Share

Dokter Tampan Pemikat Wanita
Dokter Tampan Pemikat Wanita
Author: Aldrich Candra

Kecelakaan

"Woy! Mobil gue!"

Teriakanku sepertinya tidak digubris oleh si penabrak yang meninggalkan baret panjang pada sisi kiri sedan putihku di area parkir. Kendaraan roda dua yang kutebak bermesin besar itu justru menaikkan kecepatan saat kukejar.

"Abra! Hei! Tunggu!" Teman kencanku turut berteriak saat aku memasuki mobil tanpa menunggunya.

Jelas teriakan itu tertuju padaku, terdengar bising bersama ketukan di badan mobil, tapi enggak penting. Aku lebih terobsesi menangkap oknum enggak tahu diri yang seharusnya minta maaf karena merusak mobilku yang masih terhitung cicilan empat tahun lagi. "Dia harus ganti rugi."

Kecepatan sedanku meninggi pada jalan turun memutar, berusaha mengimbangi kecepatan dari motor sport hitam yang tampilannya rajin banget wara-wiri dalam acara sinetron langganan Mama, sebelum mencapai pembatas pemeriksaan karcis parkir.

Namun, terlambat. Antrian panjang pada barisan roda empat menahan laju meski klakson kupukul berkali-kali. "Sial!"

Hal yang tak mampu kuhentikan selain hujan turun di luaran, mungkin bibirku yang belum mampu berhenti mengumpat karena kecewa. Untuk apa? Tuntutan ganti rugi?

Bukan hanya itu.

Kulirik layar ponsel yang terus bergetar setelah dikeluarkan dari saku celana. Panggilan tak terjawab dua kali dari pasangan kencanku dan dua puluh lima dari rumah sakit. Tentu aku bakal mengernyit. Panggilan apa yang masuk pada libur akhir tahun?

Satu panggilan lagi, kuhubungkan pada pelantang tanpa kabel di telinga. "Selamat malam Natal, Mbak Risa," sapaku setenang mungkin meski napas yang berembus terdengar menahan tekanan dari emosi di dada.

Barisan maju sampai batas dua kendaraan. Kulajukan si sedan putih perlahan sambil mendengarkan instruksi dari seberang panggilan dengan sabar. Jerat dasiku pun telah melonggar saat berhenti di samping loket pengembalian karcis, dan ... dobel sial.

"Maaf, Mas. Karcis saya kayaknya nyelip." Alasan yang terkemuka dari bibirku justru semakin menambah panas hawa di dalam mobil meski jendela terbuka lebar. Bukan hanya karcis, tapi dompet yang harusnya terasa pada saku belakang celana sudah tidak ada bentuknya.

Keringat terasa menuruni pelipis dalam suhu berbeda. Dingin. Mungkin mengimbangi suasana yang tercipta ketika petugas keamanan mengarahkan laju mobil ke sisi kosong dekat trotoar. Jas gelapku sudah lepas dari tubuh saat diminta keluar dan menghadapi benda panjang yang digunakan untuk mendeteksi logam.

Tentu tidak ada apa pun. Termasuk dompetku. Memikirkannya saja sudah menambah kekesalan. Gara-gara si pemilik motor sport hitam itu. Sudah kucatat dalam ingatan plat nomornya. KT 4807 ZA.

"Pak Abra?" tanya pemilik panggilan yang ternyata masih tersambung pada perangkat di telinga, menyadarkan jika aku masih berada dalam dunia nyata yang secara kebetulan tidak mendukung.

"Ya, Mbak Risa?" Kulirik Arloji sementara menunggu petugas keamanan bicara menggunakan perangkat komunikasinya yang serupa telepon di zaman 90-an. Punggungku sudah bersandar pada badan mobil, menopang lelah yang telah menggelayut. "Mungkin agak terlambat. Memang tidak ada yang berjaga?"

Jawaban yang kuterima seolah menyingkirkan obsesi dendam dalam sekejap. Penjelasan kondisi pasien yang dipaparkan Mbak Risa memaksaku meninggalkan kendaraan beserta kunci dan kartu nama.

***

Wanita yang kusebut Mbak Risa menyambut di lorong UGD dengan beberapa map di tangan. Dalam sekejap, lembaran kertas di dalamnya berpindah tangan. Lembar pertama menunjukkan centang formulir data diri diikuti coretan keluhan pingsan karena kelelahan, sesak napas, kelebihan berat badan, dan edema dari pria paruh baya yang seharusnya mampu beristirahat di masa tua justru memiliki pekerjaan sebagai kuli panggul.

