Share

Bab 7. Main Api

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2025-10-20 16:00:00

“Aku benar-benar nggak ngerti kenapa dokter itu ngomong begitu,” ucap Kirana, serak.

Mereka semua kini berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Renata, sementara Avrisha duduk di depan bersama Arion.

Renata langsung menggenggam tangan Kirana erat. “Sudah, Sayang, jangan dipikirin omongannya. Tante tahu kamu jujur, orang tadi badan kamu panas banget dan sampai menggigil."

Kirana menarik napas panjang, lalu melirik Arion lewat kaca spion tengah. “Mas … kamu percaya aku, kan?”

Arion diam. Pandangannya lurus ke depan, tak menjawab. Mendengar itu, Avrisha hanya bisa menarik napas panjang. Yang ditanya hanya suamimu, dirinya tidak. Apa Kirana tidak menganggap kehadirannya?

Kirana kembali bicara, suaranya sedikit bergetar. “Tadi itu, beneran flek. Badanku demam, perut melilit, dan aku ngerasa kayak mau pingsan. Nggak mungkin aku pura-pura, Mas. Itu sama aja kayak mendoakan yang buruk buat anak ini.”

Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, menyeka air mata dengan tisu, menciptakan adegan penuh luka yang begitu meyakinkan. “Kalau dokter itu bilang bukan darah asli, ya, mungkin dia yang salah lihat. Atau salah periksa. Kita ganti dokter aja, ya, Mas, Tante? Aku ngerasa diremehkan banget sama dia.”

Renata mengusap pundak Kirana, menenangkan. “Iya, iya, nanti kita cari dokter lain. Kamu istirahat dulu. Jangan stres lagi, bisa ngefek ke janin kamu.”

Kirana mengangguk pelan, lalu tanpa aba-aba langsung memeluk Renata dan menangis pelan di pelukannya. “Aku capek, Tante. Aku berusaha jadi ibu pengganti yang baik, jaga makan, jaga badan, tidur cukup, tapi kok malah dianggap bohong?"

Renata menepuk-nepuk punggung Kirana dengan lembut. “Tante ngerti, Sayang … Tante tahu kamu tulus. Ini semua salah dokternya yang nggak peka. Tenang aja, Tante selalu di pihak kamu.”

Avrisha menunduk, tangannya menggenggam jemarinya erat-erat. Setiap kata dari mulut Renata terasa seperti paku yang dihujamkan ke dadanya. Jelas sekali perbedaan perlakuan mertuanya pada Kirana, terlihat jelas lebih menyayangi.

Ia ingin bicara, ingin mengatakan bahwa Dokter Elvareno bukan orang sembarangan. Ingin mengungkit kondisi Kirana yang mulanya baik-baik saja. Namun, ia tahu, suaranya akan jadi bahan hinaan lagi.

Bibirnya tetap terkatup rapat.

Sementara Kirana terus memeluk Renata, menangis dan merengek seperti gadis kecil yang tersakiti.

“Tante, aku takut kalau nanti Mas Arion dan Avrisha marah sama aku. Padahal aku udah berjuang menjaga benih mereka, tapi aku malah kepikiran kalau mereka juga menganggapku pembohong," bisik Kirana lagi, di sela isakannya.

Arion yang mendengar itu hanya terdiam. Jemarinya menggenggam erat setir, tanpa menimpali sepatah katapun seperti biasanya.

Hati Avrisha makin bingung. Pagi tadi, ia mendapati keduanya tidur berpelukan. Namun, sekarang, kenapa Arion terlihat cuek?

Mobil akhirnya berhenti di depan rumah. Arion langsung turun dan membuka pintu belakang.

“Ayo, Ma. Bantu Kirana ke kamar,” ucapnya datar.

Renata segera turun dan memapah Kirana perlahan. “Pelan-pelan, Sayang.”

Avrisha tidak bergerak. Ia membiarkan Renata dan Kirana masuk lebih dulu, bahkan tidak menawarkan bantuan sedikit pun. Ia tahu Kirana sedang butuh panggung.

