LOGIN
“Dasar anak durhaka! Berani-beraninya kamu mencuri barang kakakmu!”
“Bu-bukan aku yang mencurinya- AHH!”
Mason mengayunkan tangannya, cambuk tersebut mengenai tangan Eva hingga meninggalkan garis panjang merah yang pedih. Eva jatuh tersungkur.
“Padahal kami sudah bersusah payah membesarkanmu. Seperti inikah caramu membalas budi??”
Tubuh Eva gemetaran disertai rasa perih yang menusuk. Air mata Eva mengalir dengan deras di wajahnya.
“Bukan aku...”
“Masih nggak mau ngaku ya??”
Mason mengangkat tangannya, Eva buru-buru merangkak ke arah Mason dan memegang kakinya.
“Ayah, aku mohon percayalah padaku. Bukan aku yang mencuri barang kakak.”
Mason mendorong tubuh Eva menggunakan kakinya, “kalau bukan kamu lalu siapa lagi?? Di rumah kita, cuma kamu yang berani melakukannya.”
Eva terdorong, tangannya yang penuh dengan luka menopang tubuhnya yang hampir jatuh ke lantai. Dengan perlahan ia mendongakkan kepalanya.
“Sudahlah, Eva. Lebih baik kamu mengaku saja, ayah pasti mau kok memaafkanmu.”
Eva menoleh ke arah Chloe.
“Chloe, kamu nggak perlu mengasihani dia. Sudah sepantasnya dia mendapatkan hukuman seperti ini. Berani berbuat berarti berani menerima konsekuensi.” Ucap Amelia sambil memegang kedua tangan Chloe.
“Tapi bu.. tubuhnya sudah penuh dengan luka seperti itu, aku nggak tega melihatnya.”
Amelia mengusap kepala Chloe dengan lembut, “kamu memang anak yang pengertian,” tatapan tajam Amelia beralih ke Eva, “nggak seperti adikmu ini yang nggak mau mengakui kesalahannya.”
Eva sedikit tertunduk, lalu mengusap air matanya. Dengan sisa tenaganya, Eva berusaha untuk bangkit berdiri.
“Ibu... aku sama sekali nggak mengambil apapun dari kakak. Kalau ibu nggak percaya, ibu bisa tanyakan kepada pelayan yang disini.”
Eva menunjuk ke arah pelayan, tetapi mereka semua menundukkan kepala dan tidak berkata apapun. Eva yang melihat itu, seketika dunianya menjadi hancur.
Mereka yang biasanya menjadi sandaran bagi Eva, ternyata kini berbalik mengkhianatinya. Tidak ada satupun dari mereka yang mau membantunya. Eva menarik kembali tangannya dengan perlahan.
“Hmph, lihatlah. Bahkan mereka semua hanya diam saja, itu berarti kamu memang bersalah. Anak durhaka sepertimu memang harus diberi pelajaran!”
Mason mengayunkan cambuknya dengan kuat dan mengenai kaki Eva. Ia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh tersungkur. Darah segar mengalir dari kakinya, kulitnya terasa sangat perih seperti disayat.
“Mulai hari ini, kamu bukan lagi bagian dari keluarga Brown. PENGAWAL!”
Beberapa pengawal yang mengunakan setelan jas berwarna hitam datang menghampiri Mason.
“Usir anak durhaka ini dari rumah. Bawa dia ke tempat yang jauh supaya nggak bisa kembali lagi.”
Mereka semua mengangguk, lalu segera memegang lengan Eva dan mengangkatnya. Dahi Eva berkerut, ia sedang menahan sakit di sekujur tubuhnya. Saat Eva sedang diseret keluar, ia menoleh ke belakang dan melihat wajah tersenyum Chloe.
'Ternyata... sejak awal aku memang nggak pernah dianggap keluarga.' Pikir Eva.
Eva dimasukkan ke dalam mobil dan meninggalkan kediaman keluarga Brown. Setengah jam kemudian, mobil tersebut berhenti di tengah jalan jembatan. Eva ditarik keluar dengan kencang hingga terjatuh.
“Bapak, ku mohon jangan tinggalkan aku disini...”
Eva memegang kaki pengawal tersebut sambil menangis. Pengawal tersebut merasa sedikit iba, tetapi ia segera memalingkan wajahnya.
“Maaf nak, ini adalah perintah.”
Eva terus menggoyangkan kaki pengawal tersebut, ia menghela nafas dan segera menarik kakinya.
“Nak, semua ini bisa terjadi karena kesalahanmu sendiri. Kalau saja kamu meminta maaf dari awal, mungkin kamu masih memiliki tempat tinggal.”
