Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya.
"Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.
Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam.
"Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.
Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."
Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak.
"Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!"
Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—"
"Tidak ada yang tidak bisa kulacak!" potong Leonard tajam. "Jangan beri aku alasan bodoh, Raymond!"
Ajudannya menunduk, tak berani menatap mata Leonard yang penuh amarah. Semua orang tahu, Leonard tidak menerima kegagalan.
Leonard menghirup napas panjang, mencoba meredam emosinya walau sia-sia.
"Gunakan semua cara," lanjutnya lebih terkendali.
Di sisi lain, Nadine sibuk dengan pekerjaannya.
"Kami sudah menggunakan semua cara, Pak. Sepertinya wanita itu bukan orang biasa."
Leonard meliriknya dengan bengis. Raymond menelan ludah. Dia tahu betul sorot mata itu.
"Siap, Pak."
Leonard merapikan jasnya, kemudian melangkah menuju mobil hitam mewah yang sudah menunggunya.
"Wanita itu pasti akan kutemukan. Tidak peduli di mana pun dia bersembunyi."
Di sisi lain Nadine duduk di trotoar kumuh, menyandarkan tubuhnya ke dinding usang kontrakan. Perutnya keroncongan, tubuhnya menggigil. Sudah dua hari ia hanya minum air keran. Satu-satunya roti kering yang ia simpan pun telah basi.
Wajahnya pucat, pipinya semakin tirus. Ia menatap kosong ke arah jalanan, berharap ada keajaiban turun dari langit. Tapi tidak ada yang datang. Tidak ada satu pun.
Pelan-pelan, Nadine berdiri dengan kaki gemetar. Ia menyeret langkah menuju belakang pasar kecil tak jauh dari kontrakan. Matanya menyapu sekeliling, lalu berhenti di satu tong sampah besar. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang memperhatikan, lalu membuka tutupnya perlahan.
Bau busuk menyergap, membuatnya mual. Namun, ia tahan. Tangannya gemetar saat menyibak tumpukan plastik dan sisa makanan busuk. Sesekali ia berhenti, menarik napas dalam-dalam, lalu kembali mengais.
“Ah…” gumamnya saat menemukan sepotong roti yang terbungkus plastik bening. Roti itu agak lembek, tapi belum berjamur.
Tanpa pikir panjang, ia duduk di samping tong, membuka plastiknya, dan memakan roti itu perlahan. Air matanya jatuh tanpa suara.
“Maafkan aku, Tuhan…” bisiknya lirih.
Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sehancur ini. Pikirannya melayang ke Bibi Clara yang mebawa uangnya, emas, royalti buku, dan tabungan kecil.
Tiga hari ini kampus tutup karena libur nasional. Uang yang ia kira bisa bertahan beberapa minggu, nyatanya musnah untuk membayar kontrakan yang menunggak. Di minggu kedua ia bisa bertahan karena aktif menghadiri acara dan kasbon di kantin. Namun, tiga hari ini tak ada apapun yang bisa ia santap.
Sekarang adalah masa terpuruknya. Ia hanya bisa menatap layar ponselnya yang semakin usang. Berharap editornya menghubungi kembali. Ia ingin meminjam sedikit uang, setidaknya untuk bertahan hidup sampai royalti terbitan kedua dan gaji putakawan cair.
Perut Nadine masih melilit, tapi ia paksa tubuhnya kembali berdiri. Langkahnya limbung, sepatu kets-nya yang sudah jebol menyentuh aspal kotor tanpa perasaan. Sore mulai berganti malam. Hujan gerimis turun perlahan, membasahi rambut dan jaket tipis yang ia kenakan. Ia bahkan tak punya cukup uang untuk membeli payung bekas sekalipun.
Sesampainya di kontrakan, Nadine membuka pintu kamar sempitnya. Dinding lembap menyambut, atap yang bocor mulai meneteskan air ke lantai. Sudut ruangan tempat ia biasa menulis kini kosong. Laptopnya sudah dijual seminggu lalu, hanya tersisa meja kayu reyot dan sehelai karpet tipis.
Ia terduduk. Ponsel di tangannya menyala sebentar, baterainya tinggal 4 persen. Ia buka pesan terakhir dari editornya.
|“Kami akan kabari kalau ada proyek baru, Nadine. Untuk sekarang, mohon bersabar.”
