Mobil Giorgio akhirnya berhenti di depan rumah orang tua Vivi. Lampu teras yang temaram menyoroti wajah Vivi yang tampak kaku. Tangannya meremas tas jinjing di pangkuannya sebelum ia menoleh sebentar pada Giorgio.
“Terima kasih sudah nganterin aku,” ucapnya datar, tanpa berani menatap mata suaminya.Giorgio hanya bergumam pendek. “Hmm.”Vivi membuka pintu, buru-buru turun, dan menutup pintu mobil tanpa menoleh lagi. Tumit sepatunya beradu cepat dengan lantai keramik teras, seakan rumah itu adalah tempat persembunyian dari segala penatnya.Begitu masuk ke ruang tengah, ia langsung disambut suara lembut mamanya.“Lho, Vivi? Kok pulang ke rumah?”Belum sempat Vivi menjawab, suara berat Giorgio terdengar dari belakang, membuat langkahnya terhenti.“Vivi sudah minta izin ke saya, Ma. Katanya kangen rumah.”Mata mama Vivi langsung berbinar. Ia menoleh ke arah Giorgio dan tersenyum hangat. “Oh ya? Terima kasih ya, NakVivi mendecih pelan. Dia mengetik balasan, lalu menghapusnya lagi. Pada akhirnya, dia memilih tidak membalasnya sama sekali.Setelah makan, Vivi mengganti baju, mencuci muka, lalu merebahkan diri di kasur. Lampu kamar hanya menyisakan satu bohlam temaram. Tubuhnya rileks, tapi pikirannya belum benar-benar tenang.Hari sudah malam ketika Giorgio akhirnya tiba di apartemen. Suara langkah kakinya yang menggema pelan. Begitu membuka pintu, dia langsung melepas sepatu di sana. Cahaya ruangan apartemen redup, hanya lampu kecil di sudut ruang tamu yang menyala. Giorgio berjalan perlahan ke kamar. Dengan hati-hati ia membuka pintu dan langsung menekan saklar lampu.Cahaya kuning memenuhi ruangan, menyingkap sosok Vivi yang terlelap di ranjang. Gadis itu tidur miring dengan selimut menutupi separuh tubuhnya, napasnya teratur.Dia tidak membangunkannya. Vivi terlihat kelelahan. Giorgio mengambil pakaian rumah dari lemari, lalu menuju kamar mandi.
Kampus mulai lengang ketika jam digital di dinding kelas menunjukkan pukul 16.30. Mahasiswa berbondong-bondong keluar dari kelas terakhir, sebagian langsung menuju parkiran, sebagian lagi nongkrong di tangga sambil bercanda. Vivi memeluk buku di dadanya, berniat langsung pulang sebelum langit gelap. Ia lupa kalau Antonio sempat bilang akan menjemput. Karena itu, langkahnya terhenti. Ia kaget saat melihat sosok pria itu duduk di bangku panjang tepat di depan pintu kelasnya.Antonio terlihat santai, satu kaki disilangkan, tangan memainkan ponsel. Begitu Vivi muncul, dia langsung berdiri.“Ngapain kamu di sini?” tanya Vivi spontan, alisnya terangkat heran.Antonio menyampirkan tas ke bahu. “Aku kan udah bilang mau nungguin kamu.”Vivi menghela napas pendek. “Aku juga udah bilang nggak usah nungguin aku, kan?”Antonio tersenyum tipis, seolah angin lalu. “Ayo ikut ke parkiran. Aku antar pulang.”Vivi menggeleng cepat, langkahnya berusaha menghindari kontak mata. “Maaf ya, Ton. Aku bisa pu
“Hah? Biasanya juga tidur di kamar, tapi nggak pernah bilang,” ucap Vivi tanpa menoleh. Nada suaranya datar, tapi ada sedikit keheranan yang terselip.Giorgio berdiri di ambang dapur. “Beberapa hari kemarin aku tidur di sofa,” katanya pelan. “Malam ini aku mau tidur di kamar.”Vivi membalik halaman bukunya. “Ya nggak perlu bilang, kan? Langsung aja tidur di kamar.”Giorgio sempat membuka mulut, tapi menutupnya lagi. Tidak ada yang perlu dibantah. Dia hanya berdiri beberapa detik sebelum akhirnya menuju meja kecil. .Vivi menghabiskan makan malam. Ia bangkit, mengangkat mangkuk dan gelasnya, lalu membilasnya sekilas di wastafel.“Taruh aja situ, nanti aku cuci sekalian,” ucap Giorgio saat melihat Vivi menumpuk piring.“Nggak apa-apa,” jawab Vivi tanpa menoleh. Selesai merapikan piring, Vivi kembali ke ruang tengah. Lampu ruangannya temaram, hanya satu standing lamp menyala di sudut. Dia duduk di ujung sofa, bersila,
