"Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.
Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab. "Aku antar," sahut pria itu singkat. Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya." Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah. "Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno. "Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak. Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya. Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak. "Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi. "Hubungi aku, Av". Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. Kita sekarang asing, nggak seharusnya menjalin hubungan diam-diam. Sebaiknya ... lupakan juga ucapanmu untuk membantuku tadi, aku bisa selesaikan sendiri. Lanjutkan hidupmu, El ... biar aku juga tenang." Elvareno tak menjawab. Ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap sendu pada Avrisha yang berjalan menuju lift. Saat pintu lift hampir tertutup, pandangan mereka bertemu sekali lagi. Elvareno masih dengan wajah tanpa ekspresi. Namun, pandangannya terus mengikuti hingga pintu logam itu benar-benar menutup. *** Di luar gedung apartemen, Avrisha mencegat taksi. Ia meminta sopir mengarah ke pasar. Ia tahu betul apa yang harus ia lakukan. Kalau langsung pulang dalam kondisi seperti ini, takut mengundang banyak pertanyaan. Setibanya di pasar, ia turun dan membeli beberapa bahan makanan dengan cepat. Wajahnya tetap pucat, tapi kini tak ada air mata lagi. Setelah kantong belanjaan terkumpul, ia kembali naik taksi dan menuju rumah. Begitu mobil berhenti di depan gerbang, Avrisha menarik napas panjang. Jemarinya menggenggam tas belanja erat, mencoba menyiapkan diri. Langkahnya perlahan menapaki halaman depan. Matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat hatinya nyaris meluap lagi. Arion duduk santai di kursi teras, bersandar seolah tak ada beban hidup. Di depannya, secangkir kopi hangat baru saja disuguhkan Kirana, yang mengenakan daster super seksi berwarna merah marun, belahan dadanya terbuka cukup dalam. Avrisha nyaris kehilangan kontrol. Namun, ia menunduk sejenak, lalu tersenyum. Ia memilih menyimpan amarahnya. "Sayang!" Arion langsung berdiri dan menghampirinya dengan cepat. "Dari mana aja? Aku nyariin kamu tadi di kamar. Panik banget." Avrisha menatap pria itu dengan senyum kecut yang ditahan mati-matian agar tak tampak terlalu menusuk. "Aku tadi ke pasar. Sekalian belanja, di kulkas udah kosong." "Kenapa nggak bilang dulu? Aku bangun-bangun kamu nggak ada," ucap Arion lagi, nadanya terdengar sangat khawatir, seolah-olah pria itu suami paling perhatian di dunia. Avrisha hanya mengangguk kecil. "Aku juga tadi nggak lihat kamu di kamar. Kupikir kamu ke mana." "Oh ... aku tadi sempat jogging bentar, refreshing," jawab Arion cepat. Jogging? Avrisha hampir tertawa mendengarnya. Jogging macam apa yang dilakukan tanpa baju dan di kasur bersama wanita lain? "Ya ... baguslah," sahut Avrisha pelan. Senyumnya tak hilang, meski matanya berkata lain. Kirana ikut menghampiri, rambutnya dikuncir asal-asalan, wajahnya tanpa makeup-nya tampak manis. "Kok nggak ajak-ajak, Sha? Biasanya kita belanja bareng, lho," ucapnya sambil menautkan tangan ke pinggang, nada manja dibuat-buat. Avrisha menatap sahabatnya itu. Perempuan yang ia percayai, yang ia tolong dan beri tempat tinggal, dan kini menikamnya dari belakang. "Aku takut kamu mual. Kan kamu lagi sensitif. Capek dikit aja bisa pusing," jawabnya enteng. Kirana mendengus kecil. "Iya sih ...," jawabnya, cengengesan. Avrisha tak kuasa lagi menahan gejolak di hatinya, ia memilih masuk rumah daripada berhadapan dengan dua manusia tidak tahu diri ini. Namun, saat Avrisha hendak sampai pintu, Arion tiba-tiba memanggil