Share

Gadis Kecil Menangis

Aku masih penasaran dengan gadis manis yang terus menguntitku kemarin malam. Jam tujuh pagi waktu kerja usai, aku hampiri ruangan tempat gadis kecil itu dirawat. Tak berani masuk, hanya mengintip di celah kecil yang berada di pintu ruangan.

"Suster mau periksa? masuk saja!" tegur seorang ibu.

"Enggak, Bu. Saya cuma mau lihat ade yang sakit itu, saya seperti pernah melihat ... tapi lupa di mana." Aku berpura-pura karena penasaran.

"Iya, mungkin suster pernah merawatnya. Saina sudah dua bulan koma. Dokter juga sudah pasrah, tapi maminya maksa ingin Saina tetap di rawat. Maminya berharap anak manisnya bisa cepet bangun tapi ...." Ibu tersebut tak sanggup berkata lagi malah sesegukan menangis.

"Maaf, Bu. Saya malah buat Ibu sedih," ucapku.

"Apalagi Maminya, saya saja bude-nya sudah gak tega melihat kondisi Saina."

"Mudah-mudahan Saina cepet sembuh, Bu. Maaf sudah nenganggu, saya permisi, Assalamualaikum," pamitku.

"Waalaikumsalam."

______

Ibu sedang menyapu halaman saat aku pulang, aku menghentikan motor lalu mengucap salam dan menyalami Ibu.

"Bersih-bersih dulu terus sarapan! Ibu sudah siapkan di meja makan," titah ibu.

"Nanti saja, Bu. Geeza sudah ngantuk, gak kuat, mau tidur dulu," jawabku.

"Nanti sakit loh, makan dulu!"

"Mataku sudah lengket sekali, Bu." 

Entah dimana aku meletakan tas dan sepatu, aku langsung menjatuhkan tubuhku yang lelah di sofa.

"Ya Allah, Za. Anak gadis kok kaya gini, bukannya ke kamar malah ngorok di sofa."

Sayup-sayup terdengar suara azan aku berlari ke kamar mandi dan bersih-bersih. Lelap sekali aku tertidur aku kira tadi kumandang Azan Subuh ternyata baru Azan Dzuhur. Aku tertidur cukup lama sejak jam setengah delapan pagi tadi. Selesai Sholat aku langsung berlari ke dapur mengisi perut yang keroncongan dimeja makan.

"Za! makannya pelan dong, Nak. Nanti keselek!" tegur Ibu.

"Geeza laper banget, Bu dari pagi belum makan."

"Salah siapa? Ibu 'kan sudah siapkan. Gimana hari pertama kerja? cerita dong pengalaman hari pertamanya ke Ibu!" pinta ibu.

"Seru, Bu. Kaya naik roller coaster," jawabku asal.

"Loh, kok bisa?"

"Kerjaan aman, Bu. teman-teman baik semua suasana nyaman tapi mataku itu loh, Bu. Kapan sembuhnya?" keluhku.

"Itu anugrah, Sayang gak usah ngeluh, kita positif aja fokus kerja, Bismillah."

"Ibu seperti Susan saja ngomongnya gitu. O iya, Bu. Geeza ketemu Dokter, tampan sekali. Duuhh ... membayangkan saja aku belum pernah, bertemu wajah yang setampan itu."

"Dasaaar centil, mau kerja apa mau ngecengin Dokter?" tegur Ibu.

"Sambil menyelam minum air, Bu."

"Minum air terus kembung, kelelep nanti!"

"Ibuuuuu ihhh ... bukan dukung anaknya mau nyari calon mantu. Hihi ...." Aku merengek di selingi tawa.

"Ish! Jangan gitu, ah. Ketawanya serem!"

________

Seperti malam kemarin aku berangkat dari rumah jam sepuluh, jaga-jaga takut di jalan macet. Sebelum berangkat aku pamit pada Ibu dan Ayah. Kasian juga mereka ditinggal, aku kerja shift malam, Abangku juga sudah dua hari belum pulang hiking.

Jam setengah sebelas aku sudah sampai, aku menyimpan barang-barang bawaanku di loker.

"Saina!" gadis itu mengikuti lagi.

"Kakak aku ikut!" rengek Saina.

"Jangan! Kakak kerja. Di sana kakak gak akan bisa ngobrol sama kamu," bujukku.

"Aku sendiri, Kak, aku mau pulang."  Saina malah menangis aku jadi bingung, akhirnya aku izinkan dia ikut tapi tidak boleh mengganggu pekerjaanku.

Saat aku dan Saina berjalan di Pavilliun sambil bergandengan tangan, Dokter tampan itu menatapku tajam.

"Dokter, apa kabar? Sudah sembuh? tangannya kok sudah tidak di perban?" sapaku.

"Baik, seperti yang kamu lihat," jawabnya sedikit ketus.

"Hebat! Dalam semalam tangannya sembuh, mulus kembali seperti semula," pujiku.

"Hanya jemariku sedikit pegal, remuk semua."

"Remuk? apanya? Ini baik-baik saja, Dok." seperti biasa, aku memeriksa jemari Dokter yang memang kelihatan baik-baik saja itu.

Dokter yang di snelli nya terpampang nama dr. Doddy Khairril Ammar Sp. OT ini tidak menjawab.

"Kenapa kamu bawa anak ini?"

"Dia?" Aku mengernyitkan dahi.

"Ya, gadis kecil itu?" tunjuk dr. Doddy.

"Dokter bisa melihat Saina?" tanyaku.

Dia mengangguk. "Wah akhirnya aku tak sendiri, ada Dokter juga yang indigo sepertiku."

"Kamu mau apa, mengikuti Ageeza?" tanya Dokter Doddy

"Aku mau pulang," jawab Saina

"Pulang saja denganku."

"Nggak, Dok!" tolak Saina.

"Dokter, sudah! Jangan paksa Saina, tuh 'kan jadi nangis. Biar Saina ikut denganku. Permisi, Dok!" Aku kembali berjalan menuju pavilliun anggrek tempatku bertugas. Saina terlihat bahagia, dia berlari kesana kemari tanpa orang lain yang bisa melihatnya.

"Kamu bahagia banget, senyum gak ajak-ajak," tegur Susan.

"Susan! Aku sedang bahagia," jawabku.

"Bagus, kalau mood bagus kerjaan pasti lancar."

Suasana malam ini begitu dingin, mendadak kebelet pipis. Aku sangat kaget saat Saina tiba-tiba ada di dalam toilet, tepat di depanku. "Astagfirullah" ucapku. Ya, Saina memang tidak seperti arwah yang menakutkan hanya saja mukanya terlihat pucat. Saat kamikembali berjalan di paviliun tepat di depan ruangan Saina di rawat ia berhenti, 

"Kenapa sayang?" tanyaku.

"Kak, aku kangen Mamih!"

"Ya sudah masuk gih! Kakak mau kerja." Sainapun masuk dan mendekati tubuhnya yang terbaring di ranjang.

Pekerjaan malam ini cukup banyak, ada empat orang pasien korban kecelakaan lalu lintas. Kami para Perawat dan Dokter di buat sibuk, aku heran kenapa saat kita sibuk dr. Doddy malah mengamati kami semua dari jauh bukannya membantu.

"San, aku ngilu ah kamu saja yang jahit lukanya."

"Ishh! Belajar, dong," seru Susan. Jujur aku ragu sekali tapi dr. Doddy memberikan aku anggukan dari sebrang sana hingga aku memberanikan diri menjahit luka pasien. "Tuh 'kan, bisa! Orang cuman sedikit. Nanti kamu juga biasa, Za." Susan menyemangatiku.

"Makasih ya, San." 

Kubuka sarung tangan yang kupakai lalu membasuh kedua tangan di washtafel, seyumku mengembang saat melihat pantulan dr. Doddy di cermin. Seperti biasa saat aku berbalik dia menghilang lagi. Hantu? Masa hantu setampan itu? ku tepikan pikiran aneh lalu kembali ke UGD.

"Geeza!" 

"Iya, Kak Meli."

"Ada anak kecil menitipkan bunga untukmu, katanya dari Pak Dokter."

"Anak kecil? Rambutnya panjang, Kak?" tanyaku.

"Iya, kamu ini kerja saja baru dua hari sudah diberi bunga sama Pak Dokter. Dokter siapa sih?" kak Meli terlihat penasaran.

Aku hanya tersenyum, rasanya tak percaya jika dr. Doddy memberiku setangkai mawar putih.

Aku bukan penyuka bunga tapi rasanya begitu istimewa ketika aku pertama kali menerima bunga dari seseorang, tak bisa digambarkan perasaanku sekarang.

"Cieeee! Mau dong, dikasih bunga sama Pak Dokter. Eh, ini Dokter masih muda 'kan? Selama disini hampir satu tahun aku belum pernah lihat Dokter ganteng," selidik Susan.

"Apa sih kok pada berisik begini, aku 'kan gak enak sama yang lain. Laper makan yuk, San!" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Aku baru saja makan roti, kalau mau makan ya makan aja gih, di luar!"

"Kalo butuh bantuan, aku di depan, ya. Di kursi tunggu," pamitku.

"Oke."

Aku duduk di ruang tunggu. Menikmati sandwich spesial buatan Ibu sambil mendengarkan musik menggunakan earphone dari playlist benda pipih milik ku.

"Laper, ya?"

"Dokter!" mataku mengerjap seakan memastikan ini nyata atau tidak. Pria berkemeja abu itu kali ini terlihat begitu cool.

"Bunga itu sebagai tanda terimakasih, kamu kemarin mengobati lukaku."

"Kenapa repot-repot, Dok." Aku menelan sandwich yang sudah terlanjur masuk ke mulutku. Tak  disangka Dokter Doddy mengusap makanan yang tersisa di sudut mulutku dengan ibu jarinya.

"Ya ampun, Dok. Tangannya anyep banget, Dokter kedinginan?" tanyaku.

"Perasaan kamu saja, aku baik-baik saja."

"Dokter mah aneh kalau di tanya jawabnya ya cuma senyum, terus kalau melintas mau di tengok ngilang." Aku menunduk menutup box tempat bekalku dan saat  menoleh ke samping? Ya Allah dia menghilang lagi!

Badanku mulai berkeringat sepertinya ada yang salah, aku berlari menuju pavilliun dengan nafas terengah. Aku kembali duduk di kursi berpikir sambil memperhatikan mawar putih yang sedari tadi masih tergeletak di atas meja.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status