“Tuan Muda, ikutlah bersama kami.”
“Tidak, kalian tidak akan mendapatkan apa pun jika menculikku. Aku sebatangkara dan sangat, miskin.”
“Tidak Tuan Muda. Mari ikut kami menemui kakek anda. Tuan Roodenburg sudah mencari anda selama puluhan tahun.”
“Tu-tuan Roodenburg? Konglomerat paling kaya di negara ini mencariku? U-untuk apa?”
“Tuan Muda adalah cucu dari Tuan Tom Roodenburg. Andalah pewaris tunggal dari keluarga Roodenburg.”
Rahang Jack sempat jatuh membentur tanah sebelum tertawa keras. Itu adalah hal paling konyol yang pernah dia dengar. Seandainya saja dia memang cucu dari Tom Roodenburg, Shopie tidak akan mencampakkannya dengan begitu keji.
“Dengar, hatiku pasti akan meledak jika apa yang kalian katakan itu benar. Tapi terima kasih, karena kalian sekarang aku tahu, kalau aku masih bisa tertawa. Sayang sekali aku bukan orang yang kalian cari. Namaku Jack Marshall.” Jack memegang pundak salah satu pria di depannya. “Maafkan aku kawan, tapi aku sungguh tidak memiliki hubungan apa pun dengan keluarga Roodenburg. Semoga cucu Tuan Roodenburg lekas ditemukan.”
Jack menepuk pundak pria itu beberapa kali sebelum pergi. Akan tetapi, kedua lelaki itu dengan kompak memanggil, “Tuan Muda!”
Jack berbalik dengan wajah kesal. Dia sudah sangat lelah oleh kenyataan pahit yang mencekiknya malam ini. Jika bukan karena pesan mendiang ibunya, dia mungkin sudah depresi atas sakit hati yang menyundul langit. “Tuan-tuan, aku mohon, biarkan aku pulang. Sekarang fisik dan mentalku sangat lemah. Sedangkan besok, ada banyak pizza yang harus aku antarkan.”
Salah seorang pria merogoh sesuatu dari dalam saku. Itu adalah sebuah foto. Dia menyerahkannya pada Jack. “Lihatlah foto ini Tuan Muda.”
Dengan malas Jack menerima foto tersebut. Keningnya berkerut seketika saat melihat potret dalam foto itu. “Dari mana kalian mendapatkan fotoku?” Belum sampai pertanyaan itu dijawab, Jack kembali berbicara, “Tunggu, siapa wanita ini? Aku tidak mengenalnya. Bagaimana aku bisa berfoto dengannya?” Jack menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Itu bukan foto Tuan Muda, tetapi foto kedua orang tua anda.”
“Apa?” Sepertinya hari ini kata itu menjadi favorit Jack. Entah sudah berapa kali dia mengatakannya.
“Coba Tuan Muda lihat foto yang ini.”
Jack menerima sebuah foto lagi. Itu seperti foto keluarga. Ada seorang kakek, pasangan suami istri yang tadi ada di foto sebelumnya, dan seorang pelayan yang menggendong anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun. Dari foto tersebut, setidaknya ada dua orang yang dia tahu, yakni Tom Roodenburg yang memang tenar sebagai pebisnis sukses dan seorang lagi adalah ...
“Ini ibuku.”
“Bukan, itu pengasuh anda.”
“Apa?!” Jack berusaha keras untuk tidak pingsan. Wanita yang puluhan tahun dia kira sebagai ibunya ternyata adalah pengasuhnya. “I-ini sulit dipercaya.”
“Kami mengerti Tuan Muda. Oleh sebab itu, ikutlah bersama kami. Tuan Roodenburg akan menjelaskan semuanya pada anda.”
***
Sebuah mobil Mercedes Benz menepi di salah satu ujung gang. Seorang lelaki kekar lantas turun untuk membukakan pintu.