Ia memilih masuk belakangan, mengambil arah berlawanan menuju dapur. Mencuci tangan berusaha menenangkan diri.

Tak lama, ia melihat Arion berjalan naik ke kamar utama. Pria itu tidak bicara apa-apa. Bahkan tak meliriknya sama sekali.

Weekend yang seharusnya tenang berubah menjadi teater air mata dan drama mendidih.

Avrisha memejamkan mata. Ia ingin marah, tapi juga terlalu lelah. Ia tidak bisa menebak isi kepala suaminya.

Apakah Arion marah pada Kirana? Atau sedang bersandiwara agar ia tidak terlalu mencurigai? Semuanya membingungkan.

Ia menarik napas panjang, lalu membuka pintu samping. Kakinya memilih berjalan ke halaman belakang.

Tanaman-tanaman kecil di pot berderet rapi. Daun kemangi dan cabai mulai tumbuh subur. Avrisha membungkuk, menyentuh tanah, mencoba menyatu dengan hal-hal sederhana yang menenangkannya.

Namun saat ia sedang asyik menyiram pot, tiba-tiba ponselnya berdering.

Avrisha mengelap tangannya cepat, lalu merogoh ponsel dari saku celemeknya. Sebuah pesan masuk dari nomor asing.

[Halo Bu Avrisha. Dengan hormat, kami lampirkan hasil laboratorium dari sampel flek pasien atas nama Kirana. Berdasarkan uji laboratorium, kandungan cairan menunjukkan bahan gelatin sintetis dengan pewarna makanan, bukan darah biologis manusia maupun hewan.

Hormat kami,

Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Medika.

Tertanda,

dr. Adriana Lestari, SpPK.]

Bak disambar petir di siang bolong, tubuh Avrisha mematung di tengah halaman belakang. Jemarinya menggenggam ponsel erat, menatap layar yang memuat pesan dari laboratorium.

Tangannya gemetar. Matanya membulat, kemudian panas dan berembun.

“Gelatin … pewarna makanan?” gumamnya lirih.

Air matanya mendesak keluar tanpa aba-aba. Hatinya memanas, seperti bara dilempar ke dada. Kepalanya terasa penuh. Ia bahkan nyaris kehilangan napas.

Benih itu, yang selama enam tahun dinantikannya, yang ia relakan untuk dititipkan pada rahim perempuan lain, sekarang dipermainkan seperti alat sandiwara?

Ia mundur setapak, punggungnya membentur dinding kayu rumah. Dadanya mulai sesak.

Belum sempat pikirannya tenang, layar ponselnya kembali menyala. Kali ini panggilan masuk, dari nomor asing.

Avrisha sempat ragu mengangkat. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mengusap air mata sekilas, lalu menyentuh ikon hijau.

“Halo ...?”

Sejenak hening.

Lalu suara dalam, dingin, dan berat menjawab, “Sudah lihat hasilnya?”

Jantung Avrisha langsung melonjak.

“El … Elvareno?” pikirnya bingung, pria itu dapat nomornya dari mana?

“Jawab saja,” ujar suara itu tanpa basa-basi.

Avrisha memejamkan mata, menelan ludah. “Aku … ya. Aku udah lihat.”

“Kau akan diam saja?” tanyanya lagi, datar.

Kalimat itu menghantam keras, menyentak kesadarannya.

“Aku nggak tahu harus apa,” sahut lirih Avrisha. Suaranya tercekat, tapi juga mengandung amarah yang perlahan tumbuh. “Aku disemprot habis-habisan tadi. Dihina mandul, dijatuhkan. Padahal yang mereka bela … perempuan picik itu.”

Elvareno terdiam. Hanya suara napasnya yang samar-samar terdengar.

“Aku sudah tahu siapa dia sekarang. Dulu dia sahabatku. Sekarang menjelma musuh yang tinggal di atap yang sama. Tapi … kalau aku bertindak, aku akan jadi jahat di mata mereka. Aku akan dihujat lagi. Dianggap perempuan tak tahu diri," lanjut Avrisha lagi.

