LOGIN"Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-"
Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai menyelinap masuk lewat celah tirai, tapi kehangatan itu tak menyentuh hatinya sedikit pun. Ia membuka mata perlahan, dan matanya langsung menatap sisi ranjang yang kosong. "Ke mana Mas Arion? Apa di kamar Kirana?" gumamnya. Tubuhnya bangkit pelan dari kasur. Dengan kaki telanjang, ia melangkah keluar kamar. Entah kenapa, langkahnya seakan digerakkan oleh sesuatu, membawanya menuju kamar tamu. Napasnya tercekat. Tangan kanannya terulur ke arah kenop pintu. Pelan-pelan ia buka pintu itu, detik itu juga dunianya runtuh. Arion terbaring di ranjang, sambil memeluk Kirana dari belakang. Tubuh mereka saling menempel, selimut menutupi hanya sampai pinggang, tubuh atas mereka tanpa sehelai benangpun. Rambut Kirana acak-acakan, lehernya tampak merah samar oleh bekas kissmark. Ia mengalihkan pandang ke lantai, tampak baju dan underwear berceceran di sana. Avrisha menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan jerit yang ingin keluar. Tubuhnya gemetar hebat, air mata langsung tumpah deras membasahi pipi. Ia mundur perlahan, menutup kembali pintu kamar itu tanpa suara. Tak sanggup lagi melihat. Apa mereka lupa mengunci pintu? Atau sengaja membiarkannya terbuka? Apakah ini cara Tuhan menunjukkan kebenaran? "Ya Tuhan ....!" Dengan sisa tenaga, ia berlari keluar rumah, tak peduli lagi dengan penampilannya. Tak tahu ke mana ia akan pergi, tak ada tujuan pasti. Ia hanya ingin lari. Lari sejauh mungkin dari rumah itu. Dari kebohongan suami dan sahabatnya, dari luka yang baru saja menghancurkan jiwanya. Langkahnya terhuyung di jalanan yang masih sepi. Pikirannya kalut dan pandangannya kabur oleh kabut air mata, hingga suara klakson tiba-tiba terdengar. BRAK! Tubuh Avrisha terpental dan jatuh ke aspal. Darah mengucur dari lutut dan siku, tapi ia tetap terbaring diam. Rasanya, perih luka fisik itu tidak sebanding dengan luka di hatinya. Terdengar suara pintu mobil di buka dan langkah cepat menghampirinya. Seseorang membungkuk, menatap wajahnya yang berlumuran air mata. "Avrisha?" Avrisha menoleh perlahan. Napasnya tercekat. Matanya membelalak, tangisnya makin pecah. "E-Elvareno ...?" lirihnya terbata. Pria itu menatapnya lekat, lalu tanpa berkata-kata langsung mengangkat tubuh rapuh Avrisha ke pelukannya. "Tenang, Av. Aku bawa ke apartemenku," bisik pria itu, tepat di daun telinga yang sontak menggetarkan bulu kuduk. *** Mobil mewah itu melaju mulus menembus jalanan. Di kursi belakang, Avrisha duduk dengan tubuh bersandar lemah, sesekali mobil bergetar melewati aspal yang tak rata. Wajah Avrisha masih kosong. Bibirnya pucat dan air matanya tak berhenti menetes meski matanya sudah bengkak. Elvareno meliriknya sekilas, di balik sorot mata gelap itu, ada kekhawatiran yang tak bisa bibirnya ucapkan. Begitu mobil sampai di depan gedung apartemen bertingkat tinggi, tanpa banyak bicara, Elvareno membuka pintu dan turun, lalu membungkuk ke sisi lain dan mengangkat tubuh Avrisha yang masih lunglai. Hening! Avrisha memejamkan mata, membiarkan tubuhnya dipeluk mantan kekasihnya itu. Lift membawa mereka naik ke lantai paling atas. Penthouse pribadi milik Elvareno. Pintu terbuka dengan sensor sidik jari. Elvareno mendudukkannya perlahan di atas sofa empuk berwarna abu gelap. Tanpa bicara, pria itu melepaskan jasnya, lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku. Ia mengambil kotak medis dari lemari kaca di sudut ruangan. Ia duduk bersimpuh di depan Avrisha, mulai membersihkan luka dengan hati-hati. Namun, Avrisha tetap diam. Wajahnya menunduk, air mata masih jatuh satu per satu, seperti hujan yang enggan berhenti. Elvareno mendongak, menatap wajah itu lekat-lekat. "Siapa?" tanyanya pelan, dingin. Avrisha tak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, tanpa menatap. "Suamimu?" Gelengan lagi, tapi kali ini lebih cepat. Tangan Avrisha meremas sisi rok yang ia kenakan, seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak meledak. Elvareno memasang perban terakhir di lutut wanita itu. Tangannya terhenti sesaat. Ia menghela napas, lalu berdiri. "Kalau kamu menderita, kenapa nggak kembali saja