Share

Bab 03

Author: Oniya
last update Last Updated: 2024-02-21 10:18:16

"Lepaskan putraku!" bentak Elsa menekan kalimatnya dengan murka. Nana tercengang dengan muka memerah, terlalu tak menyangka kalau apa yang ia pikirkan benar-benar menjadi kenyataan. Ibu mertuanya adalah sosok yang kejam dan tak berperasaan.

Nana menggelengkan kepala guna menyadarkan diri. Sebagai seorang wanita kuat dan tak lemah, tentu Nana tak akan mengikuti perintah calon mertuanya begitu saja.

"Saya—"

"Lepaskan Calvin kalau kau tak sanggup memenuhi syarat dariku," potongnya mengubah ekspresi secepat kilat, kini Elsa tampak kembali tenang, tak menggebu-gebu seperti saat menggebrak meja tadi.

"Syarat?" Nana penasaran.

"Iya, sebuah syarat," jawabnya tersenyum licik.

"Apa syaratnya?" tantang Nana tak mau kalah, apa pun akan ia lakukan demi menjadi istri pujaan hati. Tinggal selangkah lagi ia akan menjadi istri sah pujaan hati, mana mungkin ia menyerah hanya karena ibu mertua yang kejam. Lagipula ia bukan karakter wanita lemah dalam novel favoritnya.

"Kuberi waktu dua bulan, kalau kau tidak hamil, maka tinggalkan Calvin," ungkap Elsa dengan penuh penekanan pada setiap kalimatnya.

Nana terperangah, tak habis pikir dengan syarat yang dilontarkan. Nana tentu saja mau menjadi ibu, tapi Calvin belum tentu mau menjadi ayah. Apalagi ia tahu bahwa cinta Calvin tak sepenuhnya miliknya. Membujuk Calvin bukanlah hal yang mudah. Hamil dalam waktu dua bulan juga tak semudah membalikkan telapak tangan.

"Baik. Jangankan dua bulan, saya yakin dapat hamil hanya dalam waktu sebulan menjadi istri dokter Calvin," Nana mengumpat diri sendiri. Kepercayaan diri membuatnya lupa diri. Tapi dengan berbagai jurus andalan ditambah sedikit kelicikan, ia yakin dapat hamil dalam waktu singkat.

"Baru calon menantuku," Elsa mengulurkan tangan, seakan menyambut Nana dengan senyuman kebahagiaan, sangat berbeda dengan tadi, di mana ia selalu mengintrogasi dengan raut wajah yang menakutkan. Dari raut wajahnya yang sekarang, tampak Elsa cukup menyukai Nana. Nana menyambut uluran tangan sang calon mertua dengan wajah bingungnya.

"Aktingku masih yang terbaik," batin Elsa bangga. Sebagai mantan aktris yang terkenal pada masanya, tentu soal akting adalah hal mudah baginya. Apa pun akan ia lakukan demi seorang cucu yang dapat ia banggakan pada kumpulan sosialitanya.

Sementara itu di ruangan lainnya. Terlihat Calvin tengah duduk di sofa di ruang kerja ayahnya. Berbeda dengan Arvin sang ayah yang terus mondar-mandir tak tentu arah.

"Papa sudah tutupi insiden ini, kau tak perlu menikahi gadis itu," ucapnya ketika mulai duduk di hadapan sang putra.

"Apa maksud papa?" tanya Calvin serius.

"Menikahi seorang gadis karena rasa bersalah tanpa adanya cinta, kamu tidak hanya menyakiti diri kamu sendiri, tapi juga gadis tidak bersalah itu. Dengarkan papa baik-baik, kamu tetap bisa bertanggung jawab pada gadis itu tanpa menikahinya. Ada banyak cara lain untuk memastikan dia tetap hidup dengan baik," ungkap Arvin tak ingin putranya menikah tanpa rasa cinta.

"Hanya dengan menikahinya rasa bersalah ini dapat sedikit berkurang. Papa tidak akan mengerti bagaimana hidup dikelilingi rasa bersalah. Keputusan Calvin sudah bulat, Calvin akan di tetap menikahi Nana," keukeuh Calvin tak dapat dibantah.

"Papa juga dokter, Calvin. Banyak nyawa yang melayang di tangan papa tanpa sengaja, tentu papa paham bagaimana perasaanmu, tapi papa tidak mau kamu menyesal nantinya. Cepat atau lambat, Nana pasti akan tahu kesalahanmu," dari ucapannya, sepertinya Arvin tahu obat penenang yang kini diam-diam Calvin konsumsi.

