Share

Lama Tak Mengunjungi Sang Wanita

Kala hidup netra tak henti-henti mengamati kesenjangan sosial. Tetapi kala bukan selimut tebal membalut kulit kala dingin, tidak juga selimut dengan lubang-lubang membungkus. Maka netra tertutup sempurna dengan kemustahilan kembali ke dunia, justru memukul telak pemikiran orang-orang. Kala hidup kau berbeda dan direndahkan.

Tetapi bagaimana kabar kala seluruh tubuh tanpa terlewat terbalut tanah? Bukankah status kala nisan menghias suatu lahan tanah kosong, itu cukup menjadi definisi antonim kesenjangan sosial? Harta kau perjuangan di kehidupan tetapi kala menjadi penghuni liang tanah, tak mungkin rasanya tumpukan harta ikut masuk menemani. Tubuh terbujur kaku hanya menanti waktu mengikis menyisakan tulang.

Tempat penghuni bergelar almarhum dan almarhum telah dapat Arion lihat. Tanjakan menuju pemakaman telah aman terlewati, walau sekian lama tak bermain kemari. Kumpulan bunga segar kesukaan penghuni hati menemani samping kursi kemudi. Tak lagi sesak kala tanah mulai dicangkul menimbun tubuh kaku sang wanita.

Bukan pula rasa berbunga-bunga setiap melihat senyum dan mendengar tawa sang wanita. Rasa rindu dan pusing bersarang dalam diri. Ingin rasanya merengek dengan egois, agar sang wanita kembali menjadi teman cerita. Tetapi kewarasan menampar keinginan gila.

Tak sederas kala hari pertama kematian sang penghuni hati, air mata penyekaran sekian lama jauh mampu bisa ditahan. Menatap sendu pahatan batu nisan menjadi hiasan rumah sang istri. Menghela nafas mengenyahkan sesak ditiap relung, lucu memang kala melewati tanjakan sesak tak hinggap. Menatap sendu serta tersenyum getir kala berhadapan dengan tulisan nisan. Tidak hangat wajah Azalea dia belai bukan pula dinginnya kulit terakhir dikecup, melainkan usapan dan kecupan rindu berharap semilir angin berbaik hati jadi merpati.

"Hai wanitaku."

Air mata hendak egois mengalir menghiasi pipi. Berdeham sekaligus memukul mata agar tak mengalir. Tangan berurat itu meraba saku mencari alat menyembunyikan air mata, agar wanita jauh di alam sana tak jahil mengintip keadaan matanya. "Bagaimana kabarmu di sana?"

"Sudah tidak sakit bukan, Rissa?"

"Apakah buah hati kita bandel pada mamanya?"

"Pasti kau memilah nama indah untuknya."

"Apakah di sana seindah itu hingga kalian tak mengajakku juga?"

"Ris, apakah anak kita di sisimu? Mintalah dia bersembunyi sejenak, karena aku hendak menceritakan mengenai hal dewasa."

Menghela nafas kala mata terasa memburam. "Apa Nak? Kau bilang telah dewasa karena telah 21 tahun? Di mata Papa kau adalah bayi. Ah, andai kalian menemani Papa kemanapun."

Antara menangis atau geram dengan aksi Arion, manakah yang dominan kalian rasakan? Geram karena Arion terkesan bak pasien rumah sakit jiwa? Geram rangkaian kalimat terkesan berbumbu egois? Atau menangis karena ikut iba dengan nasib Arion?

Arion bukanlah penyandang jiwa retak hingga rusak, karena dia rasa sang hati telah lega. Atau kelegaan fana karena bertahun-tahun tak mengunjungi makam semata? Puas dengan bicara pada semilir angin ditemani nisan, Arion mengecup nisan sang istri. Hati terasa berat berpisah, tetapi akal sehat menampar telak.

Semilir angin seakan-akan tengah tertawa terbahak-bahak melihat kekonyolan Arion. Ia kian kencang membuat pasir ikut berterbangan. Langkah Arion terpaku kala baru puluhan langkah menjauh dari nisan. Netranya menatap ragu tetapi rindu dengan wanita dan gadis berusia 21 tahun.

"Ka--kalian..." Lidah itu terasa terbelit rantai karena terasa berat.

Waktu berjalan tetapi senyum itu gagal dilunturkan waktu. Manis dan menawan begitulah senyum sang wanita. Arion mendekap wanita mirip sekali dengan sang istri. Netranya menatap bangga kala mengamati gadis berusia 21 tahun. Paras mirip dengannya hanya versi menggunakan rambut palsu saja, gadis itu hanya asyik mengamati dengan kaki diluruskan.

