Share

BAB 5

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-04-08 20:50:22

Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya.

"Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.

Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam.

"Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.

Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."

Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak.

"Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" 

Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—"

"Tidak ada yang tidak bisa kulacak!" potong Leonard tajam. "Jangan beri aku alasan bodoh, Raymond!"

Ajudannya menunduk, tak berani menatap mata Leonard yang penuh amarah. Semua orang tahu, Leonard tidak menerima kegagalan.

Leonard menghirup napas panjang, mencoba meredam emosinya walau sia-sia.

"Gunakan semua cara," lanjutnya lebih terkendali. 

Di sisi lain, Nadine sibuk dengan pekerjaannya.

"Kami sudah menggunakan semua cara, Pak. Sepertinya wanita itu bukan orang biasa."

Leonard meliriknya dengan bengis. Raymond menelan ludah. Dia tahu betul sorot mata itu.

"Siap, Pak."

Leonard merapikan jasnya, kemudian melangkah menuju mobil hitam mewah yang sudah menunggunya.

 "Wanita itu pasti akan kutemukan. Tidak peduli di mana pun dia bersembunyi."

Di sisi lain Nadine duduk di trotoar kumuh, menyandarkan tubuhnya ke dinding usang kontrakan. Perutnya keroncongan, tubuhnya menggigil. Sudah dua hari ia hanya minum air keran. Satu-satunya roti kering yang ia simpan pun telah basi.

Wajahnya pucat, pipinya semakin tirus. Ia menatap kosong ke arah jalanan, berharap ada keajaiban turun dari langit. Tapi tidak ada yang datang. Tidak ada satu pun.

Pelan-pelan, Nadine berdiri dengan kaki gemetar. Ia menyeret langkah menuju belakang pasar kecil tak jauh dari kontrakan. Matanya menyapu sekeliling, lalu berhenti di satu tong sampah besar. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang memperhatikan, lalu membuka tutupnya perlahan.

Bau busuk menyergap, membuatnya mual. Namun, ia tahan. Tangannya gemetar saat menyibak tumpukan plastik dan sisa makanan busuk. Sesekali ia berhenti, menarik napas dalam-dalam, lalu kembali mengais.

“Ah…” gumamnya saat menemukan sepotong roti yang terbungkus plastik bening. Roti itu agak lembek, tapi belum berjamur.

Tanpa pikir panjang, ia duduk di samping tong, membuka plastiknya, dan memakan roti itu perlahan. Air matanya jatuh tanpa suara.

“Maafkan aku, Tuhan…” bisiknya lirih.

Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sehancur ini. Pikirannya melayang ke Bibi Clara yang mebawa uangnya, emas, royalti buku, dan tabungan kecil. 

Tiga hari ini kampus tutup karena libur nasional. Uang yang ia kira bisa bertahan beberapa minggu, nyatanya musnah untuk membayar kontrakan yang menunggak. Di minggu kedua ia bisa bertahan karena aktif menghadiri acara dan kasbon di kantin. Namun, tiga hari ini tak ada apapun yang bisa ia santap. 

Sekarang adalah masa terpuruknya. Ia hanya bisa menatap layar ponselnya yang semakin usang. Berharap editornya menghubungi kembali. Ia ingin meminjam sedikit uang, setidaknya untuk bertahan hidup sampai royalti terbitan kedua dan gaji putakawan cair. 

Perut Nadine masih melilit, tapi ia paksa tubuhnya kembali berdiri. Langkahnya limbung, sepatu kets-nya yang sudah jebol menyentuh aspal kotor tanpa perasaan. Sore mulai berganti malam. Hujan gerimis turun perlahan, membasahi rambut dan jaket tipis yang ia kenakan. Ia bahkan tak punya cukup uang untuk membeli payung bekas sekalipun.

Sesampainya di kontrakan, Nadine membuka pintu kamar sempitnya. Dinding lembap menyambut, atap yang bocor mulai meneteskan air ke lantai. Sudut ruangan tempat ia biasa menulis kini kosong. Laptopnya sudah dijual seminggu lalu, hanya tersisa meja kayu reyot dan sehelai karpet tipis.

Ia terduduk. Ponsel di tangannya menyala sebentar, baterainya tinggal 4 persen. Ia buka pesan terakhir dari editornya.

|“Kami akan kabari kalau ada proyek baru, Nadine. Untuk sekarang, mohon bersabar.”

