Share

Bab 9

Author: CUME
last update Last Updated: 2025-10-29 11:02:08

Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.

‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.

Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.

Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.

“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”

Setelah pria itu pergi, Satrio membaca tulisan yang diketik rapi itu. Isinya adalah ‘Hukum Adat’ baru yang ditandatangani oleh Pak Kades Mulyono.

[Satrio Prabawa dilarang keras melakukan praktik pengobatan dalam bentuk apapun tanpa izin resmi dari balai desa. Melanggar berarti diusir paksa dari tanah Karangjati]

Jebakan Pak Kades semakin rapat. Bahkan jika ia berhasil menyembuhkan Pak Suro, ia akan tetap dicap sebagai pelanggar hukum adat. Ini adalah cara licik untuk memastikan ia kalah, apa pun hasilnya.

Satrio meremas kertas itu di tangannya. Amarah sempat membakar dadanya, tapi suara Simbah seolah berbisik di telinganya lewat kehangatan liontin: Jangan pernah menyembuhkan sambil marah.

Ia menarik napas dalam-dalam, membuang kertas itu ke tungku, dan mulai berkemas. Ia tidak punya waktu untuk memprotes atau berdebat. Dengan berbekal sedikit nasi bungkus yang dibungkus daun pisang, arit, dan seutas tali tambang yang ia temukan di gudang Simbah, ia berangkat menuju Gunung Lawu sebelum fajar menyingsing.

Buku catatan Simbah memberinya petunjuk lokasi yang cukup jelas. “Di tebing barat yang selalu basah oleh embun, di tempat elang membangun sarangnya.”

Perjalanan itu berat dan tanpa ampun. Ia harus melewati hutan lebat yang jalurnya nyaris tak terlihat, menyeberangi sungai deras dengan berpegangan pada akar-akar pohon, dan mendaki lereng yang terjal.

Beberapa kali ia terpeleset di batu yang licin berlumut, lututnya tergores hingga berdarah.

Namun, setiap kali rasa lelah hampir mengalahkannya, liontin di dadanya akan terasa hangat, memberinya kekuatan tambahan dan menuntunnya memilih jalan yang benar, menghindari jalur-jalur berbahaya yang tidak terlihat oleh mata biasa.

Menjelang sore, setelah berjam-jam berjalan tanpa henti, ia akhirnya tiba di lokasi. Sebuah tebing batu yang curam dan menjulang tinggi. Di bawahnya, jurang menganga dalam, diselimuti kabut tipis. Dan di sana, sekitar sepuluh meter di bawah puncak tebing, menempel di celah batu, ia melihatnya.

Sekuntum bunga berwarna merah pekat, seolah terbuat dari darah yang membeku. Bunga Darah Gunung.

Rasa lelahnya seketika sirna, digantikan oleh gelombang kelegaan dan harapan. Dengan hati-hati, Satrio mengikatkan tali tambangnya ke sebuah pohon besar yang akarnya mencengkeram tanah dengan kokoh. Ia menguji kekuatannya beberapa kali, menariknya dengan seluruh berat badannya, sebelum mulai menuruni tebing.

Angin gunung yang dingin menerpa wajahnya, membuat batu-batu kecil berjatuhan ke dalam jurang, suaranya hilang ditelan kekosongan.

Ia merayap turun perlahan, kakinya mencari pijakan di tonjolan-tonjolan batu, tangannya mencengkeram tali sekuat tenaga hingga buku-buku jarinya memutih. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Satu kesalahan kecil saja, nyawanya akan berakhir di dasar jurang.

Akhirnya, ia berhasil mencapai celah batu tempat bunga itu tumbuh. Tangannya terulur, jemarinya yang gemetar karena tegang dan dingin hendak memetik tangkai bunga yang berharga itu.

Tepat saat jemarinya hanya berjarak satu senti dari sang bunga, sebuah suara menggelegar tiba-tiba memecah keheningan gunung.

GRAUUURRR!

Itu bukan suara angin atau longsoran batu. Itu adalah raungan marah seekor binatang buas.

Satrio membeku, tubuhnya menempel erat di dinding tebing. Ia menoleh dengan gerakan patah-patah ke sumber suara, sebuah gua kecil tak jauh dari tempatnya bergantung.

Dari dalam kegelapan gua, dua titik merah menyala menatapnya dengan buas. Dua mata penuh amarah yang seolah berkata, “Kau telah memasuki daerah kekuasaanku dan mencuri harta kartunku!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 14

    Mulyono tertegun. Mulutnya ternganga. "Apa... apa maksud Ibu? Dia... menyembuhkan aku?""Iya! Setelah tabib bayaranmu angkat tangan! Dia yang mengobatimu! Dia yang menarikmu dari kematian!"Wajah Pak Kades memucat, lalu memerah. Bukan karena terima kasih. Tapi karena malu. Malu yang luar biasa.Harga dirinya sebagai penguasa desa hancur lebur. Dia diselamatkan oleh orang yang paling dia benci. Orang yang baru saja dia hancurkan harapannya."Tidak mungkin..." desisnya. "Ini pasti akal-akalannya. Dia meracuniku, lalu pura-pura menyembuhkanku! Dia itu tabib sesat seperti kakeknya!""MULYONO!" bentak ibunya.Satrio hanya menatap Pak Kades dengan tenang. Ketenangan yang menusuk.

