Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto, "Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."
Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.
Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.
Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.
Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danish terpaksa meminta tolong kepada pemilik warung soto itu untuk memberikan tagihan senilai dua puluh ribu saja kepada mereka.
"Zan ... jangan nunduk terus dong, masa aku dicuekin sih ...," bisik Danish mendekatkan mulutnya pada telinga Zanna.
Zanna menghindar dari kedekatan Danish kepadanya tanpa mengangkat wajahnya. "Ma'af ...," sahut Zanna, suaranya begitu lirih dan agak gemetar.
Danish semakin merasa iba, tapi ia tidak tahu harus berkata apa lagi untuk mengajak Zanna bicara, mereka tetap saling diam, sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri sampai makanan yang dipesan Danish terhidang.
Mata indah Zanna mengerjap, merasakan soto panas melewati indera perasanya, itu adalah makanan paling lezat dari yang pernah ia makan, sampai-sampai ia merasa tidak tega memakan suwiran ayam yang berwarna putih itu. Ia melahap soto ayam pelan-pelan, menikmati dengan sepenuh hatinya. Karena belum tahu kapan ia bisa merasakannya kembali.
Sementara Danish sudah menghabiskan satu mangkuk sepuluh menit yang lalu. Perutnya masih sangat lapar, biasanya ia menghabiskan tiga mangkuk sekali makan, tapi ia tidak berani menambah pesanan, sungguh dirinya merasa tidak enak kepada Zanna.
Danish melirik gadis di sampingnya, semakin diperhatikan, gadis itu semakin menarik. Danish memegang dadanya yang terasa bagai ada aliran listrik berjalan mondar-mandir di sana. Ia membuang wajahnya ke depan, berusaha menghirup napas dengan normal, menenangkan hatinya yang berkecamuk tanpa ia mengerti kenapa.
Mangkuk di depan Zanna telah kosong, tidak meninggalkan remah nasi walaupun sebutir, begitu juga dengan kuahnya, bersih tak bersisa. Hal itu membuat Danish mengira kalau gadis itu masih lapar.
"Masih mau pesan lagi?" tanya Danish serius.
Zanna menjawab dengan gelengan kepala, "Aku kekenyangan," sahutnya merasa malu hati.
"Aku kira masih lapar, soalnya kamu tidak menyisakan makanan sedikitpun," ujar Danish sambil nyengir.
"Oh, itu ... kita harus menghargai rejeki yang datang pada kita, kalau makan sebisa mungkin dihabiskan, kalau tidak, makanan itu akan mubazir karena terbuang percuma, sementara banyak yang kelaparan di luar sana," tandas Zanna menjelaskan alasannya.
Danish terpana mendengar ucapan gadis itu, selama ini, dirinya dan semua orang yang dikenalnya tidak pernah berpikir ke sana, terbukti mereka selalu menyisakan makanan di dalam piringnya, entah bawang, sayuran bahkan remah nasi. Danish melirik pada mangkuk bekas makan dirinya dan seketika merasa malu hati.
"Sudah, ayo pulang ...," ajak Zanna seraya merogoh saku celananya dan mengeluarkan lembaran uang receh yang lusuh juga kusut, lalu menyerahkannya kepada Danish.
"Kalau kurang, berarti aku utang sama kamu, kalau lebih, anggap saja aku nambahin kamu," ujar Zanna dengan malu-malu, meletakkan uangnya yang bergumpal di tangan Danish.
Hati Danish terasa pilu, ia tidak sanggup menolak karena tahu pasti gadis itu tidak akan terima. Tapi, menerima uang itu, sungguh ia tidak tega. Danish hanya mengangguk lemah, memasukkan uang receh dari Zanna ke saku jaketnya, lalu ia memanggil pelayan seraya memberikan kode dengan matanya.
Secarik kertas dibawa oleh pelayan tersebut dan menyerahkannya kepada Danish, kemudian Danish memberikan uang dua puluh ribu satu lembar. Melihat hal itu Zanna berbisik di telinga Danish, "Aku kurang ya uangnya ...," kata Zanna merasa gugup.
"Enggak kok, kan kamu gak pesan minum," sahut Danish menimpali.
Zanna mengangguk tanda mengerti, "Makasih ya, udah bawa aku ke sini," ujar Zanna seraya tersenyum.
Danish menjadi salah tingkah dibuatnya. "Aaah, kenapa makasih sih?" tanya Danish di dalam hatinya. Danish merasa heran, di antara banyak gadis yang berebut ingin menemaninya makan, hanya gadis sederhana inilah yang ingin bayar sendiri dan berterima kasih padanya.
Sesudah menyerahkan pembayaran, Danish bangkit dari duduknya dan mereka beriringan kembali ke parkiran motor. Danish mengangkat jok motor dan mengeluarkan bungkusan plastik. Tangannya dengan lincah membuka bungkusan itu yang ternyata berisi sweater rajut yang cukup tebal.