“Kau masih peduli dengan pandangan mereka?” tanya Elvareno terdengar nyaris mengejek.

Avrisha tidak langsung menjawab. Ia menatap sekeliling, pada tanaman yang baru saja ia siram. Pada langit yang mendung dan pada hatinya yang hancur.

Tak ada yang mempedulikan dirinya di rumah ini, bahkan perasaannya dijadikan bahan mainan.

“Tidak,” ucapnya akhirnya. Tegas. “Aku tidak peduli lagi.”

“Katakan,” desak Elvareno. “Apa kau siap balas?”

Ia mengingat kembali bagaimana Renata menyebut ‘rahim rusak’, bagaimana Kirana memeluk erat suaminya tadi, bagaimana Arion hanya diam seolah semua yang dikatakan ibunya benar.

Dan yang paling menyakitkan, pengkhianatan Arion dan Kirana di belakangnya.

“Aku siap,” bisiknya.

Klik. Sambungan terputus.

Avrisha menurunkan ponsel pelan. Matanya kini tak lagi basah. Justru, tatapannya tajam dan penuh dendam.

Kirana ingin main api?

Maka, dia akan tahu panasnya seperti apa ketika api itu dibakar oleh seorang istri yang terlalu lama diam.

"Mereka harus tahu bahwa saat aku memutuskan mengambil tindakan, maka tidak ada lagi pengampun untuk pengkhianatan!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 8. Mau Hadiah

    Sore itu, setelah Renata pamit pulang, rumah akhirnya terasa lebih lapang. Tidak ada lagi suara nyinyir menyindir, membuat Avrisha sejenak bisa bernapas lega.Ia duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang tak disentuh. Jemarinya memainkan sisi cangkir, sesekali menarik napas panjang untuk menahan ledakan amarah yang masih berputar di kepala.Arion berjalan masuk, masih mengenakan kaos putih dan celana training abu yang sering dipakainya kalau sedang di rumah.“Kamu nggak makan?” tanyanya singkat.Avrisha menggeleng pelan. “Nggak lapar.”Suaminya menarik kursi, duduk di seberangnya sambil meneguk air putih. Hening sejenak. Sampai akhirnya, Avrisha angkat bicara.“Aku mau keluar sebentar.”Arion menoleh. “Kemana? Mau aku anterin?”“Enggak usah. Aku sama sopir aja,” sahutnya cepat.“Biar aku yang anter. Sekalian cari udara sore Sayang.”“Enggak,” jawab Avrisha dengan nada lebih tinggi. “Aku

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 7. Main Api

    “Aku benar-benar nggak ngerti kenapa dokter itu ngomong begitu,” ucap Kirana, serak.Mereka semua kini berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Renata, sementara Avrisha duduk di depan bersama Arion.Renata langsung menggenggam tangan Kirana erat. “Sudah, Sayang, jangan dipikirin omongannya. Tante tahu kamu jujur, orang tadi badan kamu panas banget dan sampai menggigil."Kirana menarik napas panjang, lalu melirik Arion lewat kaca spion tengah. “Mas … kamu percaya aku, kan?”Arion diam. Pandangannya lurus ke depan, tak menjawab. Mendengar itu, Avrisha hanya bisa menarik napas panjang. Yang ditanya hanya suamimu, dirinya tidak. Apa Kirana tidak menganggap kehadirannya?Kirana kembali bicara, suaranya sedikit bergetar. “Tadi itu, beneran flek. Badanku demam, perut melilit, dan aku ngerasa kayak mau pingsan. Nggak mungkin aku pura-pura, Mas. Itu sama aja kayak mendoakan yang buruk buat anak ini

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 6. Sandiwara

    Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara."Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”Avrisha menarik n

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 5. Sandiwara

    "Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab."Aku antar," sahut pria itu singkat.Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya."Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah."Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno."Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak.Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya.Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak."Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi."Hubungi aku, Av".Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. K

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 4. Balas Dendam?

    "Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-" Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai me

  • Dokter, Sentuh Aku Lagi   Bab 3. Memergoki

    "Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya. "El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status