Di tengah malam Ramadan yang tenang, takdir mempertemukan Zidan, seorang ustaz muda yang disiapkan menjadi imam besar, dengan Salma, dokter jaga yang tangguh namun menyimpan luka masa lalu. Pertemuan singkat di lorong IGD menjadi awal dari keterikatan jiwa yang perlahan tumbuh di balik batas-batas yang tak mudah dilewati. Ketika Salma menjadi relawan di masjid tempat Zidan mengajar, kedekatan mereka diuji oleh benturan prinsip, perbedaan jalan hidup, serta hadirnya seorang anak kecil bernama Aisha yang sakit parah dan butuh kehadiran keduanya. Di tengah kesibukan merawat dan berjuang, muncul rasa yang tak bisa mereka sembunyikan, namun juga tak mudah mereka perjuangkan. Saat penyakit menimpa orang tua, tawaran pernikahan dari pria lain datang, dan tekanan dari masyarakat mulai membesar, Zidan dan Salma harus memilih: menjaga perasaan atau menjaga kehormatan. Sebuah akad sederhana di rumah sakit menjadi jalan sunyi yang mereka pilih. Tapi ujian tak berhenti. Dari gempa, kehilangan, hingga perpisahan panjang—semua menguji makna cinta sejati. Dan di Padang Arafah, mereka bersatu kembali... demi janji yang ingin diridhoi, bukan hanya oleh hati, tapi juga oleh Ilahi.
View MoreHening malam Ramadan yang suci biasanya membawa ketenangan bagi Zidan. Namun malam itu, kedamaian pecah di depan gerbang pesantren. Salah satu santriwati, Nisa, mengalami kecelakaan sepulang tarawih. Motor yang ditumpanginya ditabrak dari samping oleh pengendara mabuk. Darah masih membasahi lengan putih bajunya ketika Zidan menggendongnya masuk ke dalam mobil, dadanya sesak namun bibirnya terus melafalkan doa.
Sampai di IGD RS Islam Al-Hikmah, suasana tetap menegangkan. Lampu neon menyilaukan, bau disinfektan bercampur aroma besi dari darah yang mengering. Zidan menurunkan Nisa dengan hati-hati, ditemani dua santri senior. Belum habis ucapan mendaftar, seorang dokter perempuan muncul dari balik tirai hijau. Jubah putihnya menjuntai, hijabnya longgar, wajahnya tenang namun sorot matanya tajam.
"Mana pasiennya?" tanya perempuan itu, tanpa basa-basi.
"Ini, Bu Dokter. Kecelakaan, baru saja. Banyak darah keluar dari bagian lengan dan bahu," jelas Zidan.
Mata mereka bersitatap sekilas. Zidan tertegun sepersekian detik, ada sesuatu yang menyentak dadanya, tapi buru-buru dia menghindari tatapan itu. 'Astaghfirullah,' batinnya. 'Ini hanya rasa prihatin. Rasa terima kasih.'
"Taruh di bed. Perawat!" Dokter itu memberi instruksi dengan suara lugas.
Zidan berdiri kaku di sisi lorong. Pandangannya mengikut langkah cepat sang dokter. Ada ketegasan dalam tubuh ramping itu. Suaranya tidak tinggi, tapi punya kuasa. Dia seperti bukan dari dunia yang sama dengan Zidan—seorang ustaz muda, pengajar kitab di pesantren kecil.
Beberapa menit kemudian, Nisa telah ditangani. Zidan duduk di bangku tunggu, menggenggam tas santriwati itu, matanya kosong menatap ubin putih. Tapi hatinya gaduh. Ia mencoba mengulang ayat-ayat hafalan, mencoba menepis bayangan yang muncul tiba-tiba: tatapan tajam dokter perempuan itu, gerak lembut tangannya saat membalut luka, dan wajahnya yang tegar namun menyiratkan lelah yang dalam.
"Assalamu’alaikum," suara itu membuyarkan lamunannya. Dokter perempuan tadi berdiri di hadapannya, membawa selembar kertas.
"Wa’alaikumussalam," jawab Zidan kaku.
"Pasien bisa rawat jalan. Tapi harus istirahat total dua hari. Ini resep dan rujukannya."
