Share

Menjadi Pusat Perhatian

Mobil mewah audi A8 L berwarna hitam telah terparkir di rumah hampir 30 menit. Gugup karena sekian lama tak melakukan interaksi, dengan penghuni-penghuni rumah tempatnya parkir membuat ragu melangkah. Bangunan mewah bernuansa ala Italia karena ketertarikan pemilik rumah, kembali Xavier pijak dalam waktu yang ntah kapan terakhir kali karena dirinya pun lupa. Hanya saja rumah ini masih tak menumpulkan kenangan di benaknya. Bayangan sang gadis dia kenal sedari kecil, kakak sang gadis, dan sahabat lelaki sang gadis selalu mengelilingi benak setiba di rumah Zelin.

Posisi yang tak beranjak walau secentipun membuat objek pandang Xavier terbatas. Gerbang menjulang tinggi dengan sisi kanan, secara semu-semu dedaunan tanaman pucuk merah sedikit menyumbul efek lama tak dipotong. Senyumnya terpatri kala mengingat kepingan masa kecil. Ketiganya pernah menemani wanita pemilik rumah, berkebun karena ketertarikan pada tanaman tak sirna. Tawa riang Zelin rela renyah walau terselip isakan, demi sang kakak tidak mengambing hitamkan Xavier.

Bak bapak-bapak yang paginya telah diusik rengekan para buah hati. Lelaki sebaya Xavier keluar dengan menggunakan celana tidur bergambar beruang, kaos tanpa lengan berwarna putih, rambut dikuncir kecil-kecil yang dirinya yakini dari jemari lentik Zelin. Xavier bergeming tak menyangka melihat penampilan sang sahabat. Walau dari kejauhan Xavier mengigit bibir menahan tawa dibalik kaca bening mobilnya. Yang semakin membuat perut kian tergelitik adalah... Bandana melingkar kepala padahal rambut gondrong itu telah dikuncir mancung kecil-kecil.

Valko Aryasatya Bastian-- Mahasiswa semester akhir yang akrab disapa Valko saat di rumah, sedangkan Arya atau Satya saat di kampus. Tangan berurat itu menggenggam berbungkuskan hitam yang berisi pot dari luar negeri. Gerutuan kesal hilang kala ekor matanya mengamati objek baru melalui sela-sela gerbang. Netranya merasa asing dan heran kala mobil audi terparkir dengan mesin menyala. Aneka kalimat tanya terukir di benak.

Valko meletakkan pot di depan pintu secara asal. Prioritasnya saat ini adalah rasa penasaran. Valko membuka gerbang secara perlahan agar orang rumah yang lain tidak histeris. Memilih memutar gang demi berdiri di belakang mobil tanpa diketahui sang pemilik. Lamunan mengamati rumah di hadapan, bukan berarti membuat Xavier mengetahui bila sang sahabat di belakang mobil.

"Xa--Xavi?" Satu kata itu spontan terceletuk kalah melihat perawakan lelaki dari belakang, yang tentunya masih terhadang oleh kursi-kursi mobil.

Tak ingin penerkaanya salah berujung hal tak sesuai harapan, Valko mengitari mobil mendekat ke bagian supir. Kaca mobil bagian kanan kiri yang hitam, membuat netranya sulit memastikan perkiraan benak. Lelaki dengan rambut berwarna biru gelap itu menekan kaca sampingnya. Valko bergeming terpaku dibuatnya. Sosok sering dibahas orang tua beserta adiknya, yang tak lain juga sang sahabat sedari kecil kini tepat di depan mata sela-sekian lama.

"Hi bro!"

"L--lo?" Masih dengan rasa tak menyangka, membuat Valko terbata.

"Iya gue, Val. Dimana Vierra? Di rumahkan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Xavier, Valko justru mengucapkan perintah agar pemilik mobil keluar. "Keluar buru!"

Manakah ekspektasi kalian setelah Valko mengucapkan perintah. Pelukan, tos ala lelaki, atau kegiatan lainnya? Valko meninju Xavier dengan sikunya, kesal berselubung karena sang sahabat tidak memberitahu. Sedangkan sang adik sekaligus kekasih sang sahabat justru telah mengetahui. Manakah yang salah? Azelina tak bercerita atau Xavier tak memberi informasi?

"Kapan lo sampai Indo? Emang urusan London udah selesai? Bukannya seharusnya wisuda baru pulang, ya? Wah curiga gue sama lo dan adik gue."

"Kekuatan cinta dan rindu, Val. Makanya gue berhasil tetap wisuda di tanah air, selagi urusan sana udah selesai beberapa bulan."

"Yakin bukan karena lo nganu adik gue."