“Ta-tapi... aku memang nggak bersalah. Kenapa kalian semua nggak ada yang memercayaiku?”
Pengawal tersebut menggelengkan kepalanya, lalu ia berjalan kearah mobil dan meninggalkannya begitu saja.
“Tunggu!”
Eva merentangkan tangannya, tetapi mobil itu sudah pergi menjauh. Eva hanya memandangi mobil tersebut hingga tak terlihat lagi. Kemudian, ia menundukkan kepalanya sambil menangis.
Eva berusaha untuk bangkit berdiri, kemudian ia menoleh ke samping. Lampu bangunan kota yang menyala memberikan nuansa yang indah, ia belum pernah melihat pemandangan yang seperti ini.
“Ibu... aku sangat merindukanmu. Aku ingin segera bertemu denganmu.”
Dengan langkah yang tertatih-tatih, Eva terus berjalan tanpa tujuan. Rintik-rintik hujan mulai turun, ia mendongakkan kepalanya dan melihat kearah langit malam yang gelap. Tidak lama kemudian, hujan semakin deras dan mengenai luka bekas cambukan.
“Hisss!”
Eva refleks memegang lengannya, rasa perihnya sangat menusuk hingga ke tulang. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri tetapi tidak ada tempat untuk berteduh. Saat sedang berjalan, ia tidak sengaja menyenggol orang lain. Karena tubuhnya yang lemas ia terjatuh ke samping.
“Hati-hati dong kalau jalan! Gunakan matamu bukan dengkulmu.” Bentaknya.
“Maaf...”
Orang itu pergi dengan menggerutu, “dasar anak zaman sekarang.. sering banget melamun.”
Eva ingin bangkit berdiri, tetapi tubuhnya semakin melemah. Sejak dari pagi, Eva belum memakan apapun. Lalu ia melihat ada seseorang yang membuang roti sisa. Dengan sekuat tenaga, ia merangkak ke arah roti itu dan memakannya dengan lahap.
Beberapa saat kemudian, Eva melihat sebuah mini market di Seberang. Eva merasa sangat haus dan ingin membeli sesuatu. Tanpa berpikir lama, ia langsung menyebrang jalan. Kemudian cahaya lampu mobil menyilaukan matanya, sebuah mobil melesat cukup cepat ke arahnya, lalu semua pandangan berubah menjadi gelap.
‘Apa yang terjadi? Apakah aku sudah mati?’
Eva tidak bisa merasakan apapun, tetapi ia bisa mendengar suara seseorang samar-samar. Suara tersebut terdengar sangat panik.
“Bagaimana ini, tuan?? Lukanya sangat parah!”
“Kita harus segera membawanya ke rumah sakit, cepat masuk ke mobil!”
‘Jadi seperti ini ya akhir dari hidupku?’
"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"Eva sedikit menunduk dan meremas kedua tangannya. "Soalnya ... ada seseorang yang menyebarkan informasi kalau aku ini menyontek saat ujian di forum sekolah, terus ... dia juga memasukkan fotoku di postingan itu."Eva sesekali melirik ke arah William, tetapi William hanya diam mendengarkan saja, tetapi dahinya sedikit berkerut. "Dia memasukkan fotomu? Siapa yang berani melakukan hal itu?"Eva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, karena akun itu hanyalah akun anonim jadi nggak kelihatan siapa pemilik asli akun tersebut."William mengalihkan pandangannya, ia berpikir sejenak. Lalu, ia menoleh kembali ke arah Eva. "Terus, kamu ada rencana apa?""Untuk saat ini sih ... aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang mahasiswa, yaitu belajar untuk ujian. Karena aku pikir, akan lebih baik kalau bisa membuktikkan di depan para dosen kalau aku ini innocent."William tersenyum tipis. "Siapa sangka, se
"Hm ... hanya kebetulan saja. Kebetulan aku sempat lewat Perpustakaan tadi dan sempat melihatmu bertarung dengan pemikiranmu sendiri."William sedikit menunduk dan menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Eva. "Kamu ini benar-benar nggak pernah gagal ya, untuk membuatku merasa kagum padamu."Eva tak bisa menahan air matanya, bibirnya sedikit bergetar. Ia meraih kepala William dan menempelkan bibirnya ke bibir William, William seketika terpaku di tempat. Tidak lama kemudian, Eva melepaskan ciumannya dan memeluk leher William."Terima kasih ... terima kasih sudah mau mempedulikanku sampai sejauh ini. Terima kasih sudah mau menjadi rumah untukku, terima kasih karena sudah mempersiapkan semua ini hanya untuk mengembangkan kemampuanku."Eva tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain berterima kasih. Tidak ada yang tahu seberapa bahagia dirinya yang sekarang, setelah belasan tahun tinggal di sebuah keluarga yang tidak pernah mempedulikannya sedikit pun
