Di dalam ruangan yang remang, di sudut gudang tua yang kini menjadi markas para pemberontak, Sekar duduk di kursi kayu usang, tatapannya kosong menembus bayangan yang bergoyang di dinding akibat cahaya lentera yang berkedip lemah. Rambutnya basah oleh keringat, menempel di kening, dan napasnya pendek-pendek, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Di luar, suara gemuruh langkah kaki dan desingan besi bertabrakan terdengar, namun di dalam pikirannya, hanya ada bisikan-bisikan yang lebih keras dari teriakan perang: suara Citra, suara Satrio, suara masa lalu yang terus menghantui.“Apa kau yakin, Sekar? Ini jalan yang kau pilih?” Bisikan itu samar, nyaris seperti hembusan angin, namun terasa nyata, menghujam di antara denyut jantung yang berpacu. Sekar menggenggam kursi dengan kuat, buku-buku jarinya memutih, namun matanya memanas oleh air mata yang ia tahan denga
Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak
Angin malam berembus liar di atas atap-atap Batavia, mengantarkan bau anyir darah yang belum sempat mengering, dan bau asap dari api yang membakar kota beberapa malam terakhir. Di dalam sebuah ruangan gelap di gang belakang, suara bisik-bisik berpadu dengan bunyi gesekan kertas peta di atas meja kayu. Lentera kecil menggantung, cahayanya bergoyang diterpa hembusan angin, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, seakan mengintai dari setiap sudut.Sekar berdiri di ujung meja, tangannya mengepal di pinggir peta, wajahnya setengah terbenam dalam cahaya kuning. Matanya tajam, memindai setiap titik yang telah ditandai dengan tinta merah: gerbang barat benteng, menara jaga, gudang mesiu, dan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Suaranya rendah, namun penuh bara, “Kita serang sebelum fajar. Saat mereka lengah. Tidak ada kompromi.” Napasnya terputus-putus, bukan hanya kar
Malam di Batavia menggantung berat di langit, kelam tanpa bintang, seakan seluruh kota bernafas dalam satu tarikan panjang yang menahan ledakan tak terhindarkan. Di dalam gudang tua yang menjadi markas sementara pemberontak, udara terasa tebal dan panas, meski angin malam meniup celah-celah papan dengan desisan lirih, seperti bisikan rahasia yang menyelinap di telinga-telinga yang cemas.Satrio berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin dan kasar. Matanya menyapu setiap wajah—pedagang tua dengan sorban lusuh yang terus mengusap keringat di dahinya, Rahman yang duduk gelisah sambil mengetukkan jari-jari di atas tongkat, dan dua pemuda baru yang saling berbisik dengan sorot mata curiga. Tatapan Satrio tajam, seperti elang yang mencium darah di udara. Ia tahu ada yang salah. Sejak pertemuan di Balai Kota, rencana-rencana mereka yang disusun rapi mendadak diketahui pihak kolonial. Seran
Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding pondok tua, membawa bisikan-bisikan halus yang seolah berasal dari dunia lain. Di dekat perapian kecil yang nyalanya mulai redup, Satrio duduk membatu, tubuhnya kaku, pandangannya kosong tertuju pada surat yang masih terlipat di tangannya. Api yang tinggal bara memantulkan kilatan samar di wajahnya yang pucat, mempertegas garis-garis lelah dan guratan luka batin yang semakin dalam. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena beban yang menggantung di dadanya semakin berat, menghimpit napasnya seperti rantai besi yang tak kasatmata.Pikiran Satrio berputar liar. Bayangan Citra begitu nyata di matanya—gaun putihnya yang berkibar, senyum kecil yang dulu menenangkan, dan tatapan yang kini seperti menuntut, menagih janji yang belum ditepati. Dalam kabut pikirannya, suara itu kembali t