Share

Pulang Bareng

Aku bingung bagaimana cara menyampaikan pesan Saina untuk Maminya. Harus benar-benar tepat penyampaiannya, kalau aku salah sedikit saja aku bisa di sangka orang gak war*s. Apa mungkin orang tua Saina percaya aku bisa berkomunikasi dengan anaknya? zaman sekarang kadang orang sudah tidak percaya hal-hal begini.

"De, ngapain kamu mundar-mandir sudah seperti setrikaan, Abang pusing tau lihatnya." keluh abangku.

"Abang usil banget sih suka-suka Geeza."

"Cerita donk ke Abang, kenapa? Nanti Abang bantu."

"Serius Bang?" Abang mengangguk. Akupun menceritak apa yang sedari tadi membuatku bingung dan galau beuud.

"Ya menurut Abang sih ceritakan saja semuanya sampaikan sedetail mungkin, itu 'kan amanat dari Saina. Perihal nanti mereka percaya apa enggak kamu gak usah pikirkan, Dek."

"Gitu ya Bang, makasih ya Abang sayang," ucapku.

Aku segera berlari ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap, hari ini shift kerja jam tiga sore sampai jam sebelas malam.

Ibu menyiapkan donat topping gula halus kesukaanku untuk bekal dengan teh hijau hangat di termos mini milikku. Setelah berpamitan pada Ibu, Abang mengantarku menuju Rumah sakit. 

"Jam dua siang itu di luar panas nanti kulitku bisa gosong," kata Abang.

Abang memang kakak yang baik dia begitu sayang dan perhatian pada ku.

"Nanti malam Abang jemput jam berapa, Dek?"

"Nanti Geeza kabari ya, Bang, makasih sudah diantar, Assalamualaikum." Aku mencium punggung tangan Abang.

"Waalaikumsalam, kerja yang rajin ya!"

"Assiyaaap, Bang," jawabku.

Aku berlalu sambil melambaikan tangan pada Abang.

Masih setengah jam lagi untuk mulai bekerja, aku sengaja berbelok ke ruangan tempat Saina di rawat.

"Assalamualsikum, Kak?" sapaku.

"Waalaikumsallam, masuk Suster! Mau cek kondisi Saina ya?"

"Maaf Kak, saya teman Saina."

"Teman? Teman-teman Saina seumuran dia semua, Suster kenal Saina dimana?"

"Nama saya Ageeza, Kak, Perawat di rumah sakit ini. Saya baru beberapa minggu bertugas disini. Saya indigo kak, saya kenal Saina di sini."

"Kamu yakin!"

"Saya yakin, Kak. Beberapa hari ini Saina mengikuti saya. Besok kakak ulang tahun?" tanyaku.

"Iya besok istri saya ulang tahun," jawab papinya Saina, sementara Maminya tampak menitikan air mata.

"Saina sudah menyiapkan hadiah untuk kakak, dia menyimpannya di laci nakas deretan kedua yang berada di kamarnya. Ini ucapannya, saya yang menuliskannya untuk Saina," terangku.

"Sainaaa...Pih!" Tangis sang Ibu muda itupun akhirnya pecah.

"Maafkan Geeza, Kak, gak bermaksud buat kakak sedih. Aku hanya menyampaikan amanat dari Saina, kakak gak usah sedih setiap hari Saina berada di samping kakak."

Mami Saina yang ku panggil kakak itu masih muda umurnya mungkin 27 atau 28 tahun. Dia langsung berhambur memelukku.

"Katakan pada Saina, Suster ... Mami sayang sama dia, dia harus kembali, harus sembuh!" pinta maminya Saina.

"Iya, Kak. Kakak yang kuat ya! Aku harus pamit, aku kerja jam tiga. Kalau kakak sama abang butuh aku cari di pavilliun Anggrek, namaku Ageeza. Assalamualaikum," pamitku.

"Iya, terimakasih Suster. Waalaikumsalam."

Satu tugasku selesai beban di pundak rasanya berkurang. Semoga dengan hadiah dari Saina Maminya sedikit terhibur. Kerja hari ini mungkin sedikit beda partnerku bukan Susan, hari ini dia shift pagi. Shift kali ini aku di temani Anya, dia lucu suka bercanda dan tak seserius Susan.

"Heii Za ... sudah sholat belum?" tanyanya.

"Belum, Nya, kemu mau duluan?" aku balik bertanya.

"Lo duluan deh nanti kita giliran,"jawab Anya.

Akupun bergegas menuju Mushala.

Selesai Shalat aku segera kembali ke ruangan sambil mengamati kanan kiri siapa tahu bertemu dr. Doddy. Penasaran aku duduk di bangku tempat biasa kami mengobrol tapi nihil tidak ada tanda-tanda keberadaan Dokter tampan itu. 