Eva merenung sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Hm ... untuk saat ini, aku masih belum tahu. Tapi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang, paling cuman ... belajar buat ujian besok."Seketika mata Clara berkedut. "Kamu ini ya ... baru juga bisa menenangkan diri, tapi masih berniat buat belajar. Otakmu itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Heran deh ..."Eva terkekeh. "Aku bener, 'kan? Memangnya apa tugas kita sebagai seorang mahasiswa? Kalau bukan belajar, terus apa lagi?""Ya, tapi ... kamu nggak mau gitu membersihkan namamu? Postingan itu sudah dilihat oleh semua mahasiswa di kampus ini, lho. Memangnya kamu rela dihujat terus sana sini?"Tentu saja mau, akan sangat merepotkan kalau berita ini bisa tersebar hingga keluar kampus. Tetapi Eva tidak ingin mengatakannya kepada Clara, selama buktinya masih belum ditemukan."Aku tahu kalau kamu sangat mengkhawatirkanku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu."Clara mengernyitkan dahinya. "Kenapa begitu
Dengan nafas yang terengah-engah, Eva meraih kalung tersebut dan mengangkatnya hingga sejajar dengan matanya. Walau pun matanya mulai memerah, ia mengamati kalung yang ada di telapak tangannya selama beberapa saat. Dengan hati-hati, ia mengelus kalung itu dengan ibu jarinya.Entah bagaimana, ia bisa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dengan spontan, ia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi yang ia temukan hanyalah beberapa mahasiswa yang sedang membaca buku di mejanya masing-masing yang agak jauh darinya.Eva menoleh kembali pada kalung yang ia pegang. Jari tangannya perlahan-lahan menekuk hingga menutupi kalung yang ada di telapak tangannya. Sikutnya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda.'Sudah, tenang ya. Kamu itu kuat.'Begitulah kata-kata yang terlintas di benak Eva. Kemudian, ia melepaskan genggamannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi roda, kedua tangannya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda, lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya
Setelah Eva keluar dari ruang dosen, Eva menghembuskan nafas lega, Kemudian, ia berencana untuk pergi ke kantin sambil menunggu Clara. Selama perjalanan, banyak mahasiswa yang saling berbisik saat mereka melihat Eva."Eh, lihat itu. Dia itu anak yang katanya menyontek itu, 'kan?""Iya, benar. Kalau nggak salah dia baru saja keluar dari ruang dosen deh ...""Pasti habis dihukum."Eva mengerutkan dahinya, ia merasa bingung kenapa semakin banyak mahasiswa yang mengetahui kejadian itu. Padahal ia sudah membuktikan kejujurannya di depan dosen, lalu kenapa mereka masih saja menyinyir?Namun, Eva berusaha untuk mengatur nafasnya dan tetap bersikap tenang. Ia berusaha untuk tidak memikirkan semua itu, karena apa pun yang dikatakan oleh banyak orang, ia sendiri juga tidak bisa menghentikan mereka. Memang pahit, tapi itulah yang dinamakan kenyataan.Karena mendengar hinaan dari mahasiswa lain, Eva memutuskan untuk berpindah tempat. Ia tidak ingin pergi ke kantin, tetapi ke Perpustakaan. Karena
Eva mulai memfokuskan pikirannya untuk mengerjakan ujian. Seperti biasa, ia melakukan ritualnya dahulu sebelum akhirnya menjawab soal satu per satu. Dosen yang ada di sebelah Eva memperhatikannya dengan seksama, begitupula dengan Surya."Dia nggak ngerasa keganggu ya kalau kita di sini?"Surya menggelengkan kepalanya. "Nggak, tuh lihat saja wajah seriusnya. Mau kita berisik juga nggak akan memecah fokusnya."Dosen itu terkekeh. "Hebat ya, bahkan saya saja nggak bisa mempertahankan fokus seperti itu."'Ya dong ... siapa dulu biangnya.' batin Surya."Mahasiswi lagi ujian, kenapa kalian berdua malah berisik?"Surya dan dosen itu menoleh serentak. Lalu raut wajah Surya berubah menjadi masam."Ngapain kamu ke sini?"Ibu Ruth memegang pinggangnya dengan kedua tangan. "Apa maksud pak Surya? Saya di sini hanya ingin mengawasi mahasiswi saya saja kok, nggak boleh?"Surya memutarkan bola matanya dengan malas. Ibu Ruth mel