lagi. "Sayang ... tunggu." Ia berbalik. "Apa, Mas?" Arion menatap lutut wanita itu. "Itu kenapa diperban?" Mata pria itu membulat, nadanya seketika berubah panik. "Kamu kenapa? Kamu jatuh? Astaga, kenapa nggak bilang?" Avrisha tersenyum kecil. Senyum yang menggambarkan muak, kecewa, dan jijik bercampur jadi satu. "Nggak parah, kok. Tadi sempat jatuh waktu turun dari taksi, tapi langsung diobatin. Nggak usah khawatir." Ia segera membalikkan tubuh dan masuk ke dalam rumah. Suara derap langkahnya terdengar keras, tak peduli lututnya mulai nyeri. *** Beberapa menit berlalu .... Di meja makan, sarapan sudah tersaji rapi dan semuanya disiapkan Avrisha seperti biasa. Arion duduk paling dulu, rambutnya sedikit basah seperti habis keramas, tampak rapi dan wangi. "Mas, ayo makan," ucap Avrisha sambil meletakkan sendok terakhir di piring. Arion tersenyum hangat. "Istriku rajin banget, masakannya selalu enak" pujinya dengan nada manja. Avrisha membalas senyum itu. "Kalau aku nggak rajin, nanti siapa yang urus suami sendiri?" ucapnya, lembut nan penuh sindiran. Arion tertawa kecil, seolah tak sadar makna ganda dari kalimat itu. Ia menyendok nasi, tapi langsung berhenti dan berkata, "Biar aku aja yang ambilkan untuk kamu, Sayang. Kamu pasti capek habis masak banyak." Seketika Arion berdiri, mengambilkan nasi, lauk, dan menyusunnya rapi di piring milik Avrisha. Ia bahkan menuangkan air mineral ke gelas dan meletakkannya di sisi kanan istrinya. "Ini, sayang. Makan yang banyak, ya." Avrisha mengangkat alis tipis. Ia menatap suaminya sambil tetap memasang senyum manis. Ia tahu betul pola ini. Beberapa waktu lalu, ia pernah membaca artikel psikologi tentang perilaku pasangan yang berselingkuh. Salah satu ciri yang menonjol, terlalu manis dan perhatian secara tiba-tiba. Itu bukan cinta, melainkan taktik perlindungan. Selingkuh, tapi takut ketahuan. Maka diperkuatlah topeng 'suami sempurna'. Dan pagi ini, Arion sedang memerankan peran itu dengan sangat baik. "Mas ... belakangan, kok, perhatian banget, ya?" ucap Avrisha pelan, sambil mengambil sendok. Arion menatapnya sambil tersenyum. "Harus, dong. Istriku, kan, satu-satunya wanita yang paling Mas sayang." Avrisha mengunyah makanan pelan, lalu menatap ke arah kursi seberang, Kirana duduk di sana. Wajahnya datar, matanya sesekali melirik Arion, lalu berpaling cepat. Cemberut? Avrisha menatapnya sejenak, kemudian tersenyum simpul. Kenapa Kirana tampak tidak senang? Kenapa matanya memerah seperti menahan sesuatu? Cemburu? Avrisha nyaris tertawa dalam hati. Memangnya siapa Kirana sampai bisa cemburu pada Arion? Hanya selingkuhan dan tidak punya hak apa-apa di mata Avrisha. Lucu, pikirnya. Benar-benar lucu! Avrisha menaruh sendoknya, lalu menoleh ke arah Arion. "Mas ...," panggilnya manja. "Hmm? Iya, Sayang?" "Buka mulut." Arion melongo sebentar. "Hah?" "Cepetan. Aku mau nyuapin," ucap Avrisha sambil tersenyum lembut. "Tangan kamu udah nyuapin aku dari tadi, sekarang gantian aku yang nyuapin." Arion terkekeh kecil. "Wah ... tumben." Avrisha menyuapkan sesendok nasi uduk dan telur dadar ke mulut suaminya. Arion mengunyah sambil tersenyum puas. Di seberang meja, Kirana terlihat mengetatkan rahangnya. Tangannya mengepal di bawah meja. Avrisha melirik cepat. Ekspresi Kirana berubah semakin jelas, tampak tidak suka, tersinggung, dan ada guratan cemburu. Avrisha kembali menyuap Arion. Kali ini dengan sepotong tahu bacem. "Enak, Mas?" "Enak banget, Sayang. Kamu selalu perhatian dan manjain aku. Makasih, ya," jawab Arion tanpa sadar bahwa dua pasang mata sedang bertempur diam-diam di atas meja makan. Kirana tiba-tiba berdiri. "Aku ke kamar dulu. Tiba-tiba mual." Avrisha memandangnya dengan tatapan tenang. "Oh, ya? Jangan lupa minum air hangat, ya. Jangan stress, bisa makin parah mualnya." Kirana hanya mengangguk tanpa bicara. Bahunya tegang, wajahnya memerah, dan langkahnya cepat seperti ingin melarikan diri. Begitu pintu kamar tertutup, Avrisha langsung meletakkan sendok. Ia mendesah pelan. "Kenapa berhenti nyuapin?" tanya Arion, masih tampak santai. Avrisha tersenyum manis. "Udah cukup. Takut nanti Mas manja." Arion tertawa, tidak sadar bahwa Avrisha sedang memainkan sandiwara paling kejam dalam hidupnya. Dalam hati, Avrisha berkata, "Bukan aku yang kalah, Kirana. Kamu yang terlalu cepat merasa menang. Dan aku ... hanya sedang bersabar sampai waktu membalas datang." Kirana kini bukan lagi sahabatnya, bukan lagi wanita yang bisa ia percaya. Kirana hanyalah wadah biologis untuk anak yang sangat Avrisha nanti-nantikan. Avrisha menatap sisa nasi di piringnya. Mendadak selera makannya menguap. "Demi calon anakku, aku rela memeluk ular dalam rumahku," batinnya sendu.“Aku benar-benar nggak ngerti kenapa dokter itu ngomong begitu,” ucap Kirana, serak.Mereka semua kini berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Renata, sementara Avrisha duduk di depan bersama Arion.Renata langsung menggenggam tangan Kirana erat. “Sudah, Sayang, jangan dipikirin omongannya. Tante tahu kamu jujur, orang tadi badan kamu panas banget dan sampai menggigil."Kirana menarik napas panjang, lalu melirik Arion lewat kaca spion tengah. “Mas … kamu percaya aku, kan?”Arion diam. Pandangannya lurus ke depan, tak menjawab. Mendengar itu, Avrisha hanya bisa menarik napas panjang. Yang ditanya hanya suamimu, dirinya tidak. Apa Kirana tidak menganggap kehadirannya?Kirana kembali bicara, suaranya sedikit bergetar. “Tadi itu, beneran flek. Badanku demam, perut melilit, dan aku ngerasa kayak mau pingsan. Nggak mungkin aku pura-pura, Mas. Itu sama aja kayak mendoakan yang buruk buat anak ini
Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara."Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”Avrisha menarik n
"Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab."Aku antar," sahut pria itu singkat.Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya."Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah."Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno."Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak.Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya.Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak."Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi."Hubungi aku, Av".Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. K
"Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-" Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai me
"Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya. "El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh
“Kamu siap-siap aja, nanti siang ke dokter. Aku mau beres-beres dulu,” ucap Avrisha setelah mengantarkan suaminya berangkat. Kirana yang duduk manis di sofa ruang tamu sontak mengangguk, tapi tak juga beranjak dan tetap asyik bermain ponsel. Avrisha tak mau ambil pusing, ia segera membereskan pekerjaan karena ART kebetulan sedang pulang kampung. Mulai dari kamarnya, beberapa ruangan lain hingga terakhir kamar di lantai bawah yang dihuni Kirana. Ia masuk kamar itu, tampak tempat tidur tapi dan aroma pewangi ruangan berganti bau bunga segar. “Lho, beda kayak semalam?” gumamnya heran. Helaan napas menderu berat, ia segera menghampiri meja kecil sambil tangannya menenteng penyedot debu kecil. Ada botol minum, handuk kecil, dan sebuah jam tangan mewah berwarna hitam dengan detail perak yang menarik perhatiannya. Matanya menyipit. Avrisha tahu betul jam itu, persis seperti yang ia hadiahkan kepada suaminya saat anniversary mereka yang kelima. Jarinya mengambil jam tersebut, meng