Home / Romansa / Dosen Dudaku / 6. Salah Paham

Share

6. Salah Paham

last update Last Updated: 2022-10-30 13:55:57

POV Devano

"Rumah kamu di mana?" tanyaku pada Andini, saat kami sedang menunggu taksi online di depan gerbang kampus. Wanita itu yang memesannya langsung dari ponselnya. Aku tak tahu menahu dan dia juga tidak memberitahu apapun.

"Di rumah ibu saya, Pak. Saya kan single, jadi belum ada rumah," jawabnya sambil tersenyum tak sedap. Ya, tak sedap menurutku karena aku bertanya apa, dia menjawab layaknya anak TK. Malah, anak TK bisa menjawab dengan benar.

"Iya, saya tahu kamu tinggal di rumah Ibu kamu. Gak mungkin kamu tinggal di rumah saya'kan? Maksud ...."

"Emang boleh tinggal sama, Bapak?" tanyanya balik memotong ucapanku dengan polosnya. Sudahlah, lebih baik aku tidak perlu bertanya apapun lagi, jika ingin usiaku lebih panjang. Buat para pembaca yang ingin segera mengakhiri hidup, aku sarankan banyaklah berbincang dengan Andini.

Tak lama kemudian, taksi tiba untuk menjemput kami. Aku duduk di depan bersama Arjun yang berada dalam gendonganku, lalu Andini duduk di belakang. Tak ada percakapan apapun di dalam mobil yang begitu hening. Arjun tertidur, begitu juga Andini. Hanya suara dengkurannya saja yang menjadi soundtrack perjalanan malam kali ini.

Aku sampai menggelengkan kepala, melihat ada ternyata wanita cuek, budeg, lemot, dan begitu polos seperti Andini. Untunglah wajahnya lumayan cantik, jika tidak, pasti lelaki yang nanti menjadi suaminya makan beling setiap hari karena kesal.

Drt

Drt

Andini tersentak dari tidurnya karena ponsel yang bergetar. Masih dengan mata tertutup, Andini meraba isi tas, lalu mengangkat panggilan.

["Halo. Iya, Bu. Ini lagi di jalan pulang."]

["Pulang ke mana?"]

["Ya pulang ke rumah, Bu. Masa pulang ke pangkuan Ilahi. Udah ya, Bu. Andin ngantuk."]

Aku menahan tawa mendengar ucapan Andini dengan seseorang di seberang telepon sana, yang aku yakini adalah ibunya. Aku bisa jamin, ibunya akan sangat stres dan renta karena memiliki anak seperti Andini. Sungguh makhluk Tuhan paling seksi? Apa? Seksi? Ya ampun, seksi dari mana? Dengan hati-hati aku melirik mahasiswaku yang kembali pulas di belakang sana.

Terkadang ia tersenyum dalam tidurnya. Terkadang lagi memasukkan jari kelingkingnya ke dalam hidung, lalu mengebor; mencari harta karun di dalam sana. Seketika perutku bergolak. Sungguh gadis yang sangat jorok.

"Arjun, kalau udah gede jangan cari istri seperti itu ya? Jorok, budeg, tulalit, bikin sakit jiwa. Pokoknya Papa gak setuju kalau menantu Papa nanti wanita seperti dia," bisikku di telinga Arjun yang masih terlelap.

"Silakan, Pak. Sudah sampai," tegur sopir taksi membuyarkan lamunanku.

"Eh, baru sebentar udah sampai ya?" kataku lagi sambil melihat jam tangan. Ternyata kami hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk sampai di depan rumah Andini.

"Andini, sudah sampai. Turun sana! Saya mau pulang," seruku membangunkan Andini yang masih teramat pulas.

"Andini!" panggilku lagi sambil menekan-nekan lututnya.

"Eh, kita udah sampai ya? Maaf Pak, saya ketiduran ya. Lelah saya jongkok di WC, Pak. Semoga besok saya gak ambeien," katanya lagi sambil mengucek kedua matanya. Aku tak menyahut, karena percuma saja. Ia tetap akan menimpali dengan kalimat yang lain pula.

Pagar rumah Andini terbuka lebar. Aku menoleh, dan mendapati ibu-ibu sudah berdiri di depan pagar sambil memegang gagang sapu. Sebelah tangannya lagi berada di pinggang. Jelas sekali akan ada pertempuran antara Godzila VS Kong sebentar lagi.

"Bu, Andini pulang. Ayo, Pak. Turun dulu! Bantuin saya jelasin soal pembalut," rengeknya sambil mencolek punggungku berkali-kali. Sebenarnya aku malas, tetapi daripada nanti terjadi pertikaian, lebih baik aku jelaskan sekilas tentang yang terjadi hari ini. Sekaligus memberitahu orang tua Andini, bahwa anak mereka saat di kelas, bagaikan habis minum CTM.

"Loh, siapa kamu?" tanya ibu itu yang aku rasa tidak terlalu jelek untuk wanita seusianya. Aku yang baru saja turun dari mobil, sempat terlonjak kaget.

"Saya Dev, Bu," ujarku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.

"Debu? Nama kamu Debu?" tanya wanita itu lagi dengan kening mengerut. Andini tertawa, lalu menepuk pundak ibunya dengan pelan.

"Namanya Pak Dev. Bukan de-bu. Kalau debu itu yang suka bantu-bantu di rumah orang kaya," tambah Andini meluruskan kesalahpahaman ini.

"Itu babu, Andini. Kamu ini, jangan nganggep Ibu budeg terus dong," protes wanita itu dengan sewotnya.

"Loh, ini anak siapa? Anak Andini? Cucu saya? Kapan buntingnya?"

"Eh, b-bukan, Bu ...." Aku gelagapan menjawab cecaran dari ibu Andini yang ternyata tidak renta.

"Pa ... Sini, Pa. Lihat ini! Andini punya anak dari lelaki yang tua kayak Papa. Pa ...!" teriak wanita itu ke dalam rumah. Aku yang syok akan kesalahpahaman ini, menjadi takut dan segera saja masuk ke dalam mobil kembali.

"Jalan, Bang!" dengan wajah pucat pasi dan keringat membanjiri wajahku, kudekap Arjun dengan erat, sambil mencoba mengatur napas; guna mengatasi ketakutanku. Mobil pun berjalan dengan sedikit lambat, karena di depan sana ada mobil yang  akan masuk ke dalam rumah.

"Mas, si ibu ngejar!"

"Apa?"

Bersambung-

Ha ha ha ha

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Eneng Dliyyuen
ya allah parmiii
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dosen Dudaku   48. Pesta Pernikahan (Ending)

    Seorang Devano ternyata menunaikan janjinya untuk memberikan pesta pernikahan terbaik untuk Andini. Berlangsung di sebuah ballroom hotel mewah, pesta meriah itu diadakan. Semua setting tempat dan acara, diserahkan Devano pada salah satu teman yang dia percaya, yaitu Emir dan Aminarsih. Dua orang itulah yang membantunya mewujudkan mimpi Andini yang menginginkan pesta pernikahan seperti Tuan Putri di Negeri Dongeng.Pakaian pengantin super mewah dengan pernah pernik mengkilap menempel pada kain tile renda premium yang dibuat oleh perancang kenamaan. Semua disesuaikan dengan perut Andini yang semakin membesar di usia kehamilan menginjak delapan bulan. Tidak ada akad sebelumnya, karena memang mereka sudah menikah secara agama. Pesta langsung semarak dengan mengundang para tamu yang juga berkelas. Jangan lupakan Devano dahulu siapa? Semua relasi bisnis dia hubungi. Bukan karena ingin mengambil keuntungan dari pestanya, tetapi lebih karena semua relasi yang ia undang mengetahui bahwa dia s

  • Dosen Dudaku   47. Kekonyolan Andini

    Andini duduk di samping Devano. Kondisi suaminya sudah jauh lebih baik. Walau masih belum membuka mata, tetapi sudah ada pergerakan dari anggota jari tangan. Sesekali pria itu juga bergumam dan mengigau tidak jelas. Andini meminta ijin pada dokter untuk mendampingi suaminya. Anton dan Parmi juga membantu meyakinkan dokter, bahwa Devano pasti bisa sadar, dengan kehadiran sang istri di sampingnya.Andini menggenggam jemari suaminya yang sedari tadi bergerak, tetapi hanya sebatas itu saja. Air matanya sudah beranak sungai, berharap ada keajaiban untuk suaminya membuka mata. Pelan tangannya mengusap lengan palsu Devano. Dipijatnya lembut dari atas ke bawah. Lalu bergantian dengan tangan kanannya. Andini dengan sabar mendampingi suaminya, sambil membisikkan kalimat penyemangat."Pa, mau pegang anaknya tidak? Ini, Dedek di perut main akrobat terus. Keren loh, tendangannya. Seperti Bang Bokir. Tahu Bang Bokir'kan? Artis China yang jago silat itu loh." Andini terus saja mengajak Devano berbi

  • Dosen Dudaku   46. Koma

    POV AndiniAku tidak tahu harus berkata apa, ketika tahu kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan bersama dengan wanita yang bernama Ayu. Ketika kutanya Tuti dan teman-teman di kampus, mereka mengatakan suamiku marah pada wanita itu dan memaksanya masuk ke dalam mobil dengan kasar. Jelas sekali suamiku marah dengan kelakuannya. Apakah sebenarnya memang suamiku tidak bersalah? Aku terlalu egois yang tidak mau mendengar penjelasannya. Sekian lama aku mendiamkan dan mengabaikannya. Tidak mengurus pakaian juga makannya. Dia terbaring begitu lemah dengan berbagai alat menempel di tubuhnya. Wajahnya brewokan dan lusuh. Aku pingsan sebanyak dua kali begitu mendengar suamiku kecelakaan dan koma di rumah sakit. Keadaanku yang juga tidak sehat, membuat tubuhku semakin lemah, tetapi aku tidak mau kalah, aku harus menemani suamiku, ayah anakku. Dia di sana karena aku."Hiks ...." mau menghabiskan tisu berapa banyak lagi, aku pun tidak tahu. Air mata ini masih terus mengalir dengan derasnya."Su

  • Dosen Dudaku   45. Kecelakaan

    POV AuthorSuasana hati Andini sejak pagi, sudah tidak nyaman. Bayi di dalam perutnya pun sepertinya ikut merasakan hal yang sama. Entah ada apa? Yang jelas seharian ini Andini uring-uringan di kamar. Nasi pun tidak mampu dia telan seperti biasanya. Mual muntah yang seharusnya terjadi di trisemester kehamilan, malah didapatinya menjelang kehamilan lima bulan. Tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. Susu hamil dengan rasa vanila pun ia muntahkan. Tidak ada yang masuk dengan benar ke dalam perutnya sejak tiga hari ini.Parmi menghela napas panjang, saat mengoleskan minyak kayu putih di perut, tengkuk, leher, dan juga punggung Andini. Dengan pijatan amat lembut, dia mencoba membuat Andini nyaman, serta tidak mual muntah lagi."Masih mual?" tanya Parmi pada putrinya."Masih, Bu. Gak enak banget rasanya," keluh Andini dengan mata berkaca-kaca. Parmi terus saja memijat lembut tengkuk Andini, hingga pundak. "Mungkin bayi kamu rindu dengan ayahnya," bisik Parmi dengan senyuman hangat. Andini men

  • Dosen Dudaku   44. Kekecewaan Andini

    POV DevanoAndini masih marah padaku. Dia menutup mulut sepanjang hari, tidak menanyakan apapun, bahkan ketika aku dan papa pulang dari menguburkan salah satu bayi kembar kami. Ya, usia janin itu ternyata lebih dari empat bulan dan sudah nampak berwujud juga sudah ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Aku dan papa memakamkannya layaknya manusia yang wafat pada umumnya.Untunglah ada papa mendampingiku, sehingga aku yang tidak terlalu paham urusan seperti ini, menjadi paham dan mengikuti sesuai dengan arahannya. Jangan bilang hati ini tidak patah. Jangan bilang hati ini tidak terluka. Kehilangan salah satu dari bayi kembar yang dikandung Andini tentu saja membuatku sangat syok. Apalagi aku yang sama sekali tidak pernah mengalami mendampingi istri saat hamil sampai melahirkan.Apakah ini bagian dari penebus dosaku di masa lalu? Tak banyak yang bisa kulakukan saat ini. Bersujud memohon pada Sang Pencipta agar mengampuni dosa-dosaku terdahulu. Saat Amira ada di dalam kandungan ibunya, aku mal

  • Dosen Dudaku   43. Hadirnya Ayu

    Selama empat bulan hamil, sama sekali tidak pernah kurasakan mual, muntah, atau ngidam yang terlalu berlebihan. Hanya saja, setiap harinya wajib ada jambu air di atas meja makan. Demi menuruti keinginan bayi kami, suamiku rela membeli pohon jambu air cangkokan. Menanamnya di pekarangan rumah dan merawatnya setiap hari. Ada dua jenis pohon jambu air yang dia beli. Pertama yang berbuah hijau pucat dan satu lagi berbuah merah dan berukuran besar. Sengaja suamiku membeli yang sudah berbuah, agar kami tidak susah minta ke tetangga saat ingin mencicipinya. Pagi ini, Pak Dev sudah berangkat lebih dahulu ke kampus, sedangkan aku berangkat siang, karena jam kuliah pertama dimulai pukul sepuluh. Bibik memasak di dapur, sesuai dengan menu yang aku pesan. Sayur asem, ikan asin balado, dan goreng bakwan. Aku berencana makan terlebih dahulu, baru berangkat ke kampus."Non, sayurnya udah mateng," seru Bibik dari balik pintu. Aku meletakkan ponsel di atas nakas, lalu segera turun dari ranjang untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status