“Kamu siap-siap aja, nanti siang ke dokter. Aku mau beres-beres dulu,” ucap Avrisha setelah mengantarkan suaminya berangkat.
Kirana yang duduk manis di sofa ruang tamu sontak mengangguk, tapi tak juga beranjak dan tetap asyik bermain ponsel. Avrisha tak mau ambil pusing, ia segera membereskan pekerjaan karena ART kebetulan sedang pulang kampung. Mulai dari kamarnya, beberapa ruangan lain hingga terakhir kamar di lantai bawah yang dihuni Kirana. Ia masuk kamar itu, tampak tempat tidur tapi dan aroma pewangi ruangan berganti bau bunga segar. “Lho, beda kayak semalam?” gumamnya heran. Helaan napas menderu berat, ia segera menghampiri meja kecil sambil tangannya menenteng penyedot debu kecil. Ada botol minum, handuk kecil, dan sebuah jam tangan mewah berwarna hitam dengan detail perak yang menarik perhatiannya. Matanya menyipit. Avrisha tahu betul jam itu, persis seperti yang ia hadiahkan kepada suaminya saat anniversary mereka yang kelima. Jarinya mengambil jam tersebut, mengangkatnya perlahan. “Ini bukannya jamnya Mas Arion? Kenapa ada di sini?” “Kirana!” teriaknya kencang, tak lama kemudian Kirana datang tergopoh-gopoh. “Kenapa teriak-teriak, Sha?” tanyanya panik dengan raut bingung. Avrisha menunjukkan jam tangan di tangannya. “Kenapa jam tangan suamiku ada di sini?” Kirana terdiam, tubuhnya membeku seketika. Mata Avrisha menyorot lurus, menatap lekat wajah sahabatnya. Kirana cepat-cepat melangkah, mengambil jam tangan dari tangan Avrisha. Senyum dipaksakan itu tampak janggal di bibirnya. “Eh ... iya, ini kayaknya ketinggalan waktu Mas Arion nganter buah kemarin. Dia sempat mampir sebentar ke kamar ini, nanya aku mau makan apa. Mungkin dia copot jamnya terus kelupaan,” ucapnya cepat, tergagap. Avrisha menatapnya tanpa berkedip. “Tapi kemarin Mas Arion pulang telat dari kantor. Dia langsung mandi, terus baring di kamar. Nggak sempat ke sini kayaknya.” Kirana terdiam sejenak, matanya bergerak cepat seolah menyusun alibi baru. “Oh ... b-bukan kemarin sore, deng. Kemarin lusa mungkin, aku juga agak-agak lupa. Sebenarnya aku mau balikin, tapi belum sempat.” Kening Avrisha mengernyit. Ia membuka mulut, tapi tak jadi bicara. Sesuatu di dalam dadanya berontak, curiga yang makin tumbuh, tapi tertahan oleh ketakutan akan kebenaran yang mungkin terlalu menyakitkan untuk dihadapi. “Kamu bawa aja, Sha. Kalau di sini takutnya malah hilang,” lanjut Kirana. Avrisha mengangguk, memasukkan benda mahal itu ke saku dress-nya lantas kembali fokus membersihkan debu, sementara Kirana kini duduk di ranjang memperhatikannya. Hatinya panas sekali saat ini, tetapi tak ada bukti nyata yang menjawab. *** Siang itu, matahari menyengat, membuat Avrisha memicingkan mata saat keluar dari mobil. Ia memegangi pundak Kirana sambil berjalan menuju lobi rumah sakit ibu dan anak. “Sha, aku deg-degan banget, lho. Ini beneran masuk minggu keenam, ya?” tanya Kirana sembari menepuk ringan perutnya. “Iya, seharusnya sudah nampak detak jantung,” sahut Avrisha pelan. Kirana tersenyum. “Deg-degan banget! Nggak sabar kasih tahu Mas Arion juga nanti kalau udah kedengeran detak jantungnya.” Avrisha hanya tersenyum tipis, sekilas. Mereka sampai di depan ruang Poli Kandungan. Setelah mendaftar dan menunggu beberapa menit, suster memanggil untuk masuk. Kirana dan Avrisha berjalan berdampingan menuju ruangan yang ditunjuk. Pintu itu terbuka setengah. Suara ketukan pelan mengiringi langkah mereka masuk. “Selamat siang, Dok ...,” ucap Kirana menggantung. Avrisha yang berjalan di belakangnya ikut masuk dan sepersekian detik kemudian, langkahnya membeku. Deg! Matanya terpaku pada pria yang duduk di balik meja, mengenakan jas putih bersih dan name tag kecil bertuliskan dr. Elvareno Mahindra, Sp.OG. Pria itu mengangkat wajahnya dari berkas. Sepasang mata tajam berwarna gelap langsung menatapnya. Datar, tanpa sedikitpun gurat senyum. Wajah itu membuat angan Avrisha terbang jauh ke belasan tahun silam. Rahangnya masih tegas, rambutnya disisir rapi, dan garis wajahnya tak banyak berubah. “Silakan baring, Bu Kirana,” ucapnya pendek, membuyarkan lamunan Avrisha. Kirana cepat naik ke ranjang periksa. Avrisha mengikuti, masih setengah linglung. Ia berdiri di sisi ranjang, membantu mengangkat pakaian Kirana hingga perutnya terbuka, sambil diam-diam mencuri pandang ke arah pria itu. Elvareno memakai sarung tangan medis, lalu menyalakan mesin USG. “Kandungan lima minggu enam hari. Kantung janin terbentuk. Detak jantung belum terdengar jelas, tapi semuanya normal,” ucapnya datar, mata tetap menatap monitor. Setelah pemeriksaan selesai, Elvareno membantu melepas gel dari perut Kirana. “Akan saya buatkan surat pengantar untuk tes darah dan urin. Suster akan dampingi ke lab.” “Terima kasih, Dok,” ujar Kirana antusias. Suster masuk, lalu membantu Kirana keluar ruangan. Avrisha ikut beranjak, tapi saat hendak sampai pintu, langkahnya terhenti saat suara bariton memanggil namanya, “Avrisha ....” Langkahnya terhenti. Suara itu menahannya, entah kenapa terasa mengguncang jantungnya. Ia berbalik, perlahan menatap sepasang manik legam yang dulu pernah menatapnya dengan penuh cinta. Elvareno berdiri tegak di dekat meja, tangan menyelip di saku jas dokter, tatapannya lurus ke matanya. “Kau pergi tanpa kabar. Enam tahun.” Avrisha menahan napas. Hening beberapa detik, lalu ia berkata pelan, “Maaf, aku ....” Pria itu mendekat dua langkah, membuat tubuh Avrisha refleks merapat ke pintu. “Kau lupa aku?” tanyanya lagi. Masih datar, nadanya seperti pisau yang terayun lambat. Avrisha menunduk. “Aku nggak lupa.” “Sikapmu seperti tidak pernah mengenalku, Av.” Avrisha menelan ludahnya. “Kita ... udah lama nggak ketemu. Lupakan saja.” Elvareno menyipitkan mata. “Aku tidak terbiasa melupakan orang yang meninggalkanku saat aku sedang mencintainya.” Ucapan itu membuat Avrisha mematung, tiba-tiba saja matanya memanas seiring aliran degup jantungnya yang kian bertalu keras. Ia membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Rasanya seperti tenggelam dalam laut yang tak punya dasar. “Aku belum mendapat jawaban atas kepergianmu. Kenapa?” lanjut Elvareno. Avrisha terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Apa harus mengatakan kalau enam tahun silam orang tuanya menjodohkan paksa dengan Arion sehingga ia harus meninggalkan sang kekasih tanpa kabar? Rasanya, lidahnya terlalu kelu untuk mengatakan itu. Detik berikutnya, Elvareno melangkah mundur. Menatapnya dengan tenang. “Sampaikan pada suamimu, ada pria yang masih menunggu istirnya.” “A-apa maksud-” “Aku masih mencintaimu.”Sore itu, setelah Renata pamit pulang, rumah akhirnya terasa lebih lapang. Tidak ada lagi suara nyinyir menyindir, membuat Avrisha sejenak bisa bernapas lega.Ia duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang tak disentuh. Jemarinya memainkan sisi cangkir, sesekali menarik napas panjang untuk menahan ledakan amarah yang masih berputar di kepala.Arion berjalan masuk, masih mengenakan kaos putih dan celana training abu yang sering dipakainya kalau sedang di rumah.“Kamu nggak makan?” tanyanya singkat.Avrisha menggeleng pelan. “Nggak lapar.”Suaminya menarik kursi, duduk di seberangnya sambil meneguk air putih. Hening sejenak. Sampai akhirnya, Avrisha angkat bicara.“Aku mau keluar sebentar.”Arion menoleh. “Kemana? Mau aku anterin?”“Enggak usah. Aku sama sopir aja,” sahutnya cepat.“Biar aku yang anter. Sekalian cari udara sore Sayang.”“Enggak,” jawab Avrisha dengan nada lebih tinggi. “Aku
“Aku benar-benar nggak ngerti kenapa dokter itu ngomong begitu,” ucap Kirana, serak.Mereka semua kini berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Renata, sementara Avrisha duduk di depan bersama Arion.Renata langsung menggenggam tangan Kirana erat. “Sudah, Sayang, jangan dipikirin omongannya. Tante tahu kamu jujur, orang tadi badan kamu panas banget dan sampai menggigil."Kirana menarik napas panjang, lalu melirik Arion lewat kaca spion tengah. “Mas … kamu percaya aku, kan?”Arion diam. Pandangannya lurus ke depan, tak menjawab. Mendengar itu, Avrisha hanya bisa menarik napas panjang. Yang ditanya hanya suamimu, dirinya tidak. Apa Kirana tidak menganggap kehadirannya?Kirana kembali bicara, suaranya sedikit bergetar. “Tadi itu, beneran flek. Badanku demam, perut melilit, dan aku ngerasa kayak mau pingsan. Nggak mungkin aku pura-pura, Mas. Itu sama aja kayak mendoakan yang buruk buat anak ini
Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara."Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”Avrisha menarik n
"Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab."Aku antar," sahut pria itu singkat.Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya."Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah."Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno."Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak.Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya.Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak."Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi."Hubungi aku, Av".Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. K
"Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-" Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai me
"Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya. "El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh