Share

Bab 4

“Kamu harus ingat Wi, kamu enggak kerja kamu mungkin bisa bawa Yura karena masih ASI tapi ketiga anak kita yang lain, dengan apa kamu bisa menghidupi mereka, kalau kamu sendiri enggak kerja, pihak pengadilan enggak akan memberikan hak asuh mereka ke kamu. Dan aku akan berjuang juga buat itu.”

Pakde yang tak sabar, nekat menerobos masuk ke dalam kamar.

“Ayo kemasi barang-barangmu Wi, buat apa kita masih di sini!” dia menarik Dewi. Namun tak kusangka Dewi tak bereaksi apa pun. Sejenak dia terdiam menatap kami bergantian.

“Aku enggak bisa pergi sekarang Pak.”

“Apa lagi yang mau kamu pertahankan dari laki-laki brengs#k seperti dia? Sadar Nduk, laki-laki seperti dia enggak pantas kamu pertahankan!”

“Ada sesuatu yang harus Dewi selesaikan Pak, makanya Dewi enggak bisa ninggalin rumah ini gitu aja.”

“Bapak enggak mengerti jalan pikiran kamu Wi, Bapak sama Bude bersikap kayak gini, semata-mata buat belain kamu, tapi kamu malah ngotot mau bertahan sama pernikahan ini!” Pakde langsung pergi begitu saja. Dewi bermaksud mengejar namun sayang baru selangkah dia sudah terjatuh ke lantai.

“Ya ampun Wi, sini Mas bantu!”

“Lepas!”

“Wi kamu tuh lemas, sudahlah sini biar Mas bantu.”

“Kenapa kamu enggak sekalian bun#h aku Mas, buat apa kamu biarkan aku hidup?”

“Ngomong apa sih kamu!” Tanpa memedulikan penolakannya dengan sigap aku mengangkat tubuh ringkih Dewi kembali ke ranjang. Badannya masih panas, katanya sudah diperiksa, kenapa demamnya tak kunjung membaik.

“Kamu sudah minum obat?”

Dewi yang terus saja mengabaikanku membuatku jadi kesal sendiri.

“Aku tanya kamu sudah minum obat belum? Di mana obatnya sini biar aku bantu kamu minum!”

“Wi katakan di mana obatnya?”

“Astaga Wi, kamu benar-benar ya.”

Aku mencari obat itu sendiri, di laci tak ada di lemari juga tak ada. Tas? Mungkin saja di sana. Seingatku Dewi membawa tas ini bersamanya saat pergi. Dan benar saja obat-obatannya ada di dalam sana.

“Buka mulut Wi!”

“Aku bisa sendiri.”

“Sudahlah, ayo buka mulut, apa susahnya?”

Dasar perempuan, tinggal buka mulut saja banyak susah sekali.

“Sebenarnya kamu kenapa? Bilang sama aku.”

“Buat apa sih kamu kayak gini Mas, takut kalau aku mati, enggak ada lagi yang ngurus anak-anak?”

“Bukan begitu Wi, kamu itu masih istriku, jelas aku khawatir, memangnya salah?”

“Salah Mas, kalau saja dari awal kamu enggak selingkuh, mungkin ceritanya bakal beda.”

Kamu enggak akan mengerti Wi, aku sudah berusaha melepas Eiden. Aku bukannya tak peduli dengan semua pengorbananmu, hanya saja ada satu hal yang tidak kamu ketahui. Aku kesepian Wi, kamu berubah, semakin menjauh seiring waktu. Selalu anak-anak yang menjadi prioritas. Salahkah kalau aku cemburu? Memang terdengar konyol. Aku hanya ingin perhatianmu saja. Aku memintamu untuk memakai pengasuh saja. Tapi kamu menolak, takut kalau mereka malah menusukmu dari belakang. Padahal tanpa ada pengasuh pun, di luar sana banyak perempuan yang dengan suka rela menawarkan dirinya padaku, seperti Eiden.

“Kamu kalau mau tidur di sini, biar aku yang pindah ke kamar anak-anak!” katanya. Aku sadar dia merasa tak nyaman, dengan posisi kami yang nyaris tak berjarak. Apa lagi setelah kata-kata yang kuucapkan barusan. Aku tahu itu jahat, namun apa lagi yang harus kukatakan, karena sejujurnya aku rasa ini tak dapat diungkiri. Rasa ini tetap sama. Aku masih mencintai Dewi. Meski caraku mencintainya, begitu buruk, membuatnya terpaksa bertahan, hanya karena sebuah ancaman hak asuh anak.

