Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 49 Jejak Pelarian dan Bayang-Bayang Pemburu

Share

Bab 49 Jejak Pelarian dan Bayang-Bayang Pemburu

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-06-01 00:03:33

Malam menjadi medan pelarian penuh bahaya. Satrio dan Citra melintasi lorong-lorong sempit Batavia, diburu oleh kaki-kaki gelap yang mengejar tanpa henti. Setiap tikungan adalah jebakan, setiap langkah adalah pertaruhan nyawa. Di balik gelap, Rangga memimpin perburuan dengan senyuman dingin, menutup semua jalan keluar menuju kebebasan. Satrio, dengan keberanian dan cinta yang membara, bertarung demi Citra. Darah, denting senjata, dan jerit kesakitan memenuhi udara malam Batavia, mengubah kota itu menjadi panggung perang kecil yang brutal. Namun, meski mereka berhasil bertahan sementara, Satrio tahu: permainan ini belum selesai. Rangga masih menunggu di ujung jalan, dan perang besar baru saja dimulai.

Langkah mereka perlahan menuju pintu belakang rumah, tempat yang tidak terlalu terlihat dari jalan utama. Satrio mengintip keluar, memastikan bahwa jalur mereka masih cukup aman. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara derap kaki yang semakin dekat membuatnya menegang.

Dari kej
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Dosa dalam Cinta    Bab 35 – Surat Cinta yang Terkubur

    Hujan deras mengguyur reruntuhan kota, menumbuk atap rumah-rumah yang terbakar dan menghantam tanah berlumpur, menciptakan irama pilu yang seolah menjadi ratapan bagi Batavia yang sekarat. Satrio berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya basah kuyup, luka-luka di wajah dan lengannya seperti ukiran perih yang tak bisa dihapus waktu. Matanya menatap lurus ke depan—ke dalam ruang gelap yang penuh debu, di mana setiap sudutnya menyimpan sisa-sisa masa lalu yang terkoyak. Nafasnya berat, dada sesak, dan dalam langkah yang terasa seperti seret napas terakhir, ia masuk ke dalam, melewati pecahan kaca, sisa-sisa perabotan, dan bau hangus yang masih mengepul dari dinding.Di sudut ruangan, tersembunyi di bawah pecahan kayu yang hangus, ia melihatnya—sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah retak, seolah hendak hancur jika disentuh. Jemarinya gemetar saat mengangkat buku itu, dan ketika membuka halaman

  • Dosa dalam Cinta    Bab 34 – Rahasia Keturunan Terungkap

    Hujan deras mengguyur atap rumah tua yang retak, menetes melalui celah-celah kayu lapuk, menciptakan bunyi gemericik yang seperti detak jantung yang menegangkan. Di dalam ruangan gelap itu, Satrio berdiri membeku, tubuhnya basah kuyup, napasnya berat, dan tatapannya terkunci pada sosok anak kecil yang terbaring lemah di lantai. Tubuh kecil itu gemetar, mata hitamnya terpejam, seolah menanggung beban yang terlalu besar untuk bahu mungilnya. Di sekeliling mereka, api dari lilin-lilin kecil bergoyang liar, bayangan-bayangan menari di dinding, membentuk siluet wajah-wajah masa lalu yang seakan hidup kembali—Citra, Tan Ming, bahkan Sekar, yang berdiri di sudut ruangan, wajahnya pucat seperti mayat, matanya membelalak, dan tangannya menutup mulut, seolah mencegah teriakan yang hendak pecah.“Ini…

