Share

Bab 2. Pria Itu

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2025-10-09 12:10:38

“Kamu siap-siap aja, nanti siang ke dokter. Aku mau beres-beres dulu,” ucap Avrisha setelah mengantarkan suaminya berangkat.

Kirana yang duduk manis di sofa ruang tamu sontak mengangguk, tapi tak juga beranjak dan tetap asyik bermain ponsel.

Avrisha tak mau ambil pusing, ia segera membereskan pekerjaan karena ART kebetulan sedang pulang kampung. Mulai dari kamarnya, beberapa ruangan lain hingga terakhir kamar di lantai bawah yang dihuni Kirana.

Ia masuk kamar itu, tampak tempat tidur tapi dan aroma pewangi ruangan berganti bau bunga segar. “Lho, beda kayak semalam?” gumamnya heran.

Helaan napas menderu berat, ia segera menghampiri meja kecil sambil tangannya menenteng penyedot debu kecil. Ada botol minum, handuk kecil, dan sebuah jam tangan mewah berwarna hitam dengan detail perak yang menarik perhatiannya.

Matanya menyipit. Avrisha tahu betul jam itu, persis seperti yang ia hadiahkan kepada suaminya saat anniversary mereka yang kelima.

Jarinya mengambil jam tersebut, mengangkatnya perlahan. “Ini bukannya jamnya Mas Arion? Kenapa ada di sini?”

“Kirana!” teriaknya kencang, tak lama kemudian Kirana datang tergopoh-gopoh.

“Kenapa teriak-teriak, Sha?” tanyanya panik dengan raut bingung.

Avrisha menunjukkan jam tangan di tangannya. “Kenapa jam tangan suamiku ada di sini?”

Kirana terdiam, tubuhnya membeku seketika. Mata Avrisha menyorot lurus, menatap lekat wajah sahabatnya.

Kirana cepat-cepat melangkah, mengambil jam tangan dari tangan Avrisha. Senyum dipaksakan itu tampak janggal di bibirnya.

“Eh ... iya, ini kayaknya ketinggalan waktu Mas Arion nganter buah kemarin. Dia sempat mampir sebentar ke kamar ini, nanya aku mau makan apa. Mungkin dia copot jamnya terus kelupaan,” ucapnya cepat, tergagap.

Avrisha menatapnya tanpa berkedip. “Tapi kemarin Mas Arion pulang telat dari kantor. Dia langsung mandi, terus baring di kamar. Nggak sempat ke sini kayaknya.”

Kirana terdiam sejenak, matanya bergerak cepat seolah menyusun alibi baru. “Oh ... b-bukan kemarin sore, deng. Kemarin lusa mungkin, aku juga agak-agak lupa. Sebenarnya aku mau balikin, tapi belum sempat.”

Kening Avrisha mengernyit. Ia membuka mulut, tapi tak jadi bicara. Sesuatu di dalam dadanya berontak, curiga yang makin tumbuh, tapi tertahan oleh ketakutan akan kebenaran yang mungkin terlalu menyakitkan untuk dihadapi.

“Kamu bawa aja, Sha. Kalau di sini takutnya malah hilang,” lanjut Kirana.

Avrisha mengangguk, memasukkan benda mahal itu ke saku dress-nya lantas kembali fokus membersihkan debu, sementara Kirana kini duduk di ranjang memperhatikannya.

Hatinya panas sekali saat ini, tetapi tak ada bukti nyata yang menjawab.

***

Siang itu, matahari menyengat, membuat Avrisha memicingkan mata saat keluar dari mobil. Ia memegangi pundak Kirana sambil berjalan menuju lobi rumah sakit ibu dan anak.

“Sha, aku deg-degan banget, lho. Ini beneran masuk minggu keenam, ya?” tanya Kirana sembari menepuk ringan perutnya.

“Iya, seharusnya sudah nampak detak jantung,” sahut Avrisha pelan.

