Share

BAB 4

Penulis: Dentik
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-18 17:28:32

Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.

Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.

Tidak ada.

Tidak ada!

Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!

"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.

Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.

Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.

Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebutkannya kepada siapa pun, bahkan kepada Bibi Clara.

Tapi sekarang, semuanya hilang!

Sebuah firasat buruk menyelinap dalam benaknya. Nadine menelan ludah, berusaha menyangkal pikirannya sendiri. Namun, secepat kilat ia mengingat kejadian-kejadian kecil yang akhir-akhir ini ia abaikan.

Bibi Clara!

Beberapa hari yang lalu, wanita itu tiba-tiba lebih sering masuk ke kamarnya tanpa izin. Awalnya, Nadine mengabaikannya, mengira bahwa wanita itu hanya sedang mencari sesuatu. Namun, semakin lama, kebiasaan itu terasa janggal.

Suatu sore, sepulang kerja, ia menemukan laci meja riasnya sedikit terbuka.

Padahal, ia yakin betul sudah menutupnya rapat sebelum berangkat.

Dahinya berkerut. Dengan sedikit rasa waspada, ia berjalan mendekat dan menarik laci itu lebih lebar. Isinya masih sama, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda.

Perasaan itu semakin menguat saat ia mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa di luar kamar. Ketika ia menoleh, ia melihat Bibi Clara berdiri di ambang pintu, ekspresinya sedikit tegang.

"Kamu udah pulang?" suara Bibi Clara terdengar sedikit terkejut, tetapi hanya dalam hitungan detik, ekspresi wajahnya berubah santai. "Kenapa bengong?"

Nadine menyipitkan mata, mencoba membaca ekspresi bibinya.

"Kenapa Bibi ada di sini?" tanyanya, nada suaranya datar tapi penuh kecurigaan.

Bibi Clara mendecakkan lidahnya dan melipat tangan di depan dada. "Rumah ini punyaku! Aku bisa masuk ke mana saja yang aku mau!" suaranya terdengar ketus. "Kamu pikir aku ngapain? Nyolong barang rongsokanmu?!"

Nadine menggigit bibir, tidak ingin terprovokasi. 

"Bibi cari apa?" ia bertanya lagi, kali ini lebih hati-hati.

Bibi Clara memutar bola matanya. "Ya ampun, Nadine! Aku cuma nyari korek! Punya tamu tadi, mau nyalain rokok, tapi korekku gatau ke mana! Lagian, kamu ini kenapa sih? Sok kaya banget kayak ada barang berharga aja di sini."

Nadine terdiam.

Ia tidak ingin berdebat.

Lalu, saat makan malam beberapa hari kemudian, Bibi Clara mulai bicara soal uang.

"Nadine," suara Bibi Clara terdengar lebih lembut dari biasanya, sesuatu yang jarang terjadi. Wanita itu menyendokkan nasi ke piringnya sendiri sambil melirik Nadine sekilas. "Kamu ada simpanan uang, kan?"

Nadine yang sedang menyuap makanan langsung menghentikan gerakannya. Ia menatap bibinya dengan kening berkerut.

"Kenapa, Bi?"

"Aku butuh uang untuk hal yang penting."

Jantung Nadine berdetak lebih cepat. Ia menaruh sendoknya perlahan dan menatap bibinya lebih serius.

"Berapa?" tanyanya dengan suara hati-hati.

Bibi Clara mendengus. "Banyak tanya banget sih, dasar anak nggak tahu diri! Aku udah ngurusin kamu dari kecil, masa nanya begitu?"

Nadine mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat semacam itu.

"Bibi mau pakai buat apa?" tanyanya lagi, tetap dengan suara datar.

"Urusan orang dewasa!" bentak Bibi Clara. "Bukan urusanmu!"

Nadine menarik napas panjang, menahan emosinya. Ia tahu percuma berdebat dengan bibinya. Wanita itu tidak akan pernah memberi penjelasan yang masuk akal.

