Langit sore merona lembayung. Jalanan menuju pesantren itu dipenuhi pepohonan tua yang menjulang, seakan menjadi gerbang menuju dunia lain yang lebih teduh. Salma memegang tas kecil berisi catatan medis yang tadi terbawa dari rumah sakit. Rambutnya yang terurai ia rapikan dengan cepat, mencoba menyembunyikan lelah setelah hampir dua puluh jam berjaga di IGD.
Di sampingnya, Zidan berjalan dengan langkah mantap. Jubah putih sederhana melekat pada tubuhnya, tasbih kecil tergenggam di tangan kanan. Meski wajahnya tampak tenang, di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang belum ia pecahkan.
“Terima kasih sudah ikut, Dokter,” ucap Zidan pelan.
Salma menoleh, lalu tersenyum samar. “Aku yang terima kasih. Sudah lama saya ingin bertemu langsung dengan Kiai Ma’ruf. Banyak teman bilang, beliau bukan hanya alim, tapi juga bisa membaca hati orang.&rd
Malam itu rumah sakit kota masih seperti biasa: sibuk, gaduh, sekaligus penuh paradoks. Di satu sisi, jeritan kesakitan dan tangisan keluarga memenuhi udara. Di sisi lain, ada doa-doa lirih, harapan, dan canda kecil dari perawat yang berusaha meringankan suasana.Salma baru saja melepas jas putihnya setelah hampir dua puluh jam berjaga. Rambutnya yang disanggul cepat mulai berantakan. Di wajahnya ada gurat lelah, tapi juga keteguhan yang sama seperti malam-malam sebelumnya.Ia berjalan ke ruang administrasi, mengambil sebuah amplop putih yang sudah lama ia tunggu. Itu hasil medical check-up yang ia lakukan seminggu lalu. Hanya perawat senior yang tahu ia menjalani tes itu, dan Salma sengaja tidak memberi tahu siapa pun—bahkan ibunya.Tangannya bergetar ketika membuka segel. Matanya menelusuri deretan angka dan istilah medis yang sudah sangat akrab. Namun kali ini, istilah itu bukan milik pasien… melainkan miliknya sendiri.Ada sesuatu yang sa
Langit sore merona lembayung. Jalanan menuju pesantren itu dipenuhi pepohonan tua yang menjulang, seakan menjadi gerbang menuju dunia lain yang lebih teduh. Salma memegang tas kecil berisi catatan medis yang tadi terbawa dari rumah sakit. Rambutnya yang terurai ia rapikan dengan cepat, mencoba menyembunyikan lelah setelah hampir dua puluh jam berjaga di IGD.Di sampingnya, Zidan berjalan dengan langkah mantap. Jubah putih sederhana melekat pada tubuhnya, tasbih kecil tergenggam di tangan kanan. Meski wajahnya tampak tenang, di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang belum ia pecahkan.“Terima kasih sudah ikut, Dokter,” ucap Zidan pelan.Salma menoleh, lalu tersenyum samar. “Aku yang terima kasih. Sudah lama saya ingin bertemu langsung dengan Kiai Ma’ruf. Banyak teman bilang, beliau bukan hanya alim, tapi juga bisa membaca hati orang.&rd
Langkah kaki Salma meninggalkan aula kampus dengan perlahan. Malam sudah turun, lampu-lampu jalan menyala temaram, memantulkan cahaya ke genangan air sisa hujan. Udara lembab menusuk hingga ke dalam paru-parunya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa hangat, meski tubuhnya masih letih setelah seharian jaga di rumah sakit.Kalimat yang ditulisnya di buku catatan tadi, “Mungkin doa ini akan berlanjut di tempat lain”, terus berputar dalam benaknya. Ia berjalan menuju halte bus kampus, duduk sendirian, menatap langit yang samar-samar berawan.Telinganya tiba-tiba menangkap suara adzan dari masjid kampus yang tak jauh dari aula. Lamat-lamat, suara muadzin menembus keramaian kendaraan. “Allahu akbar, Allahu akbar…”
Suasana aula kampus sore itu berbeda dari biasanya. Spanduk putih dengan tulisan besar “Kajian Islam Mahasiswa – Hati yang Selalu Mencari Allah” terbentang di depan. Karpet hijau dibentangkan, deretan sandal menumpuk di luar pintu. Aroma hujan yang baru saja reda masih terasa menusuk hidung, membawa hawa lembab yang menenangkan.Salma berjalan pelan, langkahnya diseret karena tubuhnya lelah setelah shift jaga di rumah sakit pagi hingga siang. Ia sempat ragu, ingin langsung pulang, tidur, lalu melupakan semuanya. Tapi entah kenapa, hatinya tergerak untuk singgah di kajian ini. Ada sesuatu yang menuntunnya, semacam panggilan halus yang tak bisa ia abaikan.Aula sudah hampir penuh. Mahasiswa putri duduk di sisi kanan, berderet dengan mukena putih dan jilbab warna pastel. Mahasiswa putra di sisi kiri, sebagian masih bercanda sambil menunggu acara dimulai. Di depan, sebuah mimbar kecil sudah disiapkan dengan mikrofon dan segelas air putih.Salma memilih duduk agak belakang, tak ingin terla
Langit pagi menggantungkan awan tipis seperti tirai putih yang belum sempat dilipat. Embun masih melekat di daun-daun ketapang di taman belakang rumah sakit. Taman kecil itu sunyi, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah sesekali dari petugas kebersihan yang belum menyapa hari sepenuhnya.Zidan duduk di bangku kayu yang menghadap kolam ikan kecil. Gamis biru langit membalut tubuhnya, sementara sorban tipis melingkar di lehernya. Di tangannya, mushaf kecil terbuka, jari-jarinya membalik halaman dengan hati-hati, seolah menyentuh ayat-ayat dengan rasa takut yang lembut.Baru saja ia selesai mengisi kajian Subuh di masjid rumah sakit—kajian rutin yang biasa ia isi dua pekan sekali, undangan dari divisi kerohanian. Tapi hari ini, ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke pesantren. Ada ganjalan di dadanya yang belum selesai, meski bacaan Al-Baqarah barusan telah ia ulang tiga kali.Ia menarik napas panjang, dalam, seolah ingin menenggelamkan segala gema
Langit malam perlahan menuruni kelamnya seperti tirai hitam yang ditarik dari sisi langit, menyelimuti bumi dengan keheningan yang hampir khusyuk. Kota terasa seperti melambat, kendaraan yang lalu-lalang di kejauhan terdengar bagai bisikan angin tua. Di balik jendela kontrakan sederhana Salma, tirai krem berumbai digerakkan angin, menyentuh kaca dalam gerakan ringan seperti lambaian tangan tak kasat mata.Kamar itu sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam dinding yang berdetak seperti bisikan waktu, menyayat detik demi detik. Lampu meja di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning temaram, menciptakan bayangan panjang dari benda-benda kecil: mug teh yang tinggal separuh, map pasien berjejer tak rapi, mushaf kecil yang terbuka di atas sajadah.Salma duduk bersandar lemah di sisi tempat tidurnya, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke dalam keheningan kamar yang remang. Punggungnya menyentuh dinding dingin yang dilapisi cat putih gading, yang mulai mengelupas di sudut-sud