Share

Hujan

Rintik kala gelap menambah dinginnya malam. Bukan hanya kata kiasan di antara sajak yang pernah kubaca, tapi memang benar adanya ketika langit menutupi cahaya rembulan. Memang sejak kapan bisa memperhatikan permainan cahaya dari langit jika lampu-lampu jalanan yang jauh lebih semarak?

Dari balik dinding kaca yang membatasi udara luar, embun yang melapisi mampu kugores dengan lingkaran-lingkaran abstrak enggak penting, lalu temukan dia masih betah berdiri di pinggiran lorong dekat pintu masuk ruang gawat darurat. Lama tak jumpa dan aku masih saja tersenyum jika melihatnya dari kejauhan? Kenapa?

Ariesta Kanaya. Gadis setinggi bahuku saat berhadapan di lorong sebelumnya terlihat garang dengan jins dan kaus berbalut jaket kulit hitamnya, ransel senada yang menggantung jauh lebih kecil dari punggungnya. Perbedaan paling kentara ialah tampilan garis hitam yang membingkai kelopak mata Aya. Tajam.

Belum kutemukan duka dari pupil yang cenderung menatap kekosongan di sisiku saat mendengarkan penjelasan mengenai risiko yang mungkin terjadi dalam semalam. Ranjang ICCU yang belum ada dan percobaan anestesi sebagai pengganti obat yang tidak tersedia. Hah ... tanggung jawabku sebagai penerima tugas.

Aku beralih pada mesin kopi, berusaha mengalihkan rasa bersalah yang menggelayut sambil mengisi dua gelas kertas sekaligus dengan espresso panas dan tambahan air. Sambil menunggu aliran si cairan gelap, jemariku mengetuk-ngetuk pinggiran meja, mempertimbangkan untuk menemuinya lagi atau tidak.

Ternyata gerak sepatuku justru memilih menyusuri lorong hingga berada tepat di sisi Aya. Melihatnya menadah rintikan yang jarang mampu menerbitkan lengkung di bibir sampai dia sadar, aku menunggu.

"Eh, Dokter?" Aya menjaga jarak selangkah setelah sempat menoleh.

Kusodorkan salah satu gelas di tanganku padanya. "Nunggu? Enggak ada keluarga yang lain?"

Bisa terlihat garis senyumnya yang seolah dipaksakan saat meraih gelas kopi. Hampir lurus, hanya ujung naik barang sedetik. Aya menyeruput dari pinggiran gelas tanpa melirikku lagi.

"Tinggal berdua, Dok," ucapnya dengan nada datar disusul embusan napas panjang dan menunduk. Kuperhatikan ujung-ujung sepatu ketsnya menendang-nendang butiran air yang jatuh secara acak.

"Kita pernah satu sekolah, Aya. Kamu betah bicara formal dengan manggil aku 'Dok'?"

Kaki kanannya berhenti di udara untuk sesaat, lalu berpijak perlahan. "Oh, ya? Aku enggak ingat." Susunan kalimatnya berubah santai saat sepatu-sepatu kets itu bergeser menghadap keberadaanku.

Kembali kusesap kopi dari gelas kertas di tanganku seraya memasukkan tangan lain yang bebas dalam saku jas putih yang kukenakan sejak masuk ruang gawat darurat. Ternyata Aya memperhatikan susunan huruf yang membentuk namaku pada penanda di bagian dada kiri jas.

"Nathanael Abraham?" Dia ternyata menyebutkan namaku perlahan dengan intonasi tanya. Benarkah dia benar-benar tidak ingat? Atau aku yang salah orang?

Enggak mungkin. Wajahnya jelas-jelas terpatri dalam setiap kenangan yang ... benar harusnya dilupakan. Sial! Terlalu menyesakkan. Kenapa rasa bersalah justru menggelayut?

"Beneran enggak ingat?" Kupindahkan gelas kopi ke tangan kiri lalu mengulurkan tangan di depannya sambil menyunggingkan senyum. Kuharap tidak terlalu kaku untuk awal yang berbeda. "Bagaimana kalau berteman lagi dari awal? Aku Abra."

Pandangan mata kelam Aya sempat turun pada jari-jariku yang menunggu disambut. Sedetik ... dua detik ... belum ada tanggapan. Kutolehkan kepala pada taman kecil menghadap area parkir kendaraan roda dua yang berdampingan dengan rumah makan. Tentu sudah tutup di pertengahan malam.

Saat kembali melihat Aya, gadis itu berjongkok, meletakkan gelas kopinya tepat di samping tiang penyangga dan menurunkan ranselnya dari tali bahu kiri. Sebuah kartu nama yang justru mendarat di tangan kananku, bukan sambutan.

