Bab 1
"Saudara Ibrahim Moalvic bin Ishak, Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, putriku Arumi Hayfa Hasan binti Hasan, dengan Mas kawin seperangkat alat shalat dan uang tunai sebesar 10 juta dibayar tunai.”"Saya terima nikah dan kawinnya Arumi Hayfa Hasan binti Hasan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.""Bagaimana saksi, Sah?""Sah!""Sah!""Sah!""Alhamdulillahirabbil 'alamiin."Harapan-harapan baik dipanjatkan di waktu paling mustajabnya doa. Semua hadirin mengikuti serangkaian acara dengan khidmat, namun lain halnya dengan Arumi–sang mempelai wanita, dari balik korden ruang tamu rumahnya, gadis yang tengah mengukuti prosesi sakral dalam hidupnya itu dibuat syok, saat mendengar nama yang disebut penghulu berbeda dengan nama yang tertera di dalam undangan yang tersebar."Ya Allah ... barusan penghulu menyebut nama Ibrahim Moelvic, sementara di dalam undangan yang telah disebar, nama yang tertera adalah Yusuf Rahman. Abah juga selalu menyebutnya dengan sebutan Mas Yusuf, tak pernah sekalipun Abah memanggilnya dengan sebutan Ibrahim.Sebenarnya apa yang terjadi, mengapa nama suamiku tiba-tiba berubah saat ijab qobul? Apa ini ada hubungannya dengan keterlambatan kedatangannya tadi?Ya Allah ... kalau memang Yusuf dan Ibrahim adalah dua orang yang berbeda, maka aku harus bagaimana? Walau tak mengenal Yusuf, setidaknya aku sempat mendengar secara langsung kebersediaannya untuk menikahiku saat kami diepertemukan beberapa hari lalu dengan tujuan ta'aruf.Tapi bagaimana dengan Ibrahim? Mengapa ia tiba-tiba menikahiku, dan apa alasannya? Bahkan aku tidak tahu apakah ia bersedia atau justru malah sebaliknya?" Jutaan tanya tiba-tiba bersarang di benak Arumi. Ia sampai melewatkan masa-masa sakralnya untuk berdoa."Ibrahim Moalvic, namanya seperti tidak asing terdengar di telinga, tapi di mana aku pernah mendengarnya?" batin Arumi semakin dibuat sibuk oleh teka-teki yang tiba-tiba memenuhi pikirannya.Hingga tiba-tiba, tangan sang ummi yang menyentuh lengannya menyadarkannya dari lamunan."Nduk ....""Astaghfirullah, Ummi ...." Arumi terlonjak kaget."Kok malah melamun, Nduk? Ayo berdiri, sambut suamimu! Sholawat Ya Nabi sudah dibacakan lho!" ucap sang Ummi menyadarkan Arumi.Arumi menghela nafasnya panjang, ingin rasanya ia bertanya pada umminya, tentang nama Ibrahim yang tiba-tiba mengucap kalimat qabul atas ijab pernikahannya, namun situasi yang riuh membuatnya kesulitan memulai pembicaraan. Ia pun hanya bisa pasrah, toh pernikahan juga sudah dilangsungkan.Arumi berdiri, diapit oleh Ummi dan beberapa bude dari pihak abahnya, dengan gaun putih berhias payet dan jilbab senada yang menambah kesan anggun dirinya. Roncean bunga melati turut mempercantik kepalanya. Sementara riasan flawless di wajahnya menyempurnakan innerbeauty-nya.Layaknya pengantin baru pada umumnya, Arumi pun merasakan nervous, jantungnya berdebar kencang, tangan dan kakinya terasa dingin, kondisi diperparah dengan berbagai pertanyaan yang belum dapat ia pecahkan.Pandangannya lurus ke depan, mengarah ke arah korden, bersiap menyambut kejutan yang berada di balik sana. Benaknya bertanya-tanya, mira-kira sosok siapakah yang akan muncul dari balik korden itu? Apakah sosok yang sama dengan seseorang bernama Yusuf yang sempat ia temui beberapa waktu lalu, atau justru sosok lain di balik nama Ibrahim?Jantungnya semakin berdebar tatkala kain korden mulai disibak oleh Abahnya, menampilkan sosok lelaki dewasa yang jauh berbeda dengan lelaki bernama Yusuf yang sempat ia temui sebelumnya.Lelaki itu memandang Arumi dengan pandangan yang tak bisa diartikan olehnya. Auranya terasa dingin, tidak ada senyuman yang menandakan kebahagiaan atas sebuah pernikahan, tak ada pula aura kedamaian yang menyiratkan sebuah kelegaan. Bahkan yang Arumi lihat dari sorot matanya adalah aura kesedihan.Sementara memory Arumi berusaha memutar cepat, mencoba mengingat wajah lelaki di hadapannya yang tidak asing di matanya, bahkan wajah lelaki bernama Ibrahim itu lebih familiar dibanding wajah Yusuf yang notabenenya sudah pernah ia temui.Detik berikutnya ia berhasil mengingat, "Astaghfirullah, Ibrahim Moalvic, itu kan nama lengkapnya Pak Ibra, dosen tercuek sekampus Al-Azhar? Demi apa Ya Tuhan ... benarkah dia yang menikahiku? Tapi kenapa bisa tiba-tiba Pak Ibra? Kemana Yusuf, kenapa dia tidak hadir?" Arumi terus sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga tanpa ia sadari, suaminya sudah berada tepat di hadapannya.Aminah–ummi Arumi segera menyenggol lengan putrinya, "Nduk ... ayo cium tangan suamimu!" bisiknya mengingatkan putri semata wayangnya."Tapi, Mi ... dia—,""Nanti Ummi akan jelaskan! Sekarang cepat cium tangannya, dia suami kamu," titah sang Ummi, semakin menimbulkan tanya di benak Arumi. Namun tak urung ia tetap menurut, diraihnya tangan suami di hadapannya, kemudian menciumnya sebagai tanda takdzimya.Setelah sesi pertemuan pengantin, kedua mempelai diantarkan ke kamarnya, diberi waktu sejnak untuk saling bertemu, sebelum keduanya disbukkan oleh para tamu. Sementara keluarga yang lain saling sibuk beramah-tamah.Mulanya Ibrahim menolak, dan lebih memilih untuk menemui para tamu dari kalangan keluarga dan kerabat, namun kedua belah pihak keluarga memaksa, membuatnya tak dapat lagi menolak."Silakan, Pak!" Arumi mempersilakan suaminya untuk masuk dengan segan, lalu segera menutup pintu kembali."Saya suamimu, bukan bapakmu!" protes Ibra terlihat tak suka."Mohon maaf sebelumnya, saya hanya bingung hendak memanggil Anda dengan sebutan apa? Karena kami terbiasa menyebut dosen lelaki di kampus dengan sebutan Pak." Arumi menjawab sungkan."Ini di kamar, bukan di kampus.""Maaf ...." Arumi tertunduk."Jadi kamu mengenal saya?" tanya Ibra sembari menatap Arumi penuh tanya."Benar, Pak, Bapak salah satu dosen di Universitas Al Azhar, kan?" sahut Arumi."Ya, sebenarnya saya yakin kamu pasti mengenali saya. Karena saya memang se-famous itu di kampus." Ibrahim menyahut datar, namun berhasil membuat Arumi membolakan kedua mata, tak menyangka lelaki di hadapannya memiliki tingkat percaya diri di atas rata-rata."Jumlah pengajar di kampus tidak banyak, jadi wajar kalau hampir seluruh mahasiswa mengenali satu persatu dosen di sana. Yang menakjubkan itu jika seorang dosen bisa mengenali seluruh mahasiswanya yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Sekarang saya tanya, apa Bapak mengenali saya?" Arumi membalikkan pertanyaan suaminya. Dalam hati ia sangat yakin, bahwa dosen muda yang dikenal sebagai duta pria tercuek itu tak mungkin mengenalinya.Ibra memandang wanita yang baru dinikahinya dalam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan kalimat sepanjang jalan kenangan"Arumi Hayfa Hasan, Mahasiswi semester 5 program study Ilmu Tafsir Al Qur'an jalur beasiswa hafizdah 30 juz. Wakil Ketua di HMI, Juara Utama Lomba debat tingkat Nasional perwakilan Al Azhar tahun lalu. Juara ke-tiga Musabaqah Hifdzil Qur'an tingkat provinsi perwakilan Al Azhar tahun ini. Juara ke-dua pidato tiga bahasa perwakilan Al Azhar di tingkat kecamatan." Lelaki yang baru sah menjadi suami Arumi itu menyebutkan nama lengkap istrinya beserta segala prestasinya secara mendetail, seketika membuat Arumi tercengang."Apa sekarang kamu sudah mengakui bahwa saya mengagumkan?" tanya Ibra sembari tersenyum bangga."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak, tapi bagaimana mungkin Bapak bisa mengenali saya sedetail itu?" tanya Arumi sembari tertunduk."Namamu sering disebut-sebut di ruang dosen." Ibrahim menjawab singkat."Oh, begitu ya, Pak? Apakah Bapak salah satu dari mereka yang sering menyebut-nyebut nama saya?" tanya Arumi penasaran."Saya baru menyebut namamu untuk pertama kalinya saat ijab qabul, dan kedua kalinya saat menjawab pertanyaanmu. Nggak usah kege-eran!" sahut manusia bermuka tembok itu tanpa memandang lawan bicaranya.Arumi menelan ludah. "Maaf, Pak ....""Jangan memanggil saya Pak ketika di luar kampus, saya tidak setua itu!" sahut Ibra sembari membuka kopyahnya, menampilkan rambut klemis khas gaya maskulinnya."Lalu saya harus memanggil apa?" tanya Arumi."Panggil saja Ibrahim, tidak usah pakai embel-embel," sahut Ibra datar."Tapi rasanya kurang sopan jika hanya memanggil dengan nama," balas Arumi menolak memanggil suaminya dengan sebutan nama."Kalau begitu terserah kamu, asal jangan Pak, Om, atau panggilan-panggilan yang mengindikasikan kondisi tua, karena saya baru kepala tiga dan masih single," sahut Ibra mengalir begitu saja. Sebuah hal yang langka saat ia menjawab pertanyaan dengan lebih dari sepuluh kosa kata."Maaf, sekarang tidak single lagi, Pak ... ehm .. maksudnya, Mas?" sahut Arumi ragu."Ya ... maksudnya sebelum ini." Ibra terlihat canggung, namun tidak menunjukkan sikap memprotes atas panggilan barunya."Boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Arumi melebarkan tema pembahasan mereka."Silakan." Ibra menjawab singkat.Arumi mengangguk, "Saya ingin tahu, kenapa Mas Ibra yang akhirnya menikahi saya? Padahal yang meminang saya adalah Yusuf. Lalu siapa Mas Ibra dalam kehidupan Yusuf?" akhirnya pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar di kepala Arumi terungkap juga, dan ia berharap suaminya dapat memberinya penjelasan.Ibra menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Yusuf adalah adik saya. Dia baru saja mengalami kecelakaan dan kondisinya sedang kritis. Akhirnya keluarga meminta saya untuk menggantikan posisinya demi menjaga nama baik keluarga. Alasan itulah yang mendasari keberadaan saya di sini saat ini." Ibrahim berkata sembari tertunduk, mengingat kembali nasib naas yang menimpa adiknya, cukup membuatnya bersedih."Innalillah wa inna ilaihi roji'uun ... Saya benar-benar baru mengetahui kabar ini. Kenapa tidak ada yang mengabarkannya pada saya?" tanya Arumi mengalir begitu saja.Ibrahim menoleh, kemudian memandang istrinya lekat, "Memangnya kenapa? Kalau kamu tahu kebenarannya apakah kamu akan membatalkan perniikahan? Kamu menyesal karena pada akhirnya saya yang menikahimu dan bukan Yusuf?" tanya Ibra seketika membuat Arumi gelagapan."Bu ... bukan begitu maksud Arumi, Mas, Arumi hanya—,""Sudahlah, kamu tidak perlu repot-repot menjelaskan, saya tidak membutuhkan penjelasan kamu, sebab semua ini hanya sementara." Ibra sengaja memotong ucapan Arumi."Maksud Mas Ibra apa?"Bab 39"Assalamualaikum." Ibrahim mengucap salam, seketika Yusuf dan Azizah menoleh ke arah mereka. Azizah hang tengah menemani putra bungsunta itu menyambut dengan senyuman, memandang Ibrahim yang datang menggandeng tangan istrinya. Sementara Yusuf, ia memandang saudaranya dengan pandangan yang sulit diartikan.Kakak Yusuf itu menutup pintu, kemudian berjalan perlahan menghadap Ibunya, masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan istrinya.Diraihnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu, lalu menciumnya dengan penuh takdzim, hal yang sama dilakukan juga oleh Arumi, kemudian istri Ibrahim itu berdiri tertunduk di sisi suaminya."Suf ... gimana kabarmu?" tanya Ibrahim berusah tetap terlihat tenang di depan adiknya, adik yang sebelum ini menjadi calon suami dari wanita yang kini menjadi istrinya. "Ya ... beginilah, Bang ... Alhamdulillah, masih Allah berikan kesempatan untuk hidup," sahut Yusuf juga terlihat santai. Pandangannya beralih memandang Ibrahim dan Arumi bergantian.
Bab 38"Kok nangis? Sakit, ya, Rum? Saya mainnya kasar?" Ibrahim bertanya sesaat setelah mencapai puncak kenikmatannya.Arumi menggeleng sembari tersenyum."Terus kenapa nangis? Jangan nangis, dong ...!" Ibrahim mengusap air mata Arumi.Tak menjawab, Arumi hanya memandang suaminya penuh haru."Kenapa, Rum? Kamu menyesal?" sekali lagi Ibrahim bertanya, namun lagi-lagi Arumi menggeleng."Arumi nggak apa-apa, Mas ...." Arumi menjawab sembari menyentuh tangan Ibrahim di pipinya."Terus kenapa nangis?""Gimana, ya, Mas? Arumi bingung jelasinnya," sahut Arumi sembari mengelus perut bagian bawahnya yang terasa nyeri."Bilang aja nggak apa-apa? Sakit ya?" tanya Ibrahim sembari meringis."Iya, Mas ... tapi lebih ke terharu aja sih nangisnya, karena akhirnya kita sudah menjadi suami istri seutuhnya," balas Arumi dengan memandang suaminya penuh cinta."Bukan karena sakit? Saya kasar, ya?" Ibrahim terlihat khawatir dan merasa bersalah.Arumi tersenyum, "memang sakit, Mas, tapi bukan karena Mas Ib
Bab 37Menjelang maghrib, hujan baru reda, sementara Arumi yang sudah mendapatkan kehangatan dan kenyamanan, malah tertidur di bahu suami tercinta.Ibrahim memandang Arumi melalui ekor matanya, wajah gadis itu terlihat damai dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Ibrahim terangkat membentuk senyuman yang indah,saat ingatannya memutar kembali momen manis yang baru saja ia lalui bersama Arumi. Manis, semanis bibir Arumi yang akhirnya ia cicipi di tengah hujan badai mengguyur bumi."Arumi Hayfa Hasan, tak pernah kusangka takdirku akan berakhir di pelukannya. Dia hadir menyembuhkan banyak luka, lalu menjadi penyejuk jiwa yang telah lama gersang tanpa sentuhan cinta." Ibrahim membatin.Perlahan ia menggerakkan tangan, membelai pipi Arumi hingga membuat matanya yang terpejam itu terbuka dan perlahan mengembalikan kesadarannya."Mas ...." Arumi tersenyum dan membenarkan posisinya."Sudah reda ya, Mas?" sembari mengucek mata Arumi bertanya."Sudah, sudah hampir maghrib juga. Kita balik, ya? Kamu
Bab 36"Arumi, are you okey?" Ibrahim segara menyambut Arumi di depan toilet. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia tak mengira bahwa aroma kecombrang yang digemarinya akan memberikan pengaruh sejauh itu untuk istrinya."Nggak apa-apa, kok, Mas, maaf, ya?" sahut Arumi sembari tersenyum santai."Saya nggak tahu kalau kamu sangat sensitiv dengan aroma kecombrang, maaf karena sudah memaksa." Ibrahim mengiringi langkah Arumi yang kembali berjalan menuju saung tempat di mana mereka meninggalkan makanan."Arumi nggak terpaksa sih, Mas ... bahkan tadi dengan senang hati makannya, karena disuapin Mas Ibra. Cuma emang nggak suka aja dasarnya, Arumi pikir dengan disuapin Mas Ibra rasa makanan yang nggak enak di mulut Arumi bakal jadi enak. Seperti teori-teori di sinetron-sinetron pas adegan romance gitu. Eh ternyata teorinya sesat." Arumi menceritakan apa adanya sembari terkikik sendiri menertawai dirinya."Kamu itu ada-ada aja! Kamu pikir tangan saya tangah
Bab 35Ibrahim beberapa kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya. Mengafirmasi positif pada dirinya."Benar kata Arumi, rilex saja, Ibra! Nggak perlu tegang. Apa yang perlu ditakutkan? Arumi istrimu, dia halal untukmu, kamu halal menikmati setiap keindahan tubuhnya. So, nikmati saja! Bukankah ini sebuah tahap untuk kamu bisa mencintainya secara utuh?" Ibrahim bermonolog dengan dirinya sendiri.Perlahan afirmasi positif itu mulai dirasakan manfaatnya. Ia mulai menikmati momen kebersamaannya dengan Arumi yang cukup intim.Melalui perjalanan sembari mengobrol, membahas pemandangan indah di sepanjang jalan yang mereka lewati. Bahkan sesekali tangan Ibrahim menyentuh tangan Arumi yang melingkar di perutnya, sekedar membelainya saat wanitanya itu tengah membuatnya bahagia dengan celotehannya."Mas tahu nggak?" tanya Arumi masih dengan posisi yang sama."Nggak tahu.""Eh, iya juga ya, kan Arumi belum cerita. Kalau gitu, mau Arumi kasih tau nggak?" Arumi terkekeh."Kasih tahu apa?" sa
Bab 34"Kamu sudah selesai?" Ibrahim meletakkan kembali ponselnya saat melihat Arumi keluar dari kamar mandi."Sudah, Mas." Arumi menjawab sembari mendekat ke arah suaminya."Sudah selesai telepon Ibunya, Mas?" tanya Arumi seraya duduk di tepi ranjang, tepat di sisi suaminya."Sudah.""Terus, gimana?""Aman. Sesuai rencana."Segaris senyum penuh kelegaan terukir di bibir Arumi."Mas mau siap-siap? Yuk Arumi bantu." Arumi menawarkan bantuan. Ibrahim yang masih sedikit pening tak menolak, perlahan ia berganti posisi menjadi duduk dibantu oleh Arumi. Meneguk air mineral sebelum beranjak menuju kamar mandi.Dengan dipapah oleh sang istri, Ibrahim berjalan menuju kamar mandi. Bukan tak mampu berjalan sendiri, hanya saja ia mulai menikmati perhatian-perhatian yang diberikan oleh Arumi."Mandi air hangat, ya, Mas, biar rilex," pesan Arumi saat mereka sampai di ambang pintu kamar mandi."Iya, terima kasih, ya?" ucap Ibrahim sembari tersenyum manis ke arah istrinya. Arumi balas tersenyum dan