Home / Romansa / Dokter, Sentuh Aku Lagi / Bab 6. Sandiwara

Share

Bab 6. Sandiwara

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2025-10-20 12:13:28

Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.

“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.

Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."

Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.

Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara.

"Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.

“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.

Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”

Avrisha menarik napas dalam-dalam. Ia sudah terbiasa tak diacuhkan. Enam tahun, dan tak sedikit pun ada perubahan.

“Mana Kirana?” tanya Renata, ketus.

Arion menjawab cepat sebelum Avrisha sempat manyahut. “Di kamar, Ma. Tadi katanya mual, jadi istirahat.”

Tanpa menunggu, wanita itu langsung melangkah menuju kamar tamu. Tumit sepatunya berdetak keras di lantai marmer.

Avrisha sempat berdiri dari sofa, berniat menyusul, tapi langkahnya urung ketika mendengar suara tinggi dari arah lorong.

“Arion ..! Cepat ke sini!”

Suara Renata menggema panik, berbeda dari nada biasanya. Arion langsung berlari, Avrisha menyusul tergopoh-gopoh di belakang.

Pintu kamar terbuka lebar. "Kenapa, Ma? Baru masuk, kok, langsung teriak?!" sergah Arion, kaget.

Pandangannya langsung tertuju pada Kirana yang terbaring di ranjang, tubuhnya menggigil hebat. Keningnya basah oleh keringat, wajahnya pucat dan kedua tangannya meremas perutnya.

Renata berdiri di samping ranjang, memegang kening Kirana. “Panas banget! Kirana, kamu kenapa, Nak?”

“Perutku … sakit … tadi ada flek, Tante …,” ucap Kirana dengan suara lemah, nyaris tak terdengar.

Arion terperangah. “Tadi pagi masih baik-baik aja.”

“Bisa aja dia kecapekan tanpa kamu tahu, makanya flek!” sergah Renata, matanya menatap Arion tajam. “Kamu seharusnya lebih perhatian! Kirana itu sedang mengandung benih kalian!"

Arion diam terpaku, bibirnya kelu tak tahu harus menimpali apalagi, hanya matanya yang kini fokus melihat Kirana kesakitan.

Renata mengalihkan tatapan ke Avrisha. "Dan kamu! Masih tega duduk manis di rumah ini sementara perempuan lain mengandung anak suamimu?! Malu, dong! Dasar mandul, cuma bisa nyusahin suami!"

Ia menunduk. Mulutnya ingin bergerak, tapi untuk apa? Pembelaan di hadapan Mama Mertuanya seperti membuang air di pasir.

"Ayo bawa ke rumah sakit sekarang, Arion! Malah diam saja," bentak Renata lagi, sontak putranya gelagapan seperti baru tersadar dari lamunan.

Arion mengangguk cepat. “Maaf, Ma.”

Langkahnya maju mengangkat tubuh Kirana, membopongnya hati-hati. Kirana mengerang pelan di pelukan dan perlahan membenamkan wajah di dada bidang Arion.

“Sayang, tolong ambilkan tas dan jaket Kirana," bisiknya saat melewati Avrisha, terus melangkah cepat sambil memeluk tubuh Kirana erat-erat.

Avrisha hanya mengangguk pelan dan menuruti, setelahnya buru-buru keluar dan masuk mobil untuk ikut ke rumah sakit.

***

Arion menyetir cepat dengan wajah panik. Kirana terbaring di kursi belakang, kepalanya bersandar di pangkuan Renata. Avrisha duduk di sampingnya, memeluk tas kecil di pangkuannya.

"Mama udah bilang dari awal, proses penanaman benih itu bukan main-main. Itu dilakukan di Singapura, bayar ratusan juta hanya untuk satu kali program. Kalau keguguran, siapa yang tanggung jawab?!"

Renata melirik sinis pada Avrisha yang tertunduk lesu di sebelahnya. "Kadang Mama mikir, rahim Kirana kayak diberkati, sementara kamu? Ya … nggak usah dijelasin, lah. Rahim aja rusak, giliran dikasih ibu pengganti malah nggak dijaga dan dibiarkan sakit gini."

Avrisha menggigit bibirnya. Tangannya mengepal, tapi ia tak berani melawan. Matanya sudah basah, tapi ia masih menahan agar tak tumpah.

Kepalanya terangkat menatap suaminya dengan pilu. Dalam hati kecilnya, ia berharap Arion akan berkata sesuatu, meski satu kalimat saja untuk membelanya.

Namun, tidak. Arion hanya diam. Seolah ia tidak keberatan atas semua yang dikatakan ibunya.

Hingga tanpa terasa, mobil akhirnya sampai di rumah sakit. Arion dengan sigap turun dan membopong Kirana masuk ke ruang UGD. Beberapa suster langsung menyambut mereka, dan dalam sekejap, pintu ruangan tertutup.

Avrisha berdiri di koridor, tubuhnya kaku. Ia menggenggam tangannya sendiri yang terasa dingin, tanpa sadar air matanya jatuh juga.

Dalam hening, Avrisha tidak tahu kalau Mama Mertuanya sejak tadi memperhatikannya dengan sinis. Renata mendekat, membisikkan kata, "seharusnya dari dulu Kirana yang jadi istri Arion. Nggak perlu nunggu enam tahun buat nimang cucu."

Avrisha menoleh perlahan. Matanya kini basah dan sembab, tapi ia tetap tidak menjawab.

Renata tersenyum sinis. "Menyesal aku memberi restu padamu dulu. Andai saja Arion tidak keras kepala untuk menikahimu, hidupnya pasti sudah bahagia dengan adanya anak. Lihat sekarang ke dalam sana ... siapa yang lebih pantas disandingkan dengan Arion."

Di balik kaca UGD, Arion tampak berdiri di samping ranjang Kirana, menggenggam tangan wanita itu. Dokter memeriksa cepat, beberapa perawat bergerak sigap.

Avrisha menatap mereka dari luar, matanya sayu. Tangannya meremas tas kecil di dada, seolah dengan itu ia bisa menahan hatinya agar tak semakin hancur.

***

Tak lama kemudian, Dokter Elvareno datang dan menyapa Kirana dengan ramah. “Selamat siang, saya dokter Elavareno. Saya yang akan menangani Bu Kirana,” ucapnya sambil melihat tablet catatan pasien dari perawat.

Renata langsung mendekat. “Iya, Dok, Kirana ini anak kami. Tadi di rumah dia mengeluh perutnya melilit, terus katanya keluar flek. Kami takut itu tanda-tanda keguguran.”

Kirana yang masih terbaring dengan infus di tangan, tampak pucat dan diam saja. Avrisha berdiri di samping tempat tidur, menatapnya tanpa suara.

Elavareno mengangguk, lalu mengenakan sarung tangan medis. “Baik, saya akan periksa dulu. Kita tenangkan dulu, ya.”

Ia mulai memeriksa dengan tensimeter, lalu menekan perlahan bagian bawah perut Kirana dengan telapak tangan. Kirana tampak mengerutkan kening, seolah menahan nyeri.

“Bagian ini sakit?”

Kirana mengangguk pelan. “Iya, Dok. Melilit banget dari tadi pagi. Terus siangnya keluar flek. Aku panik .…”

Elavareno menoleh pada perawat. “Fleknya masih tersisa? Saya butuh lihat sampelnya.”

Perawat mengangguk, lalu mengulurkan wadah kecil yang telah berisi tisu medis berlumuran merah kecokelatan. Elavareno mengambilnya, mengangkatnya sedikit ke cahaya dan mengamati seksama.

Hening sejenak, alisnya mengerut. “Hmm … ini agak aneh.”

Semua orang yang ada di ruangan langsung saling menatap. “Kenapa, Dok?” tanya Arion cemas.

“Maaf, saya tidak ingin membuat kesimpulan terlalu dini. Tapi flek ini tidak sepenuhnya tampak seperti darah. Warnanya terlalu pekat dan kental, dan teksturnya agak mirip zat tambahan. Bukan seperti darah murni dari tubuh wanita hamil.”

Renata refleks berseru, “Maksud Dokter apa?!”

Kirana turut panik. “Aku stres banget tinggal di rumah, ada aja yang bikin nggak nyaman. Jelas itu darah, Dok. Stres bisa bikin keluar flek, kan?!”

Elavareno mengerutkan kening, menatap Kirana. “Stres bisa menyebabkan flek, betul. Tapi flek darah akibat stres biasanya ringan dan warnanya lebih merah muda atau coklat, bukan seperti ini. Ini terlihat seperti semacam cairan campuran, bisa saja bahan buatan.”

“Buatan?!” ulang Arion, matanya membelalak.

Avrisha diam karena malas berdebat, rahangnya mengeras geram. Matanya fokus menatap Kirana dalam-dalam. Ada sorotan curiga di sana.

“Kita lakukan USG transabdominal untuk memastikan. Usia kehamilan enam minggu seharusnya sudah terlihat kantung gestasi dan embrio awal, termasuk aktivitas jantung. Kalau semuanya baik, berarti kemungkinan besar tidak ada ancaman keguguran," kata Elvareno.

“Baik, Dok,” sahut Arion.

Perawat kemudian datang mendorong ranjang Kirana keluar dari UGD. Mereka menuju ke ruang USG yang letaknya satu lantai di atas, menggunakan lift khusus pasien.

Avrisha ikut berjalan di belakang, langkahnya tenang. Sesekali melirik Kirana yang sejak tadi sibuk memainkan jarinya sendiri di atas perut, seolah sedang gelisah.

Setibanya di ruang USG, Elavareno menyalakan monitor dan menyiapkan alat. Kirana dibaringkan di atas ranjang dengan perut terbuka sebagian. Gel dingin ditekan ke kulitnya, lalu alat transduser digerakkan perlahan.

“Usia kehamilan enam minggu,” gumam sang dokter sambil memandang layar.

Beberapa detik hening, semua menahan napas.

Hingga akhirnya Elavareno mengangguk ringan. “Ini dia. Kantung kehamilan terlihat jelas. Embrio juga sudah terbentuk, dan … ini detak jantung janin.”

Bunyi deg-deg halus terdengar samar dari speaker alat.

“Semua baik-baik saja?” tanya Arion.

Elavareno tersenyum tipis. “Lebih dari baik. Tidak ada tanda-tanda abrupsi plasenta, dinding rahim normal, dan tidak ada perdarahan aktif. Kehamilannya stabil. Saya malah curiga tidak pernah terjadi flek sama sekali.”

Avrisha menoleh cepat ke arah dokter. “Maksudnya, Dok?”

“Begini. Berdasarkan hasil USG dan pemeriksaan sebelumnya, tidak ada jejak darah yang tersisa di dalam rongga rahim. Biasanya, kalau benar terjadi flek atau perdarahan, akan ada sedikit bekas yang bisa kami lacak, sekecil apa pun itu. Tapi ini bersih, sangat bersih malah.”

Kirana tampak menelan ludah, wajahnya mulai kehilangan warna.

Elavareno menambahkan, “Dan soal flek tadi, saya sudah kirimkan sampelnya ke lab, tapi dugaan awal saya, itu bukan darah murni. Saya pernah menangani kasus serupa, dan hasil lab menyebutkan bahwa flek seperti itu adalah darah hewan atau replika darah berbahan gelatin atau pewarna.”

Ruangan mendadak sunyi.

Avrisha menatap Kirana tajam, begitu juga Arion yang kini perlahan menjauhkan diri dari ranjang.

Kirana tampak tergagap, mulutnya terbuka hendak bicara, tapi tak ada suara yang keluar.

"Dia pura-pura flek buat nyari perhatian? Dih, murahan! Awas aja nanti," batin Avrisha, geram.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 7. Main Api

    “Aku benar-benar nggak ngerti kenapa dokter itu ngomong begitu,” ucap Kirana, serak.Mereka semua kini berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Renata, sementara Avrisha duduk di depan bersama Arion.Renata langsung menggenggam tangan Kirana erat. “Sudah, Sayang, jangan dipikirin omongannya. Tante tahu kamu jujur, orang tadi badan kamu panas banget dan sampai menggigil."Kirana menarik napas panjang, lalu melirik Arion lewat kaca spion tengah. “Mas … kamu percaya aku, kan?”Arion diam. Pandangannya lurus ke depan, tak menjawab. Mendengar itu, Avrisha hanya bisa menarik napas panjang. Yang ditanya hanya suamimu, dirinya tidak. Apa Kirana tidak menganggap kehadirannya?Kirana kembali bicara, suaranya sedikit bergetar. “Tadi itu, beneran flek. Badanku demam, perut melilit, dan aku ngerasa kayak mau pingsan. Nggak mungkin aku pura-pura, Mas. Itu sama aja kayak mendoakan yang buruk buat anak ini

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 6. Sandiwara

    Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara."Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”Avrisha menarik n

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 5. Sandiwara

    "Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab."Aku antar," sahut pria itu singkat.Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya."Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah."Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno."Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak.Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya.Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak."Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi."Hubungi aku, Av".Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. K

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 4. Balas Dendam?

    "Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-" Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai me

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 3. Memergoki

    "Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya. "El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 2. Pria Itu

    “Kamu siap-siap aja, nanti siang ke dokter. Aku mau beres-beres dulu,” ucap Avrisha setelah mengantarkan suaminya berangkat. Kirana yang duduk manis di sofa ruang tamu sontak mengangguk, tapi tak juga beranjak dan tetap asyik bermain ponsel. Avrisha tak mau ambil pusing, ia segera membereskan pekerjaan karena ART kebetulan sedang pulang kampung. Mulai dari kamarnya, beberapa ruangan lain hingga terakhir kamar di lantai bawah yang dihuni Kirana. Ia masuk kamar itu, tampak tempat tidur tapi dan aroma pewangi ruangan berganti bau bunga segar. “Lho, beda kayak semalam?” gumamnya heran. Helaan napas menderu berat, ia segera menghampiri meja kecil sambil tangannya menenteng penyedot debu kecil. Ada botol minum, handuk kecil, dan sebuah jam tangan mewah berwarna hitam dengan detail perak yang menarik perhatiannya. Matanya menyipit. Avrisha tahu betul jam itu, persis seperti yang ia hadiahkan kepada suaminya saat anniversary mereka yang kelima. Jarinya mengambil jam tersebut, meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status