Sudah beberapa hari tak bertemu rasanya begitu rindu. Ehhh ... Rindu 'katanya' siapa aku yang merindukan nya? Memang boleh ya? Aku menggelengkan kepalaku berulang-ulang lalu meninggalkan pavilliun menuju ruanganku di pavilliun anggrek.

"Nya, giliran kamu!"

"Aku gak jadi sholat, Za, tadi pas pipis eh malah dapet. Kamu gimana betah kerja disini?"

"Betah, dong ... kalian pada baik semua, mau ngajarin aku banyak."

"Kamu juga baik jadi kita juga baik, kita ke lab yuk ngambil hasil lab pasien!" ajak Anya.

"Ayooo!"

Kerja shift siang ternyata lebih enak, rasanya waktu terasa begitu cepat. Sudah jam sebelas saatnya aku pulang. Setelah mencatat semua laporan dan beres-beres aku mengambil tas di loker lalu berjalan ke lobi.

"Mau pulang bareng gak, Za?" tamya Anya.

"Makasih, Nya, aku di jemput Abang," tolakku.

Aku berjalan keluar Rumah Sakit berniat menunggu Abang di jalan utama. Hendak menelpon Abang, aku oprerasikan benda pipih milikku. Suara klakson berbunyi berulang. Mobil vw klasik berwarna cream berhenti di hadapanku, sedikit menunduk ku intip siapa yang berada di balik kemudi.

"Dokter!" Ya Allah pesonanya itu, di tambah kaca mata hitam tampannya semakin waahhh.

"Mau ku antar?" tawarnya 

"Tidak merepotkan, Dok? Apa kita searah?" tanyaku.

"Searah atau tidak bukan masalah, ayo naik!"

"Sebentar, Dok, aku telpon Abangku dulu biar gak jadi jemput."

Setelah memastikan pada Abang, aku gak jadi dijemput, aku naik mobil dr. Dody. Tumben sekali jalanan begitu ĺengang sedari berangkat dari pelataran rumah sakit rasanya hanya mobil yang kami tumpangi saja yang melintasi jalanan.

"Kenapa?"

"Jalanan kok sepi ya, Dok?"

"Manusia, macet salah, sepi salah."

"Bukan gitu, Dok ... ini gak tidak seperti biasanya, sepinya pakai banget. Dokter keren mobilnya antik."

"Kamu suka?"

"Abangku yang suka mobil-mobil klasik gini dok."

"Ini buat kamu!"

"Jepitan rambut, punya siapa?"

"Ya punya kamu Geeza, aku kan barusan kasih. Boleh aku pakai 'kan?" aku mengangguk lalu Dokter Doddy memakaikan jepitan rambut itu.

"Terimakasih pak Dokter," ucapku.

"Haha...jangan panggil bapak. Geli rasanya."

"Geli itu kalau di gelitikin, Dok." 

"Kamu bawel, dikasih tau jawab terus."

"Maaf, di depan belok, Dok ! rumahku yang pagarnya warna kuning."

"Oke."

Mobil unik itu berhenti tepat di depan rumah, setelah aku turun dr. Doddy langsung berpamitan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, pulang sama siapa Dek?" tanya Abang. 

"Di anter temen, Bang," jawabku.

"Naik apa?"

"Ih Abang kepo, ya naik mobil dong!"

"Iya ih Abang ngapain sih nanya-nanya adiknya kan cape pulang kerja," 

"Bukan gitu bu, Abang kok gak dengar suara mobil nya."

"Iya Ayah juga gak denger, Bu, sepi ... kan biasanya jangankan mobil suara motor saja suka kedengeran jelas."

"Kenapa jadi ngeributin suara mobil sih semuanya, yang penting Geeza udah pulang dengan selamat."

"Iya nih sibuk banget Ayah sama Abang. Udah Za kamu mandi dulu pake air hangat setelah itu baru makan," titah ibu.

Kusimpan tas kerjaku di atas nakas, sambil memandang bunga mawar pemberian dr. Doddy yang mulai menguning itu. Sengaja dibiarkan mengering bila perlu akan kubingkai nanti. Jepitan rambut pemberiannya pun kusimpan di atas nakas yang sama.

Tubuh ini masih belum biasa bekerja rupanya, seluruh badan terasa pegal setelah mandi dan makan malam aku kembali ke kamar merebahkan tubuh di atas singgasana ternyamanku. Menarik selimut sebatas leher, lampu di matikan dan...

"Aaa ... Ayahhhhh!" Aku berteriak begitu keras. Betapa kagetnya, ketika baru saja akan menutup mata wajah dr. Doddy tiba-tiba berada tepat di hadapaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status