"Bibi mau pinjam atau…" Nadine menggantungkan kalimatnya.

Bibi Clara menyeringai kecil. "Pinjam? Heh! Nadine, kamu pikir uang yang kamu punya itu milikmu? Sejak kapan kamu jadi orang kaya? Semua uang yang kamu punya, kamu kumpulkan di rumah ini, ya itu hakku juga! Aku yang ngurusin kamu sejak kecil. Kalau saja orang tuamu gak mati gitu aja gak mungkin hidup aku sengsara kayak gini! Udah ninggalin beban, gaada warisan, manusia gak becus! jadi kalau aku butuh, kamu harusnya ngasih tanpa nanya! Tau!"

Bibi Clara melemparkan nasi ke wajah ponakannya dengan kasar.

Nadine merasakan tenggorokannya tercekat saat almarhum orang tuanya dimaki. Ia tahu bibinya mata duitan, tetapi mendengar wanita itu mengatakan hal seperti ini dengan enteng tetap saja membuatnya sakit hati.

"Bibi nggak berhak ambil uangku tanpa izin," katanya pelan, berusaha mengendalikan emosinya.

Bibi Clara menatapnya tajam, lalu tertawa sinis. "Oh, jadi lo sekarang ngajarin aku soal hak, ya? Dengar ya, Nadine. Lo itu numpang di rumah ini. Kalau gue mau, gue bisa usir lo kapan saja! Jadi kalau gue ambil uangmu, anggap aja itu biaya hidup yang selama ini lo pakai di sini!"

Darah Nadine berdesir.

"Lo harus inget! Gue ngurus lo dari umur 20 tahun. Gara-gara elo, sampe sekarang gua kagak nikah!" 

"Gue dianggap janda anak satu gara-gara elo b4ngs4t!" suara Bibi Clara makin menggelengar di kontrakan kumuh ini. "Sekarang lo itung, dari lo umur 5 tahun sampai sekarang 27 tahun. Berapa banyak hal yang gua korbanin buat manusia gak guna macam lo!"

Nadine makin mengeratkan bibirnya yang ingin membalas perkataan bibinya.

"Baru juga disuruh ngasih uang sedikit, dah lagak lo jadi orang sok kaya! Mikir nih otak lo, mikir!" Bibi Clara menyodorkan nasi ke mata Nadine dengan kasar. 

Ia ingin membantah, ingin membela diri, tapi apa daya? Secara hukum, rumah ini memang milik bibinya. Dan meskipun ia sudah mandiri, gaji pustakawan yang pas-pasan tidak cukup untuk hidup sendiri di kota besar.

Ia hanya bisa menggigit bibir dan menghindari tatapan bibinya.

"Nggak ada yang gratis di dunia ini, Nadine," lanjut Bibi Clara, nadanya penuh ejekan. "Jadi jangan sok-sokan mau punya uang sendiri kalau lo masih hidup di bawah atap gue!"

Saat itu, Nadine tidak menanggapi lagi. Ia hanya menyelesaikan makan malamnya dengan perasaan hampa.

Tapi malam ini, setelah menemukan uang dan emasnya benar-benar hilang…

Semua potongan kejadian itu kembali ke kepalanya.

Dan Nadine pun sadar.

Bibi Clara telah mencurinya.

'Tidak! Bibi tidak mungkin…'

Tapi tak ada tanda-tanda perampokan. Tidak ada jendela yang terbuka, tidak ada pintu yang rusak. Seseorang pasti mengambilnya dengan kunci.

Tubuh Nadine melemas. Ia terduduk di lantai kayu yang dingin, menatap kamarnya yang kini berantakan.

Jika benar Bibi Clara yang mengambilnya… lalu bagaimana nasibnya?

Itu adalah satu-satunya harta yang ia punya. Satu-satunya harapan untuk keluar dari hidup sengsara ini. Ia telah menyisihkan setiap lembar uang dengan penuh perjuangan, berharap suatu hari bisa pindah dari tempat ini dan hidup lebih baik.

Namun sekarang, semuanya lenyap dalam hitungan detik.

Di dompetnya tinggal selembar uang untuk bertahan hidup 3 minggu ke depan. Belum lagi harus bayar kontrakan.

Matanya perih, tapi air mata enggan jatuh. Ia hanya bisa duduk di sana, dengan kepala penuh kebingungan dan hati yang terasa kosong.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 73 END

    "Kami sangat menyesal karena memperlakukanmu dengan buruk. Apakah kamu mau memaafkan kami, Nadine?"pertanyaan itu membuat tubuh Nadine membeku. Pertemuan yang tak terduga ini cukup membangkitkan rasa sakit yang berusaha ia tampik. Leonard hanya bisa memandangnya dengan sendu. Pria yang dicintainya itu menggenggam tangannya dengan lembut tanpa ada indikasi akan menahannya bila ia pergi.Satu langkah mundur menunjukkan luka pada orang tua Leonard. "Aku benar-benar menyesal. Bisakah kamu memaafkanku?" kini Victoria, mulai mendekat. Alexander pun berniat melakukan hal yang sama. Namun, Nadine segera keluar dari ruang VVIP itu. Bayangan Alexander dan Victoria yang menghardiknya, ketika ia dikirim ke Boston, ketika ia dipermalukan, semua bercampur aduk menjadi satu.Jantungnya berdegup kencang, matanya terasa panas. Di belakangnya suara tapak kaki mengikuti tanpa berniat menahan."Nadine, aku tidak akan memaksamu. Jadi, kamu bisa bebas memilih. Yang penting kamu tau, aku sangat mencinta

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 72

    Ia membuka pintu rumah dan mendapati suasana hening yang janggal. Biasanya ibunya akan duduk anggun di ruang tamu atau sekadar mengatur dekorasi. Tapi kali ini, tak ada siapa-siapa. Hanya dering telepon rumah yang terus berbunyi nyaring, membuat bulu kuduknya berdiri.Dengan langkah gontai, Evelyn mengangkat gagang telepon. “Hallo?”Suara sekretaris pribadi Ayahnya terdengar di seberang, terburu-buru dan panik.“Nyonya Evelyn, saya harus menyampaikan kabar penting. Tuan Hartono dan Nyonyabaru saja dipanggil oleh KPK.”Evelyn terhenti di ambang pintu, wajahnya pucat seketika. “Apa!”“KPK menuduh mereka terlibat dalam kasus kerugian negara. Mereka baru saja dibawa untuk pemeriksaan.”Jantung Evelyn serasa berhenti berdetak. Tubuhnya limbung, ia meraih dinding untuk menahan diri agar tidak jatuh.Telepon itu terlepas dari genggamannya, jatuh menghantam lantai marmer dengan suara plek! yang memantul ke seluruh ruangan kosong. Evelyn mematung. Suara sekretaris ayahnya masih samar-samar ter

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 71

    Alexander mengetukkan jarinya ke meja, tatapannya menajam. “Itu sudah cukup mengejutkan. Tapi kurasa bukan itu saja yang ingin kau sampaikan, Jack.”Jack menunduk singkat, lalu menatap lurus pada Alexander. “Benar, Tuan. Identitas asli Nona Nadine akhirnya terungkap. Dia bukan hanya pustakawan biasa yang selama ini anda kira. Nadine adalah penulis terkenal dengan nama pena Starlight Beat.”Kata-kata itu meledak seperti bom.Victoria ternganga, suaranya tercekat. “A-Apa? Penulis Starlight Beat? Yang bukunya terjual jutaan eksemplar? Yang karyanya bahkan jadi referensi kalangan elit bahkan sosialita luar negeri itu?”Jack mengangguk pelan. “Ya, Nyonya. Identitasnya selama ini dijaga ketat. Tak ada yang tahu siapa di balik nama pena itu. Semua penerbit bahkan hanya berkomunikasi lewat perantara digital. Tapi hasil investigasi terbaru membuktikan—Nona Nadine lah orangnya.” Sebenarnya Jack baru tau saat di safehouse, tapi ia berdalih kalau semua adalah hasil investigasi. Seandainya ia tid

