Share

Ada Apa Di Kerumunan?

Tinggi, kekar, tampan, pintar, kaya, mapan di usia muda. Rasanya bukankah rentetan kalimat tadi cukup menjabarkan kesan kesempurnaan, lelaki dengan setelan jeans yang di dalamnya dirangkap kaos putih polos? Bahkan dimanapun berada lelaki ini mendapatkan perlakuan sama kala di tempat ini. Tak sebatas sepasang dia pasang netra saja yang memandang, puluhan mahasiswi menatap kagum dan lapar. Berbeda dengan tatapan diberikan mahasiswi, para mahasiswa justru menatap iri pesona lelaki bersetelan jeans.

Tak memberi tahu kabar kebahagiaan ini pada sang kekasih yang telah menunggu. Xavier berhasil menyelesaikan acara studinya di London, lebih cepat dari target yang diberikan. Tenang saja walau dikerjakan secara cepat-cepatan, bukan berarti hasil pekerjaan mahasiswa cerdas ini dikatakan tak memuaskan. Walau dengan sedikit dorongan dana orang tua, juga bukan berarti membuat Xavier manja. Kini tugas di kampus ini hanya beberapa langka lagi hingga kelulusan.

Menatap rindu bangunan bertingkat telah bertahun-tahun dia pijak, bangunan ini pula yang sempat dirinya tinggal. Padahal bangunan ini terdapat gadisnya. Gadis telah dirinya pacari sedari lama hasil berteman dengan kakak sang gadis. Walaupun dengan suara berbisik-bisik tak membuat Xavier mendengar secara semu-semu.

"Siapa dia?"

"Apakah kampus kita memiliki aktor, penyanyi, atau model diam-diam?"

"Hei-hei, apakah tahu siapa dia?"

"Apakah dia mahasiswa London ya?"

"Mana mungkin jadwal kembalinya saja masih beberapa bulan."

"Hei! Bisa saja dia menyelesaikan lebih cepat dengan sogokan nafsu atau uang?"

"Mulut kau! Bagaimana bila ada yang mendengar lalu dilaporkan?*

"Tampan sekali apa yang dimakan ibu mahasiswa itu ya?"

"Aish, anda aku tampan pasti juga mendapatkan bisikan demikian pula."

"Enaknya menjadi orang tampan."

Rangkaian kalimat dari tiap lisan, membuat dada Sean membusung rasanya. Senyum tipis terukir menampilkan lesung pipi secara semu-semu. Netra elang itu bak balita kala menatap sang ibu kembali ke rumah. Xavier memeluk erat walau dari belakang sang gadis. Aroma parfum masih sama membuat benak tersadar, rumahnya masih tetap sama walau berbulan-bulan dia tak menampakkan batang hidung.

"Hei! Stop it! (Hai! Hentikan!)"

"Kubilang berhenti!"

"Aku akan berteriak kalau kau tak berhenti!" ancam sang gadis yang tak sekadar gurauan belaka.

Seperti saat sebelum kepergiannya ke London, Xavier membekap mulut Zelin. Mengingat gadisnya jarang menuturkan bualan. Zelin mengernyit, bergeming, menatap kosong tangan lebar lelaki yang tampaknya tak asing di hati. Rasa penasaran membuat Zelin membodohi diri sendiri, padahal beberapa saat lalu tahu bila tengah di keramaian. Dekapan tiba-tiba Zelin tak membuat Xavier merasa kaku, dia tak kalah gesit dengan langsung membalas dekapan lebih hangat nan erat.

"Ka--Kak Xa--Xavi?"

"Kak, ini benar kau?!"

Xavier terkekeh gemas, mengusap hidung mancungnya ke hidung Zelin, lalu menganggukkan kepala membenarkan. Zelin menarik kerah baju jeans Xavier, menatap lekat-lekat dari kedekatan.

"Kak, kenapa tak menghubungiku bila kembali? Jangan-jangan Kak Xavier janjian ya sama Kak Valko!" Masih belum mengendurkan jarak, Zelin menatap sengit Xavier sembari bibirnya maju.

Euforia dari menanti orang yang dinanti berbulan-bulan lamanya, membuat Zelin mengabaikan sekitar. Kini keadaan kompak menjadikan Zelin dan Xavier sebagai pusat fokus. Teman-teman sekelas Zelin bahkan terabaikan sedari kedatangan kakak tingkatnya. Xavier mengedarkan pandangan sebelum membalas penuturan Zelin, sang gadis mengikuti arah pandang kekasihnya lalu menunduk merasa malu.

"Tampaknya kalian perlu banyak waktu."

"Bagaimana bila kita menepi dari sini?"

"Ide bagus biarkan Zelin dan Xavier memiliki ruang."