'Mas.'

"Sa--sayang?"

Tak peduli panggilan bernada teguran itu, Arion kembali mendekap Azalea. Sorot mata kerinduan terpancar dari keduanya. Kerinduan terasa pelik mengalahkan kepelikan kala menjelah labirin, waktu dan alam seakan menjadi cambuk sekaligus musuh. Arion mengusap surai lebat nan bergelombang sang istri, mulai semburat putih bagian atas dan bawah rambut saja. Surai lebat telah kembali tanpa kehadiran sang istri di alam kehidupan nyata.

"Di--dia--"

Menoleh mengikuti arah pandang sang suami. Anggukan kepala serta senyum diberikan. 'Putri kita, Mas.'

Tak ada pembangunan terjadi di tempatnya berpijak, tetapi langkahnya dibuat terkunci walau hanya setengah centipun. Netra itu kian panas bahkan tak sadar sejak kapan kacamata mata tak bertengger. "Siapa namanya?"

Gadis dijadikan pusat perhatian sejoli itu beranjak. Senyum kaku layaknya sang papa terukir di pipi tirusnya. Mengecup pipi basah sang Papa, gadis itu mengamati wajah benar-benar mirip dengannya. 'Papa...'

Tak tahan dengan kerinduan kian sesak dalam durasi mulai perdetik. Arion mendekap gadis bertubuh seramping sang istri. "Putriku."

'Namanya Vanya Gabriela Prakasa, Mas'

Arion menarik sang istri pula agar masuk dalam dekapan. Lisannya tak henti-henti mengucap terimakasih, jangan pergi, dan mantra untuk Sang Pencipta.

'Ma, waktu kita habis.' Teguran Vanya justru membuat Arion kian mempererat dekapan.

'Mas, kami pamit lagi, ya. Sampai jumpa di sana. Jangan terkurung dalam masa lalu, Mas. Gadis di ujung sana ku yakin telah menyentuh hati ini.'

'Sampai jumpa, Pa.' Kedua bidadari Arion sangat kompak berpamitan.

Arion kembali terpaku kala bayangan kedua wanitanya secara utuh telah menghilang. Tubuh kekarnya tak kuasa menopang lutut melemas. Tenaganya memang tak sekuat lelaki, tetapi melihat posisi waspada Arion membuat langkahnya secepat si tak bertapak kaki. Jemari lentik itu mendekap tubuh pria diujung jurang.

"Pak Arion!"

"Tidak! Pak, jangan melangkah."

"Pak, sudah, Pak."

"Pak, saya mohon sadar!"

"Pak--"

Bibir tebal itu langsung mencumbu bibir tipis yang lebih muda. Gadis pemilik bibir membelalakkan mata terkejut dengan pergerakan tiba-tiba. Ingin mendorong agar menjauh, tetapi mengapa hatinya justru bergemuruh? Apabila keselarasan itu susah maka tolong perihal hati agar bisa.

"Pak Arion, kenapa? Anda ada perlu apa kemari?" Bukan kalimat protes terucap, melainkan pertanyaan khawatir berhasil dikeluarkan.

Tak peduli posisi dirinya lebih tinggi, Arion berlutut di bawah sang mahasiswi. Menatap paras sang mahasiswi dengan rasa campur aduk. Dia mencium sepatu kotor Azelina, semakin membuat sang gadis terkejut.

"Pak! Sudah, Pak. Anda kenapa, Pak?"

"Sa--saya..."

"Ya? Anda kenapa, Pak?"

"Tolong saya, Zelin. Saya mohon tolong saya."

Keningnya mengkerut kian jelas pertanda kebingungan menumpuk. "Dalam hal apa yang bisa saya bantu, Pak?"

"Tolong lepaskan saya agar menemani mereka!"

Arion mendorong Azelina sekuat tenaga, hingga membuat keduanya sama-sama terjatuh. Jurang tepat di belakang punggung Arion, membuat dia akan berguling ke bawah dalam hitungan detik. Mengabaikan kotornya tanah bercampur pasir. Mengabaikan pula cumbuan bibir tebal beberapa saat lalu, Azelina berlari mencari keberadaan sang kakak.

"Kak!"

"Kak Val!"

"Valko Aryasatya Bastian!"

Tubuhnya didekap sang kakak kala hendak kembali terjatuh. Kening Valko mengernyit curiga dan bertanya-tanya. Apakah sang adik dikejar penggali kubur, jenazah bangkit dari kubur, atau penunggu makam?

"Ada apa?"

"Di sana--"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status