Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma

Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma

last updateLast Updated : 2025-09-05
By:  HakimzUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
13Chapters
17views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di tengah malam Ramadan yang tenang, takdir mempertemukan Zidan, seorang ustaz muda yang disiapkan menjadi imam besar, dengan Salma, dokter jaga yang tangguh namun menyimpan luka masa lalu. Pertemuan singkat di lorong IGD menjadi awal dari keterikatan jiwa yang perlahan tumbuh di balik batas-batas yang tak mudah dilewati. Ketika Salma menjadi relawan di masjid tempat Zidan mengajar, kedekatan mereka diuji oleh benturan prinsip, perbedaan jalan hidup, serta hadirnya seorang anak kecil bernama Aisha yang sakit parah dan butuh kehadiran keduanya. Di tengah kesibukan merawat dan berjuang, muncul rasa yang tak bisa mereka sembunyikan, namun juga tak mudah mereka perjuangkan. Saat penyakit menimpa orang tua, tawaran pernikahan dari pria lain datang, dan tekanan dari masyarakat mulai membesar, Zidan dan Salma harus memilih: menjaga perasaan atau menjaga kehormatan. Sebuah akad sederhana di rumah sakit menjadi jalan sunyi yang mereka pilih. Tapi ujian tak berhenti. Dari gempa, kehilangan, hingga perpisahan panjang—semua menguji makna cinta sejati. Dan di Padang Arafah, mereka bersatu kembali... demi janji yang ingin diridhoi, bukan hanya oleh hati, tapi juga oleh Ilahi.

View More

Chapter 1

Pertemuan di Lorong IGD

Hening malam Ramadan yang suci biasanya membawa ketenangan bagi Zidan. Namun malam itu, kedamaian pecah di depan gerbang pesantren. Salah satu santriwati, Nisa, mengalami kecelakaan sepulang tarawih. Motor yang ditumpanginya ditabrak dari samping oleh pengendara mabuk. Darah masih membasahi lengan putih bajunya ketika Zidan menggendongnya masuk ke dalam mobil, dadanya sesak namun bibirnya terus melafalkan doa.

Sampai di IGD RS Islam Al-Hikmah, suasana tetap menegangkan. Lampu neon menyilaukan, bau disinfektan bercampur aroma besi dari darah yang mengering. Zidan menurunkan Nisa dengan hati-hati, ditemani dua santri senior. Belum habis ucapan mendaftar, seorang dokter perempuan muncul dari balik tirai hijau. Jubah putihnya menjuntai, hijabnya longgar, wajahnya tenang namun sorot matanya tajam.

"Mana pasiennya?" tanya perempuan itu, tanpa basa-basi.

"Ini, Bu Dokter. Kecelakaan, baru saja. Banyak darah keluar dari bagian lengan dan bahu," jelas Zidan.

Mata mereka bersitatap sekilas. Zidan tertegun sepersekian detik, ada sesuatu yang menyentak dadanya, tapi buru-buru dia menghindari tatapan itu. 'Astaghfirullah,' batinnya. 'Ini hanya rasa prihatin. Rasa terima kasih.'

"Taruh di bed. Perawat!" Dokter itu memberi instruksi dengan suara lugas.

Zidan berdiri kaku di sisi lorong. Pandangannya mengikut langkah cepat sang dokter. Ada ketegasan dalam tubuh ramping itu. Suaranya tidak tinggi, tapi punya kuasa. Dia seperti bukan dari dunia yang sama dengan Zidan—seorang ustaz muda, pengajar kitab di pesantren kecil.

Beberapa menit kemudian, Nisa telah ditangani. Zidan duduk di bangku tunggu, menggenggam tas santriwati itu, matanya kosong menatap ubin putih. Tapi hatinya gaduh. Ia mencoba mengulang ayat-ayat hafalan, mencoba menepis bayangan yang muncul tiba-tiba: tatapan tajam dokter perempuan itu, gerak lembut tangannya saat membalut luka, dan wajahnya yang tegar namun menyiratkan lelah yang dalam.

"Assalamu’alaikum," suara itu membuyarkan lamunannya. Dokter perempuan tadi berdiri di hadapannya, membawa selembar kertas.

"Wa’alaikumussalam," jawab Zidan kaku.

"Pasien bisa rawat jalan. Tapi harus istirahat total dua hari. Ini resep dan rujukannya."

Zidan mengangguk, menerima kertas itu. Tangannya nyaris bersentuhan dengan tangan sang dokter, tapi ia buru-buru menariknya.

"Syukran, Dokter. Jazâkillâh khairan."

Perempuan itu hanya mengangguk pelan, lalu berbalik. Hijab longgar yang menutupi tubuhnya berkibar sebentar sebelum menghilang di balik pintu IGD.

Zidan menghela napas. Ia menunduk, istighfar tanpa suara. Ini tidak benar. Ia bukan laki-laki yang mudah goyah karena wajah cantik. Tapi, ada yang lain dalam sosok dokter itu. Ketenangannya, tatapannya, bahkan cara ia menggenggam gunting perban.

Saat hendak pulang, Zidan kembali ke lorong IGD karena merasa ada barang tertinggal. Ia melihat perawat sudah mengganti sprei, namun di atas meja kecil di sudut ruangan, ada gelas bening berisi sisa darah pasien dan kapas basah. Mungkin gelas itu hendak dibuang.