"Sekarang papa tanya, apa yang akan kamu lakukan saat Nana mengetahui bahwa kematian ayahnya adalah kesalahanmu?" Calvin terdiam, ia tak pernah berpikir sampai ke sana. Arvin sang ayah mengusap wajah dengan kasar. Ia bingung bagaimana lagi harus memberikan pengertian kepada putranya yang keras kepala. Persis seperti Elsa, istrinya.

Calvin bangkit dari duduknya, "Calvin datang membawa Nana untuk memberi tahu papa dan mama kalau Calvin akan menikah besok, terserah papa mau datang atau tidak," papar Calvin kemudian pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang tampak syok atas ucapan sang putra yang akan menikah secepat itu.

"Kita pulang!" ajak Calvin langsung menyeret pergelangan tangan Nana keluar dari mansion tanpa berpamitan lebih dulu.

***

"BESOK!" teriak Nana kaget, ia langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangan.

"Kenapa! Keberatan?" Calvin bertanya tanpa menoleh dan tetap fokus pada kemudinya.

"Tidak, aku tidak keberatan sama sekali. Lebih cepat lebih baik," sahut Nana dengan cepat, takut Calvin berubah pikiran. Memikirkan akan menikah besok pagi, Nana tak bisa menahan senyuman lebarnya.

"Kamu juga tidak keberatan kalau kita menikah tanpa resepsi?" pertanyaan Calvin kali ini membuat Nana terdiam, senyuman lebarnya seketika sirna.

"Tanpa resepsi?" hancur sudah impiannya untuk menjadi princess di hari bahagia. Sungguh Nana mengimpikan pernikahan mewah seperti pernikahan di negeri dongeng.

"Maksud saya resepsinya akan ditunda sampai saya berhasil membuktikan kepada papa dan mama bahwa kamu adalah istri pilihan saya yang terbaik. Bagaimana? Kamu tidak keberatan, kan?" sambung Calvin lagi, kali ini ia menatap Nana sebentar, kemudian kembali fokus menatap jalanan di depan sana.

"Pernikahan kita tidak akan dirahasiakan, bukan?"

"Ada sesuatu yang tidak bisa kuberitahu padamu saat ini," penjelasan Calvin membuat Nana tersenyum guna menyembunyikan rasa kecewanya. Tak mendapat restu, menikah tanpa resepsi, ditambah lagi tak bisa membanggakan betapa hebatnya sang suami. Rasanya sangat aneh memiliki suami tapi tak dapat mengatakannya kepada dunia. Ibarat semakin baik sesuatu yang didapat, semakin banyak pula sesuatu yang terpaksa harus direlakan.

"Apa pun itu, yang penting kita menikah," balas Nana dengan penuh kebesaran hati.

"Dan aku akan membuatmu mencintaiku," lanjut Nana di dalam hati sambil menatap Calvin penuh cinta.

Sepersekian detik kemudian, mobil berhenti tepat di depan sebuah butik. Calvin turun dari mobil, Nana juga melakukan hal yang sama. Seperti biasa, Calvin masuk lebih dulu, Nana bergegas menyusul.

"Dokter Calvin, ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita cantik nan modis menyambut kedatangan Calvin.

"Kau punya banyak koleksi gaun pengantin, bukan?" Calvin bertanya to the point. Desainer muda itu tampak kaget mendengar pertanyaan Calvin, tapi buru-buru ia menyadarkan diri.

"Tentu banyak, untuk siapa?"

"Untuk saya, calon istri dokter Calvin," sambung Nana tersenyum percaya diri. Calvin tampak tak suka atas apa yang kini Nana lakukan. Nana tak peduli, lagipula ia tak mengenal desainer muda itu.

"Rahasiakan ini dari siapa pun," ucap Calvin dan desainer tersebut mengangguk dengan cepat.

"Bukan masalah besar," jawabnya yang kemudian memberi jalan, membawa Calvin dan Nana hingga sampai ke ruangan lainnya. Di ruang steril itu terdapat banyak gaun pengantin yang dirawat dengan canggih.

"Silahkan pilih model mana yang nona suka," sang desainer mempersilahkan. Nana menatap kagum semua model gaun pengantin yang sangat indah, harganya pasti tidaklah murah.

"Yang ini boleh?" tanya Nana yang langsung jatuh hati pada gaun glamor yang begitu seksi dan memiliki belahan terutama di bagian dada, paha serta punggung yang terbuka. Sang desainer tersenyum kecut melihat gaun pilihan Nana.

"Maaf, tapi sepertinya tidak sesuai dengan usia nona," sanggah sang desainer membuat Calvin tersenyum simpul. Ia mendukung apa yang desainer katakan.