Tidak ada kata pinjaman. Tidak ada janji uang muka. Hanya kesopanan dingin dari sistem yang selalu mementingkan target dan angka penjualan.
Air mata Nadine kembali jatuh. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena hujan yang membasahi bajunya, tapi juga karena rasa takut dan putus asa.
"Apa aku akan mati di sini?" bisiknya lirih pada dirinya sendiri.
Malam kian larut. Tak ada yang datang mengetuk pintu. Tak ada kabar dari editor, tak ada pesan dari teman, tak ada jejak bibi Clara yang entah di mana. Dunia seperti menelannya pelan-pelan.
Ia merebahkan tubuh di lantai yang dingin, memeluk lutut, dan berusaha tidur dalam kelaparan dan suara rintik hujan.
Sementara di tempat lain…
Leonard duduk di ruangan mewah. Jendela kaca besar memperlihatkan pemandangan kota penuh lampu. Tangannya memutar segelas wine, tapi pikirannya terdistraksi. Sorot matanya tajam menatap layar besar yang menampilkan peta digital dan titik-titik pencarian.
"Aku tahu kau tidak jauh dari jangkauanku, wanita nakal..." gumamnya penuh ancaman.
"Dan saat aku menemukanmu. Kau akan membayar lunas semua yang telah kau sembunyikan dariku."
__________
Di kamar gelap nan lembap itu, Nadine menggigil dalam diam.
Ponsel usang Nadine hanya tinggal dua persen baterainya. Meski layar berkedip redup, ia tetap membuka aplikasi media sosial dengan jari gemetar. Nama akun penulisnya terpampang jelas di sudut kiri atas: Starlight Beat—nama pena yang selama ini ia sembunyikan rapat dari siapa pun, termasuk Adrian.
Akun itulah kehidupan "rahasia" Nadine. Di sanalah ia menumpahkan semua perasaan, menulis fiksi romantis yang ironi dengan hidupnya. Pengikutnya cukup banyak. Banyak yang menyukai tulisannya, tanpa pernah tahu wajah asli sang penulis.
Notifikasi DM masuk. Ada banyak DM dan satu akun menarik perhatiannya. Ia klik.
@EvelynWijayaOfficial:
Halo Starlight Beat! 💕 Aku adalah fans berat tulisanmu! Aku dan tunanganku sering baca cerita-ceritamu bareng saat malam minggu, loh. Kami suka cerita-cerita romantismu yang hangat dan dalam. Rasanya cocok banget dengan kisah cinta kami.
Ngomong-ngomong, aku dan tunanganku akan menikah akhir bulan ini! 😍 Aku ingin banget kamu datang ke pesta kami. Aku kirim undangannya yaa~ 🎉
Hope to see you there, my favorite author!
— Evelyn 💍
Nadine membeku.
Matanya tak berkedip, jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik. Undangan pernikahan digital menyusul pesan itu. Gambar elegan dengan warna emas dan krem terpampang jelas di layar.
Pernikahan Evelyn Wijaya & Adrian Hartanto
Tanggal: 30 AprilTempat: Hotel Gran Aurelia, Ballroom ATangannya gemetar saat menyentuh layar. Nafasnya tercekat. Lelaki yang ia cintai selama lima tahun, justru memilih menikah dengan sahabatnya sendiri. Sahabat yang bahkan mengidolakan tulisannya.
Yang lebih menyakitkan?
Evelyn tidak tahu bahwa penulis bernama Starlight Beat yang ia undang adalah Nadine sendiri.
Saat akan menutup room chat, mendadak ada pesan baru dari Evelyn.
@EvelynWijayaOfficial
Hai Starlight Beat! 💫
Aku senang banget, akhirnya kamu baca pesanku. You're like a hidden angel for us 😭💕
Ngomong-ngomong, aku kepikiran buat kirim undangan fisik dan sedikit bingkisan kecil sebagai bentuk terima kasih karena kamu udah nemenin perjalanan cinta kami lewat tulisan.
Kalau nggak keberatan, boleh minta alamat kamu, nggak? 🙈 Tenang aja, aku janji privasimu aman.