Zidan mengangguk, menerima kertas itu. Tangannya nyaris bersentuhan dengan tangan sang dokter, tapi ia buru-buru menariknya.
"Syukran, Dokter. Jazâkillâh khairan."
Perempuan itu hanya mengangguk pelan, lalu berbalik. Hijab longgar yang menutupi tubuhnya berkibar sebentar sebelum menghilang di balik pintu IGD.
Zidan menghela napas. Ia menunduk, istighfar tanpa suara. Ini tidak benar. Ia bukan laki-laki yang mudah goyah karena wajah cantik. Tapi, ada yang lain dalam sosok dokter itu. Ketenangannya, tatapannya, bahkan cara ia menggenggam gunting perban.
Saat hendak pulang, Zidan kembali ke lorong IGD karena merasa ada barang tertinggal. Ia melihat perawat sudah mengganti sprei, namun di atas meja kecil di sudut ruangan, ada gelas bening berisi sisa darah pasien dan kapas basah. Mungkin gelas itu hendak dibuang.
Zidan mendekat. Tangannya terulur, namun terhenti.
Gelas itu... milik dokter perempuan itu. Ia ingat jelas saat dokter itu menaruhnya di sana sambil menekan luka Nisa. Ada stiker kecil di badan gelas: bunga mawar dan inisial "S."
Zidan terpaku. Kenapa gelas ini membuatnya berpikir tentang hal-hal yang tak seharusnya?
Ia menatap darah di dasar gelas itu. Ia hafal doa pengubur jenazah, ia paham makna najis, ia tahu syariat. Tapi tiba-tiba bayangan tentang perempuan itu muncul: bagaimana ia mungkin mencuci gelas itu sambil melamun di balik jendela, atau bagaimana tangannya menyentuh bibir gelas saat hendak meneguk teh.
Zidan menunduk dalam. Malam itu bukan sekadar malam kecelakaan. Ada sesuatu yang tertanam di hati, meski ia menyangkal habis-habisan.
"Ini hanya rasa terima kasih," bisiknya lagi. "Ini hanya kagum pada dedikasi seorang dokter."
Namun gelas itu tetap ada di tangan.
Dan di dadanya, denyut aneh mulai tumbuh, pelan, namun pasti.
Zidan tidak langsung pulang. Ia duduk di mushala kecil RS sambil menunggu subuh. Suaranya lirih membaca Al-Mulk, namun pikirannya tetap tertambat pada dokter itu.
Ia bertanya pada perawat jaga: siapa nama dokter yang tadi? Perawat itu menjawab singkat, "Dokter Salma."
Nama itu mengendap dalam ingatan Zidan. Salma. Nama yang lekat dengan ketenangan, tapi juga keberanian. Ada yang janggal: ia ingin tahu lebih banyak. Namun apa haknya?
Ia istighfar lagi.
Sementara itu, di ruang istirahat dokter, Salma memandangi gelas kosong yang biasa ia pakai. Ia menyadari satu gelasnya hilang. Ia mengingat wajah laki-laki tadi. Wajah yang tidak asing, seolah pernah ia lihat dalam mimpi. Tegas, namun menyimpan luka. Salma menghela napas. Ia tidak ingin ini terjadi. Ia bukan tipe perempuan yang mudah terusik hanya karena tatapan singkat.
Tapi malam itu, ada sesuatu dalam tatapan laki-laki itu yang membuat jantungnya berhenti sejenak.
Dua hari setelah insiden itu, Zidan masih menyimpan gelas itu. Ia membungkusnya rapi, hendak mengembalikannya. Tapi selalu urung. Ia menatap gelas itu lama-lama setiap malam, lalu meletakkannya kembali di rak kitab.
Temannya, Ustaz Faris, mulai curiga.
"Antum kenapa, akhi? Kelihatan seperti bukan Zidan yang biasa."
Zidan hanya tersenyum, "Mungkin Ramadan tahun ini memang istimewa."
Faris tertawa, namun ia tahu, sahabatnya sedang menyimpan sesuatu.
Pada malam ketujuh Ramadan, Zidan kembali ke rumah sakit. Ia membawa beberapa buku saku doa dan zikir untuk dibagikan ke perawat. Tapi sesungguhnya, ia ingin bertemu Salma.
