Share

Hinaan Januar~

Author: Na_Vya
last update Last Updated: 2023-07-12 18:28:50

Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu.

Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik.

Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut.

Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bisa mencicil sedikit demi sedikit utang senilai ratusan juta rupiah, dengan bekerja di Bar miliknya. Mengandalkan gaji SPG juga sangatlah tidak mungkin. Biaya hidup di jaman sekarang serba mahal dan apa-apa harus pakai uang.

Ya ... Walaupun dia bekerja di pusat perbelanjaan milik keluarga calon suaminya. Hal tersebut tak serta merta turut memperbaiki keberlangsungan hidup Safira. Memilih menutup rapat-rapat perihal masalah hidup yang menderanya, Safira tidak mau Arkana mengasihaninya.

"Fira! Safira! Di mana kamu!" Januar berteriak memanggil Safira ketika baru saja masuk dalam keadaan setengah mabuk. "Fira!"

Pria paruh baya yang keadaan bajunya berantakan itu duduk bersandar di sofa ruang tamu, dengan kepala menengadah.

Merasa namanya dipanggil, Safira yang tengah membersihkan riasan di wajahnya lekas menyahut, "Iya, bentar!" Lalu, membuang kapas bekas ke tempat sampah yang ada di sisi meja rias.

Safira pun bergegas keluar kamar untuk menemui ayahnya yang berada di ruang tamu. Ukuran rumah bercat putih gading itu tidaklah terlalu luas, hanya ada dua kamar, ruang tamu mini, dapur seadanya, serta kamar mandi satu yang terletak di samping kamar Safira. Seketika Safira mengernyitkan hidungnya karena bau alkohol yang menyengat.

Januar menoleh sekilas, lalu berkata ketus,

"Lelet banget kamu! Ngapain aja, sih?"

"Fira baru pulang kerja, Pak. Tadi baru beberes. Bapak butuh apa?" sahut Safira sopan. Meskipun Safira tidak menyukai sifat ayahnya yang sekarang, tetapi dia tidak menghilangkan rasa hormatnya pada lelaki paruh baya ini. Biar bagaimanapun, Januar dulu adalah sosok ayah yang sangat Safira kagumi.

"Buatin bapak mi rebus sama telornya dua! Terus jangan lupa dikasih cabe rawit lima biji sama sayuran kalo ada," titah Januar layaknya bos yang harus dilayani dengan penuh hormat. "Cepetan!"

"Iya, Pak." Safira mengangguk sekali, dan lekas melaksanakan perintah ayahnya. Berbalik, lalu segera menuju dapur untuk membuatkan mi rebus sesuai permintaan Januar. Lelahnya untuk sementara dia kesampingkan. "Hfft ..."

Beberapa saat kemudian, mi rebus pun sudah matang. Safira membawanya ke meja makan kayu yang sebenarnya sudah tidak layak pakai. Setelah meletakkan mangkok berisi mi, Safira memanggil ayahnya yang menonton televisi.

"Mi rebusnya udah mateng, Pak." Safira memanggil Januar dengan nada pelan. Berdiri di sisi sofa tunggal dengan perasaan tidak enak, karena Januar menatapnya dengan tatapan tidak terbaca.

Jika sudah seperti itu, maka Safira sudah bisa menebak, isi kepala Januar.

"Tadi bapak kalah judi lagi. Kamu bayarin utang itu," ucap Januar sambil beranjak dari sofa, kemudian melenggang santai di hadapan Safira menuju ke dapur.

Mengikuti ayahnya ke dapur, Safira berkata,

"Pak. Utang Bapak aja yang kemarin belum bisa aku bayar. Ini malah Bapak tambahin lagi jumlahnya. Kalo caranya begini kapan lunasnya? Fira capek, Pak. Capek ...."

Apa selamanya akan seperti ini? Hidupnya hanya menjadi mesin pelunas utang ayahnya? Safira sudah lelah berurusan dengan utang sekaligus dengan Kai. Gara-gara uang, hidupnya jadi dikendalikan oleh dua orang yang tidak mempunyai perasaan.

"Kamu 'kan bisa tinggal minta ke Arkana. Dia duitnya banyak. Lagian, duit segitu, mah, gak ada apa-apanya buat dia," sahut Januar dengan enteng tanpa memikirkan perasaan anak yang dulu begitu mengaguminya.

Januar menenggak air putih dari botol kaca yang diambilnya dari kulkas dengan berdiri. Setelah minum, dia duduk, meletakkan botol kaca ke meja dan mulai memakan mi rebusnya. Perutnya hanya diisi minuman sejak tadi sore, dan sekarang sangat merasa lapar.

Enak saja minta Mas Arkana, pikir Safira sambil memejamkan mata sejenak, seraya mengatur emosi.