"Kalau begitu kenapa menyuruhku memilih," cibir Nana kesal.

"Sepertinya model gaun ini sangat cocok dengan pembawaan nona, simpel tapi elegan," desainer itu memberi rekomendasi. Nana tak menyela karena gaun yang dipilihkan untuknya tidak terlalu buruk.

"Ukurannya?" timpal Calvin ragu dengan ukuran gaun yang melekat di patung. Nana semakin kesal karena kedua gundukannya memang tak sesubur gaun yang dipilihkan.

"Akan saya revisi sesuai ukuran tubuh nona. Tidak akan lama karena proporsi tubuh nona cukup ideal, nanti malam akan langsung saya antar," jawabnya dan Calvin pun menganggukkan kepala setuju. Calvin langsung membawa Nana pulang setelah membuat kesepakatan dengan desainer yang tak lain adalah sahabat masa lalunya.

Di dalam kamar.

"Kamu serius?" tanya Cleona di seberang sana.

"Seribu rius, tapi tidak ada resepsi," jawab Nana tampak kecewa. Jawaban Nana membuat lenggang beberapa saat.

"Kamu baik-baik saja'kan, Na?" tanya Cleona khawatir.

"Iya, aku baik-baik saja kok. Lagipula dokter Calvin melakukan itu demi kebaikan aku juga demi kebaikannya. Oh iya, kamu datang, ya, besok."

"Tentu saja aku datang," jawab Cleona dengan cepat.

"Nanti sambung lagi, ya. Castin mau nyusu, eh, maksudku baby d mau nyusu."

Tut!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Tampan Berstatus Duda Itu Adalah Suamiku   Bab 19

    "Dia bahkan sudah meminta maaf, tapi kenapa setelah keluar dari rumah sakit, aku merasa dia terus menghindariku? Bahkan aku dilarang pergi ke rumah sakit?" ungkap Nana dengan mata berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar menahan tangis. "Perasaan kamu aja kali, Na," Cleona berusaha menenangkan. Meski merasa heran dengan Nana yang akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif."Tapi ini sudah berlebihan, Cleo. Masak iya bisanya nggak pulang berhari-hari, sekalinya pulang pas tengah malam, mana langsung tiduran tanpa peduli keberadaan aku. Bahkan pernah pulang cuma ambil pakaian ganti, terus pergi lagi," Nana mengambil jeda guna menghela napas panjang."Aku kira setelah malam itu dia akan jadi lebih romantis, tapi ternyata malah lebih dingin dari biasanya. Apa dia melakukan itu karena aku gagal memuaskannya saat itu?" ketus Nana dengan emosi yang sulit dikendalikan. Ia merasa perubahan sikap Calvin adalah kesalahannya sendiri."Suami kamu itu Dokter, Na. Bukankah sebelum menikah kamu sudah tahu

  • Dokter Tampan Berstatus Duda Itu Adalah Suamiku   Bab 18

    Karena kasihan melihat sang istri kedinginan dan juga tidak ingin memberikan pengalaman pertama yang buruk, Calvin pun terpaksa menyingkirkan hasratnya untuk sesaat, kemudian membopong dan membawa Nana keluar dari kamar mandi. Sampai di ranjang, dia baringkan sang istri dengan sangat berhati-hati seolah tubuh Nana adalah cermin yang gampang pecah. Tatapan Calvin yang awalnya membara kini berubah lembut, Nana balas menatap sang suami dengan penuh cinta. "Apa aku tampan?" Calvin bertanya menggoda. "Apa aku cantik?" balas Nana balik bertanya. CupKecupan hangat Calvin daratkan di kening sebagai jawaban. Nana tersenyum lebar, kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher kekar sang suami yang tentu saja sudah berada di atas tubuhnya. Ketika Nana mulai maju perlahan, dengan cepat Calvin mendahului. Ciuman panas pun kembali terjadi. Tentu saja kedua tangan nakal Calvin tak tinggal diam. Sepersekian menit kemudian."Siap?" Calvin mulai memposisikan diri. Nana tak menjawab, tetapi meng