"Kalau perlu jasa instalasi atau perbaikan laptop, hubungi ini." Aya menunjuk deretan nomor yang tertera di baris bawah kartu hitam dengan huruf-huruf arial putih. "Mau jual bangkai laptop juga boleh. Aku bisa kasih harga bagus."

Penjelasannya ternyata mampu merusak ekpektasiku tentang gadis yang irit bicara. Dia begitu mudah menjelaskan banyak hal mengenai pekerjaan lepasnya sebagai teknisi di sepanjang satu jam perkenalan yang berhasil membuatku berkali-kali menguap dan kopi tak mampu menahan lebih lama.

"Coba aku cek di dalam dulu, ya." Jempolku bergerak naik ke udara, mengarah pada pintu masuk IGD sambil berusaha menyunggingkan senyum. "Kamu masih nunggu di sini, kan?"

Yah, aku baru menyadari jarum pada arloji di pergelangan tangan kanan sudah melewati pukul dua. Harusnya aku turut mengawasi keadaan pasien daripada menyerahkan tugas ke perawat, tapi siapa yang mengawasi? Toh, pria yang berstatus sebagai ayahnya Aya sudah terlelap setelah mendapat penenang.

"Mbak Risa mana?" Aku langsung bertanya pada perawat lain yang kutebak baru saat mengecek lembaran kertas di meja pendataan.

"Lagi dipanggil Pak Agus. Pak Abra masuk malam ini?" Dia malah melebarkan mata saat melihatku. Senyuman lebar yang ditunjukkannya ketika menyerahkan lembaran atas namaku sebagai penanggungjawab justru di saat tidak tepat.

Aku malah menguap lagi, refleks menutup mulut dengan tangan kiri ketika harus membaca surat persetujuan wali pasien untuk penempatan. Ruangannya sudah ada dan untuk sementara obat yang masuk dalam tubuh pasien menggunakan injeksi. Hasil tes darah menunjukkan naiknya leukosit. Mungkin ada infeksi di dalam, atau alergi pada zat tertentu.

Kuletakkan gelas kopi yang telah kosong di meja dan ingat kartu nama yang masuk dalam saku saat meninggalkan Aya. Nomornya tertera di sana, bukan? Lebih mudah menghubungi Aya daripada harus berjalan keluar.

Aku segera menekan deretan nomor pada layar ponsel setelah mengeluarkannya dari saku celana. Ada beberapa pemberitahuan pesan masuk terabaikan yang sama sekali tidak ingin kubaca. Dari siapa? Tidak banyak orang yang kukenal dan saling peduli. Mungkin belum.

"Hai, Aya! Aku Abra," ucapku begitu penerima panggilan menjawab, tentu tanpa ada basa-basi. Ini bukan perkara perkenalan gebetan atau say hai after long time, tetapi lebih ke urusan profesional medikasi. "Boleh tanya, ya? Pak Raden ... eh, ayah kamu punya masalah alergi sama obat tertentu?"

Jariku yang bebas memberi isyarat pada si perawat baru untuk mengambil apa saja yang bisa ditulis sementara aku mengambil pulpen dan merapatkan ponsel di antara telinga dan bahu.

"Apa tadi, ya?" Kutanyakan ulang dan dia menyebutkan sederet nama obat dalam daftar kortikosteroid, termasuk kemungkinan alergi makanan sejenis hidangan laut juga. Tercatat acak dalam coretan kertas.

"Oke. Terima kasih informasinya." Hampir kututup panggilan jika saja tidak ingat memberi pesan. "Pulang saja dulu. Nanti aku kabarin kelanjutannya."

Bisa kudengar ucapan terima kasih di ujung sana sebelum tanda panggilan terputus menyambut. Dia memang berbeda dan kuharap hidupnya jauh lebih baik setelah kelulusan. Banyak hal yang tak mampu kurelakan di masa lalu dan menyakitkan untuknya.

Setelah menyelesaikan pemeriksaan terakhir pada pasien di ruang gawat darurat, aku kembali pada bagian pendaftaran. Sekadar berbincang kosong dengan Aldi atau mengecek pemberitahuan terakhir di ponsel.

Hujan di luaran dinding kaca ternyata telah berganti rintik jarang. Posisi menghadap pelataran parkir memungkinkanku melihat Aya yang berlari mencapai motornya menyadarkanku hal lain.

"KT 4807 ZA?" Sudut bibirku perlahan naik membentuk seringai. "Mungkin ganti rugi aja enggak bakal cukup, Ya."

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
pretty_313
Lah, motornya Aya, ternyata.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status