"Enggak bisa gitu, dong, Pak. Mas Arkana belum jadi suamiku. Aku gak ada hak minta duit sama dia. Lagi pula, dia juga belum berkewajiban nanggung biaya hidupku." Safira memberanikan diri untuk melontarkan protesnya. Biar Januar membuka mata dan pikirannya agar segera sadar akan kesalahannya.

Brakk!

Januar menggebrak meja tua itu cukup keras, sampai Safira berjengit kaget. Lalu botol minum yang terbuat dari kaca terjatuh, dan menggelinding ke bawah hingga pecah. Isinya pun tumpah membasahi lantai keramik.

"Makanya cepetan minta dinikahin! Jadi perempuan itu yang pinter dikit, napa? Gini-gini bapak juga udah gak sabar pengen besanan sama orang kaya. Percuma punya muka cantik kalo gak dimanfaatin, ck! Bodoh!" Umpatan Januar terdengar sangat tajam. Dia bahkan tak segan bicara kasar kepada Safira.

Hati anak mana yang tidak terluka apabila mendengar kalimat tidak pantas dari mulut ayah kandungnya. Safira sungguh tidak mengenal sosok yang tengah makan di meja sana. Ke mana perginya sang ayah yang dulu begitu sangat penyayang?

"Maksud Bapak apa? Bapak kenapa selalu desak Fira? Nikah itu juga butuh uang, Pak? Butuh modal. Sementara aku belum ada uang untuk biaya nikah. Keluarga Mas Arkana bukan dari keluarga sembarangan."

"Kan, Arkana pernah bilang sama bapak. Dia yang bakal biayain semuanya. Kenapa kamu yang bingung? Tinggal nikah. Udah beres. Gitu aja dibikin pusing!" Januar berdecak seraya meletakkan sendok bekas makan dengan kasar ke mangkok yang sudah kosong.

Januar terdiam sejenak, otaknya tengah berpikir keras. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang banyak untuk melunasi utang-utangnya di Bar. Sementara Safira tidak mau meminta bantuan pada Arkana.

Seringai licik terbit di sudut bibir Januar. Lantas, dengan entengnya dia berkata, "Apa perlu bapak yang ngomong ke Arkana? Bapak minta duit ke dia buat lunasin utang-utang bapak. Gimana?"

Bola mata Safira membulat mendengar hal itu. Menggeleng, lalu Safira memohon, "Enggak! Bapak gak boleh minta uang ke Mas Arkana. Fira mohon ...."

Mau ditaruh di mana mukanya? Arkana sudah sangat baik padanya selama ini. Safira tidak mau merepotkan calon suaminya itu.

Tak tersentuh dengan kalimat permohonan Safira, Januar malah tertawa. "Kamu itu memang bodoh, Fir. Punya pacar kaya gak pernah dimintain duit. Kerja siang malem tapi gak bisa lunasin utang-utang. Gak berguna banget kamu jadi anak," ketus Januar, yang lantas berdiri, lalu beranjak. Perut sudah terisi, kini waktunya dia tidur.

Saat melintas di hadapan Safira, Januar mendengkus tak acuh. Tak memedulikan tatapan nanar putrinya yang hampir menangis. Pria paruh baya yang rambutnya sebagian beruban itu segera masuk ke kamar, lalu membanting pintunya.

"Kalo Fira gak berguna, buat apa Fira capek-capek kerja siang malem, Pak? Apa selama ini usaha Fira gak pernah berarti di mata Bapak?" Lelehan bening nan hangat menetes di pipi Safira, tetapi lekas-lekas dia menghapusnya agar tak berjejak. "Sabar, Fir ... Sabar ...." Safira mengelus dada.

Sebelum masuk ke kamar, Safira membereskan meja makan dan pecahan botol di lantai. Mengepelnya, lalu mencuci mangkok di bak cuci piring. Tubuhnya sudah merasa sangat lelah, dan ingin cepat-cepat menyelesaikan kekacauan ini. Istirahat di kasur, kemudian tidur. Dengan begitu kesialan yang datang bertubi-tubi hari ini bisa segera dia hapus dari ingatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa Termanis dengan Calon Iparku   Kebahagiaan Yang Sebenarnya~

    "Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.

  • Dosa Termanis dengan Calon Iparku   Akhir kisah~

    Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac

  • Dosa Termanis dengan Calon Iparku   Hukum Karma~

    Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila

  • Dosa Termanis dengan Calon Iparku   Lenyap~

    "Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin

  • Dosa Termanis dengan Calon Iparku   Sidang Putusan~

    Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele

  • Dosa Termanis dengan Calon Iparku   Bentuk tanggung jawab Kai~

    Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status