Share

Perjalanan

Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba. 

Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.

Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran. 

Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak. "Huh, orgil lagi deh, gak di sekolah gak di tempat asing ini, kenapa harus ada dia sih?" rutuk Zanna di dalam hatinya. 

Tiba-tiba pemilik suara telah berada di hadapan Zanna, menatapnya lekat-lekat. "Aku serius tanya, kamu mau ke mana? Mau naik angkutan nomor berapa? Karena ini sudah sore, belum tentu angkutan yang ingin kamu naiki masih lewat sini," ujar lelaki tersebut yang tak lain adalah Danish.

Medengar hal itu, Zanna terperangah, tanpa sadar ia menatap tepat di wajah Danish yang tampan. "Hah, benarkah?" tanya Zanna sekedar ingin memastikan. 

"Makanya ... angkutan nomor berapa?" tanya Danish lagi dengan mimik wajah serius.

"Nomor nol dua," jawab Zanna pendek.

"Ikut aku ...," ajak Danish tanpa merasa canggung menarik tangan Zanna.

"Hei, apa-apaan sih kamu? Aku gak mau ikut kamu!" hardik Zanna seraya menarik kuat tangannya agar terlepas dari genggaman Danish. 

"Angkutan yang kamu tunggu sudah tidak lewat lagi, terakhir jam tiga tadi," jawab Danish dengan kalem. 

"Iya, tapi tolong lepaskan tanganku, malu dilihat orang-orang tahu." Zanna memohon dengan volume suara ditahan agar tidak terdengar oleh orang-orang di sekitarnya.

Namun, Danish tetap menarik Zanna dan berhenti di depan sepeda motor Ninja berwarna hitam. "Naiklah, aku antar kamu," tegas Danish tidak menerima bantahan.

Kedua tangan Danish terulur, meraih tas ransel dari punggung Zanna dan menurunkannya. "Berat banget? Isinya batu kali ya?" tanya Danish merasa kasihan kepada Zanna dengan beban seberat itu. 

Danish menaiki motornya dan menaruh tas ransel di depannya. "Ayo, naik!" seru Danish tidak sabar melihat Zanna masih seperti orang yang sedang melamun. 

"Zanna, ayolah ...," pinta Danish memelas melihat Zanna yang masih mematung. "Nunggu apa sih?" tanya Danish mulai kehilangan kesabaran. 

"Ta ... tapi, aku harus duduknya gimana?" tanya Zanna dengan roman kebingungan. 

Danish tertawa geli, ia lupa kalau teman cantiknya itu pasti belum pernah melihat motor seperti yang dibawanya ini, bagian jok belakang hanya berpenampang kecil dan lebih tinggi dari jok motor yang diduduki oleh Danish di bagian depan. "Zan ... naiklah," ujar Danish dengan suara lembut sekarang. 

Dengan ragu-ragu, Zanna memanjat ke atas jok belakang motor yang dikendarai oleh Danish, untungnya Zanna memakai celana panjang hingga ia leluasa mengangkat kakinya lebar-lebar dan mendaratkan bokongnya yang penuh berisi ke atas jok sempit itu. 

Segaris senyum melintas pada wajah Danish, melihat kekakuan Zanna yang telah duduk sempurna di atas motornya, dengan posisi tubuh agak maju ke depan, hanya saja Zanna sengaja menahan dirinya agar tidak bersentuhan langsung dengan Danish.

Sebuah ide melintas di benak Danish, ide yang kemungkinan akan membuat Zanna marah, tapi Danish tidak ingin melewatkan keseruannya, ia menarik gas motor seketika dan membuat Zanna terlonjak hingga bagian depan tubuhnya menabrak punggung Danish agak keras. Ketakutan membayang di wajah Zanna seketika, benar saja ia marah saat motor telah melaju dengan normal dan Zanna menahan tubuhnya agar tidak maju ke arah depan.

"Apa-apaan sih kamu? Sengaja kan mau membuat aku ketakutan setengah mati? Danish! Turunkan aku sekarang juga!" teriak Zanna emosi. 

"Ma'af, aku gak sengaja, Zan ... serius deh," jawab Danish kalem. 

Zanna menoyor kepala Danish yang tertutup helm, merasa sangat kesal sekali, duduknya gelisah dan khawatir, ia membayangkan kalau sampai terjatuh, akan banyak luka dan lebam di tubuhnya. 

Danish merasakan kekhawatiran Zanna, ia menepikan motornya,  lalu turun setelah menurunkan standar penyangga, diraihnya tas ransel Zanna yang berat lalu menyampirkannya di punggung. 

Zanna masih duduk terdiam di tempat, tidak mengerti kenapa Danish menepikan motornya. "Apalagi sekarang?" tanya Zanna dengan sewot dan membelalakkan matanya. 

"Jadi cewek tuh jangan galak-galak, cepet kiamat ntar dunia ini." Danish tidak mengindahkan pertanyaan Zanna, sebaliknya ia menuntun gadis galak tersebut untuk turun dari motornya dan mengajak duduk di bangku yang tersedia untuk pejalan kaki. 

"Sebenarnya kamu mau ke mana?" tanya Danish menatap lekat wajah Zanna yang masih pucat. Alih-alih menjawab, Zanna menyodorkan secarik kertas yang berisi alamat, Danish membacanya dan mengangguk, ia tahu tempat yang hendak dituju Zanna.

"Tempat ini masih lumayan jauh Zan, kendaraan umun ke arah sana sudah tidak ada. Satu-satunya jalan ya, aku antar kamu, tapi tolong jangan merasa takut, ok?" mohon Danish menunggu jawaban. 

Zanna ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Ia tidak punya jalan lain selain menurut pada Danish sementara ini.  "Tapi ... ntar pulangnya bareng lagi kan?" tanya Zanna dengan nada yang tidak pasti. Ia merasa perjalanan ini cukup berat. 

"Pastilah kuantar lagi pulang, masa iya aku membiarkan orang yang kusukai jalan kaki." kata Danish dengan nada menggoda. 

BUK

Zanna meninju lengan atas Danish dengan kesal, di saat dirinya sedang tidak karuan, kalimat Danish malah penuh canda. Zanna kembali menaiki motor, kali ini dirinya sudah agak santai, setidaknya bersama Danish ia tidak perlu merasa ketakutan dan bisa sampai ke tujuan.

Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka tiba di alamat yang dituju. Zanna merapikan rambutnya yang kusut tertiup angin sebelum ia turun dari motor. 

"Sudahlah, dengan rambut acak-acakan, kamu malah terlihat tambah seksi," seloroh Danish tanpa ekspresi. 

Lagi-lagi Zanna merasa kesal mendengar ucapan Danish yang selalu menyisipkan kata-kata yang berkaitan dengan fisiknya. Ada saja yang disematkan Danish untuknya. Danish memarkirkan motornya segera setelah Zanna turun dan mulai melangkah menuju sebuah rumah mungil nan asri.

Zanna memencet bel yang menempel pada dinding penyangga pagar besi. Suara 'ting-tong' terdengar menggema sampai ke telinga mereka, menunggu beberapa saat sambil terpaku, Zanna menangkap setiap jengkal pekarangan rumah tersebut dengan kedua matanya, ia mengagumi kebersihan dan kerapiannya. 

Terdengar langkah seseorang dari dalam rumah, menyeret kakinya yang beralaskan sandal jepit karet. Gordyn di samping pintu tersibak, Zanna melihat sosok wanita seusia Leta tengah mengintipnya sebelum suara kunci pintu berputar dan terbuka. "Zanna ya?" tanya wanita tersebut, yang bernama Lidya, teman dari ibunya Zanna. 

"Iya, Tante ...," jawab Zanna seraya mengangguk hormat dan melempar senyum. 

"Oh iya, masuk, masuk, Nak. Pagarnya geser saja, belum dikunci karena tante memang nungguin kamu." Ujarnya sangat ramah. 

Danish segera menggeser pagar, agar Zanna bisa masuk terlebih dahulu lalu ia menyusul sambil menggeser kembali pagar itu, menutupnya. Ia melepaskan tas ransel Zanna dan meletakkan tas tersebut di lantai ruang tamu Lidya. 

"Nak, ibumu tadi telepon, menceritakan semuanya dan berpesan agar kamu mengosongkan tas itu dan dibawa pulang kembali. Ayo, tante antar ke dalam." Ajak Lidya kepada Zanna. 

Zanna melirik sekilas kepada Danish, alih-alih berpamitan ia akan meninggalkannya di ruang tamu. 

"Temanmu?" tanya Lidya setelah mereka sampai di bagian belakang rumah tersebut. 