Bersahabat sejak lama membuat Xavier lebih santai dengan sang calon kakak ipar. Xavier mencapit kepala Valco, bahkan hingga membuka gerbang sendiri. Reaksi sama diberikan oleh wanita yang bergeming di depan pintu. Asing melihat lelaki yang mengapit putranya, sekaligus bertanya-tanya apa ulah yang dilakukan sang putra.

"Valco, sudah Mama bilang jangan nakal! Ayo minta maaf ke... Siapa namamu, Nak?"

Xavier tersenyum hangat, menahan geli karena terkesan berubah padahal sama saja. "Xavier Emran Pratama, Mami."

Mama Valco dan Vierra terpaku, hingga tak sadar apabila mulutnya terbuka. Wanita paruh baya itu spontan mendekap rindu, lelaki yang juga dirinya anggap sebagai putra kandung. Piama daster masih membungkus hangat serta, rambut acak-acakan sang gadis membuat Xavier bergeming melunturkan senyum hangat setelah menerima dekapan.

"Mi, Abang gak bisa dihubungi. Kayaknya Abang kebiasaan baterai habis nggak di charger," kata Azelin tak menyadari keadaan karena nyawa masih di kamar.

"Nak."

"Dek."

"Babe."

Kesadaran Zelin terkumpul sepenuhnya kala mendengar suara Xavier. Gadis itu spontan berlari kembali ke kamar, mengingat janji tertulis di layar handphone. Nyenyak tidur dan legitnya alam mimpi membuat gadis itu bak penderita amnesia. Kembali dengan pakaian rapi, Zelin menggaruk leher tak gatal, lalu duduk diantara sang kekasih dan Valko ntah sejak kapan juga telah rapi.

"Loh Abang kok rapi? Katanya kelas malam."

"Dimajuin dosennya jadi gue izin bareng kalian. Xavi udah setuju kok."

"Tapi--"

"Gak apa-apa kok, Babe."

"Tuh denger. Lo yang tetap depan deh."

Perdebatan di rumah tak bersambung hingga dalam mobil. Mobil hanya diisi percakapan hangat, membahas hari-hari tanpa Xavier dan Xavier menceritakan harinya di London. Gedung-gedung fakultas menjulang tinggi, Valco telah berpamitan terlebih dahulu. Ntah penerkaan keliru yang asal belaka dalam benak masing-masing, atau penerkaan itu merupakan realita kehidupan. Xavier merasa ada yang mencurigakan di Azelina, dan Azelina anehnya juga merasa demikian.

"Babe, bolehkah aku bertanya?"

"Hah? Oh tentu boleh. Apa yang hendak kau tanyakan?"

Xavier menatap pria di balik semak dan Azelina secara bergantian. "Kau mengawasi dosen belakangku bukan?"

"Tidak."

"Ya! Jelas-jelas netramu menatap belakangku!"

"Apa-apaan kau ini, Xav. Kubilang tidak ya tidak!"

"Apabila tidak maka mengapa bisa desas-desus tentang mahasiswi baru tak mengikuti MOS (Masa Orientasi Sekolah) dicurigai menjalin kasih dengan dosen baru bernama Arion Prakasa?!"

Azelina paling benci dibentak dan ditatap curiga tanpa bukti. Dia bersiap beranjak dari hadapan Xavier, berniat menuju ke gedung fakultasnya. Xavier terlebih dahulu mencengkeram erat pergelangan tangan Azelina, semburat ungu kebiruan seketika tercetak jelas. Azelina meringis membuat Arion bersembunyi hampir lupa.

"Lepaskan!"

"Kubilang lepaskan, Xav!"

"Xav, lepaskan!"

"Vierra Azelina Clarissa tak akan ku lepaskan kau sebelum mengaku desas-desus itu."

Azelina meronta-ronta merasakan pergelangan tangan kian perih. Ditambah keduanya tengah menjadi pusat perhatian publik. Azelina tak lagi berteriak, malas menambah opini macam-macam publik.

"Mas Ari, itu ada apa kok berkerumun?" tanya dosen perempuan penasaran, ditambah Arion bukannya melerai justru bersembunyi.

"Saya juga tidak tahu."

Mengernyit bingung sekaligus curiga dibuatnya. Netra dosen wanita itu terbelalak, kala Arion ntah kapan berpindah ke pusat kerumunan.

"Lepaskan Azelin!" perintah Arion.

Xavier tersenyum miring, lalu menatap jijik sang kekasih. Tangan itu dengan ringan pertama kali menampar Azelina. "Begini masih tak mau mengaku kau, Azelina?! Dasar wanita gatal!"

Azelina mengigit bibir bawahnya menahan isak tangis. Tamparan Xavier membuat wajah Azelina menoleh karena kencangnya. Arion spontan meninju bertubi-tubi tanpa arah Xavier.

"Banci sekali kau menampar Zelin! Jangan lakukan kekerasan padanya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status