"Mama bilang apa tadi sebelum pergi, Abra?" Wanita yang kulihat di depan pintu kamar hampir mengetuk pintu langsung melayangkan omelan panjang menyangkut makan siang di luar."Ya Tuhan, Ma. Sorry, Abra beneran lupa." Aku mengusap tengkuk sambil melirik Aya yang masih mengumpulkan pakaiannya.Hanya berharap Mama tetap berada di luar kamar. Mau nutup pintu, Mama sudah lihat aku mau keluar. Kutahan daun pintu seraya memaksakan senyuman sementara Mama masih mengoceh."Mama udah telepon kamu berkali-kali, tapi—"Ucapan Mama terhenti ketika memaksa masuk. Aku sudah mengusap wajah dengan kasar sambil membelakangi, menendang-nendang dinding pelan sambil bersiul, tahu pemandangan seperti apa yang bakal Mama saksikan."Aya masih di sini?""Sore, Tante." Suara serak Aya menyambut."Kalian ngapain?"Pembicaraan mereka terdengar pelan, tentu aku enggak berani berbalik. Apalagi suara benda jatuh di belakang. Gelas kaca pecah?"Abra? Abra jawab Mama!"Daun telingaku ditarik hingga menghadap ranjang.
"Ngajuin izin berapa lama, Mas Abra?" tanya Pak Agus saat melihatku meletakkan amplop surat di buku besar presensi kerja."Semingguan, Pak." Kedua tanganku masuk dalam saku jas ketika menghampirinya, menyamakan langkah di koridor menuju ruangan dokter. "Adikku mau nikah, Pak.""Wah, Mas Abra ternyata punya saudara.""Saudari, sih. Beda ibu." Kepalaku menggeleng, menunduk sekali dan menggulirkan senyum dengan menaikkan ujung kanan bibir. "Secara nyata, belum pernah ketemu."Rekan sejawatku sejak bertugas di IGD itu menepuk bahuku sebelum memisahkan diri di depan ruang yang dituju. Dia berbelok ke arah lain setelah berpamitan dan mengucap, "Moga lancar, Mas."Sempat kuaminkan, tetapi kemunculan Aya yang duduk di bangku kerjaku dalam ruangan menarik perhatian. Ingin menerkamnya kalau saja enggak ingat pesan Mama terakhir kali.Ah, aku jadi paham alasan Pak Agus pergi.Jemari kurus Aya menekan tiap tuts kibor laptop tanpa melepaskan penglihatan dari layar."Ngapain?" tanyaku setelah mendar
Tahu rasanya meminjam lagi dari orang lain?Bepergian pun rasanya seperti diingatkan dan dikejar-kejar. Yah, meski enggak bakal ditagih juga kalau yang ngasih pinjam kayak Caca. Uang kayak enggak berdigit dalam sakunya."Ambil yang mana, Bra?"Aya menutup ritsleting jaket sambil menghampiriku di lorong showroom rental motor. Dia mengikat asal rambut panjangnya di belakang.Setengah jam dari bandara menggunakan taksi cukup menambah kusut wajahnya yang hampir tidak tersentuh riasan selain pelembab. Tau dandanan itu juga karena beberapa kali harus mengikutiku menghadiri acara yang Ayah adakan.Aku masih ingat saat pertama kali Caca menyapukan perona di pipi Aya. Gadis itu terbatuk berkali-kali. Lucu."Yang mana?" Aya mengulang pertanyaannya.Kami berpikir menyewa kendaraan biar bisa leluasa sejak menginjak Surabaya dan sempat berdebat panjang mengenai penggunaan roda dua atau empat. Dan ... Aya menang. Kondisi keuangan memang membatasi perjalanan kami biar lebih banyak berhemat."Terserah
Dari luar, rumah Ayah terlihat dicat warna krem berpadu cokelat tanah. Dilengkapi batuan kecokelatan dan air mancur di pertengahan kolam kecil berisi ikan mas koki.Belum lagi pot-pot putih dengan berbagai tanaman hias di depan rumah. Hiasan bernuansa logam sesekali ditemukan pada dinding dalam rumah yang didominasi warna putih. Khas Ayah sekali.Kepercayaan tentang keseimbangan unsur itu memang sering kudengar. Tentang logam, air, api, dan tanah. Kalau enggak salah sih gitu. Tapi, apa harus?Entahlah. Kepercayaan tiap orang kan beda.Aku sendiri masih belum jelas dalam mengenali Tuhan mana yang diikuti. Dalam keluarga besar Ayah mempercayai banyak dewa, tetapi agama yang dianut menguatkan trinitas.Para pria berseragam yang mengawal sepanjang perjalanan tadi meninggalkan kami di ruang depan yang kupikir khusus untuk tamu.Sofa-sofa tebal dari kulit solid memang empuk. Namun, pria tua yang selalu kutemui hanya dalam pesta itu mengurungkan niatku berlama-lama duduk.Alih-alih bersalaman