Tidak ada kata pinjaman. Tidak ada janji uang muka. Hanya kesopanan dingin dari sistem yang selalu mementingkan target dan angka penjualan.

Air mata Nadine kembali jatuh. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena hujan yang membasahi bajunya, tapi juga karena rasa takut dan putus asa.

"Apa aku akan mati di sini?" bisiknya lirih pada dirinya sendiri.

Malam kian larut. Tak ada yang datang mengetuk pintu. Tak ada kabar dari editor, tak ada pesan dari teman, tak ada jejak bibi Clara yang entah di mana. Dunia seperti menelannya pelan-pelan.

Ia merebahkan tubuh di lantai yang dingin, memeluk lutut, dan berusaha tidur dalam kelaparan dan suara rintik hujan.

Sementara di tempat lain…

Leonard duduk di ruangan mewah. Jendela kaca besar memperlihatkan pemandangan kota penuh lampu. Tangannya memutar segelas wine, tapi pikirannya terdistraksi. Sorot matanya tajam menatap layar besar yang menampilkan peta digital dan titik-titik pencarian.

"Aku tahu kau tidak jauh dari jangkauanku, wanita nakal..." gumamnya penuh ancaman.

"Dan saat aku menemukanmu. Kau akan membayar lunas semua yang telah kau sembunyikan dariku."

__________

Di kamar gelap nan lembap itu, Nadine menggigil dalam diam.

Ponsel usang Nadine hanya tinggal dua persen baterainya. Meski layar berkedip redup, ia tetap membuka aplikasi media sosial dengan jari gemetar. Nama akun penulisnya terpampang jelas di sudut kiri atas: Starlight Beat—nama pena yang selama ini ia sembunyikan rapat dari siapa pun, termasuk Adrian.

Akun itulah kehidupan "rahasia" Nadine. Di sanalah ia menumpahkan semua perasaan, menulis fiksi romantis yang ironi dengan hidupnya. Pengikutnya cukup banyak. Banyak yang menyukai tulisannya, tanpa pernah tahu wajah asli sang penulis.

Notifikasi DM masuk. Ada banyak DM dan satu akun menarik perhatiannya. Ia klik.

@EvelynWijayaOfficial:

Halo Starlight Beat! 💕

Aku adalah fans berat tulisanmu! Aku dan tunanganku sering baca cerita-ceritamu bareng saat malam minggu, loh. Kami suka cerita-cerita romantismu yang hangat dan dalam. Rasanya cocok banget dengan kisah cinta kami.

Ngomong-ngomong, aku dan tunanganku akan menikah akhir bulan ini! 😍 Aku ingin banget kamu datang ke pesta kami. Aku kirim undangannya yaa~ 🎉

Hope to see you there, my favorite author!

— Evelyn 💍

Nadine membeku.

Matanya tak berkedip, jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik. Undangan pernikahan digital menyusul pesan itu. Gambar elegan dengan warna emas dan krem terpampang jelas di layar.

Pernikahan Evelyn Wijaya & Adrian Hartanto

Tanggal: 30 April

Tempat: Hotel Gran Aurelia, Ballroom A

Tangannya gemetar saat menyentuh layar. Nafasnya tercekat. Lelaki yang ia cintai selama lima tahun, justru memilih menikah dengan sahabatnya sendiri. Sahabat yang bahkan mengidolakan tulisannya.

Yang lebih menyakitkan?

Evelyn tidak tahu bahwa penulis bernama Starlight Beat yang ia undang adalah Nadine sendiri.

Saat akan menutup room chat, mendadak ada pesan baru dari Evelyn. 

@EvelynWijayaOfficial

Hai Starlight Beat! 💫

Aku senang banget, akhirnya kamu baca pesanku. You're like a hidden angel for us 😭💕

Ngomong-ngomong, aku kepikiran buat kirim undangan fisik dan sedikit bingkisan kecil sebagai bentuk terima kasih karena kamu udah nemenin perjalanan cinta kami lewat tulisan.

Kalau nggak keberatan, boleh minta alamat kamu, nggak? 🙈 Tenang aja, aku janji privasimu aman.

Much love 

Evelyn 

Nadine termenung, tetapi pikirannya melayang dengan beragam makanan yang ada di sana. Dengan tangan gemetar, ia pun mengirim alamat tanpa mencantumkan namanya. Evelyn pun langsung membalas.

@EvelynWijayaOfficial

Wah, masih satu kota. Aku Gojek in aja ya, biar cepat sampai...

Air mata Nadine jatuh membasahi layar ponsel. Cahaya dari notifikasi perlahan meredup seiring baterai yang habis.

Layarnya mati. Nadine menunduk, memeluk lutut di atas lantai yang dingin. Leonard yang bersantai di kamarnnya, segera menyadari seseorang mendekat.

"Maaf menganggu waktunya, Tuan." Demons ajudannya yang lain mendekat sembari menyerahkan undangan. Leonard meliriknya dingin. 

"Ada undangan pernikahan dari Adrian, CEO baru IntiVara Tecnology."

Leonard mendesah. "Apa aku harus ke sana?"

"Benar, Pak. Bagaimanapun IntiVara Tecnology merupakan mitra negara dalam dunia IT. Jadi sudah tanggung jawab Tuan untuk menjaga relasi dengan para mitra." Demons mengeratkan bibirnya. Ia takut menyinggung atasannya. Apalagi Leonard langsung memutar kepalanya. Kode ia merasa jengah.

Namun, mendadak sorot mata Leonard menajam. "Adrian... dan Evelyn?" ia menoleh ke Demons.

"Benar, Tuan."

Bibir Leonard menyeringai. Ia mendapat secercah cahaya.

"Aku akan hadir. Siapkan semua keperluanku!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 73 END

    "Kami sangat menyesal karena memperlakukanmu dengan buruk. Apakah kamu mau memaafkan kami, Nadine?"pertanyaan itu membuat tubuh Nadine membeku. Pertemuan yang tak terduga ini cukup membangkitkan rasa sakit yang berusaha ia tampik. Leonard hanya bisa memandangnya dengan sendu. Pria yang dicintainya itu menggenggam tangannya dengan lembut tanpa ada indikasi akan menahannya bila ia pergi.Satu langkah mundur menunjukkan luka pada orang tua Leonard. "Aku benar-benar menyesal. Bisakah kamu memaafkanku?" kini Victoria, mulai mendekat. Alexander pun berniat melakukan hal yang sama. Namun, Nadine segera keluar dari ruang VVIP itu. Bayangan Alexander dan Victoria yang menghardiknya, ketika ia dikirim ke Boston, ketika ia dipermalukan, semua bercampur aduk menjadi satu.Jantungnya berdegup kencang, matanya terasa panas. Di belakangnya suara tapak kaki mengikuti tanpa berniat menahan."Nadine, aku tidak akan memaksamu. Jadi, kamu bisa bebas memilih. Yang penting kamu tau, aku sangat mencinta

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 72

    Ia membuka pintu rumah dan mendapati suasana hening yang janggal. Biasanya ibunya akan duduk anggun di ruang tamu atau sekadar mengatur dekorasi. Tapi kali ini, tak ada siapa-siapa. Hanya dering telepon rumah yang terus berbunyi nyaring, membuat bulu kuduknya berdiri.Dengan langkah gontai, Evelyn mengangkat gagang telepon. “Hallo?”Suara sekretaris pribadi Ayahnya terdengar di seberang, terburu-buru dan panik.“Nyonya Evelyn, saya harus menyampaikan kabar penting. Tuan Hartono dan Nyonyabaru saja dipanggil oleh KPK.”Evelyn terhenti di ambang pintu, wajahnya pucat seketika. “Apa!”“KPK menuduh mereka terlibat dalam kasus kerugian negara. Mereka baru saja dibawa untuk pemeriksaan.”Jantung Evelyn serasa berhenti berdetak. Tubuhnya limbung, ia meraih dinding untuk menahan diri agar tidak jatuh.Telepon itu terlepas dari genggamannya, jatuh menghantam lantai marmer dengan suara plek! yang memantul ke seluruh ruangan kosong. Evelyn mematung. Suara sekretaris ayahnya masih samar-samar ter