Kirana tersenyum. “Deg-degan banget! Nggak sabar kasih tahu Mas Arion juga nanti kalau udah kedengeran detak jantungnya.”

Avrisha hanya tersenyum tipis, sekilas.

Mereka sampai di depan ruang Poli Kandungan. Setelah mendaftar dan menunggu beberapa menit, suster memanggil untuk masuk.

Kirana dan Avrisha berjalan berdampingan menuju ruangan yang ditunjuk. Pintu itu terbuka setengah. Suara ketukan pelan mengiringi langkah mereka masuk.

“Selamat siang, Dok ...,” ucap Kirana menggantung.

Avrisha yang berjalan di belakangnya ikut masuk dan sepersekian detik kemudian, langkahnya membeku.

Deg!

Matanya terpaku pada pria yang duduk di balik meja, mengenakan jas putih bersih dan name tag kecil bertuliskan dr. Elvareno Mahindra, Sp.OG.

Pria itu mengangkat wajahnya dari berkas. Sepasang mata tajam berwarna gelap langsung menatapnya. Datar, tanpa sedikitpun gurat senyum.

Wajah itu membuat angan Avrisha terbang jauh ke belasan tahun silam. Rahangnya masih tegas, rambutnya disisir rapi, dan garis wajahnya tak banyak berubah.

“Silakan baring, Bu Kirana,” ucapnya pendek, membuyarkan lamunan Avrisha.

Kirana cepat naik ke ranjang periksa. Avrisha mengikuti, masih setengah linglung. Ia berdiri di sisi ranjang, membantu mengangkat pakaian Kirana hingga perutnya terbuka, sambil diam-diam mencuri pandang ke arah pria itu.

Elvareno memakai sarung tangan medis, lalu menyalakan mesin USG.

“Kandungan lima minggu enam hari. Kantung janin terbentuk. Detak jantung belum terdengar jelas, tapi semuanya normal,” ucapnya datar, mata tetap menatap monitor.

Setelah pemeriksaan selesai, Elvareno membantu melepas gel dari perut Kirana. “Akan saya buatkan surat pengantar untuk tes darah dan urin. Suster akan dampingi ke lab.”

“Terima kasih, Dok,” ujar Kirana antusias.

Suster masuk, lalu membantu Kirana keluar ruangan. Avrisha ikut beranjak, tapi saat hendak sampai pintu, langkahnya terhenti saat suara bariton memanggil namanya, “Avrisha ....”

Langkahnya terhenti.

Suara itu menahannya, entah kenapa terasa mengguncang jantungnya. Ia berbalik, perlahan menatap sepasang manik legam yang dulu pernah menatapnya dengan penuh cinta.

Elvareno berdiri tegak di dekat meja, tangan menyelip di saku jas dokter, tatapannya lurus ke matanya.

“Kau pergi tanpa kabar. Enam tahun.”

Avrisha menahan napas. Hening beberapa detik, lalu ia berkata pelan, “Maaf, aku ....”

Pria itu mendekat dua langkah, membuat tubuh Avrisha refleks merapat ke pintu.

“Kau lupa aku?” tanyanya lagi. Masih datar, nadanya seperti pisau yang terayun lambat.

Avrisha menunduk. “Aku nggak lupa.”

“Sikapmu seperti tidak pernah mengenalku, Av.”

Avrisha menelan ludahnya. “Kita ... udah lama nggak ketemu. Lupakan saja.”

Elvareno menyipitkan mata. “Aku tidak terbiasa melupakan orang yang meninggalkanku saat aku sedang mencintainya.”

Ucapan itu membuat Avrisha mematung, tiba-tiba saja matanya memanas seiring aliran degup jantungnya yang kian bertalu keras.

Ia membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Rasanya seperti tenggelam dalam laut yang tak punya dasar.

“Aku belum mendapat jawaban atas kepergianmu. Kenapa?” lanjut Elvareno.

Avrisha terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Apa harus mengatakan kalau enam tahun silam orang tuanya menjodohkan paksa dengan Arion sehingga ia harus meninggalkan sang kekasih tanpa kabar? Rasanya, lidahnya terlalu kelu untuk mengatakan itu.

