Hari sudah malam dan aku tak kunjung tenang. Ku tutup jendela dan gorden dengan putus asa. Mungkin memang dia hanya mampu bicara tanpa berani mengambil risikonya.
Aku menghempaskan tubuhku di tepi ranjang. Ku raih amplop putih yang sudah aku siapkan di atas nakas dan kami akan membacanya berdua dan sama-sama melihat reaksi masing-masing dari wajah kami atas hasil pemeriksaan tadi. Namun sepertinya aku akan membacanya sendiri sekarang.Aku menghela napas, aku menikmatinya, menerima semua pemberiannya, dan jika memang aku akan hamil sekarang. Aku tidak tahu harus mengambil keputusan apa atas janin ini.Dan tenang lenyap mulai hari ini. Kertas putih tanpa kata-kata ini hanya bertuliskan tanda +, badai langsung menerpaku. Aku sesak, aku ingin menangis, tapi untuk apa? Menangisi dosaku, kesalahan ini? Sia-sia, itu tidak akan membantu. Aku hanya mulai bertanya, harus aku apakan janin ini.Malam kian mencumbuiku tanpa kepastian. Aku bahkan tidak sanggup"Kalian berdua tanda tangan dibawah ini." Tina mengangsurkan selembar kertas dan pulpen. Aku menatap Tina menyelidiki. Benarkah Pak Ardi tidak main-main dengan tanggung jawabnya?"Surat perjanjian! Dengan begitu Ardi Ardiansyah Tengker resmi menjadi pihak yang menanggung biaya hidup Anna Marianne berserta anak yang dilahirkannya sampai batas waktu yang ditentukan oleh Ardi Ardiansyah Tengker yakni sampai kalian menikah."Aku menoleh ke arah pria yang sejak tadi memegang pinggangku."Bagaimana jika aku tidak menikah? Apa kamu masih akan mengunjungiku dan menyayangiku seperti sekarang?""Siapapun laki-laki yang akan menikahimu harus sanggup menerima anakku dengan baik dan kamu harus jujur dengan saya. Namun jika kamu tidak ingin menikah karena saya. Saya akan ada untukmu. Nanti kita nikah siri, Tina sedang menyiapkan semuanya.""Nikah siri?" Aku semakin tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Pak Ardi. Dia menyembunyikan aku demi m
"Maaf Anna saya baru datang. Tadi ada masalah di kantor." Pak Ardi mengelus-elus lenganku. "Kamu marah?" tanyanya dengan khawatir."Aku cuma kehilangan semangat aja, tapi enggak marah. Aku paham." jawabku jujur."Good, kita bisa melakukannya sekarang. Sudah terlalu lama saya mengulurnya." Aku menatapnya dengan saksama. Pak Ardi memang sudah memakai setelan jas hitam, tapi wajahnya kusut, dan lelah. "Masalahnya berat?" "Melarikan diri dari Farah tidak semudah meeting hari ini, Anna." "Harusnya kamu senang karena menjadi lebih hidup mas, bukannya itu yang kamu mau." "Itu karena saya sudah memikirkanmu, Anna. Saya jadi setengah tidak tenang sekarang." "Terima kasih sudah mengingatku. Tapi lebih baik kamu makan dulu dan mandi. Aku tidak mau acara yang sakral ini..." Aku meringis dan melanjutkan. "Kita sama-sama terlihat kucel.""Di tunda saja dulu mandinya, ijab hanya sebentar sementara mandinya lama.
Usai pernikahan siri yang teramat sederhana tanpa seserahan atau acara intim lainnya. Aku menjalani hidupku dengan sewajar-wajarnya. Mencoba mengerti bagaimana kesibukan seorang pria yang memiliki dua istri. Apalagi aku hanya istri siri. Cukup tidak punya hak untuk meminta jatah lebih meski perhatiannya tidak pernah surut padaku. Satu Minggu di awal pernikahan, Pak Ardi bersamaku hampir setiap malam. Dia perhatian, disela-sela kesibukannya yang harus tetap bekerja dari rumah. Dia masih menyempatkan diri untuk membuat makan malam untuk kami. Di Minggu berikutnya, jadwal pertemuan kami mulai menyusut. Pak Ardi harus kembali menjadi suami sempurna untuk Bu Farah dan menjadi pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab. Walaupun begitu setiap hari ada saja ojek online yang datang ke rumah untuk mengantarkan pesanan Pak Ardi untukku.Aku menyukai caranya perhatian, sekecil apapun itu aku akan menghargainya sebagai bentuk rasa sayangnya padaku.Begitupun
Gaun pesta berwarna putih tulang berenda di bagian dadanya tergantung di dinding kamarku. Aku langsung paham maksudnya, aku harus memakai gaun itu untuk pesta ulangtahun suamiku nanti malam. Tidak ada kabar saat ini darinya, dugaanku sekarang Pak Ardi dan keluarganya baru merayakan pesta pribadi mereka di rumah, dengan suka cita dan kehangatan sebuah keluarga.Aku akan maklum. Setidaknya liburan yang disiapkan Pak Ardi untuk kami yang tersisihkan cukup membuatku tenang, karena ada waktu untuk bersama tanpa gangguan dari pemirsa.Suara pintu gerbang yang terbuka membuatku mengintip dari balik gorden. Tina? "Maaf Bu Anna, dicari Bu Tina." "Ya, makasih Bu Mer." Aku keluar dari kamar seraya menghampiri Tina yang melihatku dengan lekat-lekat."Kenapa? Kangen?" tanyaku sambil cipika-cipiki dengannya. "Aku kangen." Tina mengelus punggungku pelan. "Suamiku ada di rumah besar suamimu. Dia memintaku agar kamu juga ikut serta d