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 13

    Satrio menatap wanita tua di depannya. Ini pasti jebakan. Tidak mungkin ibu dari musuh bebuyutannya datang sambil menangis, memohon di depan gubuknya yang reyot."Bu... Pak Mulyono?" tanya Satrio, memastikan dia tidak salah dengar."Iya, Nak! Anakku! Pak Kadesmu!" Ibu tua itu terisak, suaranya putus asa. "Dia sekarat di rumah. Badannya kaku, napasnya satu-satu. Tabib desa sudah angkat tangan!"Satrio terdiam. Pak Kades Mulyono. Orang yang menghancurkan gerobaknya. Orang yang menyebar fitnah tentang ilmu kakeknya. Orang yang baru saja bersekongkol dengan Surya untuk menghancurkan harapannya di pasar.Menolongnya? Gila."Kenapa... kenapa Ibu minta tolong saya?" lirih Satrio. "Ibu tahu sendiri, anak Ibu sangat membenci saya."

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 12

    Surya berjalan mendahului Satrio, mendekati seorang penjual rempah tua yang sedang menata dagangannya.“Pak Tua,” kata Surya dengan nada angkuh, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya. “Berapa harga semua jahe merah dan akar alang-alangmu ini?”Penjual tua itu terkejut. “Semuanya, Den? Ya… mungkin sekitar tiga ratus ribu.”“Bagus.” Surya melempar lima lembar uang ratusan ribu ke atas meja. “Ini lima ratus ribu. Aku borong semuanya. Dan dengar baik-baik,” ia mencondongkan tubuhnya, suaranya merendah menjadi ancaman, “setelah ini, kalau pemuda dekil di belakangku ini datang untuk membeli apa pun, jangan kau layani. Kalau kau berani menjual seujung kuku pun padanya, aku pastikan besok pagi lapakmu ini sudah rata denga

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 11

    Satrio mengepalkan tangannya. Amarahnya langsung naik. "Mau apa kau ke sini, Sur?! Ini sudah malam!""Santai dong, jangan berlagak hanya karena namamu sudah terkenal di seluruh desa!" Tawa Surya pelan. "Aku cuma mau cek aja persiapanmu. Katanya, besok mau nyembuhin orang lumpuh? Hahaha!”Mata Surya tiba-tiba menangkap bunga aneh di atas meja. Bunga merah pekat yang tampak hidup. "Asem, bunga apa itu? Keren, wangi, jarang-jarang di desa ada yang punya bunga sebagus ini. Kau nyuri dari pekarangan warga, ya?"Tangan Surya terjulur hendak mengambilnya."JANGAN SENTUH!" Satrio menerjang, menepis tangan Surya."Ohh, berani nantang, ya?" Surya kaget, tapi lalu menyeringai licik. "Ini pasti ramuan rahasiamu, kan? Alat-alat klen

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 10

    Raungan marah itu menggema di antara tebing-tebing batu, membuat Satrio yang sedang bergantung di seutas tali seketika membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak.Perlahan, sosok pemilik mata itu melangkah keluar dari kegelapan.Seekor harimau.Itu bukan harimau biasa, melainkan harimau Jawa tua yang seharusnya sudah punah. Tubuhnya besar, lorengnya sedikit pudar karena usia, dan salah satu kaki depannya tampak pincang, meninggalkan jejak darah tipis di bebatuan.Napas Satrio tercekat di tenggorokan. Tangannya yang mencengkeram tali basah oleh keringat dingin.Di bawahnya ada jurang, di depannya ada predator puncak.Tamat.Inilah akhirnya.Namun, saat rasa panik hendak mengambil alih, liontin di dadanya bergetar hebat.Cahaya hijau samar berpendar dari balik kausnya, hanya terlihat olehnya. Di dalam benaknya, dia merasakan Simbah seperti memerintahnya dan melihat ke aksara Jawa yang melayang di udara.“Tulungen, dadi wong apik iku menyang kabeh makhluk, ora mung menungso.”Benar saj

  • Dokter Jenius Desa Menjadi Penguasa   Bab 9

    Melihat Surya dan Ratih yang bersembunyi seperti pengecut di kejauhan membuat darah Satrio mendidih, tapi hanya sesaat. Dulu, mungkin ia akan marah, merasa terhina, dan ingin balas membuktikan diri. Tapi sekarang, setelah memegang buku warisan Simbah, perasaannya berbeda.‘Kalian masih di situ?’ batinnya. ‘Urusanku sekarang lebih besar dari sekadar pamer motor atau cincin murahan’.Tanpa menoleh lagi, Satrio berjalan pulang dengan langkah cepat, pikirannya sudah fokus pada Gunung Lawu dan bunga langka yang harus ia dapatkan. Di belakangnya, Surya mungkin sedang tertawa sinis, dan Ratih mungkin sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Satrio tidak peduli. Permainan mereka terlalu kecil.Keesokan paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok, sebuah pesan dari Pak Kades menyambutnya. Salah satu Garda Desa datang dan dengan kasar menempelkan selembar pengumuman di pintu gubuknya yang reyot.“Pesan dari Pak Lurah,” kata Garda Desa itu dengan nada mengejek. “Baca baik-baik, Trio!”Setela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status