Tidak ada yang salah dengan profesi, hanya saja aku mempertimbangkan risiko terburuk dengan adanya edema, pembengkakan pada tungkai kaki bawah, terutama setelah aku melihat pasien. Pemilik nama Raden Sumirno itu terbaring dengan bantuan masker oksigen. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat.

"Ada kemungkinan kardiomegali," tebakku saat melihat tampilan layar di samping tempat tidur menunjukkan angka-angka rumit. Tekanan mencapai 232/120 biasanya mampu mengakibatkan stroke pada pasien. Termasuk tanda-tanda dari hasil anamnesi yang kubaca dari lembaran. Kulirik Mbak Risa dan menanyakan, "Sudah hubungi Pak Anan?" nama dokter khusus bagian kardiologi yang mengurus penyakit jantung dan pembuluh darah.

"Sudah, Pak. Tadi diarahkan obat dulu, tapi pasien sudah kesulitan bernapas," jawabnya di belakangku.

"Kita enggak bisa memutuskan. Ini urusannya Pak Anan. Masih ada rujukan tes lagi?" Aku memasang stetoskop, memastikan secara manual detak jantung yang terdengar cepat setiap detik berlalu, memeriksa pembesaran pupil di matanya. Setelah menekan-nekan permukaan kulit yang membengkak, benar, ini edema, cairan yang menumpuk di bawah kulit.

"Masih menunggu hasil tes darah dan rontgen, Pak."

"Ada lagi?"

"Obat-obatan yang diminta tidak tersedia."

"Ada risiko alergi?" Lembar di tanganku sampai perlu dibolak-balik, tetapi tak ada petunjuk pengisian dalam lembar riwayat obat. "Keluarganya?"

Mbak Risa melangkah setelah memastikan selang infus dan oksigen berjalan baik. Sementara aku berbalik dan mempersilakannya lebih dulu melalui lorong khusus petugas medis.

"Tidak ada dokter lain?"

"Bu Dara dan Pak Agus sedang menangani korban kecelakaan bus, Pak. Sepertinya tidak sedikit."

Penjelasannya bisa ditoleransi, tapi hari liburku justru harus terpangkas karena kasus darurat. Kapan sih ada waktu libur untuk petugas tingkat rendah?

"Pantas saja jalanan masuk sini tadi macet." Sumpah, aku hanya beralasan karena terlalu lama berada di jalan. Proses memesan taksi daring hingga penjemputan tidak bisa dilakukan dalam sekali kedip. Orang-orang hanya tidak mengerti jika jalan menuju profesi kedokteran tidaklah mudah. Sudah bertitel pun belum tentu punya waktu pribadi.

"Maaf, Pak Abra. Tadi saya coba telepon ke rumah, ternyata Bapak belum ketemu keluarga, ya?"

Langkahku berhenti di depan meja petugas. Absensi masih dilakukan manual dengan menulis nama, waktu jaga, hingga tanda tangan. Seharusnya rumah sakit besar nan maju tempatku bertugas sudah memiliki sistem yang lebih moderen. Punya bangunan tinggi menggunakan lift misalnya. Belum ada. Mungkin, ya, di gedung naratama depan yang hanya bisa dibayar dengan harga mahal.

Aku berusaha menertawakan pertanyaannya meski di dalam rasanya mengganjal. "Keluarga? Yang mana yah, Mbak?"

"Itu ... nomor yang tertera di informasi, Pak."

Baru ingat. Nomor yang kucantumkan sebagai panggilan darurat ketika awal bertugas sebagai dokter jaga. Siapa yang bisa kusebut sebagai keluarga jika hanya diingat saat wisuda? Siapa yang bisa kusebut keluarga jika mereka pun berpisah tanpa mempertanyakan keinginanku untuk bertahan?

"Lain kali hapus saja nomor itu dari data. Jadi, di mana keluarga Pak Raden tanpa kumis?"

Mbak Risa bergeser pada buku lain di meja sebelahnya. Buku yang kulihat masih baru itu mungkin akan segera berganti kurang dari satu minggu lagi dengan alasan tutup bulan. Dia lalu berpindah pada mikrofon di dekat bagian pendaftaran pasien dan memanggil, "Ariesta Kanaya?"

Tunggu. Aku kenal nama ini. Apa benar Ariesta Kanaya? Aya, gadis satu kelas denganku yang selalu menangis saat jam istirahat. Rasa penasaran membuatku tak sabar menengok dari loket kaca yang membatasi.

Benar, dia Aya yang sama dengan penampilan berbeda.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status