Share

Bab 5

Bab 5

"Alhamdulillah, Mi, kami baik-baik saja, kok." Arumi mulai berakting di hadapan umminya.

"Syukur Alhamdulillah kalau kalian baik-baik saja. Mungkin sekarang Nak Ibrahim masih canggung sama kamu, kalau dia bersikap kurang bersahabat, nggak usah dimasukkan hati, Ummi dengar dia memang anaknya agak kaku, tapi Ummi lihat sendiri, dia sangat menyayangi dan mnghormati ibunya. Biasanya, lelaki seperti ini juga akan bersikap baik kepada istrinya."

Arumi hanya tersenyum menanggapi ucapan umminya, "Andai Ummi tahu, bahwa Mas Ibra tak hanya menunjukkan sikap tak bersahabat, melainkan ia telah menolakku di malam pertama kami," batin Arumi sedih.

Aminah tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya, "Jodoh itu memang rahasia Allah ya, Nduk ... Kamu tahu? Awalnya Abahmu memang pengennya jodohin kamu sama Ibrahim, lho ... bukan sama Yusuf, tapi haji Ishak bilang Ibrahim itu belum minat nikah, jadi dia nolak dijodoh-jodohkan. Yang minat malah adiknya, jadilah Yusuf yang dijodohkan sama kamu.

Tapi ternyata kejadiannya malah seperti ini. Allah sudah mengatur semuanya, dan akhirnya yang menikah sama kamu Ibrahim, sesuai dengar yang kami inginkan, walaupun dengan cara yang cukup dramatis." Ummi Aminah bercerita panjang lebar.

Arumi cukup terkejut dengan fakta yang baru diketahuinya. "Jadi wacana awalnya Rum dijodohinnya sama Mas Ibra, Mi?"

"Iya, tapi awalnya suamimu itu nolak, dan malah ngajuin adiknya. Menurut penuturan Ibunya sih, memang ini bukan kali pertama dia menolak dijodohkan." Aminah menceritakan apa yang ia ketahui dari besannya.

"Owalah, gitu toh ceritanya? Jadi mas Ibra memang sempat nolak Rum sebelumnya? Pantesan aja sikapnya nyebelin begitu," gumam Arumi mengalir begitu saja.

"Hush, nggak baik ah ngomongin suaminya seperti itu. Bagaimanapun sikap nak Ibra, dia tetap suami yang kudu kamu junjung dan jaga marwahnya, Nduk!

Kalau dia bersikap nyebelin, kaku dan canggung, itu wajar, namanya juga masih baru, nggak saling kenal pula. Apalagi Nak Ibra nikahin kamu itu dadakan, kan? Jadi ya wajar kalau sikapnya masih kaku. Kamu terus saja berusaha mencairkan, jangan menyerah, sambil terus gedein rasa sabar, InsyaAllah lambat laun hatinya akan luluh.

Jangan lupa juga untuk meminta Allah meluluhkan hatinya, karena Allah adalah Sang Maha Membolak-balikkan hati manusia, upaya jalur langitnya juga jangan ditinggal, Nduk. Salah satu doa yang paling mustajab adalah doa istri untuk suaminya, jadi doakan saja terus suamimu." Memahami apa yang tengah dialami buah hatinya, Aminah memberikan wejangan yang sangat menentramkan hati Arumi.

Arumi tersenyum, "Iya ya, Mi ... Makasih atas nasihat-nasihatnya, Mi. Ummi doain Rum terus, ya?" pinta Arumi pada umminya.

"Pasti, Nduk ... Harapan Abah dan Ummi atas pernikahanmu dan Ibrahim juga sangat besar. Jangan khawatir, karena doa kami para orang tua selalu menyertai dan menyokong rumah tangga kalian. Bismillah, semoga langgeng dunia akhirat ya, Nduk ... pesan Ummi, kamu harus banyak bersabar," ucap Aminah menyampaikan harapnya.

"Aamiin ... Aamiin ... insyaAllah, Mi." Arumi menjawab sembari tersenyum.

"Sama-sama. Wis, sana buruan kasihkan kopinya untuk suamimu, keburu dingin nggak enak nanti." Aminah mengingatkan putrinya akan kopi yang mulai kehilangan kehaangatannya.

"Astaghfirullah, iya, Mi ... sampai lupa." Arumi terkekeh, lalu mengambil nampan berisikan secangkir kopi dan sepiring donat untuk dibawanya ke kamar.

"Rum balik ke kamar dulu ya, Mi," pamitnya.

"Iya. Ingat, ya ... jangan dulu minum kopi! Kali aja Mas Ibranya malam ini mau beraksi, kan?" Aminah sengaja menggoda putrinya.

Pipi putih Arumi memerah mendengar ucapan wanita yang melahirkannya, "Semoga ya, Mi," sahutnya malu-malu. Ia lalu mengayun langkah, meninggalkan umminya yang tengah tersenyum bahagia, menyaksikannya yang tengah menjemput surga.

Sementara di kamar, Ibrahim telah selesai dengan aktivitasnya di kamar mandi, ia mencari keberadaan istrinya yang tiba-tiba menghilang dari pandangan.

Khawatir Arumi berbicara macam-macam dengan orang tuanya, ia pun memutuskan untuk menyusul istrinya. Diraihnya tuas pintu berniat membukanya, namun Arumi terlebih dahulu memutar tuas dari luar dan membukanya.

Daun pintu yang didorong Arumi menabrak tubuh Ibrahim yang berada di baliknya. Membuatnya mengeluh kesakitan akibat hidung mancungnya yang terapaksa berciuman dengan benda keras berbahan kayu di hadapannya.

"Aduh, ya Allah ...!" Arumi memekik keras saat mendapati suaminya mengeluh kesakitan sembari mengusap-usap hidung mancungnya.

Ibrahim memandang nyalang ke arah istrinya, "saya yang sakit kenapa kamu yang ngeluh?" protesnya sembari berlalu.

Arumi meringis, mengikuti langkah suaminya, meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja, kemudian mendekati suaminya untuk memastikan kondisinya.

"Mas ... maaf, ya, Arumi nggak tahu kalau Mas Ibra lagi di balik pintu," sesal Arumi merasa bersalah.

"Hem." Ibrahim hanya berdehem singkat sebagai responnya.

"Pasti sakit, ya, Mas ... sini biar Arumi cek," ucap Arumi seraya bergerak cepat mengecek hidung suaminya.

Namun Ibrahim menolak, ia menjauhkan wajahnya dari sentuhan Arumi.

"Nggak apa-apa kok," ucapnya agar Arumi segera menjauhkan posisi darinya. Namun gadis itu tetap tak bergeming.

"Ngapain masih di situ? Minggir!" ucap Ibrahim sembari menggerakkan tangannya untuk mendorong Arumi mundur.

Arumi pun mundur, menjauhkan dirinya dari suaminya.

"Mas ... Mas ... malam pertama bukannya ciuman sama istri, malah ciuaman sama pintu.

Mas ngapain sih diem di belakang pintu begitu?" tanya Arumi menyesalkan kejadian yang baru menimpa suaminya.

"Ya saya mau keluar, tapi malah kamu masuk duluan."

"Mas mau ngapain keluar? Ada butuh sesuatu?" tanya Arumi mengalir begitu saja.

"Nggak ada, nyariin kamu aja kok tiba-tiba ngilang," jawabnya sembari membenarkan posisi duduknya.

"Ciyeee ... ditinggal bentar aja udah kangen," goda Arumi dengan melirik manja ke arah suaminya.

"Nggak usah kege-eran!"

"Tenang, Mas ... Arumi nggak akan ke mana-mana kok, akan selalu di sisimu, membersamaimu hingga kita menua," sahut Arumi yang mendadak merasa mual mendengar betapa alainya ucapannya sendiri. Namun ia merasa perlu melakukan itu untuk mencairkan suasana di antara ia dan suaminya.

"Lebih baik kamu simpan kata-kata puitis kamu itu untuk lomba puisi, biar nggak mubadzir," sahut Ibrahim membuat Arumi menahan tawa, namun gadis itu tak menggubrisnya.

"Kopi, Mas ... mumpung masih hangat," ucap Arumi sembari menyodorkan secangkir kopi miliknya pada sang suami.

"Buat saya?" tanya Ibrahim heran.

"Iya lah, Mas ... terus buat siapa kalau nggak buat suami Arumi?" jawab Arumi.

Ibrahim memandang tak percaya, namun tak urung berterima kasih juga.

"Terima kasih ya, kamu nggak minum juga?" tanyanya kemudian mulai menyesap kopi pemberian Arumi.

"Nggak, buat Mas aja, sama donat enak, Mas!" ucap Arumi sembari mencomot donat dan memakannya.

"Sudah malam, seharusnya jangan ngemil yang berat-berat," ucap Ibrahim mengingatkan.

"Memangnya kenapa, Mas takut Arumi jadi gendut?" tanya Arumi setelah menelan gigitan pertama dari donatnya.

"Nggak juga, karena nggak ada ngaruhnya untuk saya." dengan penuh keyakinan, Ibrahim menjawab pertanyaan Arumi.

"Ya sudah, berarti no problem, kan?" sahut Arumi lanjut mencomot donat kedua. Namun dengan cepat Ibrahim menahannya. Ia mengambil alih donat dari tangan Arumi, kemudian meletakkannya kembali di piring.

"Kenapa sih, Mas?" protes Arumi.

"Kandungan gula dan lemaknya banyak, nggak baik untuk kesehatan kamu. Biarkan ususmu istirahat di malam hari, jangan membuatnya harus bekerja keras di waktu istirahat, yang ada kamu yang nantinya akan merasakan akibatnya." kalimat yang cukup panjang itu terlontar dari mulut suami tembok Arumi, membuat hati Arumi menghangat karena merasa diperhatikan.

"Mas Ibra khawatir Arumi sakit, ya? Ciyee mulai perhatian nih ye ...," goda Arumi tidak ada kapok-kapoknya.

Ibrahim memandang Arumi lekat, "selama Yusuf belum sadar, kamu adalah tanggung jawab saya. Kalau kamu sakit, saya juga yang repot!"

"Iya, itu namanya perhatian, Mas ...!"

"Terserah kamu aja mau nyebutnya apa," sahut Ibrahim malas meladeni pembahasan yang ia anggap receh dan tidak penting.

"Mas ...."

"Hem ...?"

"Kenapa Mas nggak menolak saja saat diminta untuk menggantikan posisi Yusuf?" tanya Arumi cukup menyita perhatian Ibrahim.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status