Terlihat Jack turun dari mobil tersebut membawa sebuah kantong plastik hitam. Dia sempat berbicara pada pria kekar sebelum mobil itu pergi.
Jack masuk ke dalam gang untuk berjalan ke tempat tinggalnya. Dia sengaja meminta diturunkan di depan karena tidak ingin menyita perhatian orang lain. Selama ini tidak pernah terlihat mobil mewah memasuki gang tersebut.
“Pecundang!”
Baru saja Jack melihat bangunan kosnya yang mungil, sebuah makian keras telah menyambutnya.
‘Omelan lainnya.’ Jack berdiri di tempat untuk sekadar mengembuskan napas berat.
“Ke mari sialan!” Wanita itu masih melotot dengan kedua tangan berkacak di pinggang.
Dia adalah Ross Stern, pemilik kos. Perawakannya rendah dan tambun dengan rambut ikal sebahu. Dia tidak bisa berbicara baik-baik dengan Jack. Selama ini dia hanya berteriak dan berteriak. Berkatnya, Jack tahu banyak jenis makian.
Jack mendekat. Kedua matanya membesar melihat suami Ross keluar dari kamar kosnya membawa tas besar. Dia mengenali tas itu.
“Fred, kenapa kamu mengambil tasku?”
Belum sampai lelaki itu menjawab, istrinya telah menyambar, “Lemparkan tas buluk itu ke wajahnya!”
“Sayang.”
“Apa kamu tuli?!”
Fred meletakkan tas hitam usang itu di depan Jack. Dia menggeleng dan menatap Jack dengan wajah tidak berdaya.
Ross menarik baju suaminya hingga terhuyung ke belakang. Dia berbisik dengan suara mengintimidasi, “Aku memintamu melemparnya, bukan memberikannya begitu saja.”
Ross beralih kembali pada Jack. Dia mengulurkan tangan ke hadapan Jack. “Cepat berikan berapa pun uang yang kamu miliki, lalu pergilah ke neraka!”
“Ross aku-”
“Berikan dompetmu!”
Jack baru saja membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi Ross kembali menyela. “Aku tahu kamu gajian hari ini. Berikan semuanya padaku, lalu lenyaplah dari muka bumi ini. Pecundang sepertimu sangat merugikan. Bahkan sampah bisa didaur ulang untuk dimanfaatkan kembali.”
“Ross, jangan berlebihan.”
“Diam! Karena suami sepertimu bisnis kos ini tidak berkembang. Kamu hanya menampung orang-orang tidak berguna seperti pecundang ini. Ini kos, bukan penampungan gembel!”
“Sebenarnya aku telah menghabiskan gajiku untuk membeli jas ini.” Jack menunjukkan jas putih yang tergantung di pundaknya.
“Berikan padaku!” Ross kembali berteriak. Setelah menerima jas dari Jack, dia mulai memeriksanya. “Dasar bodoh! Membayar kos saja tidak bisa, untuk apa membeli jas seperti ini? Semestinya aku mengusirmu sejak lama.” Dia mengacungkan telunjuk. “Ingat, bulan depan, berikan semua gajimu padaku untuk melunasi semua tagihanmu. Jika tidak, aku akan datang ke King Pizza untuk menendang kepalamu!”
Kedua pundak Jack turun. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengambil sesuatu dari kantong hitam.
Melihat hal tersebut, sumbu kesabaran Ross yang minus meledak. “Bajingan! Fred, berikan pukulan dan tendangan padanya sebelum pergi!”
Belum sampai komando itu dilakukan, keduanya telah terbelalak melihat apa yang ada dalam genggaman Jack.
“Apa ini cukup?” Jack menyerahkan puluhan lembar uang bergambar Benjamin Franklin.
Rahang Ross dan suaminya jatuh begitu saja. Mereka menatap lekat tangan Jack untuk memastikan bahwa itu benar uang dan bukan lembaran daun.
Ross mengamati uang pemberian Jack. Dia menatap Fred saat mendesis, “Ini asli.”
Jack kembali merogoh kantong plastiknya. “Ambil ini jika masih kurang.”
Secepat kilat tangan Ross menyahutnya. Dia tersenyum lebar. “Jack, dari mana kamu mendapat uang sebanyak ini? Apa kantong plastik itu isinya uang semua?”
Jack mengangguk santai. “Aku menang lotre.”
“Benarkah? Itu sangat hebat. Kamu benar-benar pria yang beruntung. Aku sangat bersyukur menjadi ibu kosmu. Tetaplah tinggal di sini Jack. Kamu bisa memberitahuku jika memerlukan sesuatu.”
“Kenapa kamu membiarkan orang yang lebih buruk dari sampah tinggal di kosmu?”
Ross tertawa keras. Dia menepuk pelan lengan Jack. “Jangan bicara seperti itu. Tadi aku hanya terlalu mencemaskanmu. Kamu tahu aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri.”
“O, iya?” Pelipis Jack berkedut.
“Tentu saja!” Ross menoleh pada sang suami. “Fred! Kenapa masih diam?!” pekiknya.
“La-lalu apa yang harus kulakukan?”
“Dasar! Cepat bawa masuk tas putra kita. Dia baru pulang, bahkan wajahnya juga terluka. Bereskan semua barang-barangnya agar dia bisa lekas beristirahat.” Ross kembali melihat Jack. Dia berbisik, “Aku tidak mengerti kenapa dulu menikahi idiot ini. Tapi kamu jangan khawatir, katakan padaku jika dia mengganggumu.”
“Baiklah.”
“Besok aku akan membuatkan sarapan yang lezat untukmu. Aku juga akan mencuci pakaian kotormu. Jas ini, aku akan memberikannya padamu saat sudah bersih dan wangi. Aku akan memasang AC di kamar kosmu agar tidak panas, juga melengkapinya dengan TV dan furnitur lain. Kamu bisa menggunakan toilet di rumahku jika di sini antre. Pokoknya, jangan sungkan untuk meminta bantuan apa pun dariku.”
“Lakukan satu hal untukku.”
“Katakan, aku pasti akan melakukannya.” Mata Ross berbinar melihat kantong plastik Jack. Dia pikir akan mendapat tips tambahan.
“Diamlah.”
Jack masuk ke dalam kos, mengabaikan Ross yang bergeming atas ucapannya. Pemuda itu tersenyum. ‘Seperti ini rasanya menjadi dominan. Siang malam wanita itu memarahi dan memakiku, sekarang satu kata dariku langsung mengubahnya.’
Ingin melupakan hal buruk yang terjadi di hotel, Jack berniat untuk tidur saja. Dia baru berbaring dan memejamkan mata ketika ketukan pintu memasuki telinganya.
‘Apa Ross kembali untuk mengemis?’
“Jack? Apa kau di dalam?”
“Claire? Kenapa dia ke mari?” gumam Jack setelah membuka mata.
Claire adalah teman kerja Jack di King Pizza. Keduanya sangat akrab. Jack bahkan berteman juga dengan ayah Claire. Dalam banyak kesempatan, mereka sering menghabiskan waktu bersama.
“Ya, sebentar!”Jack beranjak dari kasur. Dia mendekati pintu masih dengan alis bertaut. Hal penting apa yang membuat Claire tidak bisa menunggu pagi untuk menemuinya.
“Kenapa lama sekali? Ayah akan menarik telingaku jika tahu aku ke kosmu tengah malam begini.” Claire menyelonong masuk, meninggalkan Jack di ambang pintu.
“Kalau begitu, kenapa kamu ke mari?”
“Duduk cepat.” Claire menepuk kasur, meminta Jack duduk di sampingnya.
Kos itu memang menyedihkan. Selain sempit, perabotan di dalamnya juga terlalu minimalis, hanya ada kasur untuk satu orang, lemari plastik, dan sepasang meja dan kursi kecil.
“Ada apa?” kata Jack sambil duduk.
“Tunggu sebentar.” Claire membuka tasnya. Dia mengambil sejumlah uang dari sana untuk diulurkan pada Jack.
“Apa ini?”
“Aku tahu gajimu habis untuk membeli jas untuk tunangan. Ambilah ini untuk membayar kosmu. Bukankah kamu harus melunasi tagihannya? Aku bersyukur kamu tidak diusir malam ini.”
“Aku sudah membayarnya Claire.”
Dengan cepat Claire menarik tangan Jack. Dia membuat lelaki itu menggenggam uang darinya. “Jangan membohongiku! Di antara semua orang, aku yang paling tahu betapa miskin dirimu.”
“Aku memiliki sedikit tabungan.”
Claire tertawa keras. “Orang menabung uang, bukan daun Jack. Sudahlah.”
Jack tersenyum geli. “Apa aku terlihat sangat menyedihkan?”
“Tentu saja! Aku masih beruntung tinggal di rumahku sendiri bersama ayah. Tetapi kamu, lihat kamarmu ini. Jika ayahku duduk di sini, sesak napasnya akan kumat. Kadang-kadang aku cemas memikirkanmu akan bunuh diri karena terlalu miskin.”
Kali ini Jack tidak bisa menahan tawa. Dia ingin menceritakan tentang siapa dia sebenarnya. Namun, Jack tahu, Claire pasti akan menertawakannya. Sesaat lalu Sophie dan semua orang menginjak harga dirinya, dan di malam yang sama dirinya dipanggil Tuan Muda. Oleh sebab itu, dia berpikir untuk menyimpan dulu jati dirinya.
‘Siapa yang akan percaya kalau aku adalah pewaris tunggal keluarga Roodenburg?’
Seperti biasa, Jack pergi ke tempat kerjanya dengan mengendarai sepedah. Dia memasuki kompleks Roodenburg Highway dengan dada penuh.‘Ini pagi pertamaku sebagai pewaris.’ Jack tertawa sendiri. ‘Siapa mengira kompleks bisnis elite ini ternyata milikku. Aku hampir mati karena senang!’Dalam lamunan yang membahagiakan itu, tiba-tiba suara klakson memekak di telinga. Jack yang terkejut sampai berjingkat dan nyaris kehilangan keseimbangan. Gelak tawa keras terdengar dari arah belakang. Jack menoleh demi melihat siapa yang begitu arogan sehingga membunyikan klakson saat jalan masih cukup lebar untuk dilalui.Jack menggertakkan gigi melihat tiga pemuda menaiki mobil sport BMW Seri 3 warna abu-abu. Itu adalah pacar baru Shopie, David, bersama teman-temannya. Ketiganya turun dengan congkaknya, mendekat pada Jack. Sementara itu, Jack masih diam, hanya menatap David tanpa berkedip. Masih hangat dalam benaknya bagaimana tadi malam dirinya dipermalukan, dihina, dihajar, dan diusir dari pesta per
Jack menelan ludah mendengar suara yang sangat familier di telinganya. ‘Untuk apa dia mencariku?’ batinnya mulai was-was.Claire yang baru memasuki dapur langsung menepuk pundak Jack. “Kenapa tunanganmu memanggilmu seperti itu? Dia terdengar sangat marah. Apa kalian bertengkar?”Jack menggeleng. “A-aku akan menemuinya.” Dia berjalan cepat ke depan. ‘Apa belum cukup memakiku di depan para tamu semalam, hingga masih harus melanjutkan makian di depan para pelanggan.’ Dia berusaha keras meredam amarah.Melihat Sophie berdiri di antara meja pelanggan, ada sesuatu yang terasa nyeri di sudut hatinya. Lalu, bayangan pengkhianatan Sophie terlintas di kepalanya. Namun, Jack berusaha setengah mati untuk tersenyum.“Ada yang bisa-”PLAK!Para pengunjung kedai terbelalak melihat Jack ditampar Sophie . Tanpa terkecuali Claire yang sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tidak berhenti sampai di situ, Sophie juga meraih segelas jus dari meja pelanggan untuk disiramkan ke wajah Jack.“Bajingan