Zidan mendekat. Tangannya terulur, namun terhenti.

Gelas itu... milik dokter perempuan itu. Ia ingat jelas saat dokter itu menaruhnya di sana sambil menekan luka Nisa. Ada stiker kecil di badan gelas: bunga mawar dan inisial "S."

Zidan terpaku. Kenapa gelas ini membuatnya berpikir tentang hal-hal yang tak seharusnya?

Ia menatap darah di dasar gelas itu. Ia hafal doa pengubur jenazah, ia paham makna najis, ia tahu syariat. Tapi tiba-tiba bayangan tentang perempuan itu muncul: bagaimana ia mungkin mencuci gelas itu sambil melamun di balik jendela, atau bagaimana tangannya menyentuh bibir gelas saat hendak meneguk teh.

Zidan menunduk dalam. Malam itu bukan sekadar malam kecelakaan. Ada sesuatu yang tertanam di hati, meski ia menyangkal habis-habisan.

"Ini hanya rasa terima kasih," bisiknya lagi. "Ini hanya kagum pada dedikasi seorang dokter."

Namun gelas itu tetap ada di tangan.

Dan di dadanya, denyut aneh mulai tumbuh, pelan, namun pasti.

Zidan tidak langsung pulang. Ia duduk di mushala kecil RS sambil menunggu subuh. Suaranya lirih membaca Al-Mulk, namun pikirannya tetap tertambat pada dokter itu.

Ia bertanya pada perawat jaga: siapa nama dokter yang tadi? Perawat itu menjawab singkat, "Dokter Salma."

Nama itu mengendap dalam ingatan Zidan. Salma. Nama yang lekat dengan ketenangan, tapi juga keberanian. Ada yang janggal: ia ingin tahu lebih banyak. Namun apa haknya?

Ia istighfar lagi.

Sementara itu, di ruang istirahat dokter, Salma memandangi gelas kosong yang biasa ia pakai. Ia menyadari satu gelasnya hilang. Ia mengingat wajah laki-laki tadi. Wajah yang tidak asing, seolah pernah ia lihat dalam mimpi. Tegas, namun menyimpan luka. Salma menghela napas. Ia tidak ingin ini terjadi. Ia bukan tipe perempuan yang mudah terusik hanya karena tatapan singkat.

Tapi malam itu, ada sesuatu dalam tatapan laki-laki itu yang membuat jantungnya berhenti sejenak.

Dua hari setelah insiden itu, Zidan masih menyimpan gelas itu. Ia membungkusnya rapi, hendak mengembalikannya. Tapi selalu urung. Ia menatap gelas itu lama-lama setiap malam, lalu meletakkannya kembali di rak kitab.

Temannya, Ustaz Faris, mulai curiga.

"Antum kenapa, akhi? Kelihatan seperti bukan Zidan yang biasa."

Zidan hanya tersenyum, "Mungkin Ramadan tahun ini memang istimewa."

Faris tertawa, namun ia tahu, sahabatnya sedang menyimpan sesuatu.

Pada malam ketujuh Ramadan, Zidan kembali ke rumah sakit. Ia membawa beberapa buku saku doa dan zikir untuk dibagikan ke perawat. Tapi sesungguhnya, ia ingin bertemu Salma.

Dan takdir mempertemukan mereka lagi. Kali ini, Salma terlihat lebih lelah. Matanya cekung, wajahnya pucat. Namun saat melihat Zidan, ada sebersit cahaya yang muncul.

"Assalamu’alaikum, Dokter Salma. Saya kemarin... mungkin gelas ini milik Anda. Saya temukan tertinggal di lorong."

Salma menerimanya pelan. Ia menunduk, seolah menyembunyikan rona yang tiba-tiba muncul di pipinya.

"Terima kasih. Saya pikir sudah hilang."

"Gelas itu... meninggalkan kesan," ujar Zidan lirih. Salma mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lama.

"Saya tahu ini mungkin bukan tempatnya. Tapi sejak malam itu, saya merasa sedang diuji."

Salma menunduk. "Saya juga."

Mereka diam. Hanya suara monitor EKG yang berbunyi di ruang sebelah. Malam itu, mereka tidak bicara banyak. Tapi sesuatu telah berpindah dari hati ke hati. Tidak diucap, tapi dipahami.

Sejak itu, Ramadan mereka tidak lagi sama.

Zidan semakin rajin ke RS, dengan dalih membawakan buku zikir atau menjenguk pasien. Salma menyadari, ia tak bisa terus menyangkal bahwa kehadiran Zidan memberinya ketenangan.

Namun mereka sadar satu hal: dunia mereka berbeda.

Zidan hidup dalam disiplin pesantren dan tanggung jawab keumatan. Salma hidup dalam dunia medis yang keras dan menuntut logika.

Tapi benih telah ditanam di malam ketika darah dan doa bersatu dalam lorong IGD. Dan meski mereka belum berani menyebut nama perasaan itu, keduanya sama-sama menjaga—dalam diam, dalam doa, dalam jeda waktu yang mempertemukan dan memisahkan.

Ramadan belum berakhir. Dan malam-malam ke depan masih menyisakan peluang-peluang rahasia, yang bisa saja membuka pintu takdir—atau menutupnya rapat.

Zidan tahu, ujian ini belum usai. Dan Salma mulai belajar bahwa tidak semua yang logis bisa ditakar dengan ilmu medis.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
13 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status