Dan takdir mempertemukan mereka lagi. Kali ini, Salma terlihat lebih lelah. Matanya cekung, wajahnya pucat. Namun saat melihat Zidan, ada sebersit cahaya yang muncul.
"Assalamu’alaikum, Dokter Salma. Saya kemarin... mungkin gelas ini milik Anda. Saya temukan tertinggal di lorong."
Salma menerimanya pelan. Ia menunduk, seolah menyembunyikan rona yang tiba-tiba muncul di pipinya.
"Terima kasih. Saya pikir sudah hilang."
"Gelas itu... meninggalkan kesan," ujar Zidan lirih. Salma mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lama.
"Saya tahu ini mungkin bukan tempatnya. Tapi sejak malam itu, saya merasa sedang diuji."
Salma menunduk. "Saya juga."
Mereka diam. Hanya suara monitor EKG yang berbunyi di ruang sebelah. Malam itu, mereka tidak bicara banyak. Tapi sesuatu telah berpindah dari hati ke hati. Tidak diucap, tapi dipahami.
Sejak itu, Ramadan mereka tidak lagi sama.
Zidan semakin rajin ke RS, dengan dalih membawakan buku zikir atau menjenguk pasien. Salma menyadari, ia tak bisa terus menyangkal bahwa kehadiran Zidan memberinya ketenangan.
Namun mereka sadar satu hal: dunia mereka berbeda.
Zidan hidup dalam disiplin pesantren dan tanggung jawab keumatan. Salma hidup dalam dunia medis yang keras dan menuntut logika.
Tapi benih telah ditanam di malam ketika darah dan doa bersatu dalam lorong IGD. Dan meski mereka belum berani menyebut nama perasaan itu, keduanya sama-sama menjaga—dalam diam, dalam doa, dalam jeda waktu yang mempertemukan dan memisahkan.
Ramadan belum berakhir. Dan malam-malam ke depan masih menyisakan peluang-peluang rahasia, yang bisa saja membuka pintu takdir—atau menutupnya rapat.
Zidan tahu, ujian ini belum usai. Dan Salma mulai belajar bahwa tidak semua yang logis bisa ditakar dengan ilmu medis.
Malam itu rumah sakit kota masih seperti biasa: sibuk, gaduh, sekaligus penuh paradoks. Di satu sisi, jeritan kesakitan dan tangisan keluarga memenuhi udara. Di sisi lain, ada doa-doa lirih, harapan, dan canda kecil dari perawat yang berusaha meringankan suasana.Salma baru saja melepas jas putihnya setelah hampir dua puluh jam berjaga. Rambutnya yang disanggul cepat mulai berantakan. Di wajahnya ada gurat lelah, tapi juga keteguhan yang sama seperti malam-malam sebelumnya.Ia berjalan ke ruang administrasi, mengambil sebuah amplop putih yang sudah lama ia tunggu. Itu hasil medical check-up yang ia lakukan seminggu lalu. Hanya perawat senior yang tahu ia menjalani tes itu, dan Salma sengaja tidak memberi tahu siapa pun—bahkan ibunya.Tangannya bergetar ketika membuka segel. Matanya menelusuri deretan angka dan istilah medis yang sudah sangat akrab. Namun kali ini, istilah itu bukan milik pasien… melainkan miliknya sendiri.Ada sesuatu yang sa
Langit sore merona lembayung. Jalanan menuju pesantren itu dipenuhi pepohonan tua yang menjulang, seakan menjadi gerbang menuju dunia lain yang lebih teduh. Salma memegang tas kecil berisi catatan medis yang tadi terbawa dari rumah sakit. Rambutnya yang terurai ia rapikan dengan cepat, mencoba menyembunyikan lelah setelah hampir dua puluh jam berjaga di IGD.Di sampingnya, Zidan berjalan dengan langkah mantap. Jubah putih sederhana melekat pada tubuhnya, tasbih kecil tergenggam di tangan kanan. Meski wajahnya tampak tenang, di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang belum ia pecahkan.“Terima kasih sudah ikut, Dokter,” ucap Zidan pelan.Salma menoleh, lalu tersenyum samar. “Aku yang terima kasih. Sudah lama saya ingin bertemu langsung dengan Kiai Ma’ruf. Banyak teman bilang, beliau bukan hanya alim, tapi juga bisa membaca hati orang.&rd