  • Dosa dalam Cinta    Bab 33 – Anak Lelaki yang Terluka

    Malam menyelimuti Batavia seperti kain kafan, pekat dan mencekik, menyisakan hanya sisa-sisa bara api yang mengintip dari celah-celah puing. Bau anyir darah bercampur dengan asap menyengat menusuk hidung, membuat setiap tarikan napas terasa seperti menelan bara panas. Di tengah reruntuhan yang porak-poranda, Satrio berlutut, tangannya gemetar, napasnya terputus-putus. Di bawah cahaya redup bulan yang terhalang kabut, tubuh kecil itu terbaring, lemah, nafasnya tersengal, mata tertutup rapat dengan luka menganga di dada yang tampak seperti ukiran pahit dari masa lalu. Darah merembes, mengotori tanah yang sudah merah oleh luka-luka yang lebih tua. Di wajah anak itu, ada sesuatu yang aneh, garis-garis samar yang menyerupai pola pada liontin perak yang dulu pernah terjatuh di tangan Satrio. Simbol yang sama—lingkaran terjalin dengan garis-garis bercabang—seperti pohon beringin yang akarnya merasuk ke dalam tanah, membisikkan rahas

  • Dosa dalam Cinta    Bab 32 – Duel di Antara Bara

    Angin malam berhembus membawa serpihan abu dan bara, menggiring aroma hangus dan darah yang menyesakkan ke dalam setiap tarikan napas. Di bawah langit Batavia yang koyak oleh api dan retakan merah yang membelah awan, Satrio dan Sekar berdiri berhadapan di tengah-tengah medan yang terbakar—dua bayangan yang terperangkap di antara puing-puing mimpi dan kenyataan yang retak. Mata mereka terkunci, menembus kabut panas dan rasa sakit, saling membaca luka-luka yang selama ini terpendam, seolah dunia hanya menyisakan mereka berdua.Wajah Sekar basah oleh keringat dan air mata yang bercampur abu, sorot matanya bagaikan belati tumpul yang kehilangan arah. Nafasnya memburu, dada naik-turun, tangan yang memegang belati bergetar, seolah menahan gemuruh di dalam dada yang nyaris pecah. Sementara Satrio, dengan luka terbuka di pelipis dan darah yang mengalir dari bibirnya, berdiri terhuyung namun tetap

  • Dosa dalam Cinta    Bab 31 – Tangis di Tengah Api

    Malam di Batavia terasa seperti neraka yang turun ke bumi. Api menari liar di sepanjang jalanan, menjilat dinding-dinding bangunan yang roboh, memakan kayu dan batu dengan rakus, sementara langit di atas mereka retak oleh semburan cahaya merah yang seperti nadi raksasa berdenyut, memompa kehancuran ke seluruh penjuru kota. Angin malam membawa bau darah, asap, dan daging terbakar, menciptakan simfoni penderitaan yang merobek setiap hati yang mendengarnya.Di tengah amukan itu, Sekar berdiri membatu. Rambutnya basah oleh keringat dan debu, menempel di wajah yang berkilau oleh air mata yang tak ia sadari jatuh. Gaunnya yang koyak berkibar tertiup angin panas, dan di matanya, bayangan-bayangan masa lalu berganti cepat seperti bayang-bayang api di dinding: tawa Citra, senyuman Satrio, anak kecil yang memanggil “Ayah…” dengan suara yang mengiris jiwanya. Semua itu berputar, membakar

  • Dosa dalam Cinta    Bab 30 – Tumbal Masa Lalu

    Malam itu, langit Batavia menghitam, seolah langit pun ikut berduka, merunduk dalam gelap yang pekat. Di bawah langit yang bergemuruh, di antara api yang membara dan debu yang menggantung di udara, Satrio terhuyung, darah mengalir dari luka di pelipisnya, matanya nanar mencari jalan keluar dari kekacauan yang menelannya bulat-bulat. Langkahnya goyah di atas tanah yang retak, retakan yang berdenyut seperti nadi kota yang sekarat, dan di kejauhan, suara tangisan anak kecil bergema, memecah ruang, menyayat dada, mengguncang dasar jiwanya.“Jangan berhenti, Satrio… Kau harus pergi!” suara serak itu datang dari belakang, dan Satrio menoleh dengan sisa tenaganya, hanya untuk melihat Tan Ming berdiri tegak di antara reruntuhan, tongkat kayu di tangannya bergetar, matanya tajam seperti pisau yang mengiris malam. Di sekeliling mereka, makhluk-makhlu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status