Share

Mulut-Mulut Orang

Layaknya perkataan orang-orang mencibirnya aneh, yang sejak melihat pertengkaran dengan sang kekasih beberapa hari lalu. Ntah mengapa kian hari dia sendiri juga merasa bahwa memang kian aneh. Perasaan aneh dan tak asing ntah mengapa seakan terkurung demi menetap. Tak ada dorongan bisikan apalagi keinginan alami, langkahnya kala menahan pergerakan sang dosen juga bahkan tak dia sadari.

Dia tak lupa statusnya apabila masih kekasih Xavier, hanya saja sang dosen ntah mengapa tampaknya memiliki tempat rahasia. Tempat yang tak Azelin atur, harap, apalagi menginginkan. Lucunya lagi adalah... Kunci hatinya digenggam oleh Xavier selaku kekasih, tetapi mengapa hatinya terasa janggal tiap menatap bahkan melirik Arion. Rasa asing tetapi tak asing selalu mendesak menjungkir balikkan isi otak.

Melupakan status telah sekian lama berpacaran dengan Xavier. Menulikan rentetan kalimat curiga sang kakak, dan teguran Jala selaku sang sahabat. Azelina menatap ragu bangunan bertingkat tiga di hadapannya. Bangunan memang masih kokoh, bersih, tetapi tak bohong bila rumah ini sangat terasa sunyi dan gersang tanpa interaksi hangat selama waktu sangat lama. Bermodalkan iseng dan cerdik membuat Azelina, mendapatkan alamat rumah lama sang dosen.

Pagar gerbang dari stainless membuat daun pintu rumah Arion tak mampu dipandang dari luar. Suami dari Bibi yang merawat rumah mulai jengah, kala sang tamu tak kunjung berani mengetuk pagar atau menekan bel di luar. Padahal orang tua Arion sengaja menyediakan bel di luar, dan dalam agar saat gerbang terbuka setidaknya pintu selalu terkunci aman. Umpatan seringan kapas hampir saja terucap, karena tiba-tiba terbuka menjadi dua dari dalam.

"A--" Menutup mulut dengan mengigit bibir bawah kala beberapa huruf lagi genap umpatan.

Arion mengernyit kala suara gerbang tua menusuk indera pendengaran. Mengabaikan pemikiran, mungkin suami Bibi membeli jajan atau mencari udara. Dia tak berniat mengintip melalui balkon, karena berniat meluruskan tubuhnya masih nyeri dan linu sehabis keluar dari rumah sakit. Usia tak lagi belasan layaknya remaja, membuat tubuh Arion bengkak sana-sini, dengan beberapa tulang bergeser. Beruntunglah tak sampai patah, apalagi nyawanya mengucapkan perpisahan padahal jatuh dari jurang.

"Anda mencari siapa ya, Nona?"

"Apakah ini benar kediaman Pak Arion Prakasa?"

Kode-kode siaga berterbangan berbisik, mengamati gadis muda di hadapannya tanpa melewatkan seujung pun. Kening keriput itu mengernyit, menatap penuh pengamatan sang gadis. "Siapa anda? Ada keperluan apa mencari Tuan Muda? Anda siapanya, Tuan? Apakah Tuan telah anda beritahu?"

Azelina membuka mulut tak menyangka. Waspada itu memang perlu dalam keadaan apapun, tetapi tetap saja dirinya risi. Memang seantagonis itukah wajahnya? Mengabaikan perasaan semu, demi memastikan keadaan sang dosen sekaligus ajakan berangkat kuliah bersama.

"Saya salah satu mahasiswi Pak Arion. Jadi bolehkah saya menemui beliau walau tanpa janji?"

Berganti sang satpam yang terkejut. Curiga dan aneka kalimat tanya terpatri. Apakah gadis ini calon pengganti nyonya muda? Apabila iya maka dirinya ingin menuntut alam bagaimanapun caranya, walau tentu terkesan bak orang gangguan jiwa yang bodoh. Paras, tubuh, dan suara gadis di hadapannya baru dia sadari apabila mirip dengan mendiang nyonya muda.

"Benarkah anda mahasiswi? Anda bukan Nyonya muda Azalea? Atau anda kembaran dirahasiakan? Adik Nyonya muda tak diketahui?"

Azelina mengernyitkan dahi, merasa asing dengan nama disebut dan bertanya-tanya dengan maksud pertanyaan. Siapakah Azalea? Mengapa dirinya dianggap demikian? Apakah terdapat kesamaan sebagai faktor?