"Pakai ini ya, perjalanan masih jauh dan angin cukup besar," pinta Danish kepada Zanna.
"Heh, tapi ... tapi, aku gak apa-apa kok," tolak Zanna karena tidak ingin mengotori sweater yang bagus itu.
"Percayalah, sweater ini tidak berharga dibanding sakitnya kamu kalau kena angin, kamu bisa demam loh ...," ancam lembut Danish seraya menyunggingkan senyum tulusnya.
Akhirnya Zanna menerima sweater berwarna putih gading tersebut, dengan aroma sangat wangi, lembut dan pasti hangat ketika dipakai. Ia yang memang sudah merasa kedinginan, segera memakainya, apalagi angin kencang terus berhembus, membuat badannya merasa tidak enak. "Aku akan kembalikan ke kamu," ujar Zanna dengan sorot mata berterima kasih.
Sweater itu agak kebesaran, tapi benar-benar sangat nyaman dan lembut dikulit Zanna, dengan potongan leher yang panjang bisa melidungi leher jenjangnya dengan sempurna.
"Tarik lehernya ke atas biar menutupi hidungmu, baru pakai helm ...," ujar Danish memberi saran. Gadis itu menurutinya sesuai anjuran Danish.
"Udah siap?" tanya Danish kepada Zanna yang telah duduk di boncengan.
Zanna mengangguk melihat Danish dari kaca spion, di mana Danish sedang menatapnya. Deg. Jantung Danish kembali bertalu tidak karuan, tatapan mata yang beradu cukup singkat itu, membuat hati Danish berdesir.
Mereka melanjutkan perjalanan yang cukup jauh, membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit meskipun jalanan lancar. Hampir pukul delapan malam keduanya sampai di rumah sekolah tempat Zanna tinggal.
Leta yang gelisah menunggu putrinya pulang, terkejut mendengar suara motor berhenti di depan teras rumah. Ia tergopoh-gopoh membuka pintu dan melihat Zanna yang sedang membuka helm dari kepalanya. "Zanna, sama siapa kamu?" tanya Leta yang tidak tahan ingin tahu sambil menatap Danish dengan sebelah matanya.
"Selamat malam, Tante. Saya Danish teman sebangku Zanna," kata Danish memperkenalkan diri sebelum Zanna menjawab pertanyaan Leta seraya menyodorkan kedua tangannya untuk bersalaman dengan sopan.
"Oh, Danish ... ya, tante ingat. Nama yang sering dibicarakan. Ayo, ayo masuk ...," ajak Leta mempersilakan Danish masuk ke dalam rumah.
Zanna tertegun mendengar ucapan Leta, seketika ia protes, "Maa ... siapa membicarakan siapa?!" seru Zanna sambil mengikuti Leta masuk.
"Silakan duduk, Danish," suruh Leta masih sibuk beramah tamah kepada Danish.
"Maa ...," panggil Zanna kepada ibunya.
"Sudah ... sudah, Zanna, tolong buatkan teh panas, Nak," suruh Leta seraya memberikan isyarat agar gadis itu patuh.
Zanna menghentakkan kakinya dengan kesal dan berlalu ke arah dapur, "Mama nih ngarang-ngarang cerita, bikin malu saja!" seru Zanna menggerutu dengan kesal.
"Bertemu di mana kalian? Apa sudah janjian sebelumnya?" tanya Leta sangat penasaran.
"Kebetulan bertemu waktu Zanna sedang menunggu angkutan, Tante. Ternyata angkutan itu beroperasinya sampai jam tiga sore, sementara tadi sudah mau jam lima, akhirnya Danish antar saja," papar Danish menjelaskan.
"Loh, tante malah gak tahu, ya Tuhan ... untung ketemu kamu, malah diantar pulang juga, terima kasih banyak, Danish. Ma'af merepotkan," ujar Leta sambil merasa bersyukur.
"Tidak apa-apa kok Tante ...," sahut Danish menunduk malu mendapatkan ucapan terimakasih untuk hal yang memang sudah seharusnya ia lakukan.
Leta menoleh ke arah dapur sambil memanggil dan bertanya, "Zanna, mana tehnya?"
Menyadari Zanna tidak terlihat batang hidungnya, Leta bangkit berdiri dari duduknya menghampiri meja yang biasa mereka gunakan untuk makan. Di sana sudah terhidang dua gelas teh panas yang masih mengepulkan asap tipis.
Leta terkekeh seraya menoleh kepada Danish, "Danish, sini minum dulu tehnya, tante tidak bisa membawa nampan ini ke sana," panggil Leta kepada Danish yang langsung berdiri dan melangkah menghampiri Leta.
