Hari yang Nana tunggu-tunggu akhirnya tiba, hari di mana ia akan menjadi istri sah dari pria yang sangat ia cintai. Impiannya selama ini akan menjadi kenyataan.
Pagi-pagi sekali Nana sudah bangun, MUA langsung meriasnya dengan natural, MUA juga membantu mengenakan gaun pengantin hingga kini Nana pun siap dengan penampilan sempurnanya."Ayah, hari ini Nana akan menikah," Nana berdiri di depan foto sang ayah yang melekat sempurna di dinding kamarnya. Nana tersenyum manis dengan setetes air mata yang langsung ia tepis."Nana sangat bahagia, Nana harap ayah juga bahagia di surga sana," monolog Nana lagi, ia berusaha membendung air mata, tak ingin terlihat menyedihkan di depan sang ayah tercinta."Nana yakin hanya dokter Calvin satu-satunya pria yang pantas menjadi suami Nana. Menurut ayah bagaimana? Apakah dokter Calvin pantas menjadi menantu ayah?"Tok, tok, tok!Suara ketukan pintu terdengar, Nana pun terpaksa menyudahi perbincangan dengan foto ayahnya."Iya!" seru Nana mengangkat ujung gaun, kemudian melangkah dengan cepat menuju pintu kamar. Sepersekian detik kemudian, Nana membuka pintu hingga tampaklah sosok tampan yang tak pernah gagal dalam hal penampilan. Hari itu dokter Calvin tampak berkali-kali lipat lebih tampan daripada biasanya. Padahal, tak banyak yang berubah. Setelan jas seperti biasa selalu melekat sempurna di tubuh kekarnya. Nana terperangah, menatap Calvin tak percaya. Tak percaya kalau sebentar lagi dokter Calvin yang selama ini ia kagumi akan menjadi miliknya."Sudah siap?" tanya Calvin dengan ekspresi datarnya."Sangat siap!" seru Nana menahan haru."Kita berangkat," ajak Calvin melangkah lebih dulu, seperti biasa Nana mengekor di belakangnya dengan raut wajah kekecewaan."Di kebanyakan novel, pengantin pria akan terpesona melihat penampilan pengantin wanita, tapi kenapa ini kebalikannya? Perasaan aku juga cantik, tak kalah cantik dari nona Cleona, tapi kenapa dia tidak bisa melihatku sebagai wanita?" protes Nana dalam hati."Mentang-mentang aku bisa bela diri, apa dia kira aku ini wanita jadi-jadian?" lanjut Nana semakin kesal."Haruskah aku telan jang di hadapannya? Ck! Lihat saja nanti malam," Nana terus mengumpat guna meluapkan kekesalannya, tapi lagi-lagi hanya di dalam hati. Ia tak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya di depan Calvin. Nana takut, takut Calvin berubah pikiran dan membatalkan pernikahan. Sungguh dia telah mengalami mimpi buruk yang amat mengerikan."Kau kenapa?" tanya Calvin dengan alis yang berkerut."Ti-tidak apa-apa, hanya sedikit gugup," balas Nana tersenyum kecut."Pakai safety belt-mu," titah Calvin, Nana pun menganggukkan kepala dan langsung mengenakan safety belt-nya. Begitu Nana siap, Calvin mulai tancap gas menuju sebuah gereja yang tak jauh dari apartemen.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di depan pintu masuk gereja. Nana menghela napas berat, kemudian barulah ia keluar dari mobil, menyusul Calvin yang telah masuk lebih dulu. Saat memasuki pintu utama gereja, Calvin tampak menghentikan langkahnya, sepertinya ia kaget dengan kehadiran kedua orang tua serta sahabat dekatnya. Siapa lagi kalau bukan Castin yang datang bersama Cleona istrinya, Elmer yang juga datang bersama istrinya yang telah hamil besar yaitu Dara, dan tak ketinggalan Devil yang datang seorang diri alias tanpa pendamping.Melihat kedatangan Calvin dan Nana, mereka semua pun langsung berdiri dengan senyuman gembira, kecuali Arvin yang terlihat begitu tegang. Sementara Elsa yang berdiri paling depan, tampak memberikan kode kepada sang putra agar mulai melangkah menuju altar untuk segera mengucapkan janji suci.Melihat Calvin bengong, Nana pun dengan penuh keberanian melingkarkan tangan di lengan kekar Calvin, kemudian menuntun Calvin untuk melangkah dengan perlahan menuju altar. Calvin dan Nana mulai melangkah perlahan, beberapa tamu yang hadir mulai bertepuk tangan. Elsa, Cleona dan Dara melempari kelopak bunga.Ketika sampai di hadapan pendeta, Nana tampak gembira, berbeda dengan Calvin yang justru gelisah. Apalagi saat mengingat senyuman tulus Cleona saat menatapnya tadi."Siap?" tanya pendeta."Siap!" seru Nana, tapi tidak dengan Calvin. Pendeta mulai menuntun Calvin dan Nana mengucapkan janji suci yang sakral. Begitu selesai mengucapkan janji suci, Calvin dan Nana pun telah sah menjadi pasangan suami istri, baik secara agama dan juga hukum negara."Ciiuuumm!" teriak Elsa memprovokasi, membuat semuanya ikut meneriaki hal yang sama, kecuali Arvin.Calvin tampak menggenggam tangan erat saat melihat Cleona memintanya untuk mencium Nana. Sementara Nana tersenyum malu, tapi tanpa malu-malu ia mendekatkan wajahnya ke wajah Calvin. Baru saja akan maju, tiba-tiba Calvin menarik pinggang rampingnya dengan gerakan cepat, mendekapnya dengan erat, mendekatkan wajah sekilat, dan kemudian....