Beranda / Romansa / Dokter, Sentuh Aku Lagi / Bab 4. Balas Dendam?

Share

Bab 4. Balas Dendam?

Penulis: Els Arrow
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-09 12:12:19

"Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-"

Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri.

Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar.

Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan.

Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya.

Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan.

"Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan.

Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak.

Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai menyelinap masuk lewat celah tirai, tapi kehangatan itu tak menyentuh hatinya sedikit pun. Ia membuka mata perlahan, dan matanya langsung menatap sisi ranjang yang kosong.

"Ke mana Mas Arion? Apa di kamar Kirana?" gumamnya.

Tubuhnya bangkit pelan dari kasur. Dengan kaki telanjang, ia melangkah keluar kamar. Entah kenapa, langkahnya seakan digerakkan oleh sesuatu, membawanya menuju kamar tamu.

Napasnya tercekat. Tangan kanannya terulur ke arah kenop pintu. Pelan-pelan ia buka pintu itu, detik itu juga dunianya runtuh.

Arion terbaring di ranjang, sambil memeluk Kirana dari belakang. Tubuh mereka saling menempel, selimut menutupi hanya sampai pinggang, tubuh atas mereka tanpa sehelai benangpun.

Rambut Kirana acak-acakan, lehernya tampak merah samar oleh bekas kissmark. Ia mengalihkan pandang ke lantai, tampak baju dan underwear berceceran di sana.

Avrisha menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan jerit yang ingin keluar. Tubuhnya gemetar hebat, air mata langsung tumpah deras membasahi pipi.

Ia mundur perlahan, menutup kembali pintu kamar itu tanpa suara. Tak sanggup lagi melihat.

Apa mereka lupa mengunci pintu? Atau sengaja membiarkannya terbuka? Apakah ini cara Tuhan menunjukkan kebenaran?

"Ya Tuhan ....!"

Dengan sisa tenaga, ia berlari keluar rumah, tak peduli lagi dengan penampilannya. Tak tahu ke mana ia akan pergi, tak ada tujuan pasti.

Ia hanya ingin lari. Lari sejauh mungkin dari rumah itu. Dari kebohongan suami dan sahabatnya, dari luka yang baru saja menghancurkan jiwanya.

Langkahnya terhuyung di jalanan yang masih sepi. Pikirannya kalut dan pandangannya kabur oleh kabut air mata, hingga suara klakson tiba-tiba terdengar.

BRAK!

Tubuh Avrisha terpental dan jatuh ke aspal. Darah mengucur dari lutut dan siku, tapi ia tetap terbaring diam. Rasanya, perih luka fisik itu tidak sebanding dengan luka di hatinya.

Terdengar suara pintu mobil di buka dan langkah cepat menghampirinya.

Seseorang membungkuk, menatap wajahnya yang berlumuran air mata.

"Avrisha?"

Avrisha menoleh perlahan. Napasnya tercekat. Matanya membelalak, tangisnya makin pecah.

"E-Elvareno ...?" lirihnya terbata.

Pria itu menatapnya lekat, lalu tanpa berkata-kata langsung mengangkat tubuh rapuh Avrisha ke pelukannya.

"Tenang, Av. Aku bawa ke apartemenku," bisik pria itu, tepat di daun telinga yang sontak menggetarkan bulu kuduk.

***

Mobil mewah itu melaju mulus menembus jalanan. Di kursi belakang, Avrisha duduk dengan tubuh bersandar lemah, sesekali mobil bergetar melewati aspal yang tak rata.

Wajah Avrisha masih kosong. Bibirnya pucat dan air matanya tak berhenti menetes meski matanya sudah bengkak.

Elvareno meliriknya sekilas, di balik sorot mata gelap itu, ada kekhawatiran yang tak bisa bibirnya ucapkan.

Begitu mobil sampai di depan gedung apartemen bertingkat tinggi, tanpa banyak bicara, Elvareno membuka pintu dan turun, lalu membungkuk ke sisi lain dan mengangkat tubuh Avrisha yang masih lunglai.

Hening! Avrisha memejamkan mata, membiarkan tubuhnya dipeluk mantan kekasihnya itu. Lift membawa mereka naik ke lantai paling atas. Penthouse pribadi milik Elvareno. Pintu terbuka dengan sensor sidik jari.

Elvareno mendudukkannya perlahan di atas sofa empuk berwarna abu gelap. Tanpa bicara, pria itu melepaskan jasnya, lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku. Ia mengambil kotak medis dari lemari kaca di sudut ruangan.

Ia duduk bersimpuh di depan Avrisha, mulai membersihkan luka dengan hati-hati. Namun, Avrisha tetap diam. Wajahnya menunduk, air mata masih jatuh satu per satu, seperti hujan yang enggan berhenti.

Elvareno mendongak, menatap wajah itu lekat-lekat. "Siapa?" tanyanya pelan, dingin.

Avrisha tak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, tanpa menatap.

"Suamimu?"

Gelengan lagi, tapi kali ini lebih cepat. Tangan Avrisha meremas sisi rok yang ia kenakan, seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak meledak.

Elvareno memasang perban terakhir di lutut wanita itu. Tangannya terhenti sesaat. Ia menghela napas, lalu berdiri.

"Kalau kamu menderita, kenapa nggak kembali saja padaku?"

Pertanyaan itu membuat Avrisha menoleh. Tatap mata mereka bertemu. Maniknya masih berkaca, meski ada setitik kilat tegas di dalamnya.

"Aku nggak bisa."