Detik berikutnya, Elvareno melangkah mundur. Menatapnya dengan tenang. “Sampaikan pada suamimu, ada pria yang masih menunggu istirnya.”

“A-apa maksud-

“Aku masih mencintaimu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 78. Mendonorkan Darah

    Di dalam ruang operasi, cahaya putih terang menimpa tubuh Arion yang telah dipindahkan ke meja operasi. Dokter bedah umum, dr. Yanuar, menatap monitor sambil mengenakan sarung tangan steril.“Tekanan darah?”Perawat memantau layar. “Masih rendah, Dok. 85/50.”“Infus cepat, tambah norepinephrine. Kita nggak punya banyak waktu.”Arion tampak pucat, tubuhnya dingin. Kemeja pasien dipotong, membukakan dada yang penuh memar.Dr. Yanuar menarik napas. “Mulai anestesi. Kita buka bagian perut dulu.”Anestesiolog menyuntikkan obat ke jalur IV. Arion terdiam, tubuhnya perlahan melemas.Pisau bedah mulai bekerja.Sayatan memanjang dibuka, darah mengalir pelan. Dokter memasukkan kasa, mengangkat organ dengan hati-hati.“Robekan di limpa besar sekali.”“Harus diangkat?” tanya asisten.“Ya. Kalau dipertahankan, pasien mati.”Instruksi mengalir cepat. Suction menyedot darah. Suara mesin berdenging. Bau hangat daging terbuka memenuhi ruang.Limpa diangkat, lantas dipotong dan terakhir diikat dengan t

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 76. Perasaan Tak Pernah Salah

    Lorong bernapas cepat seperti dada seseorang yang hampir pingsan. Suara monitor, langkah perawat, dan tangis samar bayi dari ruang lain bercampur jadi satu, membuat udara terasa sesak.Elvareno masih berdiri di depan Avrisha. Seragamnya, baju scrub hijau tua dengan celemek operasi yang masih bernoda darah Kirana, melekat di tubuhnya. Masker tergantung di leher, sarung tangan sudah ia lepas, tapi mantel steril masih menutup bahu dan dadanya. Ia tampak ingin memegang bahu Avrisha, tapi menahan diri. Seragamnya belum sepenuhnya bersih. Menyentuh Avrisha hanya akan menodai pakaian perempuan itu dengan bekas tragedi.“Avrisha, ” panggil Elvareno dalam, serak, seperti baru saja menahan tangis. “Aku nggak bisa memeluk kamu dulu, masih pakai baju operasi. Kamu nangis aja kalau itu bisa melegakan hatimu, jangan ditahan, ya. Aku di sini tungguin kamu, dengar?” Tatapannya hangat, menahan gejolak.Avrisha menghapus air mata dengan punggung tangan yang gemetar. “Iya, aku dengar.”Elvareno mendek

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 76. Waktu Kematian

    Sirine ambulans memecah udara sore yang pucat. Dentumannya menggema di pelataran depan IGD ketika dua ambulans sekaligus memasuki area rumah sakit, remnya berdecit kasar. Para perawat sudah menunggu dengan brankar, sebagian berlari mendekat sebelum mobil benar-benar berhenti.Pintu ambulans terbuka.Dan dunia seketika runtuh bagi Avrisha.Darah.Begitu banyak darah.Bau logam menyengat tercampur bau bensin, campur aduk dengan teriakan panik para tenaga medis.Kirana terbaring di brankar pertama. Tubuhnya tidak bergerak, wajahnya pucat pasi seperti kain dukuh yang direndam air es. Perutnya yang besar terlihat mengeras, dress-nya sobek, basah oleh darah dari paha sampai lutut. Ada serpihan kaca menempel di lengan dan garis merah mengalir tanpa putus dari pelipis hingga dagu.“Pasien hamil! Gawat darurat! Kondisi tidak stabil!” teriak seorang perawat.Avrisha menutup mulutnya, suara tercekat di tenggorokan.“K-Kirana, Ya Tuhan .…”Brankar kedua turun.Renata. Rambutnya kusut, wajahnya

