Citra membeku. Tubuhnya lunglai, tangannya gemetar, namun matanya tetap terpaku pada pintu, seperti rusa yang terperangkap dalam cahaya bulan yang dingin. Dalam dada yang berdegup keras, ada firasat yang mencengkeram lebih dalam daripada sekadar ketakutan—ini bukan hanya tentang seseorang yang datang mencarinya. Ini adalah tentang sesuatu yang telah lama mengintai, menunggu di ambang batas kesadarannya, menuntut untuk diingat.
Angin malam menerobos masuk, membuat pintu kayu tua itu bergetar. Bayangan di dinding menari liar, memanjang dan memendek, seperti cakar-cakar gelap yang mencoba menjangkau mereka. Suster tua terisak pelan, suaranya tercekat, sementara biarawan tua hanya berdiri, tak bergerak, seolah tahu bahwa pertahanan apa pun adalah sia-sia.
Dan kemudian, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih dekat, setiap kata terdengar seperti pisau yang ditarik pe
Bayangan lain muncul di belakang pria itu, bergerak seperti kabut yang terlahir dari kegelapan. Mata-mata redup muncul satu per satu, menyala samar, menyaksikan, mengintai. Dari balik mantel hitam, kilasan tangan pucat menjulur keluar, jemarinya kurus, kukunya panjang dan kotor, seperti cakar yang mengais batas antara dunia hidup dan mati. Sosok lain yang tubuhnya kurus, wajahnya hancur setengah terbakar, menatap lurus ke arah Citra dengan mata kosong, namun penuh tuntutan yang dingin dan tajam, seperti belati yang menusuk dada tanpa suara.Suster tua berteriak—jeritan yang menembus langit-langit ruangan, tinggi, melengking, hingga kaca-kaca kecil di jendela bergetar hebat. Tubuhnya terangkat dari tanah, melayang di udara dengan posisi tak wajar, tangan terentang, matanya terbuka lebar, membelalak kosong, seolah jiwanya telah direnggut dan tubuhnya hanya cangkang yang ditinggalkan. Rosario terlepas dari tanganny
Citra membeku. Tubuhnya lunglai, tangannya gemetar, namun matanya tetap terpaku pada pintu, seperti rusa yang terperangkap dalam cahaya bulan yang dingin. Dalam dada yang berdegup keras, ada firasat yang mencengkeram lebih dalam daripada sekadar ketakutan—ini bukan hanya tentang seseorang yang datang mencarinya. Ini adalah tentang sesuatu yang telah lama mengintai, menunggu di ambang batas kesadarannya, menuntut untuk diingat.Angin malam menerobos masuk, membuat pintu kayu tua itu bergetar. Bayangan di dinding menari liar, memanjang dan memendek, seperti cakar-cakar gelap yang mencoba menjangkau mereka. Suster tua terisak pelan, suaranya tercekat, sementara biarawan tua hanya berdiri, tak bergerak, seolah tahu bahwa pertahanan apa pun adalah sia-sia.Dan kemudian, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih dekat, setiap kata terdengar seperti pisau yang ditarik pe
Bab 48 Permohonan MaafLangit di atas Batavia berwarna kelabu tua, nyaris hitam, seolah waktu berhenti pada titik yang berat, di mana langit dan bumi saling menatap dalam diam yang penuh dendam. Awan menggantung rendah, tebal, menekan dada, menutup cahaya rembulan yang biasanya mengintip malu di sela pepohonan. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur debu, juga aroma samar-samar dupa yang baru terbakar. Suara jangkrik pun tertahan, seakan seluruh dunia memilih diam, menyaksikan peristiwa yang tak kasatmata, tapi terasa mendalam hingga ke tulang.Di bawah pohon beringin tua yang menjulang bagai penjaga zaman, Satrio berdiri terpaku, tubuhnya berat, seolah akar pohon itu menjulur keluar dan membelit kakinya, memaksanya untuk tidak lari, untuk tetap menghadapi. Cahaya rembulan yang menerobos celah awan tipis memantul samar di wajahnya yang basa
Malam menggantung berat di atas Batavia, kelam dan pekat, seperti jaring besar yang membungkus dunia dengan kesedihan yang menggigit. Di kejauhan, kilat menyambar tanpa suara, hanya cahaya yang membelah kabut, sekejap menyinari wajah-wajah tak kasatmata yang tersembunyi di balik bayangan. Pohon-pohon tua meliuk diterpa angin, dahan-dahannya mengerang seperti lidah-lidah yang mengutuk, sementara tanah basah di bawah kaki Satrio seakan bernafas, bergerak pelan dengan napas yang dalam dan berat.Satrio berdiri di ambang batas antara dunia yang nyata dan dunia yang lebih gelap, tubuhnya gemetar, matanya merah, wajahnya pucat seperti tersapu abu. Di dadanya, napas berat menghantam tulang rusuk seperti palu, dan di dalam pikirannya, bisikan-bisikan berputar, suara Sekar yang hilang dalam kobaran api, tawa retak Kalina, suara tangisan anak itu, dan yang paling menusuk: suara Citra, berbisik d
Malam menggantung di atas biara tua itu seperti jubah hitam yang basah kuyup, berat dan penuh luka. Hujan turun dengan suara monoton, deras, menghantam genting, meresap ke celah-celah dinding batu, seolah mencoba menghapus dosa-dosa yang terperangkap di tempat itu. Aroma tanah basah bercampur dengan bau kayu tua dan asap lilin yang hampir habis, memenuhi udara dengan kesedihan yang tak terucapkan.Di dalam sebuah kamar sempit yang remang, Citra duduk terpaku di ranjang kayu yang dingin. Jemarinya mengusap permukaan kasur dengan gerakan lambat, seperti mencari jejak masa lalu yang tak lagi ada. Matanya kosong, basah, menatap jendela kecil yang tertutup kabut malam, seolah berharap kabut itu membawa pulang potongan ingatan yang telah hilang dari dirinya. Di balik mata yang sayu, ada dunia yang retak—penuh kilasan yang terputus: bayangan seorang pria yang samar, tangan yang hangat, suara yang memanggil namanya deng
Langit di atas Batavia berwarna kelabu tua, nyaris hitam, seolah waktu berhenti pada titik yang berat, di mana langit dan bumi saling menatap dalam diam yang penuh dendam. Awan menggantung rendah, tebal, menekan dada, menutup cahaya rembulan yang biasanya mengintip malu di sela pepohonan. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur debu, juga aroma samar-samar dupa yang baru terbakar. Suara jangkrik pun tertahan, seakan seluruh dunia memilih diam, menyaksikan peristiwa yang tak kasatmata, tapi terasa mendalam hingga ke tulang.Di bawah pohon beringin tua yang menjulang bagai penjaga zaman, Satrio berdiri terpaku, tubuhnya berat, seolah akar pohon itu menjulur keluar dan membelit kakinya, memaksanya untuk tidak lari, untuk tetap menghadapi. Cahaya rembulan yang menerobos celah awan tipis memantul samar di wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata, menciptakan bayangan-bayangan d