Jack telah memasukkan beberapa pizza pesanan pelanggan ke dalam boks besar. Claire datang mendekat saat dia hendak membawa boks ke depan.“Apa Tuan James memotong gajimu lagi? Apa dia memarahimu seperti Shopie? Aku menyesal tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku, tapi aku ingin menampar Shopie lebih dari siapa pun.”Jack tersenyum. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Claire. “Kamu harus melakukannya untukku.”“Tentu saja! Syukurlah kalian berpisah. Jika tidak, dia akan menyulitkanmu. Dia tidak akan mau makan pizza setiap hari. Dia juga tidak akan sudi tinggal di kosmu atau duduk di boncengan sepedah tuamu.”“Kamu mengejek atau menghiburku?”“Aku ingin menghiburmu, tapi kamu lebih pantas untuk diejek.”“Dasar! Baiklah, aku harus pergi sekarang sebelum Tuan James keluar dan memakiku lagi.”Jack membawa boks pizza dari dapur ke tempat parkir. Lelaki itu mengaitkan tali boks ke sepedah buluknya. “Siap. Para pelanggan akan tersenyum melihat pesanan mereka datang.” Jack hendak mengambil
Seketika itu pula semua orang mulai bising. Mereka kompak bertanya-tanya siapa sebenarnya lelaki dengan pakaian kotor, tetapi memiliki kartu hitam, dan sekarang bertingkah seolah begitu berkuasa itu. Banyak yang berpikir bahwa Jack adalah konglomerat yang menyamar, tetapi tidak sedikit juga pengunjung yang menganggap Jack sebagai pencuri.Memangnya orang kaya mana yang mau repot-repot menjadi pengantar pizza?“Hei! Jangan kurang ajar!” bentak si satpam sangat keras. Dia berjalan cepat menghampiri Jack. Tanpa basa-basi dia memborgol tangannya. “Jika aku tahu gembel ini ternyata pencuri, sudah sejak tadi aku menghajarmu.” Si satpam telah mengangkat tangannya yang terkepal, bersiap untuk memberi tinju pada Jack.Sebuah napas kabur dari mulut Jack. “Kamu akan menyesal karena melakukan ini padaku.”“Bukan aku, tapi kamu. Berani sekali mengancam Nyonya Nathalie. Sekarang katakan, siapa pemilik kartu hitam itu?! Atau tongkat ini akan memecahkan tempurung kepalamu!”Nathalie yang sempat berge
Seperti mendengar kata harti Nathalie, pemilik toko menjawab, “Apa kamu tahu siapa orang yang kau kira pencuri itu?” Dia membuat Nathalie menggeleng dengan perasaan was-was. “Dia adalah Tuan Muda Roodenburg!”Kali ini Nathalie seperti lupa pada rasa sakit di pipinya. Kedua tangannya berpindah ke depan mulutnya yang menganga. Matanya kini memancarkan ketakutan yang sampai membuat tubuhnya bergetar.Sementara itu, para pengunjung yang tadi sempat menggosipkan Jack, mulai mundur perlahan. Mereka kompak menelan ludah bersama ketakutan yang lebih besar dari kata takut itu sendiri.“Bisa-bisanya kamu menuduh Tuan Muda mencuri? Atas dasar apa kamu berani membuat beliau diborgol seperti itu?!”“Tu-tuan, sa-saya benar-benar tidak tahu. Anda benar, saya memang bodoh, dungu, idiot. Saya pantas dipukul.” Nathalie memukuli kepalanya sendiri.“Benar, itu sangat benar. Oleh sebab itu, detik ini juga kamu dipecat dari toko ini!”“Ta-tapi.” Nathalie tidak melanjutkan ucapannya. Dengan cepat dia mengh
Mobil yang ditumpangi Jack dan Matthew berhasil menyita perhatian para pejalan kaki dan pengendara mobil lainnya di sepanjang SweetRoad City. Meski kompleks perumahan tersebut tergolong elite, desain eksterior mobil Lamborghini jenis Veneno Roadster itu memang sulit diabaikan.Pemandangan tersebut membuat Jack tersenyum konyol. Sepanjang kariernya sebagai pengantar pizza, baru kali ini orang-orang begitu memperhatikan kedatangannya. Biasanya, jangankan dilihat, para penghuni kompleks akan memalingkan wajah darinya. Kalaupun mereka menatapnya, pasti hanya untuk mencaci saja.“Sebelah sana!” Dengan semangat Jack menunjuk sebuah rumah mewah yang menjadi pelanggan pertama penerima pizza darinya.Matthew mengangguk mengerti. Dalam hatinya dia ingin sekali bertanya, sampai kapan sang tuan akan menjalani pekerjaan sebagai pengantar pizza. Namun, tentu saja dia tidak berani mengutarakannya karena merasa tidak berhak untuk itu.Ketika Matthew memarkir mobil di depan rumah yang dimaksud, satu p
Senin malam Jack terlihat berdiri di depan cermin di kosnya. Cermin itu baru dipasang Ross beberapa hari lalu bersamaan dengan furnitur-furnitur lainnya.Jack menggaruk dahinya yang tidak gatal. Berulang kali dia mendengkus kesal.Sebetulnya, pria itu sudah siap berangkat ke Hotel BlueLux untuk pertemuan. Namun, bayangan malam kelam itu tidak bisa pergi dari kepalanya. Terlebih setelah pandangannya bergeser pada jas putih yang digantung Ross di dinding. Sebuah napas kabur juga dari mulutnya.Meski jas itu telah bersih dari bercak darah dan minuman, sama sekali tidak menghapus apa pun dalam benaknya. Jack tersenyum getir. Dia memegang pipi sambil terus menatap bayangannya di cermin. Plak!Dia memejamkan mata mengingat Shopie menamparnya dengan keras di depan para pengunjung King Pizza.“Tidak, kekejian itu tidak akan menimpaku lagi. Semua hanya masa lalu. Bahkan jika nanti aku bertemu Shopie, sama sekali tidak berpengaruh padaku. Dia bukan siapa-siapaku lagi.” Jack menautkan kancing d
Sophie menghentikan langkahnya saat mendapati pria yang sangat familier terlibat keributan di BlueLux. Kedua alisnya bertaut memerhatikan lelaki itu. Dan, ketika satpam hendak menarik pria tersebut, mata Sophie segera membesar.“Jack? Apa yang berandal itu lakukan di sini?”Sophie berjalan cepat menghampiri sang mantan. Dadanya terasa penuh oleh amarah hingga darahnya seperti nyaris mendidih. Dia mengingat bagaimana Jack telah melukai David. ‘Aku sudah memperingatkannya, tetapi dia malah datang untuk membuat masalah!’ Sophie mengepalkan tangannya yang gatal ingin menampar Jack.Ketika dia telah berdiri satu langkah di belakang Jack, tangannya lekas menarik kuat kerah Jack hingga pria itu terhuyung.“Sophie,” desis Jack usai berbalik.PLAK!Tanpa basa-basi Sophie menghadiahi mantannya dengan tamparan keras, lagi!“Berengsek! Kenapa kamu di sini?!” Belum juga pertanyaan itu dijawab, Sophie telah memiliki jawaban sendiri. “Oh, aku tahu, kamu pasti ingin balas dendam ‘kan? Kamu ke mari u