"Kenapa?" Elvareno mencondongkan tubuh sedikit. Tatapannya tajam, seolah menguliti isi pikiran Avrisha. "Masih cinta?"

Avrisha tersenyum miris. "Dulu, iya ... cinta mati. Tapi sekarang ...."

Ia memejamkan mata. Napasnya tercekat sebelum kembali bicara, "Aku bertahan bukan karena cinta, tapi karena anakku."

"Aku ... nggak bisa hamil," lanjut Avrisha makin pelan setelah menghela napas panjang. "Setelah operasi pengangkatan rahimku, semuanya berubah. Dokter bilang rahimku rusak karena endometriosis parah. Mereka harus angkat semua dan aku nggak bisa mengandung anakku sendiri."

Ia menggigit bibir, menahan sesak. "Jadi, aku menyewa wanita lain dan bayar untuk jadi ibu pengganti."

Elvareno mengernyit, tapi tetap diam.

"Benihnya benihku dan Arion. Tapi bayinya ... tumbuh di tubuh wanita lain. Sekarang dia tinggal di rumahku. Dan aku ... harus bertahan. Karena kalau aku pergi sekarang, kalau aku tinggalkan semuanya ... aku juga kehilangan anakku."

Ia membuka mata, memandangi langit-langit apartemen mewah itu. "Aku cuma harus bertahan delapan bulan lagi. Sampai anakku lahir. Setelah itu ... mungkin, ya, aku akan pergi. Aku akan bawa anakku bersamaku."

Avrisha tahu dirinya bukan wanita bodoh, ia bisa saja membalas dan melabrak dua orang jahat yang mengkhianatinya tadi pagi. Namun, ia memilih menahan, menggadaikan harga dirinya agar semuanya tetap baik-baik saja karena ingin bayinya lahir selamat.

"Mereka mengkhianatimu?"

Avrisha kembali terdiam mendapati pertanyaan itu. Bukannya menjawab, air matanya malah kembali menitik jatuh ke pangkuan.

Helaan napas kasar terdengar berat, Elvareno berjalan perlahan ke arah dapur terbuka, mengambil segelas air putih, lalu menyerahkannya ke tangan Avrisha.

Wanita itu menerimanya dengan tangan gemetar. "Makasih," bisiknya.

Pria iru tak menjawab, pandangannya beralih menatap ke luar jendela, lalu berbicara tanpa menoleh, "kalau kamu sudah siap ... balas mereka!"

Avrisha terdiam.

"Dendam bukan hal buruk," lanjut Elvareno, datar. "Aku akan bantu."

Avrisha mendongak menatap mata kelam itu. Tatapan yang dulu pernah ia hindari karena takut hatinya kembali bergetar oleh cinta pertamanya. Namun kini, apakah ia harus menerima bantuan Elvareno?

"Apa aku harus balas dengan pengkhianatan yang sama. Ya Tuhan ...."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 8. Mau Hadiah

    Sore itu, setelah Renata pamit pulang, rumah akhirnya terasa lebih lapang. Tidak ada lagi suara nyinyir menyindir, membuat Avrisha sejenak bisa bernapas lega.Ia duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang tak disentuh. Jemarinya memainkan sisi cangkir, sesekali menarik napas panjang untuk menahan ledakan amarah yang masih berputar di kepala.Arion berjalan masuk, masih mengenakan kaos putih dan celana training abu yang sering dipakainya kalau sedang di rumah.“Kamu nggak makan?” tanyanya singkat.Avrisha menggeleng pelan. “Nggak lapar.”Suaminya menarik kursi, duduk di seberangnya sambil meneguk air putih. Hening sejenak. Sampai akhirnya, Avrisha angkat bicara.“Aku mau keluar sebentar.”Arion menoleh. “Kemana? Mau aku anterin?”“Enggak usah. Aku sama sopir aja,” sahutnya cepat.“Biar aku yang anter. Sekalian cari udara sore Sayang.”“Enggak,” jawab Avrisha dengan nada lebih tinggi. “Aku

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 7. Main Api

    “Aku benar-benar nggak ngerti kenapa dokter itu ngomong begitu,” ucap Kirana, serak.Mereka semua kini berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Renata, sementara Avrisha duduk di depan bersama Arion.Renata langsung menggenggam tangan Kirana erat. “Sudah, Sayang, jangan dipikirin omongannya. Tante tahu kamu jujur, orang tadi badan kamu panas banget dan sampai menggigil."Kirana menarik napas panjang, lalu melirik Arion lewat kaca spion tengah. “Mas … kamu percaya aku, kan?”Arion diam. Pandangannya lurus ke depan, tak menjawab. Mendengar itu, Avrisha hanya bisa menarik napas panjang. Yang ditanya hanya suamimu, dirinya tidak. Apa Kirana tidak menganggap kehadirannya?Kirana kembali bicara, suaranya sedikit bergetar. “Tadi itu, beneran flek. Badanku demam, perut melilit, dan aku ngerasa kayak mau pingsan. Nggak mungkin aku pura-pura, Mas. Itu sama aja kayak mendoakan yang buruk buat anak ini

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 6. Sandiwara

    Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara."Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”Avrisha menarik n

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 5. Sandiwara

    "Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab."Aku antar," sahut pria itu singkat.Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya."Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah."Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno."Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak.Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya.Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak."Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi."Hubungi aku, Av".Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. K

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 4. Balas Dendam?

    "Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-" Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai me

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 3. Memergoki

    "Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya. "El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status