POV Devano
"Rumah kamu di mana?" tanyaku pada Andini, saat kami sedang menunggu taksi online di depan gerbang kampus. Wanita itu yang memesannya langsung dari ponselnya. Aku tak tahu menahu dan dia juga tidak memberitahu apapun."Di rumah ibu saya, Pak. Saya kan single, jadi belum ada rumah," jawabnya sambil tersenyum tak sedap. Ya, tak sedap menurutku karena aku bertanya apa, dia menjawab layaknya anak TK. Malah, anak TK bisa menjawab dengan benar."Iya, saya tahu kamu tinggal di rumah Ibu kamu. Gak mungkin kamu tinggal di rumah saya'kan? Maksud ....""Emang boleh tinggal sama, Bapak?" tanyanya balik memotong ucapanku dengan polosnya. Sudahlah, lebih baik aku tidak perlu bertanya apapun lagi, jika ingin usiaku lebih panjang. Buat para pembaca yang ingin segera mengakhiri hidup, aku sarankan banyaklah berbincang dengan Andini.Tak lama kemudian, taksi tiba untuk menjemput kami. Aku duduk di depan bersama Arjun yang berada dalam gendonganku, lalu Andini duduk di belakang. Tak ada percakapan apapun di dalam mobil yang begitu hening. Arjun tertidur, begitu juga Andini. Hanya suara dengkurannya saja yang menjadi soundtrack perjalanan malam kali ini.Aku sampai menggelengkan kepala, melihat ada ternyata wanita cuek, budeg, lemot, dan begitu polos seperti Andini. Untunglah wajahnya lumayan cantik, jika tidak, pasti lelaki yang nanti menjadi suaminya makan beling setiap hari karena kesal.DrtDrtAndini tersentak dari tidurnya karena ponsel yang bergetar. Masih dengan mata tertutup, Andini meraba isi tas, lalu mengangkat panggilan.["Halo. Iya, Bu. Ini lagi di jalan pulang."]["Pulang ke mana?"]["Ya pulang ke rumah, Bu. Masa pulang ke pangkuan Ilahi. Udah ya, Bu. Andin ngantuk."]Aku menahan tawa mendengar ucapan Andini dengan seseorang di seberang telepon sana, yang aku yakini adalah ibunya. Aku bisa jamin, ibunya akan sangat stres dan renta karena memiliki anak seperti Andini. Sungguh makhluk Tuhan paling seksi? Apa? Seksi? Ya ampun, seksi dari mana? Dengan hati-hati aku melirik mahasiswaku yang kembali pulas di belakang sana.Terkadang ia tersenyum dalam tidurnya. Terkadang lagi memasukkan jari kelingkingnya ke dalam hidung, lalu mengebor; mencari harta karun di dalam sana. Seketika perutku bergolak. Sungguh gadis yang sangat jorok."Arjun, kalau udah gede jangan cari istri seperti itu ya? Jorok, budeg, tulalit, bikin sakit jiwa. Pokoknya Papa gak setuju kalau menantu Papa nanti wanita seperti dia," bisikku di telinga Arjun yang masih terlelap."Silakan, Pak. Sudah sampai," tegur sopir taksi membuyarkan lamunanku."Eh, baru sebentar udah sampai ya?" kataku lagi sambil melihat jam tangan. Ternyata kami hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk sampai di depan rumah Andini."Andini, sudah sampai. Turun sana! Saya mau pulang," seruku membangunkan Andini yang masih teramat pulas."Andini!" panggilku lagi sambil menekan-nekan lututnya."Eh, kita udah sampai ya? Maaf Pak, saya ketiduran ya. Lelah saya jongkok di WC, Pak. Semoga besok saya gak ambeien," katanya lagi sambil mengucek kedua matanya. Aku tak menyahut, karena percuma saja. Ia tetap akan menimpali dengan kalimat yang lain pula.Pagar rumah Andini terbuka lebar. Aku menoleh, dan mendapati ibu-ibu sudah berdiri di depan pagar sambil memegang gagang sapu. Sebelah tangannya lagi berada di pinggang. Jelas sekali akan ada pertempuran antara Godzila VS Kong sebentar lagi."Bu, Andini pulang. Ayo, Pak. Turun dulu! Bantuin saya jelasin soal pembalut," rengeknya sambil mencolek punggungku berkali-kali. Sebenarnya aku malas, tetapi daripada nanti terjadi pertikaian, lebih baik aku jelaskan sekilas tentang yang terjadi hari ini. Sekaligus memberitahu orang tua Andini, bahwa anak mereka saat di kelas, bagaikan habis minum CTM."Loh, siapa kamu?" tanya ibu itu yang aku rasa tidak terlalu jelek untuk wanita seusianya. Aku yang baru saja turun dari mobil, sempat terlonjak kaget."Saya Dev, Bu," ujarku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat."Debu? Nama kamu Debu?" tanya wanita itu lagi dengan kening mengerut. Andini tertawa, lalu menepuk pundak ibunya dengan pelan."Namanya Pak Dev. Bukan de-bu. Kalau debu itu yang suka bantu-bantu di rumah orang kaya," tambah Andini meluruskan kesalahpahaman ini."Itu babu, Andini. Kamu ini, jangan nganggep Ibu budeg terus dong," protes wanita itu dengan sewotnya."Loh, ini anak siapa? Anak Andini? Cucu saya? Kapan buntingnya?""Eh, b-bukan, Bu ...." Aku gelagapan menjawab cecaran dari ibu Andini yang ternyata tidak renta."Pa ... Sini, Pa. Lihat ini! Andini punya anak dari lelaki yang tua kayak Papa. Pa ...!" teriak wanita itu ke dalam rumah. Aku yang syok akan kesalahpahaman ini, menjadi takut dan segera saja masuk ke dalam mobil kembali."Jalan, Bang!" dengan wajah pucat pasi dan keringat membanjiri wajahku, kudekap Arjun dengan erat, sambil mencoba mengatur napas; guna mengatasi ketakutanku. Mobil pun berjalan dengan sedikit lambat, karena di depan sana ada mobil yang akan masuk ke dalam rumah."Mas, si ibu ngejar!""Apa?"Bersambung-Ha ha ha haPOV DevanoHari yang sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku baru bisa berbaring di ranjang kuno empuk, tempat biasa aku melepaskan lelah. Arjun sudah terlelap setelah menyusu satu botol dan bermain sebentar denganku.Jika kupikirkan lagi, betapa hari ini aku berlakon bukan seperti diriku. Ke sana-kemari hanya untuk mahasiswi yang membuatku kesal setiap masuk ke dalam kelasnya. Sepanjang usia, baru malam inilah aku pergi ke warung untuk membeli pembalut untuk seorang wanita yang bukan siapa-siapa. Seandainya aku adalah pemilik kampus, pasti mahasiswi seperti Andini tidak akan aku loloskan masuk kampus, karena pasti akan mengakibatkan gagal jantung para dosen dan teman-temannya.Kembali kuteringat akan parasnya. Gadis itu benar-benar seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tak mungkin dia anak mantanku, atau anak saudara. Berkali-kali aku coba mengingat di mana pernah melihatnya, tetapi tak juga ketemu. Mungkin aku memang benar-benar tak pernah bertemu denga
POV DevanoAku merasa sangat beruntung bisa mengajar di fakultas ekonomi milik Opa Wijaya ini. Selain aku mengenal banyak staf yang tadinya pernah bekerja denganku, aku juga merasa nyaman dan diberi sedikit kelonggaran perihal Arjun yang ikut ke kampus bersamaku.Walau bayarannya tidak banyak, tetapi cukup bagiku yang saat ini masih sendiri, serta lingkungan yang cukup nyaman bagiku.Hari ini sungguh padat. Sedari pagi punggungku belum benar-benar bisa bersandar di kursi dan selera makanku menjadi buruk. Pagi tadi, aku hanya memasukkan sepotong roti bakar ke dalam mulut, dan minum segelas teh jahe. Sekarang, disaat jam sudah menunjukkan pukul sebelas, cacing di dalam perutku pun meronta minta diisi kembali.Aku masih berada di kelas D anak semester dua. Tersisa dua puluh menit lagi jam baru akan usai. Mau tidak mau, sabar tidak sabar, aku harus bersabar menunggu, sambil terus mengajak Arjun bermain. Balita itu duduk nyaman di atas meja dosen sambil memainkan mainan bunyi-bunyian.Tok
POV AndiniAku sudah bersiap sejak sore hari. Kebetulan sekali, pukul satu siang jam perkuliahanku selesai, sehingga aku bisa lebih awal pulang ke rumah. Sempat berpapasan dengan Pak Dev saat di gerbang kampus, tetapi sepertinya beliau tidak menyadari senyum yang aku lemparkan padanya. Menunggu jemputan dari Dimas sungguh membuatku berdebar. Lelaki itu adalah kakak kelasku saat SMA. Sering mengirimkan pesan dan juga salam, tetapi kami tidak juga jadian. Karena saat itu Kak Dimas sudah memiliki pacar yang satu kelas dengannya. Pertemuan kembali seminggu yang lalu, saat acara sekolah, membuat Kak Dimas kembali mengirimiku pesan. Dari yang aku tahu, dia sedang skripsi dan malah sudah bekerja. Paling tidak, jika nanti kami jadian, aku pasti merasa bangga padanya, karena pacarku mempunyai pekerjaan yang layak, walau usianya masih muda dan pastinya berbeda dengan Aleta dan Andrea yang memiliki pacar tajir karena harta orang tuanya. Aku terus saja tersenyum sambil memandang keluar rumah da
POV Devano"Jadi, itu pacar kamu?" tanyaku pada Andini yang masih saja meringis meraba kepalanya."Bukan, Pak. Baru diajak makan doang. Saya berharap dia menyatakan perasaannya, tapi malah sudah punya pacar," omelnya dengan wajah sebal. Aku tak ingin menanggapi terlalu berlebihan, tetapi jujur anak jaman sekarang pada nekat dan berani, bahkan di tempat umum. "Untung Bapak jadi Spiderman saya hari ini, kalau tidak, bisa botak saya dijambak wanita itu," tambahnya lagi sambil melirik keluar restoran. Jelas sekali wajahnya kecewa dan sedih, tetapi ia menutupinya. Ada satu yang cukup membuatku heran, kenapa malam Minggu seperti ini, dia dapat berkomunikasi dengan baik? Biasanya, kepalaku pasti berasap saat berbincang dengannya."Sini, saya pangku Arjun!" pintanya sembari memberikan kedua tangannya. Aku pun berdiri untuk memberikan bayi gemas ini untuk dipangku oleh Andini."Eh ... Saya bukan mau pangku Bapak. Itu loh, Inspektur," ujarnya lagi dengan gugup. Seketika perasaanku mulai tidak
POV Devano["Ish, cuma mahasiswa biasa, Sayang."]["Ayah kok gitu? Siapa tahu dari mahasiswa biasa jadi luar biasa. Ayolah, Ayah pokoknya harus punya istri!"]Perbincangan kami selalu seru dan memakan waktu yang panjang. Aku bahkan tak menyadari Arjun tertidur di pundakku dan Andini sudah kembali dari toilet dan bersabar menungguku di meja. Setelah mengucapkan salam, Amira pun menutup teleponnya. Aku kembali berjalan mendekati meja yang sudah tersedia aneka makanan di atasnya. "Kamu gak pesan makanan? Pesan saja, nanti saya yang bayar," kataku pada Andini. Wanita itu mengangkat wajah, lalu kulihat ada air mata yang menganak sungai membasahi kedua pipinya."Loh, kamu kenapa?" tanyaku sedikit panik. Aki menarik kursi untuk duduk di sebelahnya. "Lihatlah, Pak. Ini foto yang dibagikan dua saudara kembar saya. Ada yang dikasih hadiah boneka besar sama pacarnya. Ada yang diajak dinner romantis di sebuah restoran mewah. Ya Allah, saya malah malam minggunya dijambak Mak Lampir. Sungguh beru
Aku sangat terkejut dengan info orang hilang yang dibagikan salah satu saudara Andini. Ada rasa khawatir menggelayut, saat tahu bahwa gadis itu tidak pulang ke rumah sejak semalam. Apalagi aku orang yang terakhir bertemu dengannya. Apa ini ada kaitannya dengan lelaki semalam yang kami temui di restoran? Karena setelah dengannya, wajah Andini muram dan buru-buru mengajakku untuk keluar dari restoran. Sekarang apa yang harus aku lakukan, aku tidak tahu. Dengan jari gemetar, aku mengetik pesan inbox untuk saudara Andini lewat pesan f******k. Tidak, sepertinya aku harus segera ke rumah mahasiswiku itu untuk memberi penjelasan pada keluarganya. Bubur ayam yang tadinya sudah ada dalam tenggorokanku mendadak tidak bisa kutelan. Rasa khawatir pada gadis itu lebih besar mengalahkan rasa laparku saat ini. Semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpanya saat ini. “Mang, berapa?” tanyaku pada penjual bubur. Lelaki itu memandangku aneh, lalu menoleh pada mangkukku yang masih penuh. “Buburnya t
POV DevanoAku merasa sedikit aneh dengan ide yang diberikan oleh Andrea. Jujur, untuk urusan cinta aku tak pernah mau mencoba-coba, apalagi usiaku yang sudah tidak muda. Namun, untuk membantu Andini sedikit terhibur dan lebih baik kondisi kejiwaannya, maka sepertinya aku harus mencobanya. Hitung-hitung aku jadi bisa dekat juga dengan Andrea. Kulirik jam di dinding sudah pukul tiga sore. Aku baru sampai dari mencari Andini yang belum juga pulang. Arjun sedang bermain bersama bibik di depan, sehingga aku bisa beristirahat sebentar, sebelum kembali bertugas menjaga Arjun.DrtDrtPonselku bergetar. Ada nama Andrea di sana. Tentu saja aku berharap kabar baik yang ia sampaikan kali ini. "Halo, assalamualaikum. Ya, Andrea.""Andini sudah pulang, Pak. Ternyata dia pergi ke rumah nenek dan kami tidak diperbolehkan untuk tahu. Terima kasih, Pak. Oh iya, semoga ide yang saya sampaikan tadi pagi, bisa Bapak pikirkan kembali. Semoga Bapak setuju.""Baiklah, akan saya pikirkan. Kalau saya setuj
"Beneran Bapak suka saya?" tanyaku pada Pak Dev lagi. Mimpi apa aku semalam sampai ditembak oleh dosen uzurku sendiri. Walau hati ini senang, tetapi masih ada keraguan. Dia hanya ingin bercanda menghiburku, atau memang benar-benar menyukaiku? Namun, saat lelaki itu mengangguk pasti sambil tersenyum, di situ kuyakin, Pak Dev tidak mungkin membohongiku. Apalagi usianya tidak muda lagi, pastilah serius untuk sebuah hubungan.Tak apa tak ada cinta di awalnya, nanti juga aku bisa cinta. Semoga Pak Dev benar-benar suka padaku."Bagaimana? Kamu mau menjadi pacar saya?" tanyanya lagi dengan wajah cukup serius."Mm ... Berikan saya waktu berpikir, Pak. Dua hari lagi saya kasih jawaban, tapi kalau saya jawab iya. Tugas kampus saya ada diskon gak?" Dia malah tertawa mendengar pertanyaanku yang menurutnya sangat konyol."Kenapa ketawa?" tanyaku heran. "Pacar ya pacar. Dosen tetap dosen. Tidak ada diskon tugas, apalagi acara diskon kuis. Aturan kelas harus tetap dipatuhi," ujarnya tegas membuatku