Ibu, sebuah gelar yang disandang perempuan setengah baya itu sungguh mengguncang hidupku pagi ini bersama dengan perasaan yang bergemuruh di dada."Aku harus ke terminal mas, singkirkan lenganmu! Atau ibu bakal panik nanti." ucapku lembut seraya menyingkirkan lengan Pak Ardi yang membebani perutku."Kau sudah membuatku cemburu tadi malam, sementara sekarang kau mengusirku dengan cepat! Setega itu kamu, Anna." Pak Ardi menggeram, jika semalam aku bersenang-senang dengan Coki tanpa beban, pria yang mendatangiku pukul satu dini hari tadi harus menjadi pria hangat, ramah dan sempurna dimata semua orang selama jalannya pesta. "Sebentar lagi." ucapnya sembari mengeratkan pelukannya. "Saya masih belum tuntas.""Aku harus akting di hadapan Bu Farah, jadi tolong gak usah overthinking. Itu semata-mata agar dia tidak semakin curiga denganku." jelasku sambil menepuk-nepuk pipinya. "Terima kasih udah datang, tapi sekarang bangun dong, ibu bilang satu jam lagi
Aku sering mengalami momen-momen seperti ini. Dimana suka dan duka berada pada satu momen yang sama. Kalau dulu aku menganggapnya sebagai kejadian yang aku anggap, ya sudahlah nanti akan selesai dan baik-baik saja. Berbeda dengan sekarang, aku belum menemukan solusi terbaik untukku.Ibu bahagia dengan rasa ketertarikannya pada kota besar ini. Semangatnya yang membuncah untuk tamasya membuatku ikut semangat untuk menemaninya jalan-jalan. Disisi lain, aroma bensin dan oli yang kerap aku hirup di parkiran membuatku mual dan muntah. Berkali-kali aku berdusta saat kemarin kami tamasya ke Monas, pasar Tanah Abang, Kebun Binatang Ragunan dan terakhir kami kesini, ke pusat perbelanjaan di daerah M.H Thamrin."Sebenarnya Ibu heran, Na. Setiap di parkiran kamu pasti muntah-muntah. Kenapa? Masuk anginmu tidak sembuh-sembuh?" Aku meringis sambil menyandarkan tubuh ke tembok. "Kayaknya aku alergi parkiran Bu, makanya muntah terus.""Alergi parkiran?
Aku butuh perisai untuk menghalau panah yang melesat ke jantungku. Semua terasa sulit bagiku saat ini, aku tidak bisa tenang saat Dito bersikeras mengikuti ke apartemenku.Perjalanan akhirnya membawaku bertemu lagi dengannya. Konon ku kira dia akan menyerah karena kisah kita yang tak seindah itu. Kisah kita banyak kendala, namun kasih sayangnya terlalu membekas di ingatanku. Caranya marah, bucin, kecewa, dan memperhatikanku terlalu melekat. Namun ia datang saat semua sudah terlambat. Aku sudah membuka lembaran baru dengan suamiku sebagai simpanan.Lebih menyakitkan mana? Aku tidak mengerti rasanya, aku jatuh terlalu cepat saat aku seharusnya berlari."Sebaiknya anda pergi! Bu Anna tidak bisa menerima tamu laki-laki di apartemennya!" usir si plontos saat kami turun di lobi apartemen kepada Dito. Dito masih memasang ekspresi tidak percaya, dan Ibu yang prihatin dengan kondisiku dan Dito marah-marah karena perilaku pengawal Pak Ardi tidak sopan.
"Dulu pipimu tembam, kenapa sekarang tambah tembam?" Kelopak mataku melebar, yang benar saja dia berkata seperti itu untuk pertama kalinya saat aku bersedia berbicara dengannya di bar yang ada di apartemen. Walau resah Dito tersenyum. Tajam senyumnya adalah obat yang sejuk. Dulu. Aku suka dan benci dengan senyuman itu. Benci karena slalu saja aku akan luluh kepadanya dan terus membebat perasan ini dalam hatiku."Kamu tau aku gak suka basa-basi, Dit." ucapku lemah. "Kita sudah selesai, kita sudah jauh melangkah dan jangan mengada-ada untuk kembali!" "Tenang, Anna. Aku hanya ingin tahu kabarmu, ternyata kamu jauh lebih baik daripada saat denganku dulu." Dito masih tersenyum.Tanganku dingin, jantungku seperti diremas-remas. Pikiranku langsung terbang jauh ke masa lalu. Masa yang masih terpatri dalam ingatanku bahkan aku bukukan. Dia pasti sudah membacanya dan merasa masih menggenggam harapan.Aku menopang dagu dan entah harus aku apakan Dito saat ini. Aku masi