"Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya.
"El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh Elvareno dengan kedua tangan, kali ini berhasil membuat pria itu mundur beberapa langkah. "Aku sudah menikah! Aku bukan perempuan yang bisa kau paksa seenaknya!" teriaknya penuh amarah. Elvareno menatapnya. Mata itu tetap gelap, tanpa ekspresi berlebih. "Pernikahanmu bahagia?" tanyanya dingin. Avrisha melempar pandangan ke arah lain, sengaja tak mau menatap Elvareno terlalu lama. "Itu bukan urusanmu!" Elvareno melangkah pelan mendekat lagi, tak mengacuhkan penolakan tadi. "Kau dijodohkan, itu bukan cinta." "Aku mencintainya sekarang," balas Avrisha dengan suara gemetar. "Benarkah?" tanyanya lagi, kali ini lebih rendah. "Kau lupa aku sangat mencintaimu? Lupa bagaimana aku menciummu-" "Berhenti ...!" pekik Avrisha, tangannya mengepal dengan mata terpejam erat. "Aku mencarimu bertahun-tahun. Jejakmu hilang, semua orang mengaku tak tahu keberadaanmu. Lalu, sekarang kau muncul sendiri di hadapanku." Avrisha menggeleng cepat. "Itu kebetulan, El!" "Kebetulan semesta membawamu kembali padaku. Begitu?" Wanita itu menggeleng lirih. "Ku mohon jangan begini, El ....." Elvareno memiringkan kepala sedikit, tetap menatap datar meski Avrisha sudah terisak. "Aku sudah melupakanmu. Kita sudah selesai, El-" "Belum!" potong pria itu. "Aku yang belum melupakanmu". "Hidup kita sudah di jalur masing-masing. Nggak semua kisah layak diulang, kita harus jalan terus. Kalau tetap di masa lalu, yang ada hanya sakit hati." Suara Avrisha melemah, matanya sembab. Elvareno menatapnya lekat, lalu berkata dengan suara pelan, "aku masih mencintaimu. Dan kalau waktunya tiba, aku akan mengambilmu kembali." Tubuh Avrisha melemas. Ia bersandar ke dinding, air mata terus mengalir. Ia bahkan tak tahu harus berkata apa. Elvareno kembali mendekat, tangannya terulur meraih knop pintu dan membukanya perlahan. Kepalanya menoleh lagi, menatap wajah perempuan yang masih ia cintai hingga detik ini. "Kapan pun kau ingin pergi darinya, datanglah padaku. Dia nggak sebaik yang kau kira." Pria tampan itu menarik napas panjang, mengembuskannya kasar. "Pergilah, nomor teleponku masih sama." Avrisha menghapus kasar air matanya, lantas melangkah cepat keluar ruangan membawa perasaannya yang kini kalut. *** Malam mulai merayap, hanya suara detik jam di dinding ruang tengah yang menemani Avrisha duduk sendiri di sofa. Ia menatap layar ponsel yang kosong. Sudah hampir jam dua belas malam. Suaminya belum juga pulang. "Apa dia lembur?" batinnya mencoba menenangkan diri, walau sejujurnya ia tahu, Arion bukan tipe yang suka kerja sampai larut. Kalaupun ada proyek besar, pasti ia akan memberi kabar, minimal satu pesan. Tepat saat pikirannya dikuasai curiga yang sulit dibendung, suara mesin mobil terdengar dari depan rumah. Avrisha refleks berdiri. Ia melangkah cepat ke jendela, mengintip dari sela tirai. Suaminya keluar dari mobil, tangan kanan pria itu tergenggam buket besar bunga peoni warna merah muda pucat. Di tangan kirinya, ada kotak kue putih dengan pita emas mengilap. Pintu rumah segera ia buka. Udara dingin malam langsung menyambut kulitnya. "Mas ...?" Arion mengangkat kepala, tersenyum tipis. "Maaf larut malam, Sha. Kamu belum tidur?" Avrisha menggeleng. "Aku nunggu kamu". "Maaf, ya," ucap Arion, tangannya menyodorkan buket bunga itu. "Aku belikan bunga tadi, sekaligus cheesecake kesukaan kamu." Avrisha masih menganga, tertegun sesaat karena merasa hari ini bukan hari spesialnya. Saat dirinya ulang tahun saja suaminya jarang memberikan kado, apalagi ucapan selamat. Kenapa malam ini tiba-tiba memberinya hadiah? "Kita sudah lama nggak menghabiskan waktu bersama, aku nggak tahu harus gimana biar kelihatan romantis. Tapi semoga kamu suka bunganya," lanjut pria itu. Avrisha mengangguk kaku, bibirnya melengkung menapakkan senyum yang tampak canggung. "Makasih banyak, ya, Mas. Semoga kamu selalu sehat dan rejekinya makin luber. Ayo kita masuk." Arion mengangguk pelan, lantas masuk sambil lengannya digamit erat oleh sang istri. Ia menaruh kue dan bunga di meja ruang makan, lantas menggandeng Avrisha ke kamar. "Tunggu," bisik Arioan saat pintu baru saja tertutup. Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jas dan mengeluarkan kotak kecil beludru hitam. Avrisha terpaku menatapnya. "Apa itu?" Arion tersenyum, lalu membuka kotaknya perlahan. Di dalamnya, terletak kalung berlian mungil, liontinnya berbentuk tetesan air. "Kalung cantik untuk wanita cantik, aku membelikannya buat kamu, Sayang," ujar pria itu. Avrisha menutup mulut, matanya membelalak tak percaya. "Aku sadar jarang memperlakukan kamu romantis, aku juga jarang kasih hadiah. Tapi percayalah, aku sangat mencintai kamu dan nggak ada wanita lain di dunia ini selain kamu, Avrisha." Arion membelai wajah lembut istrinya, melabuhkan kecupan singkat di kening. "Aku pakaikan, ya." Avrisha menatap mata suaminya yang entah kenapa malam ini tampak sangat berbeda. Ia menurut saat suaminya membalikkan tubuhnya, memasangkan kalung berlian itu. "Aku menginginkanmu malam ini," bisiknya sambil membalikkan tubuh Avrisha. Arion mencium bibir istrinya dengan pelan. Tangan mereka saling menggenggam, menyusuri tubuh masing-masing dengan lembut. Suara desahan terdengar mengisi kamar, berpadu dengan sentuhan panas yang mulai menyala. Tubuh mereka menyatu dengan lembut. Tidak terburu-buru, seolah ingin menikmati setiap detik. Avrisha membalas setiap sentuhan suaminya, membiarkan dirinya larut dalam pelukan yang malam ini terasa begitu menggairahkan. "Oughh ...." "Bersama, Sayang," bisik Arion, memeluk tubuh istrinya makin erat saat hasratnya kian naik ke ujung kepala. *** Wanita cantik itu terbangun entah jam berapa, merasa tenggorokannya kering dan mendapati kamar masih gelap. Namun, pintu kamarnya terbuka sedikit, semburat cahaya lampu masuk dan sayup-sayup suara seseorang tengah berbincang terdengar samar. Tubuhnya bangkit perlahan, pelan-pelan menjejakkan kaki ke ubin dan melangkah ke dekat pintu. Ia dekatkan daun telinga, menahan untuk mengintip karena takut ketahuan. "Gimana, sih, katanya kue sama hadiahnya buat aku!" "Aku maunya juga gitu, tapi Avrisha masih bangun. Kalau aku masuk ke kamar kamu, dia bisa tahu, dong." Avrisha terbelalak, itu suara Arion. Ia kenal jelas. "Pokoknya aku nggak mau tahu, aku juga mau hadiah dan kue yang sama. Kalau enggak ... aku pergi aja bawa anak ini. Biar kamu sama Avrisha kapok! Jantung Avrisha hampir copot mendengarnya.Kirana? Ya, itu suara sahabatnya.
Tapi apa maksudnya? Apa ada hubungan lain yang terjalin di belakangnya?
"Jangan! Jangan bawa anak kita. Itu juga anakku, Kir." Lagi, ucapan itu makin menyentak Avrisha. Kenapa suaminya menyebut kata 'kita'? Bukankah itu benihnya, bukan benih Kirana? Kirana hanya dijadikan tempat, rahimnya disewa agar benih mereka tumbuh sampai dilahirkan. Kepala Avrisha seperti dihantam godam saat menyadari sesuatu. Tubuhnya limbung seolah seluruh dunia menghimpitnya."Astaga ... jadi selama ini mereka—?!"
Sore itu, setelah Renata pamit pulang, rumah akhirnya terasa lebih lapang. Tidak ada lagi suara nyinyir menyindir, membuat Avrisha sejenak bisa bernapas lega.Ia duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang tak disentuh. Jemarinya memainkan sisi cangkir, sesekali menarik napas panjang untuk menahan ledakan amarah yang masih berputar di kepala.Arion berjalan masuk, masih mengenakan kaos putih dan celana training abu yang sering dipakainya kalau sedang di rumah.“Kamu nggak makan?” tanyanya singkat.Avrisha menggeleng pelan. “Nggak lapar.”Suaminya menarik kursi, duduk di seberangnya sambil meneguk air putih. Hening sejenak. Sampai akhirnya, Avrisha angkat bicara.“Aku mau keluar sebentar.”Arion menoleh. “Kemana? Mau aku anterin?”“Enggak usah. Aku sama sopir aja,” sahutnya cepat.“Biar aku yang anter. Sekalian cari udara sore Sayang.”“Enggak,” jawab Avrisha dengan nada lebih tinggi. “Aku
“Aku benar-benar nggak ngerti kenapa dokter itu ngomong begitu,” ucap Kirana, serak.Mereka semua kini berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Renata, sementara Avrisha duduk di depan bersama Arion.Renata langsung menggenggam tangan Kirana erat. “Sudah, Sayang, jangan dipikirin omongannya. Tante tahu kamu jujur, orang tadi badan kamu panas banget dan sampai menggigil."Kirana menarik napas panjang, lalu melirik Arion lewat kaca spion tengah. “Mas … kamu percaya aku, kan?”Arion diam. Pandangannya lurus ke depan, tak menjawab. Mendengar itu, Avrisha hanya bisa menarik napas panjang. Yang ditanya hanya suamimu, dirinya tidak. Apa Kirana tidak menganggap kehadirannya?Kirana kembali bicara, suaranya sedikit bergetar. “Tadi itu, beneran flek. Badanku demam, perut melilit, dan aku ngerasa kayak mau pingsan. Nggak mungkin aku pura-pura, Mas. Itu sama aja kayak mendoakan yang buruk buat anak ini
Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara."Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”Avrisha menarik n
"Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab."Aku antar," sahut pria itu singkat.Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya."Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah."Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno."Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak.Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya.Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak."Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi."Hubungi aku, Av".Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. K
"Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-" Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai me
"Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya. "El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh