Share

Bab 5

“Pukul lagi Pah! Pukul! Selain menyakiti Mamah, memangnya apa lagi yang Papah bisa? Papah pikir enak jadi aku? satu sekolaan semua nyindir aku! Kami semua dijauhi tetangga di sini, termasuk Mamah! PAPAH PERNAH TAHU ENGGAK!”

“MANA PERNAH PAPAH PEDULI! YANG PAPAH URUS CUMA CEWEK! CEWEK! CEWEK TERUS!

Dengan sekuat tenaga Rafa, menendang stoples kue yang berada di lantai. Bukan hanya isinya yang berhamburan keluar. Saking kerasnya bahkan stoples kaca itu ikut hancur berkeping-keping. Kepingan stoples itu sebagian bahkan hampir mengenai ke tiga adiknya, kalau saja Adit tak refleks menarik adiknya. Jerit tangis mereka seketika menggema ke seluruh ruangan, bayangkan saja tiga anak kecil yang menangis secara bersamaan. Rasanya ini lebih parah ketika aku termenung melihat Rafa yang menendang stoples itu tak jauh dari tempatku. Keadaan semakin kacau saat anak-anak berlarian tak tentu arah. Aku yang mulai panik karena harus mengejar mereka satu persatu. Khawatir kalau bisa saja terkena pecahan stoples yang berserakan di lantai.

Saat itu Dewi tak kunjung turun, bukankah seharusnya kebisingan ini cukup mengganggu. Aku hanya bisa memeluk ketiga anakku sekaligus. Sedang Rafa setelah aksi tak terpujinya itu, dia memilih pergi ke luar. Di tengah kepanikan ini, akhirnya Dewi datang dengan alat kebersihan ditangannya. Tanpa banyak kata dia membersihkan semuanya. Lalu mengambil anak-anak dalam dekapanku.

“Sejak kapan Rafa jadi kurang ajar begitu Wi? Apa kamu sengaja membuat dia benci sama aku?”

“Anak-anak itu sudah besar Mas, terutama Rafa, dia bukan anak kecil lagi, yang bisa aku bohongi.”

“Ya tapi harusnya kamu mengarahkan dia dong! Kamu kan seharian di rumah!”

Dewi hanya menggeleng, dia seperti tak berminat meneruskan pembicaraan padaku.

“Aku enggak suka kamu mukul anak-anak!”

“Ya kalau kamu enggak suka harusnya kamu ajari yang benar!”

Dewi terdiam, matanya lekat menatapku, jelas ada kemarahan di sana, namun lagi-lagi dia mencoba meredamnya dengan beberapa embusan nafas saja.

“Bukan begitu caranya mengajari anak-anak, semakin dikerasi, sikapnya juga akan semakin menjadi.”

“Sekarang ke mana anaknya?”

“Keluar, sudahlah urusin saja anak-anak kamu! Aku capek!”

Niat hati ingin memperbaiki hubungan dengan mereka, Rafa justru sengaja membuat keadaan menjadi kacau. Temperamennya bertambah parah setiap hari. Hari ininsudah dua kali dia membuatku naik pitam. Karena terlalu sibuk dengan urusan rumah yang tak ada habisnya. Aku sampai mengabaikan panggilan Eiden. Sejenak aku menatap layar ponsel, wajah manis Eiden terpampang di sana. Tanpa sadar aku mengulum senyum karenanya. Wajah itu, wajah yang selalu mampu membuatku tenang.

Kalau saja Dewi seperti Eiden, perhatian pada hal-hal kecil, mungkin tak akan ada kejadian seperti ini dalam rumah tangga kami. Tepat saat aku bersiap mengangkat telepon kamarku diketuk dari luar. Siapa lagi kalau bukan Dewi.

“Ada Haris di luar,” katanya.

Aku lantas turun untuk memastikan, tak biasanya Haris datang ke rumah, atau jangan-jangan sebenarnya tanpa sepengetahuanku, Haris kerap datang bertamu, ketika aku tak ada? Saat hendak ke luar aku sengaja menahan lengan Dewi, yang hendak turun. Dia tampak heran, untuk sesaat mata kami beradu. Namun belum sempat aku menanyainya, wanita itu memilih melepas genggamanku lalu pergi ke arah dapur. Aroma manis dari arah dapur seketika membuatku menengok. Sepiring pisang goreng dengan kepulan asap di atasnya, lengkap dengan dua cangkir teh beraroma melati itu seketika mampu mengalihkan fokusku yang tengah berbalas pesan dengan Eiden.

“Haris di mana?”

“Di teras."

“Ini mau dibawa ke sana kan?

“Iya.”

“Biar Mas aja.”

Biar saja dia keheranan. Rasa dari pisang goreng buatan Dewi begitu, entah bumbu apa yang dia pakai, kurasa belum ada pisang goreng yang mampu menandinginya. Pernah suatu hari kuminta Eiden untuk membuatkan camilan, saat itu dia menyajikan pisang goreng. Kupikir rasanya tak akan jauh berbeda namun kenyataannya rasanya tak karuan, lebih dominan asin juga entah dia menggorengnya dengan tepung atau tidak, karena kurasa dia hanya menggoreng pisang tanpa diselimuti apa pun, sudah di pastikan tak hanya asin, warnanya pun coklat bahkan cenderung menghitam. Cantik saja nyatanya tak menjamin masakannya lezat.

Aku menghampiri Haris yang memilih duduk di selasar, padahal sudah tersedia kursi kayu, tempat biasa kami menerima tamu.

“Aku lihat mobilmu di luar, jadi aku sekalian mampir aja, kok tumben ada di rumah?” katanya.

“Ibunya anak-anak sakit, gantianlah jagain mereka.”

“Yakin lu?” Haris malah menertawakanku.

“Yakinlah, gini-gini gue juga masih punya rasa kasihan.”

“Alah kasihan juga tahu-tahu selingkuh! Lagian heran kenapa juga Dewi mau-maunya bertahan.”

“Ya karena gue masih mau pertahanin lah, lagian mana ada sih laki-lali yang mau sama Dewi selain gue.”

Haris lagi-lagi tertawa, kemudian menepuk pundakku. Hampir saja aku terbatuk karenanya.⁹

“Mempertahankan rumah tangga juga harus punya pertimbangan, enggak bisa lu paksa pertahanin hubungan yang enggak sehat, dampaknya bukan soal lu berdua aja, ada anak-anak pasti bakal keganggu psikisnya.”

“Kalau harus melepas Dewi, jujur aja gue enggak bisa?”

“Alasannya?”

“Dia Ibu dari anak-anak gue, siapa juga yang mau telaten urus 4 anak sekaligus, kalau bukan Ibu kandungnya sendiri.”

“Sebenarnya gue masih bingung, alasan lu mengkhianati Dewi itu apa? Anak ada, Dewi juga enggak jelek-jelek amat. Enggak ada yang bakal nyangka loh, kalau dia punya anak 4.”

“Jadi menurut lu dia oke?”

“Ya standar lah, enggak malu-maluin amat kalau diajak jalan. Apa lagi yang lu cari di luar?”

“Biasalah iseng doang gue, memangnya lu sendiri enggak pernah bosan ama bini di rumah.”

“Bosan itu manusiawi, gue juga pernah.”

“Sama aja dong lu, main serong juga.”

“Enggak gitu juga kali, sebejad-bejadnya dulu pas bujang, enggak sampai hati kalau gue lakuin itu ke istri gue.”

“Takut istri lu!”

“Gue dari dulu sampai sekarang selalu sendirian, orang tua udah pisah dari gue kecil. Lu enggak akan tahu rasanya pergi ke sana sini diusir. Ya gue ngerti sih , mereka udah bahagia sama pasangannya masing-masing, sedangkan gue cuma beban masa lalu, ya elah gue malah curhat, sory sory.”

“Santai aja lah.”

“Gue cuma enggak mau anak-anak gue ngalamin hidup kayak gue, udah gitu aja, gue pamit ya, niatnya gue cuma mau ngasih undangan ke lu, gue buka Cafe di depan, nanti malam minggu grand openingnya, hadir ya.”

“Oh mantap lah, semakin maju aja usaha lu, lah gue masih gini-gini aja!”

“Ya lu gue tawarin join enggak pernah mau! Yaudah pamit ya, ngomong-ngomong pisang gorengnya enak, bungkusin lah!”

“Masih aja lu doyan ama pisang Ris, emang dasar ya. Enggak ada sana!”

“Pelit!”

“Yaudah bentar, Wi sini sebentar minta tolong bungkusin pisangnya buat Haris!”

Tak lama Dewi datang dengan kotak makanan plastik di tangannya, dengan cepat dia memasukkan kue itu. Lalu memberikannya langsung pada Haris. Saat itu juga aku melihat Haris tersenyum pada Dewi. Inilah yang aku tak suka. Memang kami sudah berteman sejak kecil tetapi seharusnya dia tak ikut mengakrabkan diri dengan istriku juga.

Hingga malam menjelang aku masih disibukkan dengan anak-anak. Dewi yang kadang masih belum stabil, membuatku mau tak mau turun tangan menggendong Yuri. Berkali-kali kudapati dia hampir terjatuh. Untung ada aku, kalau tidak bisa saja Yuri juga ikut terjatuh bersamanya. Sebenarnya dia itu sakit apa. Wanita memang aneh, menyukai perhatian, tetapi seringnya jual mahal. Saat itu aku menyuruhnya untuk beristirahat saja setelah salat maghrib. Hingga pukul 10 dia baru keluar dari kamar, mungkin efek obat yang kuberikan tadi hingga membuatnya terlelap begitu lama. Anak-anak sudah tidur semua, tinggal memindahkan mereka ke kamar saja. Mereka semua tertidur di ruang keluarga dengan begitu banyak mainan berserakan di lantai.

Lelah juga menemani mereka seharian.

“Mas kamu lihat Rafa enggak?” tanya Dewi.

“Loh memangnya enggak ada di kamarnya? Tadi sore Mas lihat dia masuk kok.”

“Enggak ada! Buat apa aku bohong!”

“Mamah nyari aku?” Dari arah luar, terdengar Rafa bersuara.

“Ya Allah Nak, habis dari mana kamu jam segini baru pulang? Itu pipi kamu juga lebam.” Dewi mengusap lembut kepala Rafa. Penampilan anak itu begitu acak-acakkan.

“Enggak apa-apa Mah, aku jatuh di jalan.”

“Kamu habis berantem? Mau jadi apa sih kamu?” tanyaku yang tersulut emosi, hanya dengan melihat tampilannya yang berantakan.

“TERSERAH AKU LAH!” sentaknya dengan sorot mata tajam. Lengannya mengepal, lengkap dengan wajah yang merah padam. Tampak jelas, anak ini baru saja berkelahi. Sudut bibirnya berdarah. Pelipisnya lebam, juga pipi kirinya yang membiru. Tak mungkin kalau dia jatuh dari sepeda.

“Kamu kalau masih mau tinggal di rumah, bisa sopan enggak? Papah kerja buat kamu, ini cara kamu memperlakukan orang tua?”

“Papah kalau mau ngusir, ya udah aku pergi sekarang juga!”

“SUDAH! Enggak usah diterusin!” Dewi sedikit berteriak.

Mau tak mau kami harus menyudahi perdebatan ini.

“Ayo sayang, biar Mamah obati ya?” Aneh memang dalam sekejap Dewi bisa melunak. Nadanya berubah lembut seperti biasa.

Ya Tuhan, kali ini drama apa lagi. Setelah tadi pagi, sekarang malam hari datang dengan wajah babak belur. Meski sikap Rafa padaku telah begitu kurang ajar, tak bisa dipungkiri aku masih menyimpan khawatir padanya. Dia masih terlalu kecil untuk terlibat dalam perkelahian seperti itu. Untuk itu aku memilih mengikuti mereka, lalu menguping pembicaraan mereka dari balik pintu.

”Kamu itu berantem sama siapa?” kata Dewi lembut.

“Maafin aku Mah.”

“Maaf buat apa?”

“Mamah pasti malu, punya anak kayak Rafa.”

“Siapa bilang, Mamah bangga punya anak kayak Rafa.”

“Kenapa Mamah bisa bangga?”

“Rafa itu hebat, masih kecil, tapi mau bantu Mamah jaga adik-adik, sayang sama mereka, sudah begitu, ngajinya pintar.”

“Tapi tadi Rafa berantem sama Robi.”

“Kenapa bisa berantem?”

“Dia bilang kalau Rafa punya Mamah dua, di depan anak-anak kompleks, Rafa enggak terima, Rafa pukul lah Robi tapi mereka malah main keroyokan Rafa dipukuli sama mereka.”

“Astaghfirrullahaladzim Nak,”

“Maafin Rafa Mah, Rafa salah.”

Sejenak tak ada suara yang terdengar dari dalam, entah kenapa juga Dewi terdiam.

“Sayang masih ada yang kamu sembunyikan?”

“Enggak ada.”

“Benar?”

“Aku.. sebenarnya …”

“Sebenarnya?” kata Dewi begitu pelan, hampir saja tak terdengar. Aku sampai harus menempelkan daun telingaku ke pintu.

Ponselku tiba-tiba saja berdering. Sial! Kalau begini aku ketahuan tengah menguping mereka.

Lagi-lagi Eiden yang menelepon. Ada apa sih. Dia juga mengirim beberapa foto yang entah apa, karena terlalu banyak jadi butuh waktu untuk bisa melihatnya dengan jelas. Tepat saat itu Dewi dan Rafa juga keluar.

“Kenapa enggak di angkat?” tanya Rafa dengan wajahnya yang tersenyum sinis.

Aku yang masih terkejut karena aksiku ketahuan, hanya terdiam. Tapi Rafa dengan cepat, menyentuh layar di ponselku, dengan lancangnya dia menerima panggilan dari Eiden sekaligus menekan tombol loudspekernya.

“Kamu tahu, itu enggak sopan?”

Rafa seakan tak peduli.

“Hallo Mas kamu udah buka, foto-foto yang aku kirimkan? Itu semua gara-gara anak kamu!” suara Eiden terdengar panik.

“Maksud kamu apa?”

“Aku enggak terima ya Mas, pokoknya aku minta kamu tanggung jawab, anakku perempuan, jelas dia kalah, memangnya anak kamu itu kurang ajar! Pokoknya aku enggak terima!”

Aku langsung mematikan panggilan dari Eiden lalu dengan cepat melihat foto-foto itu. Seketika akuk menatap ke arah Rafa. Tetapi bocah laki-laki itu malah tersenyum.

“Mau pukul lagi? Ayo Pah?”

Baru kali ini kurasa, aku telah gagal mendidiknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status