***"Selamat atas pernikahanmu, Nana," ucap Dara sambil mengulurkan tangan, Nana menyambut tanpa ekspresi."Terima kasih," balasnya dengan datar. Bukan marah pada Dara, tapi kesal pada kejadian tadi."Kamu kenapa, Na?" tanya Cleona bingung melihat ekspresi sang sahabat yang sedari tadi tampak tidak baik-baik saja."Kesal!" ketus Nana."Sama?""Dokter Calvin-lah, bisa-bisanya dia cium aku karena kamu," gerutunya menoleh Cleona sekilas, kemudian kembali menatap tajam sang suami yang tengah berbincang dengan Castin, Elmer, Devil dan juga Elsa. Sementara Arvin sudah pulang duluan."Maksud kamu apa, Na? Kenapa aku?" Cleona sama sekali tak mengerti."Udah ah, nggak mau bahas. Lebih baik kita makan sekarang, aku lapar," ketus Nana memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan kasar. Dara yang juga sudah kelaparan mulai menarik salah satu hidangan kesukaan, kemudian melahapnya rakus."Kamu kapan lahirannya, Dara?" tanya Cleona penasaran kala melihat perut Dara yang sudah turun. Nana juga menatap Dara penasaran, tampaknya ia tak sabar ingin memiliki keponakan."Aku tidak tahu," jawab Dara dengan mulut penuhnya."Loh, emang kamu belum periksa kandungan?" balas Cleona dengan alis yang bertaut.Dara pun menganggukkan kepala kemudian berkata, "Elmer sibuk, ada banyak kasus yang harus dipecahkan," jawabnya memaklumi profesi sang suami yang tak lain adalah seorang jendral."Kan ada aku dan Cleona, kita bisa kok temani kamu ke rumah sakit," sahut Nana geram dengan Dara yang memang tidak pernah ingin menyusahkan siapa pun."Nggak apa-apa, kok. Lagian aku merasa baik dan sehat-sehat saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jelas Dara membuat Cleona dan Nana menghela napas dengan kasar."Sudah berapa bulan, nak?" tanya Elsa duduk di samping Dara, kemudian mengelus lembut perut buncit Dara."36 minggu, Tante," balas Dara tersenyum manis, ia menyudahi makannya."Wah, tidak lama lagi lahiran. Kamu harus berhati-hati," imbuh Elsa dan Dara menganggukkan kepala mengiyakan. Elsa pun berpaling, menatap sang menantu penuh arti."Banyak belajar dari Dara, Nana. Kan mama juga mau punya cucu," sarannya penuh kelembutan."Mama tidak perlu khawatir, nanti malam Nana beraksi," papar Nana berani."Bagus, sayang, mama percaya padamu. Ya sudah, kalian lanjut saja makannya, mama mau ke sana dulu," pamitnya pergi, membuat Nana menghela napas berat."Kamu serius, Na? Kamu lupa kita baru semester satu?""Itu pikirkan nanti, yang paling penting bagaimana caranya agar aku hamil secepat mungkin," sahut Nana menggebu-gebu kala mengingat persyaratan yang diberikan oleh ibu mertuanya."Kurasa itu tidak akan mudah," imbuh Cleona."Apa ini ada hubungannya dengan Tante Elsa?" tanya Dara menimpali. Nana menganggukkan kepala sebagai jawaban."Dia mendesakmu untuk memberikan cucu?" sambung Cleona dengan suara pelan, ia mendekat karena takut ada yang mendengar perbincangan mereka."Tidak hanya itu, dia bahkan mengancamku," Nana memanyunkan bibirnya dengan imut."Astaga," Dara menutup mulut dengan kedua telapak tangan."Mengancam yang seperti apa?" Cleona mengintrogasi."Kalau dalam waktu dua bulan aku belum hamil, maka aku harus menceraikan Calvin. Itu sebabnya aku harus hamil secepat mungkin karena waktuku tidak banyak," terang Nana lengkap dengan gestur serta mimik wajah khawatirnya. Cleona dan Dara kompak membulatkan mata sempurna."Bagaimana kalau program hamil?" imbuh Dara memberikan saran."Walau suamiku dokter, tapi aku akan tetap mencobanya. Terima kasih, Dara. Aku terima saran darimu," ucap Nana yakin meski ragu."Semangat, Na. Ada aku dan Dara, kami berdua pasti akan membantumu memikirkan rencana selanjutnya," sambung Cleona mengusap pundak Nana dengan penuh kasih sayang layaknya seorang saudara."Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu
Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng
"Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya
"Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb
"Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C
"Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"