Kelima mahasiswa-mahasiswi teman Zelin kembali ke kelas. Kepergian teman-teman sekelas Zelin membuat, mahasiswa-mahasiswi lain ikut menjauh dari Zelin dan Xavier. Kedua lelaki berbeda status bagi Zelin mengawasi dari kejauhan. Berbeda status maka berbeda reaksi pula melihat objek semula dikerumuni.

Bak pemangsa kecewa menatap target buruannya, Arion menatap Zelin dan Xavier dengan perasaan campur aduk. Dia kecewa walau tak memiliki status. Apakah karena cantik jelita sehingga Zelin mendekap dua pria? Kira-kira apakah ada lelaki lain lagi? Mana yang lebih Zelin sayangi?

Tak seperti Arion kala menatap kemesraan mahasiswinya bersama kekasih hati, Jaladri menatap bahagia momen di hadapannya. Waktu yang dinanti-nanti dirinya tiba lebih awal. Dia harap kembalinya Xavier membuat isu Zelin dengan dosen sirna.

Semilir angin tak membuat Xavier lelah-lelah, menepikan poni yang menghadang wajah ayu gadis idamannya. Zelin sangat bahagia akhirnya sang kekasih kembali. Dia tak lagi dituding menjadi selingkuhan Jaladri, ataupun berhubungan spesial dengan dosen.

"Kapan kau pulang, Kak?"

"Babe, kita hanya berdua saja loh. Yakin ingin memanggil Kak terus? Ayo dong panggil aku seperti dulu kala usiamu 17 tahun."

Semburat merah muncul tanpa mantra terucap, membuat Zelin mengalihkan pandangan. Kenangan kembali ke permukaan, mengingat waktu diutarakan Xavier. "Sa--sayang?"

Momen dirindukan Xavier selama di London benar-benar membuahkan hasil manis. Xavier menarik tengkuk Zelin, menekuk surai, lalu menekan kepala Zelin. Beruntunglah mereka memilih taman sebagai tempat pelepas rindu. Melihat wajah merah padam Zelin pertanda kehabisan nafas membuat Xavier tersadar.

"Sayang, aku curiga selama kau di London tiga tahun ternyata adalah pemain handal," kata Zelin setengah menuduh dan bercampur gurauan.

Xavier menegang dibuatnya, mengetatkan rahang, meneguk ludah, lalu tersenyum kikuk berharap tak diketahui sang kekasih. Tertawa sumbang membalas gadis di hadapannya, " Mana mungkin aku berselingkuh dari si cantik jelita ini." Mengusap ujung kepala hingga pinggang Zelin, berakhir dengan mendekap pinggul Zelin.

"Kau ini... Oh ya Sayang, kapan kau tiba di tanah air? Mengapa tak menghubungiku bila kembali?"

Xavier menggaruk alis tebalnya tiba-tiba terasa sangat gatal. Menatap burung-burung tengah berdialog di pohon, memutar otak mencari jawaban kiranya tepat dan dipercayai. "Handphone-ku dicuri seseorang saat di bandara."

Lagi-lagi Zelin menatap lekat-lekat sang kekasih dari jarak yang tipis, mencari kebohongan kala nada bicara semu-semu tersirat. "Bandara tanah air?"

"Tidak. Melainkan bandara internasional London, Babe."

Zelin menganggukkan kepala pertanda percaya, sekaligus tak ingin memperpanjang mengantisipasi pertengkaran. Cerahnya angkasa mendukung kisah asmara Zelin kembali. Mengerti betapa lelahnya penerbangan London ke tanah air, membuat Zelin mempersilahkan pahanya menjadi bantalan.

Ketampanan Xavier berpadu birunya langit, menjadi pemandangan terindah nan candu bagi Zelin. Cukup lama mengusap surai Xavier sembari menceritakan kehidupan selama mereka tak bersama, akhirnya membuat Xavier terlelap dengan menyembunyikan wajah di perut Zelin. Cukup mabuk dengan Xavier, membuat Zelin menyadari dia dipantau sedari tadi. Zelin menoleh ke sana kemari, mencari netra yang membuatnya merasa diamati.

Netra itu terkunci kala mendongak menatap jauhnya jarak taman dengan ruang guru. Walau berjarak jauh tetapi tak membuat, keduanya bergeming saling menatap lekat. Dengan suara hati yang ntah terangkai kalimat berapa banyak jumlah kata dan barisnya.

"Pa--Pak Arion."

"Xavier mengernyit disela-sela pejaman matanya. Siapa pemilik nama itu? Apa hubungannya dengan sang kekasih? Mengapa nama itu disebut dengan nada demikian oleh sang kekasih?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status