padaku?" Pertanyaan itu membuat Avrisha menoleh. Tatap mata mereka bertemu. Maniknya masih berkaca, meski ada setitik kilat tegas di dalamnya. "Aku nggak bisa." "Kenapa?" Elvareno mencondongkan tubuh sedikit. Tatapannya tajam, seolah menguliti isi pikiran Avrisha. "Masih cinta?" Avrisha tersenyum miris. "Dulu, iya ... cinta mati. Tapi sekarang ...." Ia memejamkan mata. Napasnya tercekat sebelum kembali bicara, "Aku bertahan bukan karena cinta, tapi karena anakku." "Aku ... nggak bisa hamil," lanjut Avrisha makin pelan setelah menghela napas panjang. "Setelah operasi pengangkatan rahimku, semuanya berubah. Dokter bilang rahimku rusak karena endometriosis parah. Mereka harus angkat semua dan aku nggak bisa mengandung anakku sendiri." Ia menggigit bibir, menahan sesak. "Jadi, aku menyewa wanita lain dan bayar untuk jadi ibu pengganti." Elvareno mengernyit, tapi tetap diam. "Benihnya benihku dan Arion. Tapi bayinya ... tumbuh di tubuh wanita lain. Sekarang dia tinggal di rumahku. Dan aku ... harus bertahan. Karena kalau aku pergi sekarang, kalau aku tinggalkan semuanya ... aku juga kehilangan anakku." Ia membuka mata, memandangi langit-langit apartemen mewah itu. "Aku cuma harus bertahan delapan bulan lagi. Sampai anakku lahir. Setelah itu ... mungkin, ya, aku akan pergi. Aku akan bawa anakku bersamaku." Avrisha tahu dirinya bukan wanita bodoh, ia bisa saja membalas dan melabrak dua orang jahat yang mengkhianatinya tadi pagi. Namun, ia memilih menahan, menggadaikan harga dirinya agar semuanya tetap baik-baik saja karena ingin bayinya lahir selamat. "Mereka mengkhianatimu?" Avrisha kembali terdiam mendapati pertanyaan itu. Bukannya menjawab, air matanya malah kembali menitik jatuh ke pangkuan. Helaan napas kasar terdengar berat, Elvareno berjalan perlahan ke arah dapur terbuka, mengambil segelas air putih, lalu menyerahkannya ke tangan Avrisha. Wanita itu menerimanya dengan tangan gemetar. "Makasih," bisiknya. Pria iru tak menjawab, pandangannya beralih menatap ke luar jendela, lalu berbicara tanpa menoleh, "kalau kamu sudah siap ... balas mereka!" Avrisha terdiam. "Dendam bukan hal buruk," lanjut Elvareno, datar. "Aku akan bantu." Avrisha mendongak menatap mata kelam itu. Tatapan yang dulu pernah ia hindari karena takut hatinya kembali bergetar oleh cinta pertamanya. Namun kini, apakah ia harus menerima bantuan Elvareno? "Apa aku harus balas dengan pengkhianatan yang sama. Ya Tuhan ...."Di dalam ruang operasi, cahaya putih terang menimpa tubuh Arion yang telah dipindahkan ke meja operasi. Dokter bedah umum, dr. Yanuar, menatap monitor sambil mengenakan sarung tangan steril.“Tekanan darah?”Perawat memantau layar. “Masih rendah, Dok. 85/50.”“Infus cepat, tambah norepinephrine. Kita nggak punya banyak waktu.”Arion tampak pucat, tubuhnya dingin. Kemeja pasien dipotong, membukakan dada yang penuh memar.Dr. Yanuar menarik napas. “Mulai anestesi. Kita buka bagian perut dulu.”Anestesiolog menyuntikkan obat ke jalur IV. Arion terdiam, tubuhnya perlahan melemas.Pisau bedah mulai bekerja.Sayatan memanjang dibuka, darah mengalir pelan. Dokter memasukkan kasa, mengangkat organ dengan hati-hati.“Robekan di limpa besar sekali.”“Harus diangkat?” tanya asisten.“Ya. Kalau dipertahankan, pasien mati.”Instruksi mengalir cepat. Suction menyedot darah. Suara mesin berdenging. Bau hangat daging terbuka memenuhi ruang.Limpa diangkat, lantas dipotong dan terakhir diikat dengan t
Lorong bernapas cepat seperti dada seseorang yang hampir pingsan. Suara monitor, langkah perawat, dan tangis samar bayi dari ruang lain bercampur jadi satu, membuat udara terasa sesak.Elvareno masih berdiri di depan Avrisha. Seragamnya, baju scrub hijau tua dengan celemek operasi yang masih bernoda darah Kirana, melekat di tubuhnya. Masker tergantung di leher, sarung tangan sudah ia lepas, tapi mantel steril masih menutup bahu dan dadanya. Ia tampak ingin memegang bahu Avrisha, tapi menahan diri. Seragamnya belum sepenuhnya bersih. Menyentuh Avrisha hanya akan menodai pakaian perempuan itu dengan bekas tragedi.“Avrisha, ” panggil Elvareno dalam, serak, seperti baru saja menahan tangis. “Aku nggak bisa memeluk kamu dulu, masih pakai baju operasi. Kamu nangis aja kalau itu bisa melegakan hatimu, jangan ditahan, ya. Aku di sini tungguin kamu, dengar?” Tatapannya hangat, menahan gejolak.Avrisha menghapus air mata dengan punggung tangan yang gemetar. “Iya, aku dengar.”Elvareno mendek