"Iya, Tante. Teman sekelas," sahut Zanna dengan nada sopan.

"Baiklah, setelah ini kamu harus segera pulang, karena sudah kemalaman. Tante bawakan roti dan minuman botol ya." Lidya membalikkan badannya setelah mengucapkan kalimat itu.

Zanna hanya mengangguk sambil menatap punggung Lidya yang berlalu. Kemudian ia mulai membongkar isi tas ranselnya dan menyusun barang-barang yang ternyata lumayan banyak. Menyimpan surat-surat yang menurut Leta surat berharga paling bawah dan menimpanya dengan tumpukan baju.

Kamar itu lebih besar dari pada kamarnya di rumah sekolah, lemarinya pun lemari kayu bukan lemari plastik seperti yang ia lihat setiap hari. Ia mendengus pelan, memikirkan kemungkinan dirinya beserta Leta akan menumpang di rumah itu, kenyataan itu sedikit mengusik perasaannya. 

Zanna tidak ingin berlama-lama berada di sana, kebanyakan berdiam diri hanya akan membuat pikirannya terus berkelana mengingat segala hal yang telah menimpanya pada hari itu.

Langkah kaki Zanna bergegas kembali ke ruang tamu, Lidya telah berada di sana, duduk berhadapan dengan Danish dan ada sebuah bungkusan plastik di atas meja. 

"Pulanglah, Nak. Ini bekal makan malammu." Lidya bangkit berdiri seraya menyerahkan bungkusan plastik itu kepada Zanna. Mereka undur diri dari hadapan Lidya, kembali pada motor ninja milik Danish. 

"Zan ... itu saudara?" tanya Danish penasaran, selama ini ia memang tidak tahu apa-apa tentang gadis yang sejak lama diincarnya itu.

"Temana mamaku," jawab Zanna pendek.

"Aku lapar, kita makan dulu yuk, biar kamu juga gak masuk angin ...," ajak Danish kepada Zanna sambil mengarahkan motornya ke area kuliner yang ramai. 

"Kan ini ada roti ... sama minumnya," sahut Zanna menawarkan makanannya kepada Danish.

"Roti buat kamu sarapan aja, aku lagi mau soto, kamu mau apa?" tanya Danish tepat saat motor berhenti di tempat parkir.

Zanna menggelengkan kepalanya, jujur saja ia tidak banyak tahu tentang makanan. Matanya menatap lekat pada Danish, sebenarnya ia malu karena tidak tahu apa-apa.

"Kok bengong, ayolah ... kamu mau makan apa?" tanya Danish lagi.

"Tempe-tahu juga boleh ...," jawab Zanna dengan percaya diri. 

"Tempe-tahu, di mana ya ...," gumam Danish mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, permintaan sederhana jika di rumah sendiri, tapi jadi rumit dan butuh pemikiran lebih ketika berada pada area kuliner yang didominasi oleh menu mekanan kekinian.

Zanna merasa bahwa permintaannya agak merepotkan, tapi ia benar-benar kebingungan, tidak bisa menentukan sendiri mau makan apa. "Terserah kamu saja, tapi gak mahal kan? Aku cuma bawa uang delapan ribu buat ongkos tadi ...," ujar Zanna polos. 

Hati Danish mencelos mendengar penuturan lugu dari gadis di sampingnya itu, bahkan untuk membayar angkutan umum saja kurang, bagaimana jika tadi dia tidak bertemu dengannya? Danish merinding memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Zanna.

Memasang senyum dengan tatapan yang lembut, Danish meneliti wajah Zanna. Gadis cantik itu juga sedang menatapnya, menunggu jawaban Danish perihal harga makanan.  "Cantik ... aku yang ajak kamu makan, jadi kamu gak usah pikirin soal bayar-membayar," ujar Danish merasa gemas pada gadis lugu itu.

"Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya. Jadi, aku akan bayar sendiri," tandas Zanna dengan mimik wajah serius.

Danish terpekur, tatapan matanya beralih ke atas seraya memiringkan kepalanya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Sejurus kemudian, "Oke, ayuk," ajak Danish mengarahkan langkah Zanna menuju warung soto langganannya. 

Danish merogoh telepon genggamnya, lalu mengetik sesuatu dan tersenyum pada Zanna yang sedang memperhatikan benda pipih  menyala di tangan Danish dengan sorot mata ingin tahu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status