"Silakan, mumpung hangat, udara sedang dingin, minum teh panas membuat kita terhindar dari masuk angin," tutur Leta sambil ikut menyesap teh panas, untuk menemani Danish sebelum undur diri memanggil Zanna ke kamar.
Danish merasa kagum atas sopan santun Leta, dia merasa yakin kalau Zanna banyak mengambil sifat kebaikan dari Leta.
Leta hendak masuk ke dalam kamar, agak susah payah menggeser pintu yang rusak hanya dengan satu tangan saja sampai tercipta celah seukuran tubuhnya yang ramping. Leta memasuki kamar lewat celah itu dengan posisi menyamping.
Ia melihat Zanna sedang melamun menatap jendela kecil di pojok ruang, Leta menghampirinya dan duduk di pinggiran kasur, menghadap bagian samping tubuh Zanna.
"Ma'af, Zanna, mama cuma keceplosan," ujar Leta meminta ma'af pada Zanna.
"Mama tuh bukan keceplosan tapi ngarang. Kan Zanna malu Ma, kalau dia pikir itu benar gimana? Mau taro mana muka Zanna, Ma!" seru Zanna tertahan, merasa sangat kesal kepada Leta.
"Iya, Mama saking senengnya kamu punya temen, Nak. Selama ini kamu tidak punya teman," ujar Leta merasa bersyukur bahwa akhirnya ada yang mau berteman dengan putrinya, terlepas dari niatnya apa, itu hal lain.
Dalam masa tumbuh kembang Zanna, hari-harinya dihabiskan dengan mendapatkan perundungan, cacian, hinaan dari orang-orang yang merasa jijik atas cacatnya Leta dan kemiskinan mereka. Selama itu, putrinya tidak pernah mempunyai teman bermain.
"Mama nih, aneh. Punya temen bikin mama seneng, kenapa waktu Zanna jadi murid teladan dan mendapatkan beasiswa penuh Mama diam saja?" protes Zanna tidak terima.
"Kata siapa tidak senang? Justru bukan senang lagi, tapi bangga, bahagia, terharu dan perasaan lain, campur aduk jadi satu," ucap Leta tersenyum simpul.
Zanna menggertakkan gigi, entah kenapa ia tidak merasakan kebanggaan itu dari Leta. Wajahnya semakin cemberut.
"Sayang ... marahnya lanjut nanti saja, sekarang tolong temani Danish, sebagai tuan rumah, kita harus menghormati tamu. Lagi pula, dia telah mengantarkanmu bolak-balik, kan?" pinta Leta setengah menasihati putrinya.
Zanna menghentakkan kakinya, ia masih saja merasa kesal kepada Leta, sementara Leta terkekeh di dalam hatinya. Zanna membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu. Dengan hati-hati ia menggeser pintu tersebut agar muat dilewati oleh tubuhnya.
Zanna terkesiap mendapati Danish sedang duduk tepat berada di depannya. "Loh, kok kamu di sini?" tanya Zanna heran.
"Lagian kamu naro teh di meja sini kok, kan mamamu tidak bisa membawakannya ke sana ...," jawab Danish tak acuh.
"Ya ampuun ... ayo pindah lagi," ajak Zanna sambil mengambil gelas berisi teh panas dan membawanya ke meja depan yang hanya berjarak tiga langkah saja dari sana. Zanna meletakkan gelas tersebut di atas meja, lalu ia duduk duluan sebelum Danish ikut duduk. Melihat wajah Zanna yang kesal dan jutek, Danish mengurungkan niatnya untuk menggoda Zanna.
TOK TOK
Suara pintu diketuk. Zanna terlonjak kaget dan masih trauma atas kejadian siang tadi. Tapi ia tetap bangkit dan membukakan pintu dengan jantung berdebar. Ternyata tamu itu datang adalah orang yang dikenalnya.
Pak RT beserta tiga orang warga berdiri di depan pintu dengan wajah cemas dan bertanya, "Zanna, Ibumu ada?"
"Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala."Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu."Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi."Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta
Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal
Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir
Terminal kampung rambutan adalah salah satu terminal yang cukup besar. Berbagai jurusan ke kota-kota di seluruh pulau jawa dan sumatera, hampir bisa dipastikan ada di sana.Sebelah kaki jenjang yang terbalut celana jeans, tampak turun dari tangga bis disusul kaki jenjang selanjutnya. Postur tubuhnya yang tinggi kini telah terlihat secara keseluruhan, ia mencangklong tas punggung yang berat serta menggusur sebuah koper kecil.Wajahnya yang sangat cantik celingukan mencari-cari tanda atau tulisan pada plang yang akan dijadikannya sebagai petunjuk. Namun, ia merasa terganggu saat beberapa lelaki mendekatinya dengan riuh."Mau ke mana lagi, Non?""Taksi, taksi, Mbak ....""Ayo ikut, saya akan antar ke tujuan Mbaknya.""Mbak cantik, naik ojek, Mbak, ojek ya, sini Mbak.""Minum, minum. Seger, seger.""Oleh-olehnya, Mbak ....""Si mbaknya cantik banget, taksi, Mbak?"
