Satrio berdiri di persimpangan, tubuhnya terkunci oleh kekuatan tak kasat mata, matanya terpaku pada Rangga, pria tua itu, dan dunia yang hancur di sekelilingnya. Suara dalam itu—berat, gelap, menusuk seperti paku panas yang menembus tulang—bergema di pikirannya, “Pilihlah, Satrio… dunia sedang menunggu jawabanmu… atau darah semua yang kau cintai akan membanjiri bumi.”
Tangannya terangkat perlahan, jari-jarinya gemetar, terbuka, seolah hendak menyentuh langit yang runtuh di atasnya, tubuhnya seperti ditarik oleh gravitasi yang lebih kuat, yang menariknya ke dalam pusaran gelap yang tak bisa ia hindari. Suara-suara dari masa lalu menggedor pikirannya: teriakan Citra yang memecah malam, desah napas Sekar yang tercabik oleh rasa sakit, amarah Tan Ming yang membakar udara—semuanya menyatu menjadi simfoni kesedihan yang menusuk, seperti cambuk besi yang menghantam jiwanya. Dunia
Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan tua, menyelimuti bumi dengan kelembutan yang menipu, seolah dunia sedang menahan napas untuk mendengarkan sesuatu yang tak terucapkan. Langkah Satrio menyusuri tanah basah yang dipenuhi dedaunan layu, gemerisik di bawah tapak kakinya seperti bisikan dari masa lalu yang menolak diam. Langit di atasnya kelabu, redup, menggantung rendah dengan awan gelap yang bergerak lambat, sementara embusan angin membawa aroma tanah basah bercampur wangi samar melati yang entah dari mana asalnya.Di hadapannya, dua makam berdampingan berdiri diam. Batu nisan itu sederhana, kasar, dengan ukiran nama yang mulai pudar digerus waktu: Citra dan Sekar. Tanah di sekitarnya basah oleh embun, rumput liar tumbuh tak teratur, dan di atas nisan, bunga-bunga kering tertinggal, seperti kenangan yang rapuh, terbangun lalu kembali runtuh. Satrio berdiri kaku di depan mereka, tangannya
Hujan sudah lama berhenti, tapi dunia di sekitar Satrio tetap basah, seolah bumi menyimpan air matanya sendiri, enggan kering, enggan lupa. Pagi yang menyingsing datang tanpa warna, tanpa burung-burung berkicau, hanya udara yang dingin menusuk, kabut tipis menggantung rendah, dan aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi kayu tua, seperti bau kamar yang lama terkunci. Di dalam rumah kecil itu, Satrio duduk bersila di lantai, punggungnya membungkuk, tangannya gemetar memegang sebuah kotak kayu kecil yang lapuk, ditemukan di sudut ruangan di balik tumpukan kain tua dan barang-barang peninggalan yang sudah terlupakan.Kotak itu berat, bukan karena isinya, tapi karena beban yang tersembunyi di dalamnya—rahasia yang tak terucapkan, bisikan-bisikan yang selama ini hanya menjadi bayangan di sudut pikirannya. Ketika dibuka, aroma debu lama menyeruak, bercampur dengan sesuatu yang lebih samar&m
Hujan turun deras, mengguyur atap rumah kecil Satrio dengan bunyi gemuruh yang menggetarkan, seakan langit sedang mengguncangkan bumi dengan murka yang tertahan terlalu lama. Setiap tetes air memukul atap seperti genderang perang yang dipukul tanpa jeda, memecah malam menjadi serpihan-serpihan gelap yang bergetar di udara. Angin meraung, menyusup di sela-sela dinding bambu, menciptakan suara desis yang mencekam, seperti bisikan lidah-lidah halus yang mengintai dari bayang-bayang.Di dalam rumah, Satrio duduk di tepi ranjang, punggungnya tegang, napasnya pendek-pendek, mata merahnya terpaku pada ranjang kosong di sudut ruangan. Tubuh anak kecil itu tidak ada di sana—tidak ada jejak kaki kecil, tidak ada napas lemah, tidak ada suara rintihan malam yang biasanya terdengar lirih dari balik selimut tipis. Ranjang itu kosong, hanya menyisakan bekas lipatan kain yang basah oleh embun dingin, seol
Malam menjerat desa dengan cengkeraman sunyi yang pekat, seolah waktu berhenti di bawah selimut kegelapan yang berat dan lembab. Angin bertiup rendah, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan jejak kematian dan arang yang seolah belum tuntas terbakar. Di bawah langit yang kelabu tanpa bintang, rumah kecil Satrio berdiri bagai perahu rapuh di tengah lautan gelap, setiap sudutnya diterpa bayangan-bayangan yang bergerak seperti bisikan.Satrio terbaring di ranjang bambu tua yang berderit pelan, matanya terbuka, menatap atap anyaman daun kelapa yang remang. Keringat dingin membasahi tubuhnya meskipun udara dingin menggigit kulit, dan napasnya memburu seperti seseorang yang baru saja muncul dari air dalam setelah hampir tenggelam. Ia menutup mata sejenak, berharap gelap akan membawa ketenangan, tapi yang datang justru ledakan gambar-gambar yang menghantam pikirannya dengan kekuatan yang meremu
Pagi itu datang dengan tenang, namun bukan ketenangan yang menyejukkan, melainkan ketenangan yang terasa seperti permukaan danau sebelum badai. Langit di atas desa memancarkan rona kelabu, awan menggantung berat, dan embun masih menempel di pucuk-pucuk daun beringin tua yang berdiri kaku di tepi jalan setapak. Di udara, aroma tanah basah bercampur dengan wangi samar bunga liar, seolah alam mencoba menghapus jejak-jejak luka semalam. Namun, bagi Satrio, udara itu tetap membawa bayangan kelam—bayangan yang tidak akan pergi begitu saja, meski ia telah memilih jalan baru.Satrio berdiri di depan sebuah bangunan kecil yang dulunya bekas lumbung, kini direnovasi menjadi ruang belajar sederhana. Papan tulis lusuh tergantung di dinding, kursi-kursi kayu kasar tersusun rapi, dan di sudut ruangan, tumpukan buku-buku tua yang diwariskan dari rumah-rumah penduduk menjadi saksi bisu tentang usaha berta
Langit di atas Batavia menyapu kelabu yang berat, mendung menggantung rendah seperti tangan raksasa yang siap merenggut setiap jiwa yang tersesat di bawahnya. Hujan mengguyur dengan kekuatan yang tampak seperti murka alam, membasahi jalan-jalan tanah yang sudah berubah menjadi lumpur pekat. Di antara gemuruh hujan itu, langkah Satrio terdengar berat, menjejak bumi dengan kesadaran baru—setiap derapnya bukan hanya sekadar langkah, tetapi beban sejarah, luka, dan pilihan yang belum juga tuntas. Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya seakan membawa bisikan masa lalu, suara-suara yang masih membayang dalam pikirannya: panggilan lirih Citra yang terhenti di antara bara api, tangis Sekar yang menggema di lorong-lorong malam, dan suara anak kecil itu—”Ayah... jangan biarkan aku hilang...”—yang mengiris lebih dalam dari semua luka fisik yang pernah ia rasakan. Satrio berdiri di tep