  • Dokter Tampan Berstatus Duda Itu Adalah Suamiku   Bab 17

    "Tapi sebelum itu, apakah kamu tidak takut malam pertama? Setahuku itu sakit untuk pihak perempuan, bahkan beberapa pasienku datang dengan keluhan itu," Calvin berniat menakuti sang istri. "Aku? Takut malam pertama? Haha ... Malam pertama sakitnya bentar doang, habis itu enak," tutur Nana tanpa beban. Berhasil menangani sakit saat menstruasi serta tak lagi takut pada rasa sakit melahirkan membuat Nana yakin dapat melewati malam pertama dengan mudah. Apalagi ia sudah mempersiapkan diri sejak lama. Karena pada dasarnya Nana lebih takut akan kehilangan sang suami daripada kehilangan kesucian dirinya sendiri. Bukannya mengelabuhi, Calvin justru terkelabuhi. Ia gagal membodohi sang istri karena justru terpancing oleh ucapan Nana yang malah membuatnya merasa tertantang, seolah menyepelekan malam pertama sama saja dengan menyepelekan kejantanannya sebagai lelaki sejati. "Aku pegang kata-katamu!" dengan kasar Calvin mendorong Nana hingga terjerambab ke atas ranjang, kemudian mengukungnya

  • Dokter Tampan Berstatus Duda Itu Adalah Suamiku   Bab 16

    "Hah! Serius?" padahal hanya iseng, tak disangka sang suami justru menanggapi dengan serius. Meski tahu sampai detik ini Calvin belum mencintainya, tapi dengan rencana yang telah disusun oleh Castin, Nana yakin akan berhasil meluluhkan hati sang suami. Nana merasa beruntung mendapat dukungan dari kedua sahabat."Ya serius. Lagian cuma mandi, kan?" Calvin bertanya memastikan meskipun ia sudah tahu Nana tak akan menyerah begitu saja. "Ya kalau nggak khilaf," Nana mengulum senyum sambil menatap Calvin penuh cinta. Melihat ekspresi genit yang Nana tunjukkan secara terang-terangan, seketika Calvin merasa khawatir. Namun, otak cerdasnya dengan cepat mulai berpikir kritis. Apa pun yang terjadi ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan rencana licik sang istri. Akan tetapi, yang harus Calvin lakukan saat ini hanya satu, yaitu menebalkan keimanannya agar tak tergoda. Tok, tok, tok....Ketukan pintu berhasil memutus perbincangan sengit yang terjadi antara Calvin dan Nana. "Iya, Ma. Seb

  • Dokter Tampan Berstatus Duda Itu Adalah Suamiku   Bab 15

    "Dokter Calvin!" panggilan khas terdengar ketika sosok itu berbalik. Calvin tercengang, ia tak menyangka sosok yang selama ini ia cari-cari kini kembali dengan sendirinya. Tanpa sadar Calvin berlari, saking semangatnya berlari, ia merasa seolah kakinya tak menapaki bumi. Tubuhnya terasa terbang melayang dengan kencang di udara. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada tepat di hadapan sang istri, tanpa ragu Calvin memeluknya dengan erat guna melepas kerinduan yang selama ini menyiksa. "Maafkan aku, kumohon jangan pergi lagi," kalimat itu terucap di bibir Calvin yang bergetar. Untuk kesekian kalinya ia tak peduli dengan air mata yang mengalir begitu deras. Masa bodoh dengan imagenya sebagai seorang dokter terpandang. "Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk dan menetap di dalamnya, dengan begitu Nana tak akan pergi," sahutan Nana seolah bagai panah yang menusuk ke dalam dada. Rasa sakitnya mampu menyadarkan Calvin bahwa kepergian Nana adalah karena ulahnya sendiri. "Maafkan aku," C

  • Dokter Tampan Berstatus Duda Itu Adalah Suamiku   Bab 14

    "Bagaimana kalau saya minta bantuan dokter Dona?" tawar suster Maria kala mendapati Calvin menghela napas panjang berkali-kali. "Tidak perlu, lanjutkan antrian berikutnya," tolak Calvin dengan halus, suster Maria menganggukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan untuk melanjutkan tugasnya. "Pasien atas nama Nana!" meski berteriak, tapi nada suara suster Maria terdengar sopan di telinga. Calvin yang tengah duduk di singgasananya seketika bangkit dan membuka pintu dengan terburu-buru. "Nana!" Calvin membuat kaget semua pasien yang duduk mengantri di kursi tunggu. "Dokter kenal istri saya?" tanya seorang pria sambil melepas rangkulan pada wanita di sebelahnya. "Maaf, saya pikir Nana Calista perawat saya," ucap Calvin meminta maaf dengan tulus. Sang pria kembali merangkul sang istri dengan mesra. Sementara sang istri tak merespon apa pun, ia sibuk menikmati ketampanan dokter di hadapannya. "Tidak masalah, tapi istri saya cuma mau diperiksa oleh dokter perempuan, iya'kan, sayang?"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status