Langkah kaki Salma meninggalkan aula kampus dengan perlahan. Malam sudah turun, lampu-lampu jalan menyala temaram, memantulkan cahaya ke genangan air sisa hujan. Udara lembab menusuk hingga ke dalam paru-parunya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa hangat, meski tubuhnya masih letih setelah seharian jaga di rumah sakit.Kalimat yang ditulisnya di buku catatan tadi, “Mungkin doa ini akan berlanjut di tempat lain”, terus berputar dalam benaknya. Ia berjalan menuju halte bus kampus, duduk sendirian, menatap langit yang samar-samar berawan.Telinganya tiba-tiba menangkap suara adzan dari masjid kampus yang tak jauh dari aula. Lamat-lamat, suara muadzin menembus keramaian kendaraan. “Allahu akbar, Allahu akbar…”
Suasana aula kampus sore itu berbeda dari biasanya. Spanduk putih dengan tulisan besar “Kajian Islam Mahasiswa – Hati yang Selalu Mencari Allah” terbentang di depan. Karpet hijau dibentangkan, deretan sandal menumpuk di luar pintu. Aroma hujan yang baru saja reda masih terasa menusuk hidung, membawa hawa lembab yang menenangkan.Salma berjalan pelan, langkahnya diseret karena tubuhnya lelah setelah shift jaga di rumah sakit pagi hingga siang. Ia sempat ragu, ingin langsung pulang, tidur, lalu melupakan semuanya. Tapi entah kenapa, hatinya tergerak untuk singgah di kajian ini. Ada sesuatu yang menuntunnya, semacam panggilan halus yang tak bisa ia abaikan.Aula sudah hampir penuh. Mahasiswa putri duduk di sisi kanan, berderet dengan mukena putih dan jilbab warna pastel. Mahasiswa putra di sisi kiri, sebagian masih bercanda sambil menunggu acara dimulai. Di depan, sebuah mimbar kecil sudah disiapkan dengan mikrofon dan segelas air putih.Salma memilih duduk agak belakang, tak ingin terla
Langit pagi menggantungkan awan tipis seperti tirai putih yang belum sempat dilipat. Embun masih melekat di daun-daun ketapang di taman belakang rumah sakit. Taman kecil itu sunyi, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah sesekali dari petugas kebersihan yang belum menyapa hari sepenuhnya.Zidan duduk di bangku kayu yang menghadap kolam ikan kecil. Gamis biru langit membalut tubuhnya, sementara sorban tipis melingkar di lehernya. Di tangannya, mushaf kecil terbuka, jari-jarinya membalik halaman dengan hati-hati, seolah menyentuh ayat-ayat dengan rasa takut yang lembut.Baru saja ia selesai mengisi kajian Subuh di masjid rumah sakit—kajian rutin yang biasa ia isi dua pekan sekali, undangan dari divisi kerohanian. Tapi hari ini, ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke pesantren. Ada ganjalan di dadanya yang belum selesai, meski bacaan Al-Baqarah barusan telah ia ulang tiga kali.Ia menarik napas panjang, dalam, seolah ingin menenggelamkan segala gema
Langit malam perlahan menuruni kelamnya seperti tirai hitam yang ditarik dari sisi langit, menyelimuti bumi dengan keheningan yang hampir khusyuk. Kota terasa seperti melambat, kendaraan yang lalu-lalang di kejauhan terdengar bagai bisikan angin tua. Di balik jendela kontrakan sederhana Salma, tirai krem berumbai digerakkan angin, menyentuh kaca dalam gerakan ringan seperti lambaian tangan tak kasat mata.Kamar itu sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam dinding yang berdetak seperti bisikan waktu, menyayat detik demi detik. Lampu meja di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning temaram, menciptakan bayangan panjang dari benda-benda kecil: mug teh yang tinggal separuh, map pasien berjejer tak rapi, mushaf kecil yang terbuka di atas sajadah.Salma duduk bersandar lemah di sisi tempat tidurnya, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke dalam keheningan kamar yang remang. Punggungnya menyentuh dinding dingin yang dilapisi cat putih gading, yang mulai mengelupas di sudut-sud
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments