Share

5. Permintaan Andini

POV Devano

Kukayuh sepeda dengan kecepatan kilat. Untunglah keadaan kampus sudah sepi, sehingga saat aku mengebut seperti ini tak ada mahasiswa yang memperhatikan. Hanya ada satpam kampus yang menyapaku karena melihatku terlalu tergesa. Sapaan itu hanya kujawab dengan anggukan dan senyuman tipis. Arjun yang masih setia berada di dalam gendonganku tentu saja sangat senang dengan kelakuan konyolku mala mini. Ditambah lagi angina malam yang hari ini tidak terlalu kencang, tetapi tetap menyejukkan, membuat Arjun tertawa-tawa senang.

Mataku melihat aneka barang dagangan yang ada di warung besar depan kampus. Ada beberapa mahasiswa juga yang nampak duduk di meja panjang yang disediakan oleh pemilik warung. Sepertinya mereka sedang menumpang wifi untuk mengerjakan tugas.

“Mau beli apa, Pak?” tanya penjaga warung—wanita bertubuh kurus tinggi.

“Beli apa ya? Duh, kok saya lupa,” gumamku sambnil menggaruk kepala. Otakku benar-benar tak bisa diajak kerja sama disaat genting seperti ini.

“Pampers buat anaknya?” tanya si mbak lagi padaku.

“Bukan, Mbak. itu, kalau perempuan datang bulan, pakai apa ya?” tanyaku dengan polosnya. 

“Oh, pembalut, Mas. Duh, suami yang baik hati sekali, mau malam-malam ke warung belikan pembalut buat istri. Sebentar ya!”

Istri katanya? Maaf saja. Bahkan jika aku harus salat istikharah beberapa kali, tidak mungkin muncul wajah mahasiswi rusuh itu di dalam kepalaku. Cukuplah makhluk goib seperti itu menjadi mahasiswiku saja. Jangan sampai menjadi ibu dari anak-anakku. 

“Pak, ini! Semuanya lima ribu rupiah.” Aku pun mengeluarkan selembar uang limaribu rupiah yang kebetulan aku selipkan di saku celana trainingku. Secepat kilat aku memberikan uang itu pada penjaga warung, lalu menyambar bungkusan pembalut dengan tak sabar. Kukayuh  sepeda kembali untuk masuk ke dalam kampus. Masa bodo dengan petugas keamanan kampus yang terheran-heran melihatku keluar masuk kampus sambil membawa bayi.

Bulu tangan dan leher bagian belakangku benar-benar berdiri. Tak ada mahasiswa sama sekali di kampus. Kepalaku celingak-celinguk memastikan keadaan yang benar-benar sepi. Jangan sampai ada mahasiswa ataupun dosen yang mengetahui perbuatan konyolku malam ini. Sepeda aku pingigirkan bersandar di tembok. Lalu aku masuk kembali ke dalam toilet wanita dengan langkah gusar.

“Andini, ini pembalutnya!” aku mengulurkan tangan dari bawah pintu bilik tempat Andini tadi. 

“Nah, ini betul. Terima kasih, Pak,” ucap Andini dengan nada riang. Aku tak menyahut, hanya berdeham tanda mengiyakan ucapan terima kasihnya.

“Yah, Pak. Kok yang gini. Saya maunya yang ada sayapnya, Pak.”

“Emangnya kamu mau ke mana segala pake sayap? Aneh sekali! Terserah, kalau gak mau pake. Saya mau pulang! Kasian Arjun malam-malam terpaksa saya bawa untuk meladeni gadis aneh kayak kamu!” dengan langkah lebar aku pergi meninggalkan toilet itu, lalu dengan segera mengayuh kembali sepedaku dengan kecepatan sedang.

“Pak!”

“Allahu Akbar!” tiba-tiba saja Andini sudah berlari beriringan dengan sepeda yang kukayuh. Tak tega dengan wajahnya yang berkeringat, aku pun menghentikan kayuhanku, lalu menoleh padanya.

“Ada apa lagi Andini?” tanyaku dengan menekan suara agar tidak berteriak di depannya.

“Antar saya pulang, Pak. Tanggung jawab sama orang tua saya. Gara-gara Bapak, saya jadi pulang terlambat.”

“Lah, bukan urusan saya! Pulang aja sana sendiri!” usirku. 

“Pak, saya bukan mau beli strawberi. Saya mau diantar pulang!’

“Bodo amat!” balasku tak mau kalah.

“Pak, ish … mana bisa saya selamat kalau pulang sendiri,” timpalnya lagi sambil mengayunkan lengan bajuku. Arjun betepuk tangan. Seakan-akan bayi itu senang dengan kehadiran mahasiswi budeg yang mengerjaiku hari ini, dan aku sepertinya akan benar-benar lelah menyahuti Andini jika aku menolak untuk mengantarnya pulang.

“Ya udah iya. Saya antar kamu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status