Setelah telepon terakhir itu, Antonio benar-benar tak menghubungi Vivi lagi. Tak ada pesan masuk, tak ada panggilan tak terjawab. Vivi menghela napas lega. Malam menjelang, ia memutuskan mandi agar pikirannya lebih segar. Ia mengenakan kaus abu-abu longgar dan celana panjang berbahan katun. Rambutnya ia biarkan tergerai, masih sedikit basah.Dari balik pintu kamarnya, terdengar suara berisik dari dapur. Vivi melirik ke arah sana. Giorgio sudah berganti pakaian, kaus hitam polos dan celana panjang. Dia terlihat berbeda. Terlihat lebih santai. Jika mengenakan kemeja dan celana bahan pria itu terlihat lebih berwibawa. Giorgio membuka-buka pintu lemari dapur, memeriksa satu per satu rak dan laci.Vivi berjalan pelan keluar. “Nyari apa?” tanyanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Giorgio melirik sekilas, lalu menghela napas pendek. “Stok bahan buat masak besok habis. Telur tinggal dua, sayur udah nggak layak, bahkan nasi pun nggak ada.” Ia menutup laci terakhir dan merapika
“Sudahlah, Antonio. Aku nggak akan datang,” ucap Vivi datar sambil menutup bukunya.Antonio yang sejak tadi bersandar di tepi meja langsung menegakkan tubuh. Rahangnya mengencang, matanya menatap Vivi tanpa berkedip.“Ya terus kamu maunya apa supaya datang?” tanyanya serius, nada suaranya lebih berat dari sebelumnya.Vivi menoleh sebentar lalu mengangkat alis santai. “Nggak ada,” sahutnya pendek. “Itu jawabannya.”Tanpa menunggu reaksi, Vivi memasukkan buku ke tas dan berdiri. Ia berjalan melewati deretan bangku kuliah tanpa sedikit pun menoleh ke arah Antonio. Antonio hanya bisa mengikuti punggung Vivi dengan tatapan tajam. Jemarinya mengepal di samping tubuh, napasnya tertahan seolah mencoba menahan kesal.“Dia pikir bisa seenaknya aja nolak?” gumamnya pelan. Namun, Vivi sudah menghilang di ambang pintu, tak tertarik lagi meladeni perdebatan apa pun.Antonio masih terpaku di tempatnya, rahangnya mengera
Vivi baru saja melangkah masuk ke ruang kelas, masih menenteng buku catatan ketika tiba-tiba seseorang menarik lengannya pelan.“Eh—” Vivi menoleh cepat. Ternyata Antonio. Tanpa banyak bicara, cowok itu menuntunnya duduk di bangku kosong di sebelahnya.“Kamu kenapa narik-narik? Ada apa?” tanya Vivi sambil mengangkat alis.Antonio menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya menatap penasaran. “Gimana acara camping malam keakraban kemarin? Seru, nggak?”Vivi langsung paham arah pertanyaannya. Antonio memang nggak hadir di acara itu.“Biasa aja,” jawabnya santai. “Nggak ada yang aneh. Tapi kamu kenapa nggak datang? Setahu aku itu acara wajib, kan?”Antonio menghela napas. “Aku nggak bisa datang karena ada acara keluarga. Wajib banget ikut. Daripada dipecat jadi anak.”Vivi menatapnya heran. “Emang ada ya acara keluarga yang modelnya gitu?”Antonio memiringkan kepala, menatapnya tajam, tapi sambil senyum tipis. “Jangan pura-pura nggak tahu, Vi.”Vivi mengembuskan napas, malas menanggapi