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 71

    Alexander mengetukkan jarinya ke meja, tatapannya menajam. “Itu sudah cukup mengejutkan. Tapi kurasa bukan itu saja yang ingin kau sampaikan, Jack.”Jack menunduk singkat, lalu menatap lurus pada Alexander. “Benar, Tuan. Identitas asli Nona Nadine akhirnya terungkap. Dia bukan hanya pustakawan biasa yang selama ini anda kira. Nadine adalah penulis terkenal dengan nama pena Starlight Beat.”Kata-kata itu meledak seperti bom.Victoria ternganga, suaranya tercekat. “A-Apa? Penulis Starlight Beat? Yang bukunya terjual jutaan eksemplar? Yang karyanya bahkan jadi referensi kalangan elit bahkan sosialita luar negeri itu?”Jack mengangguk pelan. “Ya, Nyonya. Identitasnya selama ini dijaga ketat. Tak ada yang tahu siapa di balik nama pena itu. Semua penerbit bahkan hanya berkomunikasi lewat perantara digital. Tapi hasil investigasi terbaru membuktikan—Nona Nadine lah orangnya.” Sebenarnya Jack baru tau saat di safehouse, tapi ia berdalih kalau semua adalah hasil investigasi. Seandainya ia tid

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 70

    Leonard menatapnya lekat, bola mata hitamnya penuh luka sekaligus keberanian baru. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya ia berbisik, nyaris seperti doa yang dipertaruhkan.“Maukah kau menikah denganku?”Kata-kata itu menggantung di udara.Waktu seolah berhenti.Suara televisi meredup, detak jam pun hilang. Yang tersisa hanya dentuman jantung keduanya—keras, cepat, dan saling bersahutan.Nadine terdiam. Suara hatinya pecah beradu dengan gemuruh pikiran. Matanya masih menatap Leonard, namun tubuhnya kaku, seolah dunia menahannya untuk sekadar mengangguk.Menikah? Kata itu seperti cahaya dan pisau sekaligus. Indah, tapi menakutkan.Air mata yang sempat reda kembali menggenang. “Leo… kau—kau serius?” suaranya bergetar, nyaris tenggelam oleh isak yang ditahannya.Leonard mengangguk pelan, matanya tak bergeser barang sedetik. “Aku tak pernah sejujur ini seumur hidupku, Nadine. Semua yang pernah kulakukan, semua yang pernah kamu lalui… aku ingin menebusnya. Dengan caraku. Dengan hidupku. Denga

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 69

    Di ruang interogasi yang lengang, hanya ada detak jam dinding yang mengisi jeda hening.Tik… tak… tik… tak…Leonard duduk di kursi besi yang dingin, tubuh tegapnya tampak kokoh, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di atas meja logam. Wajahnya memang tenang, seolah tak terguncang sedikit pun, namun mata gelapnya menyimpan letupan yang tak seorang pun bisa baca.Di balik sorot mata itu, ada badai—amarah, kecewa, dan kehilangan yang ia tekan kuat-kuat.Saat ini, ia diminta menjadi saksi atas kasus keluarga Boaler. Statusnya sebagai tunangan Daisy membuat keterangannya dianggap krusial.Suara pintu berdecit lirih, lalu terbuka pelan. Seorang petugas masuk, menyapukan pandangan sejenak ke Leonard, sebelum berjalan mendekat.Tanpa sepatah kata pun, petugas itu menyelipkan sebuah ponsel ke tangannya, singkat, terburu-buru—seperti sebuah konspirasi kecil yang tak boleh diketahui siapapun.Tatapan mata mereka saling bertemu sepersekian detik. Ada pesan tak terucap di sana: gunakan wak

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 68

    Nadine mendongak, matanya sembab namun berkilat penuh tekad. Ia menepis tisu yang tergeletak di meja, lalu bangkit dengan langkah terburu.“Aku harus menemuinya…” gumamnya. Jemarinya gemetar saat meraih mantel yang tergantung di kursi. Napasnya memburu, seakan paru-parunya dipaksa oleh dorongan nekat yang tak bisa lagi ditahan.Namun sebelum tangannya mencapai gagang pintu, suara berat memotong ruang sunyi safehouse itu.“Berhenti, Nona.”Jack berdiri bersandar di pintu, menghalangi jalan keluar. Tatapannya keras, namun ada kelembutan samar yang berusaha ia sembunyikan.Nadine mengerjap, bibirnya bergetar. “Jack, jangan halangi aku. Aku harus bicara dengan Leonard—dia butuh aku.”Pria paruh baya itu, menghela napas panjang, lalu melangkah masuk. “Nona pikir siapa yang memintaku menjaga pintu ini? Leonard sendiri.”Kata-kata itu menghantam Nadine lebih keras dari bentakan. Ia terdiam, pandangannya goyah. “Apa… apa maksudmu?”Jack mendekat, menatapnya dalam-dalam. “Tuan bilang, sampai b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status