Sirine ambulans memecah udara sore yang pucat. Dentumannya menggema di pelataran depan IGD ketika dua ambulans sekaligus memasuki area rumah sakit, remnya berdecit kasar. Para perawat sudah menunggu dengan brankar, sebagian berlari mendekat sebelum mobil benar-benar berhenti.Pintu ambulans terbuka.Dan dunia seketika runtuh bagi Avrisha.Darah.Begitu banyak darah.Bau logam menyengat tercampur bau bensin, campur aduk dengan teriakan panik para tenaga medis.Kirana terbaring di brankar pertama. Tubuhnya tidak bergerak, wajahnya pucat pasi seperti kain dukuh yang direndam air es. Perutnya yang besar terlihat mengeras, dress-nya sobek, basah oleh darah dari paha sampai lutut. Ada serpihan kaca menempel di lengan dan garis merah mengalir tanpa putus dari pelipis hingga dagu.“Pasien hamil! Gawat darurat! Kondisi tidak stabil!” teriak seorang perawat.Avrisha menutup mulutnya, suara tercekat di tenggorokan.“K-Kirana, Ya Tuhan .…”Brankar kedua turun.Renata. Rambutnya kusut, wajahnya
Satu Bulan Kemudian.“MAS ARION! SAKIT—SAKIT! AHH—!” pekik Kirana berteriak lantang.Avrisha buru-buru menuruni tangga, hampir tersandung anak tangga ketiga. Saat itu Arion sedang memegangi Kirana yang meringkuk sambil memegang perutnya yang membuncit.“Kirana kontraksi!” Arion berseru, wajahnya kacau-balau. Kemejanya belum dilepas setelah pulang kantor, dasinya miring, rambutnya acak-acakan.“M-Mas … sakit, sakit banget!” Kirana menggenggam lengan Arion, kuku-kukunya hampir mencakar kulit pria itu.Renata muncul dari ruang tamu, wajahnya tegang. “Arion! Cepat bawa Kirana ke mobil! Cepat!”Arion langsung mengalungkan tangan Kirana ke bahunya. “Oke, oke, aku gendong kamu. Pelan, ya.”Ia mengangkat tubuh Kirana tanpa ragu, wajah keduanya berjarak sangat dekat hingga Avrisha merasa dadanya diremas dari dalam.Arion bahkan tidak melihat ke arahnya.Hanya fokus pada Kirana.Seolah dunia hanya berisi kedua makhluk itu.Kirana menangis kecil, meraih kerah Arion seperti anak kecil ketakutan
Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras kala Avrisha masuk dengan raut tegang, membuat Arion yang tengah duduk santai di ruang tamu terhenyak kaget.“Sha?” Suara itu memanggil pelan, tapi getirnya menggores telinga. Arion masih mengenakan kemeja kerja yang kusut di bagian siku, seperti ia sudah berulang kali meremasnya sepanjang perjalanan pulang.Tatapan matanya memindai Avrisha cepat, gugup, seperti anak kecil yang baru ketahuan mencuri.“Kenapa kamu nggak angkat teleponku?” tanya Arion lembut. "Aku tadi pulang nggak nemuin kamu, aku kira ke mana. Biasanya sore sudah pulang, apa di butik sibuk sekali? Mumpung hari ini aku nggak lembur, aku pengen kita habiskan waktu bersama, Sayang."Avrisha tidak menjawab, kakinya bergerak melepas sepatu pelan, seperti menyingkirkan beban hari ini.Arion mendekat. “Kamu capek, ya?” Ia mencoba tersenyum, tapi otot wajahnya gagal bekerja. Senyumnya miring dan tegang. “A-aku beli makanan kesukaanmu tadi. Kamu belum makan, ‘kan? Kita makan bareng, y
Hari-hari berikutnya berjalan seperti lembar-lembar kalender yang tergulung diam-diam. Waktu bergerak, tetapi Avrisha tetap merasa terjebak di antara satu rumah yang menyiksanya dan satu janji kebebasan yang baru akan datang sebulan lagi.Sejak Keira kembali ke Singapura untuk menyelesaikan proyek akhir tahun perusahaan, rumah menjadi semakin sunyi. Tidak ada lagi sosok perempuan cerewet yang selalu menariknya keluar kamar untuk sekadar makan roti bakar bersama atau menonton drama yang tak pernah habis episodenya.Kini hanya ada Kirana, yang setiap hari semakin sensitif menjelang persalinan.Dan Arion, yang pulang larut malam hampir setiap hari.Jadi, daripada mengurung diri di kamar sambil mendengar suara Kirana yang mudah tersinggung atau menunggu Arion yang makin asing, Avrisha memilih melarikan diri ke butik peninggalan mendiang mamanya.Butik itu berdiri anggun di sebuah ruko dua lantai, dipenuhi kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aroma kain baru dan softener