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 75. Kontraksi

    Satu Bulan Kemudian.“MAS ARION! SAKIT—SAKIT! AHH—!” pekik Kirana berteriak lantang.Avrisha buru-buru menuruni tangga, hampir tersandung anak tangga ketiga. Saat itu Arion sedang memegangi Kirana yang meringkuk sambil memegang perutnya yang membuncit.“Kirana kontraksi!” Arion berseru, wajahnya kacau-balau. Kemejanya belum dilepas setelah pulang kantor, dasinya miring, rambutnya acak-acakan.“M-Mas … sakit, sakit banget!” Kirana menggenggam lengan Arion, kuku-kukunya hampir mencakar kulit pria itu.Renata muncul dari ruang tamu, wajahnya tegang. “Arion! Cepat bawa Kirana ke mobil! Cepat!”Arion langsung mengalungkan tangan Kirana ke bahunya. “Oke, oke, aku gendong kamu. Pelan, ya.”Ia mengangkat tubuh Kirana tanpa ragu, wajah keduanya berjarak sangat dekat hingga Avrisha merasa dadanya diremas dari dalam.Arion bahkan tidak melihat ke arahnya.Hanya fokus pada Kirana.Seolah dunia hanya berisi kedua makhluk itu.Kirana menangis kecil, meraih kerah Arion seperti anak kecil ketakutan

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 74. Rapuh

    Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras kala Avrisha masuk dengan raut tegang, membuat Arion yang tengah duduk santai di ruang tamu terhenyak kaget.“Sha?” Suara itu memanggil pelan, tapi getirnya menggores telinga. Arion masih mengenakan kemeja kerja yang kusut di bagian siku, seperti ia sudah berulang kali meremasnya sepanjang perjalanan pulang.Tatapan matanya memindai Avrisha cepat, gugup, seperti anak kecil yang baru ketahuan mencuri.“Kenapa kamu nggak angkat teleponku?” tanya Arion lembut. "Aku tadi pulang nggak nemuin kamu, aku kira ke mana. Biasanya sore sudah pulang, apa di butik sibuk sekali? Mumpung hari ini aku nggak lembur, aku pengen kita habiskan waktu bersama, Sayang."Avrisha tidak menjawab, kakinya bergerak melepas sepatu pelan, seperti menyingkirkan beban hari ini.Arion mendekat. “Kamu capek, ya?” Ia mencoba tersenyum, tapi otot wajahnya gagal bekerja. Senyumnya miring dan tegang. “A-aku beli makanan kesukaanmu tadi. Kamu belum makan, ‘kan? Kita makan bareng, y

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 73. Terus Tertindas

    Hari-hari berikutnya berjalan seperti lembar-lembar kalender yang tergulung diam-diam. Waktu bergerak, tetapi Avrisha tetap merasa terjebak di antara satu rumah yang menyiksanya dan satu janji kebebasan yang baru akan datang sebulan lagi.Sejak Keira kembali ke Singapura untuk menyelesaikan proyek akhir tahun perusahaan, rumah menjadi semakin sunyi. Tidak ada lagi sosok perempuan cerewet yang selalu menariknya keluar kamar untuk sekadar makan roti bakar bersama atau menonton drama yang tak pernah habis episodenya.Kini hanya ada Kirana, yang setiap hari semakin sensitif menjelang persalinan.Dan Arion, yang pulang larut malam hampir setiap hari.Jadi, daripada mengurung diri di kamar sambil mendengar suara Kirana yang mudah tersinggung atau menunggu Arion yang makin asing, Avrisha memilih melarikan diri ke butik peninggalan mendiang mamanya.Butik itu berdiri anggun di sebuah ruko dua lantai, dipenuhi kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aroma kain baru dan softener

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status