Langit di atas Batavia menyapu kelabu yang berat, mendung menggantung rendah seperti tangan raksasa yang siap merenggut setiap jiwa yang tersesat di bawahnya. Hujan mengguyur dengan kekuatan yang tampak seperti murka alam, membasahi jalan-jalan tanah yang sudah berubah menjadi lumpur pekat. Di antara gemuruh hujan itu, langkah Satrio terdengar berat, menjejak bumi dengan kesadaran baru—setiap derapnya bukan hanya sekadar langkah, tetapi beban sejarah, luka, dan pilihan yang belum juga tuntas. Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya seakan membawa bisikan masa lalu, suara-suara yang masih membayang dalam pikirannya: panggilan lirih Citra yang terhenti di antara bara api, tangis Sekar yang menggema di lorong-lorong malam, dan suara anak kecil itu—”Ayah... jangan biarkan aku hilang...”—yang mengiris lebih dalam dari semua luka fisik yang pernah ia rasakan.
Satrio berdiri di tep
Langit di atas Batavia menyapu kelabu yang berat, mendung menggantung rendah seperti tangan raksasa yang siap merenggut setiap jiwa yang tersesat di bawahnya. Hujan mengguyur dengan kekuatan yang tampak seperti murka alam, membasahi jalan-jalan tanah yang sudah berubah menjadi lumpur pekat. Di antara gemuruh hujan itu, langkah Satrio terdengar berat, menjejak bumi dengan kesadaran baru—setiap derapnya bukan hanya sekadar langkah, tetapi beban sejarah, luka, dan pilihan yang belum juga tuntas. Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya seakan membawa bisikan masa lalu, suara-suara yang masih membayang dalam pikirannya: panggilan lirih Citra yang terhenti di antara bara api, tangis Sekar yang menggema di lorong-lorong malam, dan suara anak kecil itu—”Ayah... jangan biarkan aku hilang...”—yang mengiris lebih dalam dari semua luka fisik yang pernah ia rasakan. Satrio berdiri di tep
Hujan turun tanpa jeda, menciptakan suara yang monoton, seperti nyanyian duka yang mengiringi langkah-langkah Satrio di tanah basah yang mulai menyerap bau busuk kematian dan debu kenangan. Udara malam begitu berat, mengandung aroma tanah yang koyak, darah yang mengering, dan jejak keputusasaan yang tak bisa dihapuskan meski oleh ribuan hujan. Pohon beringin tua berdiri muram di belakangnya, menjadi bayangan yang mengawasi dalam diam, seakan mengingatkan bahwa waktu terus bergerak, namun luka yang tertinggal di dada manusia terkadang menetap lebih lama daripada umur bumi itu sendiri.Satrio berjalan dengan langkah yang gontai, tubuhnya lunglai seperti layangan yang kehilangan benang. Helaan napasnya pendek-pendek, dada naik-turun dengan ketukan yang tak beraturan, dan di matanya, terbaca jelas kelelahan yang tak hanya fisik, tetapi juga kelelahan jiwa yang sudah nyaris remuk. Bayangan Citra munc
Kabut tipis menyelimuti tanah basah di kaki pohon beringin tua, menciptakan suasana yang sunyi dan mencekam. Akar-akar menggantung seperti tangan-tangan masa lalu yang mencoba meraih kembali sesuatu yang telah hilang. Di bawah naungan pohon yang telah menjadi saksi bisu sejarah panjang desa itu, Satrio berdiri dengan napas tertahan, menanti sosok yang telah lama dianggapnya hilang.Dari balik kabut, muncul siluet seorang pria tua dengan langkah tertatih. Wajahnya dipenuhi keriput, namun matanya masih memancarkan cahaya kebijaksanaan. Tan Ming, yang selama ini diyakini telah tiada, kini berdiri di hadapan Satrio, membawa serta beban masa lalu yang berat.“Tan Ming...” suara Satrio nyaris tak terdengar.Tan Ming mengangguk pelan, lalu mengeluarkan sebuah gul
Hujan terus mengguyur Batavia yang kini tak lebih dari rangkaian arang dan abu. Angin malam menjerit, membawa serpihan kayu hangus dan sisa-sisa kain yang tercabik, berputar-putar di udara seperti roh gelap yang enggan pergi. Satrio berdiri di tengah reruntuhan, napasnya berat, matanya merah, wajahnya dipenuhi luka dan debu yang melekat basah oleh keringat dan air hujan. Di bawah kakinya, batu-batu runtuh, serpihan besi bengkok, dan di antara semua itu—jejak kecil kaki yang basah, samar, seperti jejak bayangan yang melangkah ringan namun pasti menuju kegelapan.Suara itu—suara anak kecil—masih terngiang di kepalanya, menggema seperti bisikan yang tak ingin hilang: "Ayah... aku masih di sini..."Satrio mengepalkan tangan, menggigil, menatap retakan tanah yang menganga, seperti luka yang tak akan pernah sembuh. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah dunia m
Hujan turun deras, menghantam batu-batu pecah dan kayu hangus yang tergeletak di antara puing-puing Batavia. Air mengalir di atas jalanan yang retak, membawa abu, darah, dan serpihan sejarah yang telah patah. Suara rintik hujan berpadu dengan bisikan angin yang melolong di antara dinding-dinding roboh, menciptakan simfoni duka yang membungkus malam dengan kelam yang tebal. Satrio duduk di atas sebongkah batu besar, tubuhnya membungkuk, punggungnya basah kuyup, dan matanya kosong menatap api yang perlahan padam. Jemarinya bergetar saat memegang sepotong kertas lusuh yang sudah hampir hancur oleh air—surat cinta yang ditemukan di antara reruntuhan, tulisannya pudar, namun kata-katanya membakar dadanya lebih panas dari bara api manapun.“Hujan ini... seakan menertawakan kita semua, ya?” gumam Satrio lirih, suaranya serak, nyaris tak terdengar d
Langit Batavia membara, merah membusuk di cakrawala, seakan dunia sudah melewati batas kesabarannya. Asap tebal menyesakkan udara, menghitamkan bulan, dan di bawah bayang-bayang reruntuhan, Satrio berdiri terhuyung, napasnya berat seperti diikat, dadanya tercekik rasa bersalah yang merayap tanpa ampun. Di matanya, kota yang dulu dikenal kini hanya puing dan bara, jeritan tertahan dalam debu yang menggantung, dan di telinganya, gema suara Sekar—teriakan yang pecah, tangis yang patah, lalu hening yang membunuh.“Sekar!” teriak Satrio dengan suara serak, suaranya memantul di antara dinding-dinding retak, namun hanya kesunyian yang menjawab. Ia menyeret langkahnya, lututnya berdarah, tangan terulur, meraba pecahan bata dan serpihan kayu, mencari tanda apa pun—sehelai kain, jejak kaki, atau sisa napas dari perempuan yang entah sejak kapan m