Saat itu, Zanna merasa benci pada dirinya sendiri, kenapa ia harus selalu menjadi korban pelecehan? Lelaki yang telah meremas bokongnya yang bulat dan seksi itu telah menghilang dengan cepat, ia hanya bisa menangis pilu, menahan amarahnya yang memuncak.Ibu Bahtiar tergesa-gesa menghampiri gadis yang masih menangis dengan gusar, ia sungguh merasa prihatin, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Merasakan kepiluan Zanna, Ibu Bahtiar merengkuh bahu gadis itu lalu membimbingnya ke arah motor."Ayo kita segera pulang, jalanan tidak aman buatmu, sini koper kecilnya biar taro di depan," ujar Ibu Bahtiar tergesa-gesa, rasanya ia ingin segera membawa gadis itu pergi dari sana.Mau tidak mau, Zanna menghentikan tangisnya meski masih terisak-isak, ia menyerahkan kopernya kepada Ibu Bahtiar dan menaiki motor. "Ibu tidak bawa helm cadangan, jadi kita akan melewati jalan tikus," ujar Ibu Bahtiar."Jalan hik
Masa orientasi kampus adalah masa kelam tersendiri bagi Zanna. Di hari pertamanya berbaur dengan mahasiswa-mahasiswi lain, semua memandang gadis itu dengan tatapan aneh dan dengan caranya masing-masing, mereka berusaha menghindar agar tidak berada dekat-dekat dengan dirinya.Meskipun sudah terbiasa dikucilkan, kali ini, Zanna merasakan sesuatu yang lain. Lebih menyakitkan dan menyedihkan. Ia hanya menghibur dirinya sendiri dengan ungkapan, 'mungkin baru lulus SMA masih kekanak-kanakkan, ayo Zanna ... kuatkan hatimu'. Ia mengatakannya terus berulang-ulang.Saat istirahat, perutnya berontak, ia merasa kelaparan.Zanna mengikuti petunjuk menuju kantin. Sayangnya kantin itu penuh. Dengan perlahan Zanna melangkah mundur, dirinya tidak berani ikut duduk bersama yang lainnya karena khawatir mereka semua terganggu oleh kehadirannya.Akhirnya ia memutuskan membeli beberapa buah gorengan dan es teh, lalu beranjak
Zanna menghidangkan segelas air putih yang diambilnya dari dispenser diluar kamar untuk teman barunya, Marcelia yang masih mondar-mandir di kamarnya."Uh, di sini panas banget. Lo udah berapa lama tinggal sini?" Marcel memutar tombol kipas angin yang melekat pada dinding di sebelah ranjang."Baru semalam di sini," jawab Zanna sambil memperhatikan Marcelia memutar tombol itu. Dari kemarin ia bertanya-tanya dalam hatinya, fungsi tombol itu untuk apa, ternyata pengontrol kipas angin yang berputar di plafon kamarnya.Marcelia ikut duduk di pinggir kasur, karena di kamar itu, satu-satunya kursi dipakai oleh Zanna untuk meletakkan tasnya."Minum dulu, maaf tidak ada suguhan lain," ujar Zanna merasa tidak enak hati. "Aku ke kamar mandi dulu ya, mau ganti baju, gerah," lanjut Zanna, kali ini berpamitan sebentar.Gadis itu hanya mengangguk sambil meraih gelas berisi air putih yang disuguhkan Zanna. Sekali teguk, tandas
Di sinilah Zanna terdampar, di sebuah salon mewah yang bahkan ia tidak berani menginjak lantai licin berkilau itu kalau saja Marcelia tidak menarik tangan dan memaksanya masuk ke dalam. Zanna merasa risih dengan sendal jepitnya yang kotor.Marcelia menyerahkan Zanna kepada seorang capster sambil memberitahukan banyak hal. "Beri dia model rambut yang kekinian tapi cocok dengan wajahnya, jangan lupa abis potong dimasker, lalu medi pedi," tutur Marcel."Sip, siip ...." Salah seorang dari mereka menarik Zanna untuk dibawa ke tempat cuci rambut. Zanna begitu kikuk dan merana, tangan orang asing merambah rambutnya dan ia merasa malu hati karenanya.Sementara Zanna dipermak, Marcel menyelinap keluar dari salon dan berkeliling mencari sandal, sepatu serta baju untuk Zanna kuliah. Baju yang dipilih Marcel hanya beberapa helai celana jeans dengan warna berbeda serta atasan yang terdiri dari beberapa T-shirt serta blouse kain. Ia memilihkan paka