Aku tahu dia tak akan melepas anak-anaknya begitu saja.

“Diamlah sebentar, aku hanya ingin memelukmu.”

Aku menahan tubuhnya yang hendak pergi, sejujurnya aku pun merindukan Dewi. Kami hampir tak pernah tidur sedekat ini. Selalu ada saja yang mengganggu, entah Yuri yang tiba-tiba terbangun minta ASI atau Adit yang tiba-tiba berteriak karena mimpi buruk. Saat aju kembali mengeratkan pelukan. Aku bisa merasakan di balik sana Dewi terisak.

“Jangan nangis!” bisikku.

Sayangnya Dewi justru makin terisak.

“Bukankah ini yang kamu butuhkan? Kamu ingin aku ada di sampingmu.”

“Sudah berapa perempuan yang kamu peluk seperti ini Mas?”

“Tolong jangan bahas itu dulu Wi, pikirkan kesehatanmu dulu.”

Dewi berbalik menatapku.

“Jangan lakukan itu padaku!”

“Kenapa? Kita suami istri.”

“Aku enggak bisa!” Dewi lagi-lagi memaksa bangkit meski dengan susah payah dia terus saja menghindar dariku.

“Oke aku enggak akan nyentuh kamu, tetapi sekali ini saja, tinggallah sebentar, aku juga butuh kamu Wi, bukan cuma anak-anak yang butuh perhatian kamu.”

“Aku sudah enggak percaya sama kamu!” Dewi berhasil menggapai pintu namun sekali lagi tubuhnya kembali terjatuh.

“Sudah kubilang kan, menurutlah sebentar! Aku juga masih punya hati, aku enggak akan nyakitin kamu.”

Pada akhirnya Dewi pasrah, dengan kondisinya yang tak memungkinkan untuk bisa pergi dari kamar.

Esok pagi saat Bude dan Pakde bersiap pergi, tampak Dewi tengah berpamitan dengan mereka, aku berniat menyusul, tepat saat mereka tengah terlibat obrolan yang entah apa. Namun sempat kudengar Dewi mengatakan kalau setelah urusannya selesai dia akan kembali. Sejak kemarin dia terus saja mengulang kalimat itu. Memangnya apa yang tengah dia rencanakan. Yang lebih membuatku penasaran lagi, saat Pakde mengatakan kalau dia akan melakukan apa pun untuk Dewi. Meski dia harus menanggung malu sekali pun. Memangnya Dewi meminta apa?

“Ati-ati di jalan Pak Bu.” Dari pada bingung dengan apa yang mereka bicarakan, aku mengulurkan tangan mencoba mempertebal wajahku. Untuk menyalami ke dua orang tua itu.

Cih!

Pakde malah meludah tepat di depan wajahku.

Aku tersenyum miris karenanya. Sial! Memang!

Di tengah suasana kikuk. Terdengar keramaian dari arah luar, rupanya Ibu-ibu tengah berkumpul di sana. Ada tukang buah yang memang biasa lewat di depan rumah setiap pagi hari.

“Ini nih yang jadi suami-suami kita ikutan enggak benar, suami selingkuh lok dimaafkan terus!” Entah siapa yang mereka maksud. Tetapi kurasa, mereka tengah menyindir keluargaku.

Dewi yang menyadari sedang jadi topik pembicaraan. Dia bergegas membuka gerbang.

“Kamu mau ke mana? Negur mereka? Percuma Nduk, kamu hanya kan jadi bahan tertawaan, biarkan saja! Lebih baik masuk ke dalam, kalau sudah enggak kuat, pulang! Nanti kita cari solusinya bareng-baren,” kata Pakde.

Tak berselang lama, setelah mereka keluar, suara Ibu-ibu yang ramai membicarakan tentang keluargaku, mendadak senyap. Mungkin merasa sungkan karena kemunculan Pakde dan Bude secara tiba-tiba. Dari celah kecil di balik pagar aku bisa melihat, beberapa orang memilih, membubarkan diri.

“Maafkan aku ya?” ucapku seraya menatap Dewi, yang ternyata tengah melihat ke arah yang sama.

“Hari ini aku enggak bikin sarapan, Mas bisa cari sarapan di luar.”

Aku sedang minta maaf tetapi dia mengalihkan pembicaraan ke arah lain. Siapa juga yang peduli tentang sarapan?

“Aku bantu kamu masuk ya?”

“Enggak usah! Aku masih kuat sendiri kok.”

Masih saja menolak, sudah jelas dia tampak kepayahan. Sebenarnya kamu itu sakit apa Wi?

Di dalam rumah anak-anak sudah duduk di meja makan. Mereka tampak bingung karena tak ada apa pun yang tersaji di sana.

“Makan roti dulu ya,” ucap Dewi lembut seraya mengusap pucuk kepala Adit

“Mamah sakit?”

“Mamah enggak apa-apa, cuma capek sedikit aja.”

“Biar Rafa aja yang siapkan buat Adik-adik, kalau Mamah mau istirahat enggak apa-apa.”

“Terima kasih ya, tetapi Mamah mau pastikan anak-anak Mamah makan dengan benar, ayo semuanya baca doa dulu ya.”

Melihat pemandangan ini, kenapa aku merasa seperti orang asing. Kami berbagi bangku yang sama namun satu pun tak ada yang mengajakku bicara.

“Ehem! Papah enggak ditawari!” ucapku masih mencoba mengakrabkan diri.

“Tinggal makan aja sendiri!” sentak Rafa, yang membuatku hampir saja menyemburkan air yang tengah kuteguk.

“Rafa jangan begitu Nak, ada Adik-adik loh.”

“Maaf Mah.”

“Ya sudah sarapannya di makan, Mamah ke kamar dulu sebentar. Mamah titip Adik-adik sebentar boleh?”

“Tenang aja, Adik-adik aman sama Rafa.”

“Wi kan ada Mas, kamu lupa?”

“Kamu kalau sudah selesai, mending cepat pergi ke kantor, nanti malah telat.”

“Hari ini aku enggak pergi! Aku bakal temani kamu di sini.”

“Terserah!”

Apa sih maunya perempuan. Aku hanya ingin mendekat dia malah menjauh. Saat aku selingkuh dia malah menyalahkanku.

“Aku bakal jaga anak-anak,” teriakku karena Dewi semakin menjauh.

“TERSERAH!”

Ya sudahlah, bisa gila kalau terus mengurus Dewi yang begitu keras. Bukankah akan lebih baik mengakrabkan diri dengan anak-anak. Sudah lama juga aku tak bermain bersama mereka. Aku menghampiri anak-anak di ruang keluarga. Rafa, sulungku yang kini mulai beranjak remaja malah melempar tatapan tak suka. Entah apa yang dia bisikkan pada ke dua adiknya. Namun kurasa semuanya tak akan berjalan dengan baik. Dan benar saja tak menunggu lama. Entah sengaja atau tidak mereka Adit tiba-tiba saja buang air tepat di depanku.

“Kamu kan sudah besar, masa masih pipis di celana?”

“Mamah!!!!! Uhuhu Mamah!!” Radit menangis keras.

Sempat kulirik sekilas Si Sulung justru tersenyum ke arahku. Sekarang belum selesai masalah Adit. Yuri, malah penasaran dengan air kencing Adit yang membasahi lantai tempatnya bermain. Sialnya lagi Rafa malah diam saja. Dengan santainya dia memainkan ponsel. Tanpa peduli keributan yang dibuat adik-adiknya.

Kalau begini aku bisa gila!

“Cemen!” tiba-tiba saja kata itu keluar dari mulut Rafa. Belum juga reda keterkejutanku dia kembali melontarkan kata-kata pedasnya.

“Cuma gini aja yang Papah bisa? Ternyata selain main cewek Papah enggak bisa ngapa-ngapain! Payah!” katanya lagi.

“Rafa! Jangan kurang ajar kamu! Lupa kamu siapa yang membiayai kamu sekolah kalau bukan Papah!”

“Ya sudah enggak usah sekolah lagi, gampang kan!”

“Mau jadi apa kamu kalau enggak sekolah, gelandangan? Hah?”

“Asal Papah tahu gelandangan lebih terhormat dari pada anak tukang selingkuh!”

PLAKK!!!

“Pukul lagi Pah Pukul!!! Selain menyakiti Mamah memangnya apa lagi yang Papah bisa, Papah pikir enak jadi aku? Satu sekolahan semua nyindir aku! kami semua enggak punya teman gara-gara Papah, termasuk Mamah yang dijauhi Ibu-ibu kompleks, PAPAH PERNAH TAHU ENGGAK?”

“MANA PERNAH PAPAH TAHU? YANG PAPAH URUS HANYA CEWEK! CEWEK! CEWEK TERUS!”

ARGH!!!

Rafa menendang stoples yang ada di depannya dengan begitu keras, hingga tak hanya isinya yang berserakan di lantai, bahkan wadahnya pun ikut pecah berkeping-keping.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status