"Ma--maaf Pak, saya adalah Vierra Azelina Clarissa. Saya bukan pemilik nama anda sebut. Saya tak mengenal wanita anda sebut, walau sebutan anda katakan sedikit menggambarkan. Saya bukan siapa-siapa dan tak lebih dari mahasiswi baru di bawah didikan Pak Arion."

Perasaan aneh yang bersarang di hati membuat Azelina, tak kuasa menyebut ulang nama Azalea. Ntah perasaan bagaimana rincinya karena dia pun juga merasa aneh.

"Baiklah silakan masuk."

Satpam menginterogasi Azelina juga membantu membukakan pintu, sehingga Azelina tak lebih lagi membuang tenaga. Pria telah merapikan kancing kemeja satin, menyisir rambut, seketika mematung kala mengendus aroma tak asing di indera penciuman. Menghentikan segala rencana kegiatan, demi menanti gadis tampak melangkah hingga ke ruang tengah.

"Vierra Azelina Clarissa!"

Pemilik nama terperanjat kala melihat pria dicari-cari, tanpa diketahui terlebih dahulu menyapa inderanya. "Pak Arion, anda apa kabar, Pak? Apakah badan anda tak linu? Bagaimana dengan tulang bergeser apakah telah kembali? Saya membaca grup kelas, katanya anda akan kembali?"

Arion memejamkan mata mengubur rasa tak asing. Dia menghela nafas panjang. Terlampau mirip hingga rasanya sang kewarasan terkikis. Penawar? Ntahlah rasanya jenis dan bentuk bagaimanapun telah tak mampu selain satu kunci.

"Bagaimana anda bisa tahu alamat saya, Rissa?"

Bak anak ketahuan aksi jahilnya dari orang tua, Azelina menggaruk tengkuk tak gatal, seraya tersenyum kikuk. "Saya mencari tahu sendiri dengan cara saya pokoknya, Pak."

Terkesan menggelikan bahkan menjijikkan, karena dia sendiri sangat menyadari. Tetapi sikap Azelina terlalu duplikat Azalea, sehingga berulangkali membangkitkan jiwa muda Arion. Jiwa yang sempat terkubur bersama Azalea dan buah hati di janin kala itu.

"Ya sudah, kalau begitu ayo berangkat bersama saya saja sekalian. Lumayan bukan uang bensin kakak anda aman. Anda tak bertanya-tanya dengan perubahan kekasih anda. Tak cemas dengan reaksi kekasih sahabat anda yang lelaki itu."

Senada dengan warna kemeja satin saat ini tengah mencetak dadanya. Mobil berukuran panjang dan berwarna hitam itu telah masuk ke pekarangan kampus. Tak ingin ketinggalan jaman, dosen hampir paruh baya itu ikut mengganti mobil keluaran terbaru. Langkah kaki dengan tujuan berbeda-beda seketika bergeming, kala melihat sang dosen mengitari pintu sisinya.

Ada kejanggalan yang aneh maka sudah pasti apa? Yaps, lisan-lisan mengalahkan panjangnya mulut entoklah jawabannya. Tak seterang mata burung hantu kala malam yang tanpa penerangan. Netra mahasiswa-mahasiswi saling memantau pergerakan Azelina.

"Hei-hei lihatlah ke parkiran dosen khusus!"

"Wah gila sekali si Azelina."

"Tak tahu diri sekali dia sudah kemarin diberi tumpangan Xavier, kali ini justru berganti ke mobil dosen."

"Gue curiga ternyata si mahasiswi baru tanpa ospek itu ternyata menjual diri."

"Kasian si Kak Valko sih."

"Eh, tapi aneh kenapa Pak Arion kayak kesakitan ya?"

"Ssst kayak nggak tahu aja lo. Bisa aja ulah Azelina brutal jadi Pak Arion gitu."

"Rakus banget sih Zelin."

"Sebenarnya saya juga ingin mendorong mereka agar tiada. Apabila tak mengingat tangan saya akan kotor, mengalahkan terkena kubangan lumpur karena orang seperti itu," celetuk Arion melihat Azelina meremas kencang tangan.

Azelina menatap datar Arion. Ntahlah perasaan campur aduk, membuat dia memilih netral dengan ekspresi datar. Dia menganggukkan kepala kecil tanpa diketahui Arion. Orang lain hanyalah tahu menggonggong tanpa fakta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status