Much love Evelyn
Nadine termenung, tetapi pikirannya melayang dengan beragam makanan yang ada di sana. Dengan tangan gemetar, ia pun mengirim alamat tanpa mencantumkan namanya. Evelyn pun langsung membalas.
@EvelynWijayaOfficial
Wah, masih satu kota. Aku Gojek in aja ya, biar cepat sampai...
Air mata Nadine jatuh membasahi layar ponsel. Cahaya dari notifikasi perlahan meredup seiring baterai yang habis.
Layarnya mati. Nadine menunduk, memeluk lutut di atas lantai yang dingin. Leonard yang bersantai di kamarnnya, segera menyadari seseorang mendekat.
"Maaf menganggu waktunya, Tuan." Demons ajudannya yang lain mendekat sembari menyerahkan undangan. Leonard meliriknya dingin.
"Ada undangan pernikahan dari Adrian, CEO baru IntiVara Tecnology."
Leonard mendesah. "Apa aku harus ke sana?"
"Benar, Pak. Bagaimanapun IntiVara Tecnology merupakan mitra negara dalam dunia IT. Jadi sudah tanggung jawab Tuan untuk menjaga relasi dengan para mitra." Demons mengeratkan bibirnya. Ia takut menyinggung atasannya. Apalagi Leonard langsung memutar kepalanya. Kode ia merasa jengah.
Namun, mendadak sorot mata Leonard menajam. "Adrian... dan Evelyn?" ia menoleh ke Demons.
"Benar, Tuan."
Bibir Leonard menyeringai. Ia mendapat secercah cahaya.
"Aku akan hadir. Siapkan semua keperluanku!"
RUANG PERTEMUAN DONOVAN PRIVATE CLUBRuangan tempat Nadine dibawa tak ubahnya ruang interogasi, meski tak ada lampu gantung menyala di atas kepala atau cermin dua arah. Tapi hawa di dalamnya cukup untuk membuat siapa pun kehilangan kendali atas detak jantung.Lantai marmer mengilap, karpet mewah dari wol Turki, dan meja oval panjang dengan hanya tiga kursi. Dua kursi sudah terisi. Nadine menelan ludah saat matanya bertemu sosok di sisi kanan meja.Alexander Sinclair.Ayah kandung Leonard.Sosok yang hampir tak pernah muncul di hadapan publik, tetapi namanya berkumandang di koridor kekuasaan sebagai raja bisnis minyak, logam, dan ia adalah mantan perdana menteri. Sampai sekarang ia masih berjibaku di dunia politik bayangan. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan sorot matanya menembus, seperti mampu membongkar isi pikiran Nadine tanpa perlu berkata apa pun.“Duduk,” ujar Victoria datar, tanpa memandang Nadine.Nadine menunduk, berjalan pelan, dan duduk di kursi yang tersedia. Kedua tang
KEESOKAN PAGINYANadine duduk di sofa kamar hotel dengan tangan memegang secangkir teh hangat. Matanya masih mengantuk, rambutnya dikuncir rendah seadanya, dan ia masih mengenakan hoodie kebesaran milik hotel. Tapi meski tampak santai, pikirannya berkelana.Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak."Nadine? Ini aku."Suara Leonard.Nadine bangkit dan membuka pintu. Ia sedikit terkejut melihat Leonard telah berpakaian rapi dengan setelan jas abu gelap yang menegaskan aura karismatiknya. Dasi biru tua yang dipilihnya memberikan kesan tenang dan dapat dipercaya—penampilan seorang calon presiden yang sudah siap turun ke lapangan.“Pagi,” sapa Leonard, tersenyum kecil. Matanya menyapu penampilan Nadine sekilas. Tak ada kritik. Hanya... kehangatan.“Pagi,” balas Nadine, suara pelan.Leonard mengangkat kotak kecil dari tangannya. “Sarapan. Aku tahu kamu nggak suka makan pagi di restoran hotel karena terlalu ramai. Aku pesan khusus dari koki pribadi.”Nadine sempat menahan napas, lalu ters
Usai makan malam yang hangat dan tenang, Leonard menawarkan tangan pada Nadine saat mereka meninggalkan ruang makan privat. Lampu-lampu lorong hotel meredup dengan hangat, menyinari langkah mereka menuju taman kecil di sisi belakang bangunan—tempat yang jarang dilewati tamu lain, terutama di malam hari.Begitu kaki mereka menginjak jalan setapak berbatu yang mengarah ke taman, udara malam menyambut dengan embusan lembut yang menggesek pelan helai-helai rambut Nadine. Rerumputan terpangkas rapi, dan pohon-pohon palem berdiri seperti penjaga diam. Cahaya kuning temaram dari lentera taman membuat suasana seolah berbisik, "Rahasiakan momen ini hanya untuk kalian."Leonard menyelipkan tangan ke dalam saku celananya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Nadine yang berjalan di sampingnya. "Aku tahu kamu masih menyimpan banyak hal," kata Leonard akhirnya, suaranya rendah dan pelan, hampir seperti gumaman angin.Nadine menoleh, menatapnya sekilas. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa-apa."
Leonard membuka pintu ruang makan privat dan mempersilakan Nadine masuk lebih dulu. Ruangan itu hangat dan intim, dindingnya dihiasi lukisan klasik, dan hanya ada satu meja kecil bundar yang sudah ditata sempurna dengan lilin di tengahnya. Pencahayaan temaram dari chandelier kristal menggantung di atas, menambah kesan elegan. Di luar, kaca lebar menampilkan pemandangan kota yang berkilau malam itu.Nadine menelan ludah pelan. Rasanya terlalu mewah untuk seseorang sepertinya. Ia bisa merasakan aroma lembut lavender dan wine menguar di udara.Leonard menarikkan kursi untuknya dengan sopan. "Silakan duduk."Nadine mengangguk kecil dan duduk, lalu memperhatikan pria di hadapannya. Leonard tampak tenang, tapi di balik sorot matanya, ada kegelisahan yang seolah tak bisa ia tutupi sepenuhnya. Sesekali, ia melirik Nadine, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.Tak lama, pelayan datang membawa hidangan pembuka. Mereka tak banyak bicara, hanya terdengar dentingan alat makan yang lembut.S
"Apa yang Mama katakan?" tanya Leonard sembari menyisir rambutnya dengan tangan."Miss. Victoria tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jadi besok saya diminta membawa Anda-""Cukup." Leonard segera melangkah ke arah Nadine yang baru selesai bersiap. Wanita itu tampak lebih elegan dengan dress hitam dan rambut messy bun. Sudut bibir Leonard tersungging. "Perfect. Kita berangkat sekarang."Pria itu membuka sedikit lengannya, mengode Nadine untuk mengaitkan tangan di sana.Raymond hanya menghela napas. Ucapannya belum tuntas, tapi bossnya sudah pergi. Jack hanya menatapnya datar, dan meminta dia segera mengikuti mereka.'Aku merindukan hari-hari yang tenang,' batin Raymon menahan diri.Berhari-hari berlalu seperti itu. Raymond mendapat desakan dari Vectoria sekaligus Alexander untuk membawa Leonard ke kediaman mereka. Sedangkan Leonard sibuk menghadiri kampanye untuk meningkatkan popularitasnya. "Maaf, Madam. Tuan Leo benar-benar sibuk saat ini," akhir Raymond langsung memutuskan telepo
"Jadi malam ini kamu di kantor?" tanya Evelyn di ujung telepon."Ya. Aku harus memastikan semua pekerjaan tuntas." Adrian sibuk menelitidatabase yang ada di layar komputer."Baiklah. Kalau gitu, aku akan menghadiri pesta sendiri.""Ya, ya. Lakukan sesukamu. Sekarang aku sangat sibuk.""Okey. See you, Dear."Sambungan telepon pun terputus.Adrian meletakkan ponselnya di meja tanpa ekspresi. Matanya kembali fokus menelusuri data yang berbaris rapi di layar. Tangannya mengetik cepat, sesekali mengernyit saat menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan bulan lalu.Sementara itu, suasana kantor sudah sepi. Hanya lampu di ruangannya yang masih menyala. Di luar jendela, kota mulai larut dalam cahaya malam. Tapi Adrian tak peduli. Ia lebih tertarik pada angka-angka yang tak sesuai ini. Ada transaksi dalam jumlah besar yang tercatat atas nama perusahaan—tetapi tak pernah ia setujui.“Ini aneh…” gumamnya, mengetuk pena ke meja. “Siapa yang menyetujui ini?”Ia membuka folder digital lain, menyam