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 70

    Leonard menatapnya lekat, bola mata hitamnya penuh luka sekaligus keberanian baru. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya ia berbisik, nyaris seperti doa yang dipertaruhkan.“Maukah kau menikah denganku?”Kata-kata itu menggantung di udara.Waktu seolah berhenti.Suara televisi meredup, detak jam pun hilang. Yang tersisa hanya dentuman jantung keduanya—keras, cepat, dan saling bersahutan.Nadine terdiam. Suara hatinya pecah beradu dengan gemuruh pikiran. Matanya masih menatap Leonard, namun tubuhnya kaku, seolah dunia menahannya untuk sekadar mengangguk.Menikah? Kata itu seperti cahaya dan pisau sekaligus. Indah, tapi menakutkan.Air mata yang sempat reda kembali menggenang. “Leo… kau—kau serius?” suaranya bergetar, nyaris tenggelam oleh isak yang ditahannya.Leonard mengangguk pelan, matanya tak bergeser barang sedetik. “Aku tak pernah sejujur ini seumur hidupku, Nadine. Semua yang pernah kulakukan, semua yang pernah kamu lalui… aku ingin menebusnya. Dengan caraku. Dengan hidupku. Denga

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 69

    Di ruang interogasi yang lengang, hanya ada detak jam dinding yang mengisi jeda hening.Tik… tak… tik… tak…Leonard duduk di kursi besi yang dingin, tubuh tegapnya tampak kokoh, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di atas meja logam. Wajahnya memang tenang, seolah tak terguncang sedikit pun, namun mata gelapnya menyimpan letupan yang tak seorang pun bisa baca.Di balik sorot mata itu, ada badai—amarah, kecewa, dan kehilangan yang ia tekan kuat-kuat.Saat ini, ia diminta menjadi saksi atas kasus keluarga Boaler. Statusnya sebagai tunangan Daisy membuat keterangannya dianggap krusial.Suara pintu berdecit lirih, lalu terbuka pelan. Seorang petugas masuk, menyapukan pandangan sejenak ke Leonard, sebelum berjalan mendekat.Tanpa sepatah kata pun, petugas itu menyelipkan sebuah ponsel ke tangannya, singkat, terburu-buru—seperti sebuah konspirasi kecil yang tak boleh diketahui siapapun.Tatapan mata mereka saling bertemu sepersekian detik. Ada pesan tak terucap di sana: gunakan wak

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 68

    Nadine mendongak, matanya sembab namun berkilat penuh tekad. Ia menepis tisu yang tergeletak di meja, lalu bangkit dengan langkah terburu.“Aku harus menemuinya…” gumamnya. Jemarinya gemetar saat meraih mantel yang tergantung di kursi. Napasnya memburu, seakan paru-parunya dipaksa oleh dorongan nekat yang tak bisa lagi ditahan.Namun sebelum tangannya mencapai gagang pintu, suara berat memotong ruang sunyi safehouse itu.“Berhenti, Nona.”Jack berdiri bersandar di pintu, menghalangi jalan keluar. Tatapannya keras, namun ada kelembutan samar yang berusaha ia sembunyikan.Nadine mengerjap, bibirnya bergetar. “Jack, jangan halangi aku. Aku harus bicara dengan Leonard—dia butuh aku.”Pria paruh baya itu, menghela napas panjang, lalu melangkah masuk. “Nona pikir siapa yang memintaku menjaga pintu ini? Leonard sendiri.”Kata-kata itu menghantam Nadine lebih keras dari bentakan. Ia terdiam, pandangannya goyah. “Apa… apa maksudmu?”Jack mendekat, menatapnya dalam-dalam. “Tuan bilang, sampai b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status