tua sialan itu masih di sana. Katanya angker," kata Mulyono."Halah, angker itu urusan gampang. Yang penting, malam Purnama nanti, kita ketemu tim Mandala di sana. Kita ritual sedikit. 'Bersihkan' tempat itu biar keuntungan kita dari investasi air bersih Mandala Group bisa berjalan lancar.""Ritual apa?"Surya te