Mobil bak yang kuparkir di samping pedestrian langsung memperlihatkan sosok kedua perempuan yang kukenal. Mereka duduk dalam gazebo bertiang merah dengan hiasan bebatuan pada tiang bawahnya.Kuhela napas kuat-kuat setelah turun dari kendaraan roda empat yang sangat menguji kesabaran. Kecepatan terbatas dan rentan mogok.Aku jadi curiga kenapa enggak ada pengejar setelah kami keluar dari kawasan perumahan elite. Apalagi jarak yang ditempuh cukup jauh menuju lokasi taman yang dikirimkan Aya. Sekitar lebih dari setengah jam perjalanan.Lumayan buat saling mengorek informasi dari Abi, suami Jessie. Hanya enggak nyangka kalau mereka menikah karena digerebek warga saat melarikan diri di pinggiran kampung."Wah, ternyata Pak Irawan punya anak lain," seloroh Abi ketika mendengar ceritaku tentang Ayah di sepanjang perjalanan.Bisa saja kupukul dia di tempat karena candaan yang sama sekali enggak lucu mengenai tingkat percaya dirinya yang terlalu tinggi gegara urusan banyak wanita yang mengantri
"Seriusan harus bersihin ginian?" tanya Aya yang masih berkutat dengan sapu di tangannya. Bukan buat bersihin debu, tapi mendorong sampah-sampah yang bertebaran ke sudut ruangan.Gila! Suaminya Jessie memberi kami tumpangan di tempat yang enggak pernah keurus?“Selamat datang di penginapan kami, Mas Abra. Dinikmatin aja, yak? Kalau mau ngopi sama mi instan, langsung ke bawah aja. Jangan lupa bayar di kasir,” kata pemuda bernama Abi itu sebelum meninggalkan kami berdua di ruangan yang masih satu gedung dengan mini market pinggir jalan.Cengiran jailnya enggak bakal kulupain. Dasar adik ipar durhaka!"Namanya juga gratisan, Ya." Jendela yang baru kubuka lumayan membawa angin segar, beserta polusi yang dibawa kendaraan besar di luaran. "Udah, yang penting ada tempat buat tiduran."Aku kira cuma di daerah aja yang penuh dengan polusi karena banyak jalan berlubang. Ternyata di kota besar juga punya masalah asap dan debu yang ... bisa dibilang enggak terekspos media.Kuturunkan kasur yang be
Kutarik kerah dari kaus makhluk enggak tahu diri yang muncul dadakan di belakangku dan Aya. Cengiran di wajah Elzar membuatku harus menahan dalam-dalam keinginan membunuhnya."Lo ngapain ke sini?" Kulayangkan pertanyaan setelah melihat sekeliling, cukup jauh dari Aya yang masih bersandar di badan patung naga."Tempat umum? Hei! Gue kebetulan jalan doang sama temen-temen gue." Gerakan alis kanan Elzar yang naik bisa diartikan sebagai tantangan. Dia selalu melakukannya saat menjumpai hal menarik, diiringi seringai yang terkesan jahat di mataku. "Atau lo takut gue ngedeketin Aya?""Brengsek!" Peganganku pada kerahnya terlepas. Berbalik selangkah, lalu mengepalkan tangan hingga buku-buku tangan menghantam tembok di samping Elzar. "Gue udah bilang sama lo buat jauhin Aya."Penekanan kata dari bibirku spontan mengubah raut wajahnya. Mata melotot itu berganti, seolah terkejut atau menyiratkan ketakutan. Terutama karena punggungnya dadakan menegak lurus, bersandar pada dinding di belakangnya.
Aku baru tahu kalau makan pedas itu bisa menyamarkan air mata. Wajah sendu Aya ketika menangis tertutupi dengan desisan setiap suapan berselimut saus kacang pedas dari bungkusan plastik di tangannya berhasil masuk mulut."Enggak jadi," katanya.Apa coba yang ada dalam pikiran perempuan kalau mau bilang sesuatu terus berubah jadi enggak? Entar kalau enggak ditanggapin, responnya malah dikatain enggak peka, enggak pengertian, dan berakhir, "Aku benci kamu."Enggak gitu juga. Kuharap Aya enggak kayak deretan mantan yang lain, dan dia emang beda, untuk urusan perhatian khususnya. Atau ... hanya aku yang ngerasa hubungan kami terlalu cepat?Aku mengikat bungkusan berisi sisa pentol. Masih bisa dimakan nanti. Lidahku sudah enggak kuat makan pedas banyak-banyak. "Cerita entar kalau udah siap."Perutku sudah lumayan, meski ya makanan pedas sangat tidak disarankan setelah tekanan paksa. Bakal ada perhitungan buat si makhluk mesum macam Elzar nanti. Kuregangkan tubuh dengan meluruskan kaki dan l